Pengaruh Kortikosteroid Intranasal (Fluticasone Furoate) Terhadap Interleukin – 5 (Il-5) Pada Polip Hidung

19

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polip Hidung
2.1.1 Definisi
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa seperti terlihat pada gambar 2.1. Bentuk polip
menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan karena bertangkai
(Mangunkusumo & Wardani, 2007).

Gambar 2.1 Polip Hidung (Gevaert,Cauwenberge & Bachert, 2004)
2.1.2 Epidemiologi polip hidung
Prevalensi polip hidung sekitar 2-4% dari populasi umum. Prevalensi
cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Di RSUP H.
Adam Malik Medan, periode Maret 2004 sampai Februari 2005, Munir
mendapatkan penderita polip hidung sebanyak 26 penderita yang terdiri
dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember
2010, Dewi mendapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang dengan
rasio laki-laki banding perempuan adalah 1,8:1 dengan usia terbanyak

menderita polip pada rentang usia 35-44 tahun. Prevalensi polip hidung
pada penderita rhinitis alergi sekitar 1,5-1,7%. Faktor genetik juga
dianggap sangat berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14%
penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis
dan geografis juga memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada

20

populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan
neutrofilik (Gevaert, Cauwenberge, & Bachert, 2004; Munir, 2008; Aaron,
2010; Bachert, 2011; Dewi, 2011).
2.1.3 Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif
(bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran
darah ke polip. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks
ostiomeatal di meatus medius dan sinus etmoid (Mangunkusumo &
Wardani, 2007).
2.1.4 Histopatologi polip hidung

Karakteristik histopatologi jaringan polip hidung adalah ditandai dengan
epitel yang rusak, penipisan membran basal dan adanya jaringan stroma
yang edema yang kadang-kadang fibrotik dengan kelenjar dan pembuluh
darah yang sangat sedikit serta tidak adanya struktur saraf seperti terlihat
pada gambar 2.2. Sebagian besar permukaan polip merupakan ciliated
pseudostratified epithelium tetapi transitional epithelium dan squamous
epithelium juga dijumpai terutama di anterior polip yang sering terkena
aliran udara (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).

Gambar 2.2 Pewarnaan Haematoxylin dan Eosin jaringan polip dengan
pembesaran 500 x (Jόkύti, 2008).

21

2.1.5 Biologi Interleukin-5
IL-5 adalah suatu sitokin hematopoietik yang memiliki pengaruh
penting pada eosinofil dan basofil. Sejumlah sel menghasilkan IL-5 antara
lain, CD4+, limfosit Th2, eosinofil, basofil, CD 34+ progenitor cells dan
natural killer cells (NKT cells). IL-5 berperan dalam diferensiasi dan
maturasi eosinofil dalam sumsum tulang, migrasi ke jaringan dan

mencegah apoptosis eosinofil. Dari limfosit, sumber terbesar IL-5 adalah
helper T-cells. Dari myeloid, produsen IL-5 yang utama adalah sel mast
dan eosinofil.

Gambar 2.3 IL-5 dihasilkan oleh Mast cell, Th-2 dan Eosinofil
(Jόkύti, 2008)
T-cells tidak menyimpan IL-5 tetapi berperan dalam stimulasi, sintesis dan
pelepasan. Sumber lain adalah dari epitel nasal dan bronkial. IL-5 memiliki
banyak pengaruh terhadap precursor eosinofil dan eosinofil yang matur.
IL-5 menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi mielosid menjadi eosinofil
dalam sumsum tulang. IL-5 mengatur fungsi pro-inflamasi eosinofil dengan
meningkatkan pelepasan protein granular eosinofil seperti major basic
protein, eosinophil cationic protein dan eosinophil peroxidase. IL-5
meningkatkan

adhesi

eosinofil

ke


endothelium

sehingga

akan

meningkatkan akumulasi eosinofil. IL-5 juga menginhibisi apoptosis
eosinofil (Gevaert, Cauwenberge, & Bachert, 2004; Jόkύti , 2008).
Limfosit T pada penderita alergi didominasi oleh T helper 2 (Th2) yang
mensekresi IL-4 dan IL-5, keduanya berperan dalam timbulnya respon

22

alergi. Kortikosteroid menghambat transkripsi IL-4, IL-5 dan IL-13.
Kortikosteroid juga mengurangi usia sel T dan eosinofil dengan
meningkatkan proses apoptosis yang mengakibatkan berkurangnya
jumlah dan ekspresi IL-5 (Banes, 2001)

