ANALISIS LITERASI MATEMATIKA SISWA KELAS

ANALISIS LITERASI MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP DENGAN MODEL PBL PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) BERBANTUAN KARTU MASALAH

Proposal Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh: Erniza Prasetyo Rini 4101412059 JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN MATEMATIKA PROPOSAL SKRIPSI

NAMA : ERNIZA PRASETYO RINI NIM

PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN

: MATEMATIKA

JUDUL

Analisis Literasi Matematika Siswa Kelas VII SMP Dengan Model PBL Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Berbantuan Kartu Masalah

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa. Berdasarkan Permendikbud No. 22 tahun 2006 tujuan pengajaran matematika antara lain: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa. Berdasarkan Permendikbud No. 22 tahun 2006 tujuan pengajaran matematika antara lain: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat menuntut kita untuk siap menghadapi segala tantangan dan permasalahan yang muncul, sehingga menuntut dunia pendidikan termasuk matematika untuk selalu berkembang guna menjawab tantangan dalam menghadapi permasalahan tersebut. Namun, pada kenyataannya kemampuan siswa di Indonesia untuk menerapkan pengetahuan yang sudah mereka dapat di sekolah khususnya matematika tergolong masih sangat rendah.

Melihat betapa pentingnya kebermanfaatan pendidikan matematika dalam pembelajaran di sekolah, memang sungguh ironis dalam faktanya matematika justru menjadi salah satu pelajaran yang kurang disenangi. Matematika yang tujuan utamanya membentuk siswa dengan berbagai kemampuan di atas terbentengi terlebih dahulu oleh rasa takut yang ada pada diri siswa.

Berdasarkan observasi yang dilakukan, peneliti mendapatkan keterangan bahwa banyak siswa SMP yang mengeluh dikarenakan seringkali mengalami kesulitan dalam memahami soal-soal matematika sehingga siswa seringkali melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Selain itu, berdasarkan wawancara kepada salah satu guru matematika kelas VII, kesalahan yang sering dilakukan oleh siswa SMP N 1 Selogiri dalam mengerjakan materi geometri yaitu (a) kesalahan menuliskan apa yang diketahui, (b) kesalahan memahami apa yang ditanyakan, (c) kesalahan memahami konsep, (d) kesalahan menggunakan prinsip/sifat bangun datar, (e) kesalahan penggunaan rumus, (f) kesalahan melakukan Berdasarkan observasi yang dilakukan, peneliti mendapatkan keterangan bahwa banyak siswa SMP yang mengeluh dikarenakan seringkali mengalami kesulitan dalam memahami soal-soal matematika sehingga siswa seringkali melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Selain itu, berdasarkan wawancara kepada salah satu guru matematika kelas VII, kesalahan yang sering dilakukan oleh siswa SMP N 1 Selogiri dalam mengerjakan materi geometri yaitu (a) kesalahan menuliskan apa yang diketahui, (b) kesalahan memahami apa yang ditanyakan, (c) kesalahan memahami konsep, (d) kesalahan menggunakan prinsip/sifat bangun datar, (e) kesalahan penggunaan rumus, (f) kesalahan melakukan

Banyaknya kesalahan-kesalahan tersebut juga menunjukkan tingkat literasi matematis siswa masih rendah. Definisi literasi matematika menurut OECD:2010, p.4 (dalam Stacey, 2012) adalah “Mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ, and

interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts, and tools to describe, explain, and predict phenomena. It assist individuals to recognize the role that mathematics plays in the world and to make the well-founded judgments and decision needed by constructive, engaged, and reflective

citizens.” `

Berdasarkan definisi tersebut literasi matematika dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merumuskan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan, atau memperkirakan fenomena. Pentingnya literasi matematis ini, ternyata belum sejalan dengan prestasi siswa di Indonesia di mata Internasional. Hal ini ditunjukkan oleh hasil Programme for International Students Assesment (PISA) yang mengukur kemampuan anak usia 15 tahun dalam literasi membaca, matematika, dan sains. Pada awal tahun 2009 bahkan Indonesia menempati peringkat ke 61 dari 65 peserta (dalam Aini, 2013). Literasi matematika dalam PISA fokus kepada kemampuan siswa dalam menganalisis, memberikan alasan, dan menyampaikan ide secara efektif, merumuskan, memecahkan, dan menginterprestasi masalah-masalah matematika dalam berbagai bentuk dan situasi.

