DISKRESI DAN TANGGUNG JAWAB PEJABAT PUBLIK PADA PELAKSANAAN TUGAS DALAM SITUASI DARURAT - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Kejahatan dipandang sebagai bagian dari penyimpangan sosial
sehingga tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan yang berbeda dari
tindakan yang normal, serta adanya reaksi sosial yang negatif terhadap
perbuatan itu.1 Kejahatan yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial
dapat menimbulkan ketegangan individu maupun ketengangan-ketegangan
sosial, dan merupakan ancaman rill atau potensi bagi berlangsungnya
ketertiban sosial.2
Saat ini korupsi sering juga disebut sebagai kejahatan kerah putih
(white collar crime). Salah satu ciri bentuk kejahatan kerah putih adalah
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi, atau yang sering disebut
dengan istilah pejabat.3 Pejabat yang dimaksud baik dari pejabat pemerintahan
yang berada di pusat, sampai kepada pejabat yang berada di daerah-daerah.
Diskresi (discretionary power) terdapat pada kewenangan menjalankan
jabatan yang dimiliki pejabat publik. Diskresi adalah suatu wewenang yang
diberikan kepada pejabat administrasi untuk bertindak atas inisiatif sendiri
untuk melakukan tindakan yang tidak diatur oleh peraturan perundangundangan. Kondisi seperti itulah jabatan rawan untuk diselewengkan, karena
1 I.S Susanto, Kriminologi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), halaman 12

2 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), halaman 11
3 Benny Irawan, Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum
terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Mimbar, Vol. XXVII, No.2, 2011), halaman 143

1

2

bersamaan dengan menjalankan kebijakan untuk publik, dengan mudah
terdapat niat untuk menarik keuntungan pribadi atau kelompok. 4 Penggunaan
diskresi

mempunyai

syarat-syarat

khusus,

agar


dalam

menggunakan

kewenangannya, para pejabat tidak berlaku sewenang-wenang dalam
mengambil keputusan.
Beberapa kebijakan yang lahir atas dasar diskresi tidak sedikit yang
bermasalah, bahkan ada beberapa kebijakan dianggap memenuhi unsur tindak
pidana korupsi. Hal ini menimbulkan polemik, polemik tentang dapat atau
tidaknya kebijakan dijerat dengan pidana yang hingga kini masih menyisakan
persoalan.5 Pejabat dapat menjadi seorang koruptor bukan karena melakukan
tindak pidana korupsi, melainkan karena menjalankan tugas dalam jabatannya
yang berupa suatu kebijakan, yang mana ternyata kebijakan tersebut dapat
menimbulkan kerugian keuangan negara, walau pun dana yang dihasilkan tidak
dinikmati oleh pejabat tersebut.6
Apabila setiap kebijakan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana
korupsi, tentu akan dilematis. Padahal diketahui bahwa kebijakan tersebut
adalah bagian dari suatu sistem, jika seorang pejabat pemerintah takut
mengambil suatu kebijakan, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan

sebagaimana yang diharapkan.7 Tidak jarang Pejabat Aparatur Negara dan
Pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami keraguan dalam
4 Ibid
5 Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat di Kriminalisasi?, halaman 1-2. Makalah
disampaikan dalam Seminar “Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum”, yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA), di Hotel Bumi Karsa
Bidakara – Jakarta, 11 Mei 2010
6 Benny Irawan..., Op.cit., halaman 143-144
7 Marwan Effendy..., Loc.cit.

3

menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan
kebijakan wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai
kebijakan yang korup atau perbuatan korupsi yang berlindung dibalik
kebijakan.8
Penegak hukum menggunakan dasar Pasal 3 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.
Contohnya pada kasus Bullogte yang bermula dari kebijakan yang
diambil mantan Presiden B.J.Habibie dalam menanggulangi kerawanan pangan
dan dalam keadaan krisis kepercayaan kepada pemerintah yang meluas sebagai
dampak pemerintah sebelumnya. Saat itu ada beberapa alasan tentang
kebijakan yang diambil B.J.Habibie:9

1.

Bantuan dari luar negeri tidak datang sesuai jadwal yang diharapkan;

2.


Anggaran untuk penyelesaian masalah-masalah yang tak terduga, dalam
hal ini sembako dan penyalurannya pada Anggaran Pendapatan dan

8 Indriyanto Seno Adji, KORUPSI : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara? (Jakarta: 2010),
halaman1-2. Makalah disampaikan dalam diskusi panel dengan topik “Kebijakan Aparatur Negara
dan Pertanggungjawaban Pidana”, pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia
(APPSI) dengan tema “Revitalisasi Peran Gubernur Guna Menciptakan Sinergitas & Harmonisasi
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah” pada hari Kamis, di Hotel Grand Preanger, Bandung, 2
Desember 2010
9 Ibid., halaman 8

4

Belanja Negara (APBN) tahun 1998/1999, sangat terbatas dan anggaran
sudah berjalan;
3.

Pemerintah harus segera bereaksi untuk mengembalikan citra kepercayaan
pemerintah yang waktu itu sedang merosot di kalangan masyarakat
Indonesia.