Gambar 2.4 Analisa Imunohistokimia pada Jaringan Polip, dengan

Pembesaran 1000 x, tampak IL-5 (ditunjuk panah). (Jόkύti, 2008).
2.1.6 Patofisiologi polip
Karakteristik polip hidung yang matang ditandai dengan proses
peradangan yang tampak berupa pembentukan pseudokista yang kosong
dan penumpukan sel-sel radang di subepitel, dimana eosinofil adalah sel
yang dominan (sekitar 80%). Albumin dan protein plasma yang lain
menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil. Karakteristik
histomorfologi polip didominasi oleh epitel yang rusak, membran basal
yang menipis dan meradang dan terdapat sedikit jaringan stroma yang
mengalami fibrosis, dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta
tidak adanya struktur saraf. Pada polip yang kecil yang tumbuh dari
mukosa meatus media yang normal pada penderita polip hidung bilateral,
dijumpai sejumlah eosinofil pada masa awal pertumbuhan polip. Dari sini
diduga ada penumpukan protein plasma yang diatur oleh eosinofil.
Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis pembentukan
dan pertumbuhan polip. Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T
yang teraktivasi. IL-5 memegang peranan penting dalam proses
rekruitmen, aktivasi dan inhibisi apoptosis eosinofil. Diantara semua

23


sitokin, IL-5 mempunyai hubungan yang paling baik dengan eosinophil
cationic protein (ECP). Hal ini mengindikasikan adanya hubungan yang
erat antara IL-5 dengan beratnya peradangan eosinofil. Peran IL-5
dibuktikan dengan terapi terhadap eosinofil yang mengilfiltrasi polip hidung
dengan cara netralisasi dengan anti IL-5 monoclonal antibody (mAB),
menyebabkan apoptosis eosinofil dan berkurangnya eosinofil di jaringan
pada in vitro. Transforming Growth Factor Beta One (TGF-β1), suatu
sitokin dengan kerja yang berlawanan dengan IL-5, hanya dihasilkan
dalam jumlah sedikit dan berikatan dengan matrix ekstraseluler serta
bersifat laten dalam bentuk tidak aktif. TGF-β1 merupakan sitokin
fibrogenik

yang

poten

yang

merangsang


pembentukan

matrix

ekstraseluler serta terlibat dalam proses fibrosis dengan bertindak sebagai
kemotaktan fibroblast. TGF-β1 menginhibisi sintesis IL-5 dan mengurangi
daya tahan haematopoietin (IL-5 dan Granulocyte Macrophage ColonyStimulating Factor (GM-CSF)) pada eosinofil. TGF-β1 tidak dijumpai di
daerah pseudokista polip. Produksi IL-5 yang tinggi dan tidak adanya
TGF-β1 diduga

menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan

menfasilitasi degradasi jaringan matrix, kedua hal tersebut merupakan
karakteristik

struktur

polip.


Pengobatan

dengan

steroid

topikal

menurunkan densitas eosinofil. Hingga saat ini, pencetus utama yang
menyebabkan peradangan eosinofil pada polip hidung belum dapat
diketahui pasti. Ada banyak hipotesa, antara lain alergi, bakteri, jamur,
mycoplasma atau infeksi virus (Bachert, et al., 2005).

24

Gambar 2.5 Model Rekruitmen Eosinofil pada Polip Hidung. (Gevaert,
Cauwenberge, & Bachert, 2004).

2.1.7 Interleukin-5 pada polip hidung dan mukosa normal
Konsentrasi IL-5 dan ECP ditemukan lebih tinggi secara signifikan

pada sekret hidung pasien atopi dengan polip hidung daripada pasien
polip yang non atopi. Peric dkk juga menemukan bahwa kadar eosinofil
pada polip hidung pasien atopi lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
eosinofil pada polip hidung pasien non-atopi dan rinitis alergi. Ekspresi IL5 pada polip hidung lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan
pada mukosa hidung normal. Ekspresi IL-5 yang meningkat pada polip
berhubungan dengan eosinofil. Mygind dkk menemukan sejumlah besar
protein IL-5 di sebagian besar polip hidung tetapi tidak ditemukan pada
mukosa normal. Hal ini menunjukkan adanya peran penting IL-5 dalam
patofisiologi polip hidung (Xu, et al., 2000; Rui, et al., 2002; Wang, 2003;
Chen, 2005; Jókúti, 2008; Peric, 2011).