Analisis lebih lanjut kesalahan siswa ditinjau dari literasi matematika ialah akan bermuara dengan adanya pejelasan tentang sumber masalah

tersebut. Sumber kesalahan siswa harus segera mendapatkan pemecahan dan solusi yang tuntas. Berdasarkan observasi yang dilakukan didapatkan pula bahwa SMP tempat penelitian masih menggunakan kurikulum KTSP. Model pembelajaran yang digunakan pada SMP tempat penelitian juga masih menggunakan model ekspositori. Selanjutnya, peneliti memperoleh informasi bahwa rata-rata hasil belajar matematika siswa pada kompetensi-kompetensi dasar yang telah diajarkan guru belum mencapai KKM. Guru mempunyai peranan yang besar mengenai masalah tersebut. Guru bertanggung jawab untuk menyesuaikan situasi belajar dengan minat, latar belakang, dan kemampuan siswa. Oleh karena itu, pembelajaran yang dilakukan guru harus disesuaikan dengan tahap berpikir anak. Di samping itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah guru juga bertanggung jawab mengadakan evaluasi terhadap hasil belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat mendorong siswa aktif adalah model Problem Based Learning (PBL). Model PBL menurut Cazzola (dalam Fitriono, Yuli, Rochmad, Wardono, 2015) adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada kontruktivisme siswa dengan berdasarkan analisis, resolusi, dan diskusi tentang masalah yang diberikan. Pada model PBL, masalah yang diajukan oeh guru adalah permasalahan dunia nyata dan menarik sehingga siswa dilatih untuk memecahkan masalah yang membutuhkan pemikiran kreatif (Bilgin et al. , 2009). Menurut Nalole (2008) berkaitan dengan penyajian matematika yang diawali dengan sesuatu yang konkret di Belanda telah lama dikembangkan Realistic Mathematics Education (RME). RME tersebut mengacu pada pendapat Freudenthal bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Hal itu berarti bahwa matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan situasi sehari-hari.

Untuk menerapkan model pembelajaran dengan pendekatan RME diperlukan media pembelajaran atau alat bantu penunjang pembelajaran. Salah satu alat bantu penunjang pembelajaran yang dapat digunakan yaitu kartu Untuk menerapkan model pembelajaran dengan pendekatan RME diperlukan media pembelajaran atau alat bantu penunjang pembelajaran. Salah satu alat bantu penunjang pembelajaran yang dapat digunakan yaitu kartu

Dalam menyelesaikan masalah matematika selalu terjadi proses penyelesaian dengan menggunakan berbagai strategi. Strategi pemecahan masalah ini akan menunjukan tingkat kemampuan literasi matematika siswa yang berbeda. Perbedaan tingkat kemampuan literasi matematika ini akan menyebabkan jenis kesalahan yang berbeda pada setiap pengerjaan soal matematika yang diberikan.

Metode analisis kesalahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kesalahan Newman. Metode analisis kesalahan Newman diperkenalkan pertama kali pada tahun 1977 oleh Anne Newman, seorang guru mata pelajaran matematika di Australia. Pada metode ini, Newman menyarankan lima kegiatan yang spesifik sebagai sesuatu yang krusial untuk membantu menemukan di mana kesalahan berbentuk soal uraian, yaitu: (1) reading, (2) comprehension , (3) transformation, (4) process skill, (5) encoding.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti perlu melakukan penelitian dengan judul “Analisis Literasi Matematika Siswa Kelas VII SMP Dengan Model PBL Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Berbantuan Kartu Masalah .”

1.2 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup penelitian. Pembatasan masalah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1.2.1 Subjek penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Selogiri.