Cara mengatasi hal tersebut, Presiden B.J.Habibie mengambil kebijakan

cepat yakni mengundang Menteri Kooridnator Bidang Ekonomi, Kesejahteraan
Rakyat (Menko Kesra), Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag)
/ Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), dan Menteri Sekretaris Negara
(Mensesneg) untuk menjajagi kemungkinan pemanfaatan dana non-budgeter
Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp.40 miliar dan segera diserahkan
kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk program pengadaan dan
pembagian sembako kepada masyarakat miskin. Presiden B.J.Habibie
memerintahkan

Menteri

Sekretaris

Negara

(Mensesneg)

guna


mengkoordinasikan pelaksanaan pengadaan dan pembagian sembako.10
Kucuran dana senilai Rp.40 miliar yang mengalir dari Badan Urusan
Logistik (Bulog) ke Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dikeluarkan dalam
rangka pengadaan dan pembagian sembako untuk rakyat miskin, sebagai tindak
lanjut dari perintah lisan Presiden B.J.Habibie pada pertemuan tertutup tanggal
10 Februari 1999. Presiden B.J.Habibie memberikan tugas kepada Menteri
Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk mengkoordinasikan pengadaan dan
pembagian sembako untuk rakyat miskin pada tanggal 10 Februari. Hal
tersebut menjadi masalah karena dalam menjalankan tugas, Akbar Tanjung
selaku Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) menggunakan dana non10 Ibid

5

budgeter Badan Urusan Logistik (Bulog), padahal dana tersebut seharusnya
hanya diperuntukkan bagi keperluan, fungsi dan tugas Badan Urusan Logistik
(Bulog).11
Akbar Tanjung selaku Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg),
menerima dua kali cheque dengan nilai seluruhnya sebesar Rp.40 miliar dari
Badan Urusan Logistik (Bulog) tanpa membuat tanda terima atau berita acara

serah terima yang melanggar dasar akuntansi Badan Urusan Logistik (Bulog).
Akbar Tanjung kemudian menunjuk Yayasan Raudatul Jannah yang diketuai
oleh Dadang Sukandar, kemudian juga menunjuk Winfried Simatupang selaku
rekanan pelaksana dalam pengadaan dan pembagian sembako.12
Akbar Tanjung disebut menyerahkan cheque senilai Rp. 40 miliar
kepada Dadang Sukandar tanpa tanda terima atau kontrak kerja, kemudian
Dadang Sukandar menyerahkan cheque sebesar senilai Rp. 40 miliar kepada
Winfried Simatupang selaku mitra kerjanya untuk melaksanakan pembelian
dan pembagian sembako. Pembelian tersebut ternyata tidak terlaksana, hal
tersebut ternyata mengakibatkan maksud dan tujuan perintah Presiden
B.J.Habibie pada pertemuan terbatas tanggal 10 Februari 1999 tidak dapat
dilaksanakan.13
Sebelum adanya perintah Presiden B.J.Habibie tanggal 10 Februari
1999, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan

11 Ibid
12 Ibid
13 Ibid

6


kejanggalan dalam keuangan di Badan Urusan Logistik (Bulog). Mereka
menemukan bahwa ada sejumlah dana yang tidak dicatatkan dalam neraca
keuangan Badan Urusan Logistik (Bulog), padahal hal tersebut tidak sesuai
dengan dasar akuntansi. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) memberikan saran agar pengelolaan keuangan secara non-neraca
tersebut dihentikan dan tidak dilaksanakan lagi, namun ketua Badan Urusan
Logistik (Bulog) saat itu, Rahadi Ramelan memandang perlu untuk tetap
melaksanakan pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut.
Rahadi Ramelan mengirim surat kepada Presiden B.J.Habibie yang
intinya memohon agar pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut tetap
dipertahankan. Presiden B.J.Habibie kemudian menyetujui permohonan
tersebut dan meminta kepada sejumlah jajaran menterinya, salah satunya
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk membantu hal tersebut. Menteri
Sekretaris Negara (Mensesneg) menyetujui pendapat dari Rahardi Ramelan
untuk tetap melaksanakan pengelolaan keuangan secara non-neraca, yang mana
hal tersebut seharusnya bukan kewenangannya.14
Berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No.449/Pid.B/2002/PN.Jkt.Pst dan diperkuat putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta No.171/Pid/2002/PT.DKI, Akbar Tanjung, Dadang Sukandar, Winfried

Simatupang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama: ”
“dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
14 Ibid

7

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara dan / atau perekonomian negara,
dalam hal ini menerima dan menggunakan uang Bulog
sebesar Rp.40 miliar, tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk itu serta di luar kepentingan dan fungsi bulog
atau menerima dan menggunakan uang tersebut bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara penggunaan
uang negara”, yakni melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b jo
Pasal 34 C UU No.3 tahun 1971 jo. Pasal 43 A UU No.31
tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No.20
tahun 2001 Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 65 KUHP.”