25

2.1.8 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung rasa
tersumbat dari yang ringan sampai berat, tergantung ukuran polip.
Hal ini mempengaruhi resonansi suara. Rinore mulai yang jernih
sampai purulen atau post nasal drips. Hiposmia atau anosmia, rasa
nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund, 1995)

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang
berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah
digerakkan.

Adanya

fasilitas

naso-endoskopi

akan

sangat

membantu diagnosis kasus polip yang baru (Mangunkusumo &
Wardani, 2007).
c. Pemeriksaan radiologi
CT- scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi sinusitis dan pada

perencanaan

tindakan

bedah

terutama

bedah

endoskopi

(Mangunkusumo & Wardani, 2007).
2.1.9 Stadium polip
Tabel 2.1 Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995.
Polip

Stadium

Tidak ada polip

0

Polip terbatas pada meatus media

1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum

2

memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)
Sumber: Assanasen and Naclerio (2001).

3

26

2.1.10 Penatalaksanaan polip hidung
Adapun tujuan penatalaksanaan polip hidung antara lain, untuk
eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin,
membuka jalan nafas melalui hidung, meredakan gejala, penciuman
kembali normal, mencegah kekambuhan dan komplikasi. Syarat terapi
polip

hidung

yang

ideal

antara

lain,

kepatuhan

pasien

dalam

mengkonsumsi obat, tidak ada efek samping yang berbahaya dari obat
yang digunakan dan tidak ada perubahan struktur normal dan fungsi
hidung. Berdasarkan guideline Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga
Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (PERHATI-KL), stadium 1
(menurut Mackay and Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa
(polipektomi

medikamentosa),

untuk

stadium

2

dapat

diterapi

medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi
sesuai dengan gambar 2.6 (Mygind & Lildholdt, 1996; Badia & Lund, 2001;
PERHATI-KL,2007).

27

Gambar 2.6 Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal.

28

2.2 Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek anti-inflamasi yang luas. Apoptosis adalah
proses yang penting dalam mengurangi jumlah sel-sel inflamasi.
Kortikosteroid meng-induksi proses apoptosis sel-sel inflamasi pada polip
hidung. Eosinofil memiliki banyak reseptor glukokortikoid yang merupakan
salah satu daerah kerja kortikosteroid. Salah satu efek kortikosteroid
adalah berkurangnya jumlah eosinofil. Kortikosteroid bersifat lipofilik
sehingga dapat dengan mudah memasuki sitoplasma sel target dan
berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak terdapat di mukosa
saluran nafas. Sifat lipofilik berhubungan dengan besarnya deposit
kortikosteroid di jaringan jalan nafas, besarnya afinitas ikatan, lamanya
masa kerja kortikosteroid dan rendahnya kadar obat bebas yang
berpotensi berikatan dengan reseptor kortikosteroid sistemik yang dapat
menimbulkan efek samping. Sifat lipofilik juga berhubungan dengan
lambatnya pelepasan kortikosteroid dari jaringan jalan nafas. Efikasi klinis
dari kortikosteroid sebagai anti inflamasi didapat dari kemampuannya
untuk mengurangi infiltrasi eosinofil di saluran nafas dengan cara
mencegah peningkatan kemampuan hidup dan mencegah aktifasi
eosinofil. Glukokortikoid topikal dan sistemik mempengaruhi fungsi
eosinofil dengan cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung
merupakan
menghambat

hal yang terpenting dalam proses
pelepasan

mediator

vasoaktif

ini.

sehingga

Kortikosteroid
mengurangi

vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid
mengurangi reaksi inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel
inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matrix
protein ekstraselular. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya sitokin
dan sel-sel inflamasi. Sel T sangat sensitif terhadap kortikosteroid.
Kortikosteroid dapat juga mengurangi pelepasan mediator seperti
histamine, prostanoids dan leukotrien. Hal ini menyebabkan berkurangnya
jumlah sel-sel inflamasi di mukosa. Kortikosteroid juga menormalkan
jumlah sel yang mengalami influx. Bahkan kortikosteroid dapat juga
mempengaruhi produksi IgE dan dapat mempengaruhi retensi protein