1.2.2 Kemampuan literasi matematika siswa khususnya pada pemecahan masalah shape and space pada materi geometri ”segiempat” siswa kelas VII SMP.

1.2.3 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Realistic Mathematics Education (RME).

1.2.4 Aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah kesalahan siswa dalam

menyelesaikan soal ditinjau dari tingkat kemampuan literasi siswa.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Apakah kemampuan literasi matematika dengan model PBL

pendekatan RME berbantuan kartu masalah tuntas secara klasikal?

1.3.2 Apakah kemampuan literasi matematika dengan model PBL pendekatan RME berbantuan kartu masalah lebih baik daripada kemampuan literasi matematika kelas ?

1.3.3 Apakah peningkatan kemampuan literasi matematika pada kelas yang mendapat model PBL dengan pendekatan RME berbantuan kartu masalah lebih tinggi daripada kemampuan literasi matematika dengan pembelajaran ?

1.3.4 Bagaimana kualitas model PBL dengan pendekatan RME berbantuan kartu masalah?

1.3.5 Apa saja jenis kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan soal kemampuan literasi matematika siswa dan penyebab terjadinya kesalahan?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Mengetahui kemampuan literasi matematika dengan model PBL

pendekatan RME berbantuan kartu masalah tuntas secara klasikal.

1.4.2 Mengetahui kemampuan literasi matematika dengan model PBL pendekatan RME berbantuan kartu masalah lebih baik daripada kemampuan literasi matematika kelas .

1.4.3 Mengetahui peningkatan kemampuan literasi matematika pada kelas yang mendapat model PBL dengan pendekatan RME berbantuan 1.4.3 Mengetahui peningkatan kemampuan literasi matematika pada kelas yang mendapat model PBL dengan pendekatan RME berbantuan

1.4.4 Mengetahui kualitas pembelajaran PBL dengan pendekatan RME berbantuan kartu masalah.

1.4.5 Mengetahui jenis kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan soal dari kemampuan literasi matematika siswa dan penyebab terjadinya kesalahan.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1.5.1 Guru Penelitian ini diharapkan membantu guru untuk memperoleh analisis dan gambaran detail mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan siwa SMP sesuai dengan kemampuan literasi matematis siswa. Cara yang sesuai tersebut nantinya diharapkan digunakan sebagai pedoman untuk menindaklanjuti langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi masalah tersebut sehingga pembelajaran selanjutnya menjadi lebih baik.

1.5.2 Siswa Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mengetahui bagaimana kecenderungan kesalahan-kesalahan yang diperbuat serta penyebab terjadinya kesalahan.

1.5.3 Peneliti Penelitian ini dimanfaatkan oleh peneliti sebagai pengalaman cara pembuatan karya ilmiah serta tata cara mengatasi kesalahan yang serupa jika peneliti menjadi guru kelak.

1.6 Penegasan Istilah

Penegasan istilah ini dimaksudkan untuk memperoleh pengertian yang sesuai dengan istilah dalam penelitian ini dan tidak menimbulkan Penegasan istilah ini dimaksudkan untuk memperoleh pengertian yang sesuai dengan istilah dalam penelitian ini dan tidak menimbulkan

1.6.1 Analisis Kesalahan Analisis kesalahan dalam penelitian ini adalah penyelidikan mengenai kesalahan dengan bantuan metode Newman dalam menyelesaikan masalah matematika.

1.6.2 Literasi Matematika Pengertian literasi matematika sebagaimana dikutip dalam laporan PISA 2012 (dalam Mahdiansyah, 2014) adalah kemampuan individu untuk merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Kemampuan ini mencakup penalaran matematis dan kemampuan menggunakan konsep-konsep matematika, prosedur, fakta, dan fungsi matematika untuk menggambarkan, menjelaskan, dan mempridiksi suatu fenomena (OECD, 2013).