Putusan tersebut pada akhirnya diajukan kasasi dan diputus Vrijspraak
(putusan bebas). Putusan Mahkamah Agung No.572K/Pid/2003 atas nama Ir.
Akbar Tandjung, dinyatakan tidak terbukti menyalahgunakan wewenang.15 Hal
demikian terlihat dari pertimbangan putusan yang disampaikan oleh Paulus
Lotulung, Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI,
sekaligus sebagai Guru Besar dan Ahli Hukum mengenai relasi antara Hukum
Administrasi Negara dengan Hukum Pidana (Korupsi). Paulus Lotulung
memberikan pertimbangan atas Putusan Mahkamah Agung RI No.572
K/Pid/2003 tanggal 4 Feburari 2004 yang kesimpulannya menyatakan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di
atas, Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa apa yang
dilakukan Terdakwa I, yaitu menerima dana budgeter sebesar
Rp 40 milyar kemudian diserahkan kepada Terdakwa II untuk
digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk
masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada Terdakwa
I baik selaku Mensesneg maupun selaku koordinator yang
menangani program pengadaan dan penyaluran sembako
tersebut, tetapi merupakan suatu tindakan yang harus
dilakukan oleh seorang Koordinator/Mensesneg dalam
keadaan darurat sesuai dengan kewenangan diskresioner yang
ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai
atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat
15 Ibid., halaman 9

8

diharapkan menempuh prosedur dan cara-cara dalam
keadaan normal”.
Berdasarkan contoh kasus yang telah dipaparkan, pada putusan tingkat
pertama dapat dilihat sebuah fenomena diskresi yang pada akhirnya diarahkan
pada tindak pidana korupsi, meskipun kebijakan tersebt betul-betul ditujukan
untuk mengatasi kondisi darurat dan tidak digunakan untuk kepentingan
sendiri.16 Berbeda dengan putusan tingkat pertama, putusan tingkat kasasi
dalam hal ini Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan
terdakwa bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, sehingga diskresi
yang terdakwa lakukan bukan merupakan suatu tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti akan mengkaji permasalahan diskresi dan
tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan dua permasalahan berikut:
1. Bagaimana diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan
tugas dalam situasi darurat?
2. Apa batasan perbuatan melawan hukum yang berdampak hukum
administrasi dan hukum pidana dalam melaksanakan tugas dalam situasi
darurat?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

16 Benny Irawan..., Op.cit., halaman 145

9

Setiap mengadakan sebuah penelitian, tentunya ada hal yang ingin
dicapai, demikian pula dengan penelitian yang peneliti lakukan pada
permasalahan diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan
tugas dalam situasi darurat. Tujuan dilakukan penelitian dengan judul “Diskresi
dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi
Darurat”, yaitu:
1. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui dan menganalisis diskresi dan tanggung jawab
pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat;
2) Untuk mengetahui dan menganalisis batasan perbuatan melawan hukum
yang berdimensi hukum administrasi dan hukum pidana dalam
melaksanakan tugas dalam situasi darurat.
Selain tujuan yang ini dicapai dari sebuah penelitian, tentunya sebuah
penelitian diharapkan dapat membawa kegunaan bagi diri sendiri, maupun bagi
orang lain. Penelitian penulisan hukum ini diharapkan dapat membawa
kegunaan di dalamnya. Kegunaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

2. Kegunaan Penelitian
1) Kegunaan Teoritis
a. Kegunaan teoritis ditujukan sebagai sumbangan pemikiran dalam
perkembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan diskresi pejabat
publik;
b. Menambah wawasan untuk penelitian berikutnya.
2) Kegunaan Praktis
a. Kegunaan praktis ditujukan kepada pemerintah,

kejaksaan,

kehakiman, advokat, akademisi, serta masyarakat sebagai pemikiran

10

dalam perkembangan ilmu hukum Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi Negara, yaitu mengenai diskresi yang diambil oleh
pejabat publik yang saat ini seringkali memasuki grey area (hukum
pidana dan hukum administrasi negara) dalam penyelesaiannya jika
terjadi pelanggaran;
b. Hasil penelitian penulisan hukum ini diharapkan dapat memberi
jawaban atas permasalahan yang diteliti, yaitu mengetahui diskresi
dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam
situasi darurat dan mengetahui batasan perbuatan melawan hukum
yang berdimensi hukum administrasi dan hukum pidana dalam
melaksanakan tugas dalam situasi darurat;

D. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teori
Kerangka

teoritik

merupakan

kerangka

pikir

yang

intinya

mencerminkan seperangkat proposisi yang berisi konstruksi pikir saling
berhubungan atau kerangka pikir yang mencerminkan hubungan antar variabel
penelitian.17
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai
landasannya, dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai
hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling

17 Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Peraturan Akademik dan Pedoman
Penyusunan Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, (Semarang: 2008,) halaman 4

11

dalam.18 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini berangkat dari permasalahan
diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam
situasi darurat. Berdasarkan hal tersebut, kerangka teori yang dipakai dalam
penelitian dengan judul Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik pada
Pelaksanaan Tugas Dalam Situasi Darurat, sebagai berikut :
1. Pemerintahan
Pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurus
pelaksanaan

pemerintahan

(disebut

sebagai

eksekutif),

sedangkan

pemerintahan dalam arti luas selain eksekutif termasuk juga lembaga yang
membuat peraturan perundang-undangan (disebut sebagai legislatif) dan yang
melaksanakan peradilan (disebut sebagai yudikatif).19
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana
melaksanakan pengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan
dan koordinasi pemerintahan (baik pusat dengan daerah, maupun rakyat
dengan pemerintahnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan,
secara baik dan benar.20
Pengertian pemerintah dalam rangka hukum administrasi negara
digunakan dalam arti “pemerintahan umum” atau “pemerintahan negara”.
Pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian, yaitu dalam arti “fungsi

18Lawrence M. Friedman dalam Esmi Warasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis,
(Semarang: Suryandaru Utama, 2005), halaman 30
19 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Jatinangor : Refika Aditema, 2011),
halaman 20
20 Ibid,. halaman 24

12

pemerintahan”

(kegiatan

memerintah),

dan

dalam

artian

“organisasi

pemerintah” (kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan).21
2. Good Governance
Istilah governance tidak hanya berarti kepemimpinan sebagai suatu
kegiatan, juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan,
pembinaan,

penyelenggaraan

dan

bisa

juga

diartikan

pemerintahan.

Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan, kemudian berkembang dan
menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktik terbaiknya
disebut

kepemerintahan

yang

baik

(good

governance).22

Good

governance adalah tata tingkah laku atau tindakan yang baik yang didasarkan
pada kaidah-kaidah tertentu untuk pengelolaan masalah-masalah publik dalam
kehidupan sehari-hari.23 Good and governance berarti pemerintahan yang baik
dalam standar proses dan hasil-hasilnya, semua unsur perintahan bisa bergerak
secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat
dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat mengahmbat proses
pembangunan,24 sedangkan pengertian dari good government

adalah

pemerintah, yaitu lebih kepada lembaga yang mengemban fungsi memerintah
dan mengemban fungsi mengelola administrasi pemerintahan.

21 Philipus M. Hadjono dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 2008), halaman 6
22 Jawade Hafid Arsyad..., Op.Cit., halaman 281
23 Asep Sahid Gatara dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan (Bandung: Fokus
Media, 2011), halaman 83
24 Asep Sulaeman, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Bandung: Asman Press, 2012),
halaman 180

13

Good governance memiliki prinsip-prinsip pokok, yaitu good and
clean governance. Hal tersebut guna merealisasikan pemerintahan yang
profesional serta akuntabel, yang bersandar pada prinsip-prinsip good
governance lembaga administrasi negara dan masyarakat transparansi
Indonesia.25 Good governance mempunyai aspek fundamental (asas) dalam
yang harus diperhatikan, yaitu:26
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Partisipasi (participation);
Penegakan hukum (rule of law);
Transparansi (transparency);
Responsive (responsiveness);
Orientasi kesepakatan (consensus orientation);
Kesetaraan (equite);
Efiktivitas (effectivenness) dan efisiensi (eficiency);
Akuntabilitas (accountability);
Visi strategis (strategic vision)

3. Negara Hukum
Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu:27
1) Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2) Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada
ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenangwenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi;
3) Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang
dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang
dilaksanakan pemerintahan despotik.
Muncul konsep rechtsstaat dari Friedrich Julius Stlah yang diilhami
oleh Imanuel Kant pada abad ke 19 sistem hukum eropa kontinental. Menurut
Stlah, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah:28
25 A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Prenada Media, 2015), halaman 199
26 Ibdi
27 Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang,1992), halaman 66
28 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982) halaman 57-58

14

1)
2)
3)
4)

Perlindungan hak asasi manusia;
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
Peradilan administrasi dalam perselisihan
Munculnya unsur peradilan administrasi dalam perselisihan pada

konsep rechtstaat menunjukkan adanya hubungan historis antara negara hukum
eropa kontinental dengan hukum romawi, Philipus M. Hadjono memberikan
pendapat berikut ini :
“Konsep rechtstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut
civil law atau modern law sedangkan konsep hukum rule of law bertumpu atas
sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah
administratif, sedangkan rule of law adalah judicial. Perbedaan karakteristik
yang demikian disebabkan karena latar belakang dari pada kekuasaan raja.
Zaman romawi kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan
melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat
administrasi yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang
bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya peran administratif,
sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula
pertama muncul cabang hukum baru yang disebut droit administratif dan inti
dari droit administratif adalah hubungan antara administratif dengan rakyat.29
Saat yang hampir bersamaan muncul lagi konsep rule of law dari
A.V.Dicey yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon. Dicey
mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut:30
29 Philipus M.Hadjono, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), halaman 73
30 Ibid., halaman 58

15

1) Supermasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the
law). Dalil ini berlaku bagi orang biasa maupun pejabat;
3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh
undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Berdasarkan 2 (dua) tipe negara hukum di atas, ide negara hukum
tentunya mengandung beberapa perbedaan, antara lain menyangkut isi dan
pengertiannya. Namun demikian diantara keduanya mengandung persamaan
yang bersifat prinsipil, yaitu menempatkan hukum pada kedudukan yang lebih
tinggi dalam kehidupan bernegara, maka benar apa yang disampaikan oleh
A.Hamid S Attamimi yang mengatakan bahwa dalam abad ke-20 (dua puluh)
ini hampir tidak ada satu negara pun yang menganggap sebagai negara modern
tanpa menyebutkan dirinya negara berdasarkan atas hukum.31
Konsep negara Indonesia sebagai negara hukum telah lama ada sejak
bangsa Indonesia memasuki alam kemerdekaan yaitu dengan berlakunya
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Begitu pula saat
diberlakukannya Undang-undang Dasar 1949 (konstitusi Republik Indonesia
Serikat), Undang-undang Dasar Sementara 1950 dan sampai diberlakukannya
kembali Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara
Hukum tetap menjadi konsep dasar yang dianut oleh negara Indonesia. Hal ini
tercermin dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan kekuasaan belaka, sedangkan dalam
31 A.Hamid S.Attamimi, Der Rechtstaat Republik Indonesia dan Perspektifnya Menurut
Pancasila dan UUD 1945, (Jakarta: diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
Jakarta, ( Juli 1994.Makalah dalam seminar sehari dalam rangka Dies Natalis Universitas 17
Agustus Jakarta ke-42), halaman 9