29

plasma. (Assanasen & Naclerio, 2001; Jankowski, et al., 2002; Watanabe,
et al., 2004; Bachert, et al., 2005; Newton & Ah-See, 2008; Sastre &
Mosges, 2012).
Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi disebabkan antara lain, (1)
kortikosteroid

menekan

pelepasan

sitokin

dan

kemokin

yang

menyebabkan inflamasi pada alergi, (2) kortikosteroid menekan reaksi
transkripsi gen-gen inflamasi, (3) kortikosteroid menginhibisi transkripsi
interleukin-5, (4) kortikosteroid menurunkan usia sel T dan eosinofil
dengan meningkatkan apoptosis. (Barnes, 2001).
Penggunaan kortikosteroid lebih dianjurkan pada pagi hari. Hal ini
disebabkan konsentrasi di plasma lebih tinggi jika diberikan pagi hari
daripada diberikan pada sore hari. Clearance lebih tinggi 28% jika
diberikan pada sore hari daripada jika diberikan pada pagi hari sehingga
efek klinis menjadi lebih adekuat dan gangguan pada sirkardian cortisol
akan lebih minimal jika kortikosteroid diberikan pada pagi hari. (Fisher,
1992).
2.3 Fluticasone Furoate
Kortikosteroid intranasal adalah terapi terbaik pada polip hidung
meskipun mekanisme kerjanya pada polip hidung sampai saat ini belum
dapat dipahami dengan baik. Kortikosteroid juga efektif dalam mengurangi
ukuran polip dan mencegah infiltrasi eosinofil kedalam jaringan polip.
Sejak 2005, hanya fluticasone furoate yang diterima FDA di Amerika
Serikat sebagai terapi polip hidung.Tujuan pemberian fluticasone furoate
adalah untuk mencapai perbandingan tertinggi antara efek lokal dengan
efek sistemik. Hal ini akan meningkatkan potensi pencapaian efek yang
diinginkan dibandingkan dengan efek sistemik yang tidak diinginkan,
disebut dengan rasio terapeutik. (Jankowski, 2002; Burgel, 2004;
Ferguson & Orlandi, 2006; Pornsuriyasak & Assanasen, 2008).
Fluticasone furoate adalah kortikosteroid sintetis terbaru. Fluticasone
furoate mempunyai cakupan yang luas terhadap reseptor glukokortikoid
dengan efek anti inflamasi yang sangat kuat. Fluticasone furoate

30

mempunyai afinitas terbesar terhadap reseptor glukokortikoid jika
digunakan intranasal dan berikatan dengan reseptor paling lama sehingga
masa kerja menjadi lebih lama (24 jam) dengan dosis sekali semprot
setiap hari. Fluticasone furoate terbukti efektif mengurangi jumlah EG2+ di
epitel dan subepitel polip secara signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah
110 μg sekali sehari yang terbagi dalam dua kali semprot (27,5 μg per kali
semprot) untuk tiap lubang hidung atau tiap polip. Fluticasone furoate
yang masuk kedalam saluran cerna akan metabolisme di hati oleh isozim
P450, CYP3A4, sehingga efek sistemik sangat minimal (< 0,5 %).
Fluticasone furoate mengalami metabolisme di hati, maka harus
dipertimbangkan pemberiannya pada penderita gangguan fungsi hati.
Tidak perlu penyesuaian dosis pada penderita dengan gangguan ginjal.
Pemberian bersama ketokonazole atau obat lain yang bersifat inhibitor
kuat CYP3A4 seperti ritonavir sebaiknya dihindari. Efek samping yang
timbul umumnya ringan dan dapat sembuh sendiri. Epistaksis mungkin
disebabkan mukosa hidung yang kering dan menipis. (Burgel, et al., 2004;
Pornsuriyasak & Assanasen, 2008; Kumar, Kumar, & Parakh,

2011;

Sastre & Mosges, 2012).
Tabel 2.2 Kortikosteroid Intranasal.

No. Kortikosteroid

Generasi

Bioafibilitas Sistemik

1.

Triamcinolone acetonide

(TAA)

Ist

46 %

2.

Flunisolide

(FLU)

Ist

49 %

3.

Beclomethasone dipropionate

(BD)

Ist

44 %

4.

Budesonide

(BUD)

Ist

34 %

5.

Mometasone furoate

(MF)

IInd

< 0,1 %

6.

Fluticasone propionate

(FP)

IInd