1.6.3 Peningkatan Literasi Indikator peningkatan literasi matematika pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Ketuntasan belajar klasikal yang mana dalam penelitian ini, suatu kelas dikatakan telah mencapai ketuntasan belajar klasikal jika banyaknya peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar individual sekurang-kurangnya adalah %.

b. Rata-rata literasi matematika kelompok eksperimen lebih baik dari rata-rata kelas kontrol.

c. Kualitas pembelajaran berkategori minimal baik.

1.6.4 Masalah Matematika Masalah matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa soal-soal yang memuat pemecahan masalah dalam materi 1.6.4 Masalah Matematika Masalah matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa soal-soal yang memuat pemecahan masalah dalam materi

1.6.5 Segiempat Materi segiempat yang diteliti adalah materi keliling jajargenjang, persegi panjang, dan persegi serta luas jajargenjang, persegi panjang, dan persegi. Materi segiempat merupakan materi kelas VII berdasarkan kurikulum 2006.

1.6.6 Problem Based Learning

Model Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang keterampilan pemecahan masalah. Langkah- langkah dari PBL dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa, (2) mengorganisasikan siswa untuk meneliti, (3) membantu investigasi mandiri dan kelompok, (4) mengembangkan dan mempresentasikan, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.

1.6.7 RME ( Realistic Mathematic Education ) RME merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang mereka perlukn melalui penyelesaian permasalahan konstektual yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari. Bahan pelajaran yang disajikan berupa permasalahan kontekstual sesuai dengan kehidupan siswa.

1.6.8 Kartu Masalah Kartu masalah merupakan salah satu media pembelajaran. Media kartu masalah merupakan media pembelajaran atau perlengkapan yang termasuk dalam media grafis atau visual. Ide-ide matematika dapat dipelajai peseerta didik melalui instruksi-instruksi, pertanyaan- pertanyaan dan latihan yang ditulis pada kartu masalah. Melalui 1.6.8 Kartu Masalah Kartu masalah merupakan salah satu media pembelajaran. Media kartu masalah merupakan media pembelajaran atau perlengkapan yang termasuk dalam media grafis atau visual. Ide-ide matematika dapat dipelajai peseerta didik melalui instruksi-instruksi, pertanyaan- pertanyaan dan latihan yang ditulis pada kartu masalah. Melalui

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Hakikat Belajar dan Mengajar Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek interaksi tingkah laku. Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut: “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri sebagai hasil interaksi dengan l ingkungannya”. (Slameto, 2003:2).

Sedangkan definisi mengajar menurut Alvin W. Howard (dalam Slameto, 2003:32) adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah, attau mengembangkan skill, attitude, ideals (cita-cita), appreciations (penghargaan), dan knowledges. Dalam pengertian ini guru harus berusaha membawa perubahan tingkah laku yang baik atau berkecenderungan langsung untuk mengubah tingkah laku siswanya. Itu suatu bukti bahwa guru harus memutuskan membuat atau merumuskan tujuan. Untuk apa belajar itu? Juga harus memikirkan bagaimana bentuk cara penyajian dalam proses belajar mengajar itu? Bagaimana usaha guru menciptakan kondisi-kondisi, sehingga memungkinkan terjadi interaksi edukatif.

Dari definisi di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa belajar ialah suatu proses yang membawa perubahan dalam diri Dari definisi di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa belajar ialah suatu proses yang membawa perubahan dalam diri

2.1.2 Teori Belajar yang mendukung dalam penelitian ini antara lain:

a. Teori Belajar Piaget Piaget mengajukan empat konsep pokok dalam menjelaskan perkembangan kognitif. Keempat konsep pokok tersebut adalah skema, asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrum. Menurut Piaget sebagaimana dikutip oleh Rifai & Ani (2011:207) dalam belajar perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara subyek belajar. Menurut Piaget anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi anak secara aktif membangun tampilan dalam otak anak tentang lingkungan yang anak hayati. Selain itu perkembangan kognitiff anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata daripada bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Jika hanya menggunakan bahasa tanpa pengalaman sendiri, perkembangan kognitif anak cenderung mengarah ke verbalisme. Piaget dengan teori kontruktivisnya berpendapat bahwa pengetahuan akan dibentuk oleh siswa apabila siswa dengan objek/orang dan siswa selalu mencoba membentuk pengertian interaksi tersebut.