16

Konstitusi Republik Indonesia serikat bagian I mengenai Bentuk Negara dan
Kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Republik Indonesia Serikat
yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan
berbentuk federasi.” Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara tahun
1950 dikemukakan secara tegas: “Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan.”32
Ketiga perubahan Undang-undang Dasar tersebut tetap berpegang pada
konsep negara yang didasarkan atas hukum. Pada saat berlakunya Undangundang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sampai amandemennya terakhir
Konsep Negara Hukum, Indonesia juga memiliki ciri suatu negara
kesejahteraan. Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 untuk mewujudkan negara kesejahteraan telah diamanatkan
bahwa:33
1) Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap bangsa
(warga negara Indonesia) Indonesia dan seluruh wilayan teritorial
Indonesia;
2) Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum;
3) Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara tidak langsung hal ini menunjukkan Indonesia juga memiliki ciri
konsep negara hukum yang modern, sebagaimana diterangkan pula oleh
Muchsan. Muchsan juga meyakini bahwa negara Indonesia berdasarkan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 termasuk negara yang

32 Yopie Morya Immanuel Patrioo, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi,
(Bandung: CV Keni Media, 2011), halaman 7-8
33 Ibid., halaman 8

17

bertipe welfare state, sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945, menurut Muchsan fungsi Negara Republik Indonesia sebagai
berikut:34
1) Tugas keamanan, pertahanan dan ketertiban (defence, security, and
protectional function).
Penjabaran fungsi ini, negara harus mempertahankan apabila ada serangan
luar atau rongrongan atau pemberontakan dari dalam, pencegahan terhadap
pencurian kekayaan dilautan serta kekayaan alam lainnya baik di darat
maupun di udara, pelanggaran wilayah oleh angkatan perang asing dan
sebagainya. Termasuk juga dalam fungsi ini perlindungan terhadap
kehidupan, hak milik dan hak-hak lainnya sesuai yang akan diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
2) Tugas kesejahteraan atau welfare function.
Tugas ini pun dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk social service dan
social welfare, seperti bantuan bencana alam, kemiskinan, pengangguran,
penentuan upah minimum, bantuan kesehatan, panti asuhan dan lain-lain.
Seluruh kegiatan yang ditujukan untuk terwujudnya kesejahteraan
masyarakat serta keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
3) Tugas pendidikan (educational functional).
Tugas ini pun harus ditafsirkan seluas-luasnya termasuk dalam tugas ini
pendidikan bagi seluruh warga negara, penerangan umum, national and
character building, peningkatan kebudayaan.
4) Tugas untuk turut serta mewujudkan ketertiban serta kesejahteraan dunia
(world peace and human welfare).
Politik bebas aktif negara Repulik Indonesia ikut menciptakan perdamaian
yang kekal dan abadi bagi manusia pada umumnya.
4. Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara
Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara meliputi :35
1) Asas Kepastian Hukum
34 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, (Yogyakarta:Liberty,1992), halaman 8
35 Solechan, Materi Perkuliahan Hukum Administrasi Negara Lanjut (Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2014)

18

Asas dalam negara hukum yang mengutamakan perundang-undangan,
kepatutan dan keadilan dalam kebijakan Penyelenggara Negara.
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasihan, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3) Asas Kepentingan Umum
Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif dan selektif.
4) Asas Keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
5) Asas Proporsionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggara negara.
6) Asas Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Asas Akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Menurut Kuntjoro Purbopranoto, di Indonesia yang mempunyai
falsafah negara Pancasila yang tentu saja nilai-nilai itu harus sesuai dengan
nilai-nilai luhur sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Asas-asas tersebut
meliputi:36
1) Asas Kepastian Hukum;
2) Asas Keseimbangan;
3) Asas Kesamaan;
4) Asas Bertindak Cermat;
5) Asas Motivasi;
6) Asas Jangan Mencampuradukkan Wewenang;
36 Dian Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004),
halaman 50-51

19

7) Asas Permainan yang Layak (Fair Play);
8) Asas Keadilan atau Kewajaran;
9) Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar;
10) Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan yang Batal;
11) Asas Perlindungan Atas Pandangan Hidup Pribadi;
12) Asas Kebijaksanaan;
13) Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum.
AM Donner menetapkan lima asas umum pemerintahan yang baik,
yang tidak hanya diterapkan dalam kasus-kasus tertentu saja, akan tetapi dalam
persoalan secara umum di dalam administrasi. Lima asas tersebut yaitu37 :
1)
2)
3)
4)
5)

Asas Kejujuran (fair play);
Asas Kecermatan (zorgvtlldigheid);
Asas Kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk);
Asas Keseimbangan (evenwichtigheid);
Asas Kepastian Hukum (recht zekerheid).