Dengan demikian, keterkaitan penelititan ini dengan pendekatan teori Piaget adalah belajar lewat interaksi sosial bahwa siswa melakukan pembelajaran diperkenankan untuk berkelompok kecil serta merangsang siswa untuk aktif bertanya dan berdiskusi untuk menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah yang diberikan.

b. Teori Belajar Menurut J. Bruner Menurut Bruner (dalam Slameto, 2003:11-12) belajar tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang tetapi untuk mengubah kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar lebih banyak dan mudah. Di dalam prose belajar Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamankan “discovery leaning environment”, ialah lingkungan di mana siswa dapat

melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip degan yang sudah diketahui. Dalam tiap lingkungan selalu ada bermacam-macam masalah, hubungan-hubungan dan hambatan yang dihayati oleh siswa secara berbeda-beda pada usia yang berbeda pula. Dalam lingkungan banyak hal yang dapat dapat dipelajari siswa, hal mana dapat digolongkan menjadi:

1) Enactive : seperti belajar naik sepeda, yang harus didahului dengan bermacam-macam keterampilan motorik,

2) Iconic : seperti mengenal jalan yang menuju ke pasar, mengingat di mana bukunya yang penting diletakkan,

3) Symbolic : seperti menggunakan kata-kata, menggunakan formula.

Dalam belajar guru perlu memperhatikan empat hal berikut:

1) Mengusahakan agar setiap siswa berpartisipasi aktif, minatnya perlu ditingkatkan, kemudian perlu dibimbing untuk mencapai tujuan tertentu;

2) Menganalisis struktur materi yang akan diajarkan dan juga perlu disajikan secara sederhana sehingga mudah dimengerti oleh siswa;

3) Menganalisis sequence . Guru mengajar, berarti membimbing siswa melalui urutan pernyataan-pernyataan dari suatu masalah sehingga siswa memperoleh pengertian dan dapat men- transfer apa yang sedang dipelajari;

Memberi reinforcement dan umpan balik ( feed-back ). Penguatan yang optimal terjadi pada waktu siswa mengetahui bahwa ia mengetahui jawabannya

2.1.3 Unsur-Unsur Belajar

a. Peserta didik. Istilah peserta didik dapat diartikan sebagai warga belajar dan peserta pelatihan yang sedang melakukan kegiatan belajar. Peserta didik memiliki organ penginderaan yang digunakan untuk menangkap rangsangan, otak yang digunakan untuk mentransformasikan hasil penginderaan ke dalam memori yang kompleks, dan syaraf atau otot digunakan untuk menampilkan kinerja yang menunjukkan apa yang telah dipelajari.

b. Rangsangan (stimulus),

yang merangsang penginderaan peserta didk diseebut stimulus. Agar peserta didik mampu belajar optimal, ia harus menfokuskan diri pada stimulus tertentu yang diminati.

peristiwa

c. Memori yang ada pada peserta didik berisi berbagai kemampuan yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dihasilkan dari kegiataan belajar sebelumnya.

d. Respon, tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi disebut respon. Peserta didik yang sedang mengamati stimulus akan mendorong memori memberikan respon terhadap stimulus tersebut.

Keempat unsur belajar tersebut digambarkan sebagai berikut. Kegiatan belajar akan terjadi pada diri peseta didik apabila terdapat interaksi antara stimulus dengan isi memori sehingga perilakunya berubah dari waktu ke waktu sebelum dan setelah adanya stimulus tersebut. Apabila terjadi perubahan perilaku, maka perubahan perilaku itu menjadi indikator bahwa peserta didik telah melakukan kegiatan belajar.