5. Diskresi
Menurut kamus Jerman Indonesia oleh Adolf Heuken S.J., istilah freies
ermessen ini berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei
dan freie yang artinya bebas, merdeka, tidak terikat, lepas, dan orang bebas.
Kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga,
penilaian, pertimbangan, dan keputusan.
Baik freies ermessen maupun pouvoir discretionnaire merupakan istilah
yang sepadan, yang artinya menurut kebijaksanaan dan sebagai kata sifat
berarti

menurut

wewenang

atau

kekuasaan.

Pengaruh

kemungkinan

37 AM Donner, Nederland Besstuursrecht, buku I, 1953 halaman 201, dalam Marwan
Effendy...,Op.Cit., halaman 27

20

penyalahgunaan kekuasaan aatu wewenang pada tahap pengambilan keputusan
seperti pada aliran aktivitas berikut38
Selain itu, freies ermessen juga diartikan sebagai kebebasan bertindak
dalam batas-batas tertentu

atau keleluasaan dalam menentukan kebijakan-

kebijakan melalui sikap tindak administrasi negara yang harus dapat
dipertanggungjawabkan. Amrah Muslimin mengartikan freies ermessen
sebagai

lapangan

bergerak

selaku

kebijaksanaan

atau

kebebasan

kebijaksanaannya.39
Pasal 1 Angka 9 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintah disebutkan bahwa “diskresi adalah Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat
Pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintah dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintah.”
Pakar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Benyamin
Hossein mendefinisikan diskresi adalah kebebasan pejabat dalam mengambil
keputusan menurut pertimbangannya sendiri.
Menurut T.Gayus Lumbun diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara
dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan
sebuah kebijakan yang melanggar undang-undang, dengan tiga syarat:

38 F.A.Abby, Fungsionalisasi Hukum dalam Membangun Birokrasi Pada Era Indonesia Baru,
dalam Ahmad Gunaryo, halaman 109
39 Saut P.Panjaitan, Makna dan Peran Fries Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara, S2
Unpad, Bandung, 1988, dalam S.F.Marbun, dkk, halaman 106-107

21

1) Demi kepentingan umum;
2) Masih dalam batas kewenangannya;
3) Tidak melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik.
Berikut rumusan pengertian diskresi dari pakar ilmu Hukum
Administrasi Negara:

a) Amrah muslimin
Salah satu manifestasi delegasi dalam bentuk undang-undang yang
meletakkan kerangka dan batas-batas tertentu (kaderwet atau raamwetten)
kepada pemerintah, Amrah Muslimin berpendapat bahwa diskresi adalah
kebebasan kebijaksanaan.
b) Thomas J.Aaron
Thomas J.Aaron di dalam bukunya yang berjudul The Control of Policy
Discrettion, Thomas J.Aaron mendefinisikan diskresi: “...is a power or
authority confered by the law to act on the basic of judgement or
conscience, and it usse more an idea of morals than law”.
c) Prajudi Atmosudirdjo
Menekankan argumentasi bahwa administrasi negara tidak boleh menolak
mengambil keputusan hanya karena tidak ada peraturannya. Prajudi
Atmosudirdjo mengartikan diskresi sebagai:”….kebebasan bertindak atau
mengambil keputusan dari pada para pejabat administrasi negara yang
berwenang dan berwajib menurut pendapatnya sendiri”.

22

d) Stanley de Smith
Diskresi (discretion) menurut Stanley de Smith dimaksudkan sebagai: ”...,
implies power to choose between alternative courses of action”.
e) Sjachran Basah
Diskresi adalah “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu” ataupun
juga merupakan”…., keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan,
walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dipertangungjawabkan,
baik secara moral maupun hukum”.
Sjachran Basah mengatakan bahwa diperlakukannya freies ermessem
oleh administrasi Negara itu:40
….dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif
sendiri… terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang
penting yang timbul secara tiba-tiba. Administrasi Negara terpaksa
bertindak cepat membuat penyelesaian, namun keputusan-keputusan
yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat
dipertanggungjawabkan.
Berbagai rumusan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar ilmu
Hukum Administrasi Negara tersebut, dapat kiranya diperoleh beberapa hal
penting mengenai diskresi, freies ermessen atau pouvoir discretionnaire, yaitu:
1) Merupakan salah satu bentuk kekuasaan;
2) Bersumber pada ketentuan perundang-undangan atau peraturan yang sah;
3) Diterapkan dalam dan untuk mencapai tujuan tertentu pada
penyelenggaraan fungsi-fungsi keadministrasian Negara;
4) Tindak pelaksanaannya lebih dilandasi oleh pertimbangan moral dari pada
hukum;
5) Tindak dan akibatnya harus dapa dipertanggungjawabkan secara moral dan
hukum.
6. Penyalahgunaan Wewenang

40 Jawade Hafidz Arsyat, Korupsi dalam Perspektif HAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman
25

23

Menurut hukum administrasi pengertian kewenangan (authority gezag)
adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap segolongan orang tertentu
maupun terhadap bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan
legislatif atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang”
(competence, bevoegdheid) hanyalah mengenai suatu bidang tertentu saja.
Berdasarkan hal tersebut, wewenang adalah kemampuan melakukan tindakan
hukum publik, atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak
yang diberikan undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan
hukum.41
Menurut hukum administrasi negara, setiap pemberian wewenang
kepada suatu badan atau kepada seorang pejabat administrasi negara selalu
disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga
penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud diberikannya
wewenang itu. Kemudian, apabila penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai
dengan “tujuan dan maksud” pemberian semula wewenang itu, maka
wewenang yang diambil tersebut merupakan “penyalahgunaan wewenang
(detournament de provoid)”.42
Sjachran Basah menilai detournement de pouvoir adalah perbuatan
yang menggunakan wewenang untuk mencapai kepentingan umum yang lain
dari pada kepentingan umum yang dimaksudkan oleh peraturan yang menjadi