2.1.4 Hakikat Matematika Matematika pada mulanya diambil dari perkataan Yunani “mathematike” yang berarti “relating to learning” perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Perkataan maathematike berhubungan erat dengan sebuah kata lain yang serupa yaitu maathenein yang berarti belajar atau berpikir, yeng kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Menurut Hudojo (2005) menjelaskan bahwa matematika merupakan suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Oleh karena itu, matematika dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang penting dan diajarkan sejak sekolah dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Menurut Portman & Richardon, dalam prosiding internasional yang ditulis oleh Pacemska, bahwa matematika adalah ilmu yang digunakan di semua disiplin ilmu pengetahuan. Pacemska (2011) menyatakan bahwa: “Mathematics occupies a sp ecial place in the system of sciences,

because if we take into account the applicarion area of mathematics and the subject of her research, then the mathematics belongs to the group of natural sciences. Mathematics is used in all scientific disciplines, where it successfully solves their problems in computer technology as an component of modern times. Therefore,

mathematics is a specific and as a subject.”

Jadi menurut peneliti, matematika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak, diperoleh dengan penalaran secara induktif dan deduktif, serta mempunyai cara berpikit matematika yang prosesnya melalui abstraksi dan generalisasi. Matematika merupakan disiplin ilmu yang unik namun mampu menjadi ratu dari segala jenis ilmu pengetahuan.

2.1.5 Pembelajaran Matematika Menurut Bruner seperti dikutip oleh Suherman et al (2003: 43) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur- struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur- struktur.

Sedangkan menurut Suherman et al (2003:56-57), menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengamatan terhadap contoh-contoh dan bukan contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep. Selanjutnya dengan abstraksi ini, siswa dilatih untuk membuat perkiraan atau dugaaan berdasarkan kepada pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh khusus (generalisasi). Di dalam proses penalarannya dikembangkan pola pikir induktif maupun deduktif. Namun tentu kesemuanya itu harus disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran matematika. Dari pengertian di atas tampak bahwa pembelajaran matematika membutuhkan pelayanan yang optimal Sedangkan menurut Suherman et al (2003:56-57), menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengamatan terhadap contoh-contoh dan bukan contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep. Selanjutnya dengan abstraksi ini, siswa dilatih untuk membuat perkiraan atau dugaaan berdasarkan kepada pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh khusus (generalisasi). Di dalam proses penalarannya dikembangkan pola pikir induktif maupun deduktif. Namun tentu kesemuanya itu harus disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran matematika. Dari pengertian di atas tampak bahwa pembelajaran matematika membutuhkan pelayanan yang optimal

2.1.6 Model Problem Based Learning (PBL) Menurut Arends (dalam Wulandari, B., 2013) Problem Based Learning adalah pembelajaran yang memiliki esensi berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang auntentik dan bermakna kepada siswa. Sebagai tambahan, dalam PBL peran guru adalah menyodorkan berbagai masalah autentik sehingga jelas bahwa dituntut keaktifan siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sumber informasi tidak hanya dari guru akan tetapi dapat dri berbagai sumber. Guru di sini berperan sebagai fasilitator untuk mengarahkan permasalahan sehingga saat diskusi tetap fokus pada tujuan pencapaian kompetensi.

Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada dunia nyata ( real world ) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. Problem Based Learning adalah pegembangan kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam menyelesaikan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan sistemik untuk memecahkan masalah atau tantangan yang dibutuhksn dalam kehidupan sehari-hari (Amir, 2009).

Based Learning pembelajarannya lebih menggunakan proses belajar, di mana tugas guru harus menfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Guru dalam model ini berperan

Dalam pembelajaran

Problem Problem

Beberapa karakteristik proses Problem Based Learning menurut Tan (dalam Amir, 2009) di antaranya:

a. Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran

b. Masalah yang digunakan merupakan masalah nyata yang disajikan secara mengambang.

c. Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk. Solusinya menuntut siswa menggunakan dan mendapatkan konsep dari beberapa ilmu yang sebelumnya telah diajarkan atau lintas ilmu ke bidang lainnya.

d. Masalah membuat siswa tertantang mendapatkan pembelajaran di raanah pembelajaran yang baru.

e. Sangat mengutamakan belajar mandiri ( self diredted learning )

f. Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bevariasi, tidak dari satu sumber saja

g. Pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Siswa bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan, dan melakukan presentasi.