41 SF. Marbun, Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung, (Yogyakarta: UII
Press, 2004) halaman 576
42 Ibid., halaman 577

24

dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak yang terkena atau perbuatan
untuk kepentingan diri sendiri, kepentingan orang lain atau golongan lain.43
Willem Konijnenbelt mengatakan dalam praktek peradilan konsep
penyalahgunaan wewenang itu kebanyakan diarahkan untuk pembatalan karena
bertentangan dengan undang-undang; ketika wewenang dari undang-undang itu
digunakan untuk tujuan yang menyimpang, ini berarti bahwa tindakan yang
dilakukan itu bertentangan dengan tujuan dari peraturan perundangundangan.44
Organ pemerintah yang menggunakan wewenang untuk tujuan lain
berarti telah menyalahgunakan wewenang. Jean Rivero dan Waline
mengatakan bahwa pengertian penyalahgunaan wewenang itu dapat diartikan
dalam 3 wujud, yaitu:45
1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2) Penyalahgunan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut
adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya;
3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

43 Sjachran Basah, Eksistensi.... dalam Ridwan, Diskresi dan Tanggung jawab Pemerintah,
(Yogyakarta: FH UII Pres, 2014) halaman 176
44 Willem Konijnenbelt, Resume Hoofdlinen van Administratief Recht, Tweede Druk, Lemma
B.V., Utrecht, 1990 halaman 54, dalam Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2014), halaman 177
45 ibid

25

Parameter

yang

digunakan

untuk

mengetahui

penyalahgunaan

wewenang dengan penyimpangan prosedur dibedakan di negara Belanda dan di
negara Indonesia. Parameter penyalahgunaan wewenang adalah asas
spesialitas, sedangkan penyimpangan prosedur parameternya peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara,
penyimpangan prosedur itu tergolong sebagai bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural.
7. Pejabat Publik
Istilah pejabat publik terdiri dari dua suku kata, yaitu “pejabat” dan
“publik”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberi pengertian
pejabat dengan pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur
pimpinan), sementara, istilah publik diartikan dengan orang banyak (umum).
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme :
“Pejabat publik atau pun disebut penyelenggara negara
adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.”
8. Situasi Darurat
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata darurat sebagai
keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan,

26

dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera. Secara yuridis, di
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana memang tidak ada pengertian mengenai situasi darurat, namun
situasi darurat dapat dipahami sebagai daya paksa yang terdapat di dalam Pasal
48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Pasal 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana menyatakan “Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Keadaan demikian (keadaan
darurat), yang haram menjadi halal, yang bukan hukum menjadi hukum, yaitu
onrecht word recht. Sebaliknya, yang semula haram menjadi halal, yang
semula sah secara hukum menjadi tidak sah karena dalam keadaan yang luar
biasa timbul hukum yang juga bersifat luar biasa atau abnormal recht in
abnormal tijd.46
E. METODE PENELITIAN
Metodologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “methodos”,
sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah kerja
untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.47
Mengenai pengertian penelitian yaitu penelitian (research), berarti pencarian
kembali. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan
yang benar (ilmiah) karena hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk
46 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat (Jakarta: Rajawali Pers, 2007)
47 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), halaman
45

27

menjawab permasalahan tertentu. Penelitian (research) merupakan upaya
pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa
dunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan
dan ketahui itu, tetaplah bukan kebenaran mutlak. Masih perlu diuji kembali. 48
Metodologi penelitian digunakan peneliti dengan maksud untuk memperoleh
data yang lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Menurut
Soerjono Soekanto, penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh
manusia

untuk

memperkuat,

membina

serta

mengembangkan

ilmu

pengetahuan.49
Mengingat terdapat berbagai macam keanekaragaman konsep hukum
itu, dan sehubungan dengan itu juga tersedia banyak metode yang setepatnya
dipakai, maka penelitian hukum dapatlah dibedakan antara penelitian hukum
yang doktrinal dan penelitian hukum yang nondoktrinal. Adapun penelitian
hukum yang doktrinal bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar
dengan pembuktian kebenaran yang dicari atau dari preskripsi-preskripsi
hukum yang tertulis di kitab-kitab undang-undang atau kitab-kitab agama
(tergantung keyakinan yang dianut), berikut ajaran atau doktrin yang
mendasarinya. Sementara, penelitian hukum yang non doktrinal bekerja untuk
menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang
dicari atau dari fakta-fakta sosial yang bermakna hukum sebagaimana tersimak
dalam kehidupan sehari-hari, atau pula fakta-fakta tersebut sebagaimana yang

48 Amirudin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), halaman 19
49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), halaman 3

28

telah terinterpretasi dan menjadi bagian dari dunia makna yang hidup di
lingkungan suatu masyarakat tertentu.50
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini digunakan metode pendekatan penelitian hukum
doktrinal. Penelitain hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas hukum
yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang
pengkonsep dan/atau sang pengembangnya. Metode doktrinal ini terlanjur
secara lazim disebut sebagai metode penelitian yang normatif di Indonesia,
untuk dilawankan dengan metode penelitian yang dikatakan empiris (yang di
dalam literatur inernasional disebut penelitian nondoktrinal).51 Dalam penelitian
ini dilakukan pengkajian terhadap diskresi dan tanggung jawab pejabat publik
pada pelaksanaan tugas dalam situasi darurat.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan memberikan gambaran secara rinci,
sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengaturan sanksi pidana dan sanksi administrasi negara dalam perundangundangan

di

Indonesia,

sedangkan

analitis

mengandung

makna

mengelompokkan, menghubungkan, membandingkan, dan memaknai dari
aspek tindak pidana korupsi. Penelitian ini adalah penelitian yang berusaha

50 Soetandyo Wignjosoebroto, Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), halaman 121
51 Ibid., halaman 121-122

29

memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan
atau gejala yang diteliti.52
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini adalah penelitian dalam
bidang ilmu hukum, maka spesifikasi penelitian deskriptif analitisnya adalah
menggambarkan masalah mengenai hukum, kemudian sistem hukum dan
kemudian menganalisanya sesuai dengan penelitian yang ingin dituju.
Penelitian penulisan hukum ini tergolong spesifikasi penelitian
deskriptif karena hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai penelitian penulisan hukum dengan judul
diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan tugas dalam
situasi darurat.
Berdasarkan dari hal-hal yang telah diuraikan, dikajilah secara
mendalam berdasarkan hukum tindak pidana korupsi dan hukum administrasi
negara, sehingga penelitian ini termasuk spesifikasi penelitian analitis.
3. Sumber Data
Dalam rangka mencari kebenaraan ilmiah yang obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan, peneliti berusaha mengumpulkan sumber data serta
fakta yang akurat dan aktual. Peneliti akan menggunkan data sekunder dan
primer yang diperoleh dengan cara sebagai berikut:
1) Data Sekunder

52 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), halaman 58

30

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan di bidang
hukum yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan masalah yang di teliti guna memperoleh landasan
ilmiah untuk menyusun penelitian hukum. Peraturan perundangundangan yang digunakan meliputi:
a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana;
c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
d) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
e) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
f) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
g) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintah.
b. Bahan Hukum Sekunder
Adapun bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat
menunjang peneliti dalam menjelaskan, menganalisis dan memahami
bahan hukum primer yang dalam penelitian ini berupa :

31

a) Buku-buku;
b) Hasil karya ilmiah para sarjana;
c) Jurnal;
d) Artikel;
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang
memberikan penjelasan secara rinci dari bahan hukum primer dan
sekunder. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini meliputi:
a) Kamus Hukum;
b) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan langkah terakhir dalam suatu kegiatan
penelitian. Analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif,
yaitu analisis data yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang
telah diperoleh dari penelitian dan disusun secara sistematis, kemudian ditarik
kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berfikir yang bersifat
dedukatif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat
umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus.53
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika pada penelitian penulisan hukum ini merupakan gambaran
dalam bentuk garis besar. Sistematika dituliskan dengan tujuan agar
mempermudah pembaca memahami isi penulisan hukum ini. Peneliti membagi
53 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali, 1990), halaman 1

32

penelitian penulisan ini ke dalam lima bab, yang mana pada setiap bab dibagi
lagi ke dalam beberapa sub-sub bab dengan sistematika yang diuraikan sebagai
berikut:
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab I ini akan diuraikan mengenai latar belakang ketertarikan peneliti
memilih judul penelitian penulisan hukum, permasalahan yang akan dikaji,
tujuan dilakukannya penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang
digunakan, serta sistematika penulisan dalam hasil penelitian ini.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini akan diuraikan tentang materi-materi yang berhubungan dengan
judul penelitian penulisan hukum Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat
Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat, diantaranya
mengenai

Pemerintahan,

Good

Governance,

Asas-Asas

Umum

Penyelenggaraan Negara yang Baik, Diskresi, Penyalahgunaan Wewenang,
Pejabat Publik, Hukum Administrasi Negara, Sanksi Administrasi, Hukum
Pidana. Tinjauan Pustaka merupakan landasan yang mendasari analisis
hasil penelitian yang mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang
diteliti.
3. BAB III PEMBAHASAN
Bab III ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian, yaitu memaparkan
data-data yang diperoleh dari hasil penelitian melalui studi kepustakaan.

33

4. BAB IV PENUTUP
Bab terakhir, yaitu bab IV akan dijelaskan mengenai kesimpulan serta
memberikan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang
ditelit dari penelitian penulisan hukum Diskresi dan Tanggung Jawab
Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat.
Kesimpulan tersebut diambil dari hasil pembahasan yang diuraikan
dalam Bab III mengenai pembahasan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Hukum Pidana
1. Pengertian Hukum Pidana
Mezger memberikan definisi hukum pidana sebagai aturan hukum yang
mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
suatu akibat yang berupa pidana. Hukum pidana berpokok kepada 2 (dua) hal,
yaitu:
1) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu perbuatan yang
dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana.

34

Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau
disingkat perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya maka
persoalan tentang perbuatan tertentu itu dip