Model Problem Based Learning memiliki lima tahapan utama yaitu sebagai berikut:

Tahap Pembelajaran Kegiatan Guru Tahap 1

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, Orientasi

siswa pada menjelaskan logistic yang diperlukan, siswa pada menjelaskan logistic yang diperlukan,

Tahap 2 Guru membagi siswa ke dalam Mengorganisasi siswa

kelompok, membantu siswa mendefinisikan, dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.

Tahap 3 Guru mendorong siswa untuk Membimbing penyelidikan

mengumpulkan informasi yang individu maupun kelompok dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap 4

membantu siswa dalam Mengembangkan dan

Guru

merencanakan dan menyiapkan laporan, menyajikan hasil

dokumentas atau model, dan membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.

Tahap 5 Guru membantu siswa untuk melakukan Menganalisis

dan refleksi atau evaluasi terhadap proses mengevaluasi proses dan dan hasil penyelidikan yang mereka hasil pemecahan masalah

lakukan.

(Trianto, 2007) Tabel 2.1.6.1. Sintaks Model Problem Based Learning Tabel berikut ini akan menjelaskan hubungan antara karakteristik dari

PBL dengan komponen literasi matematika siswa:

Tabel 2.1.6.2. The relation between the chracteristics of PBL and the components of mathematics literacy capabilities (Istiandaru, Afif et al , 2014)

No The characteristics of PBL The components of mathematics with

realistic scientific literacy capabilities approach

1 Starting from

ill Students are able to realize the structured

the

problems and challenge and to understand the based on the real world problem situation context

(phenomenological exploration)

2 Using collaborative setting Students are able to device and promoting student’s strategies by discussing with their

contribution

peer

3 There are individual or group Students are able to realize the investigation

(guided challenge and to understand the reinvention)

through problem situation collecting information and observing 4 There are processes of Students are able to transform associating, representation, the rea world problem to the and mathematication

mathematics model. Students are able to associate and think logically.

5 There ae stage of developing Students are able to communicate and presenting to students the resukt of problem solving. production (communicating)

2.1.7 Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Pendidikan Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) merupakan pendekatan dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. RME banyak diwarnai oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Ada dua pandangan penting menurut Freudenthal yaitu matematika dihubungkan realitas dan matematika sebagai aktivitas manusia (Freudenthal, 1991). Freudenthal menyatakan bahwa Mathematics is human activity , karenanya pembelajaran matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia (Suherman et al., 2003:146). Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata seharri-hari.

Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari Pendidikan Matematika Realistik. Proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan (Knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa (Freudenthal, 1991). Kebermaknaan Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Penggunaan kata “realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti “ untuk dibayangkan” atau “to imagine”(Van den Heuvel-Panhuizen, 1998). Suatu masalah realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata ( real world problem ) dan bisa ditemukan dalam kehidupan siswa. Suatu masalah disebut “realistik” jika masalah tersebut dapat dibayangkan ( imaginable ) atau nyata ( real ) dalam pikiran siswa. Suatu cerita rekaan, permainan bahkan bentuk formal matematika bisa digunakan sebagai masalah realistik.(Wijaya, 2012: 21)

Sedangkan menurut Wubbels, et al ., sebagaimana dikutip oleh Yenni B Widjaja dan Heck (2003) mengemukakan bahwa:

The realistic mathematics education approach is based on a different point of view of mathematics education. The main difference with the mechanistic and structural approaches is that RME does not start from abstract principles or rules with the aim to learn to apply these in concrete situation.

RME is more than “using real life contexts in mathematics education”. Its main points are guided reinvention, didactical

phenomenology, and emergent models (Gravemeijer, 1998) sebagaimana dikutip Yenni B Widjaja dan Heck (2003).

Pembelajaran matematika realistik berpedoman pada 3 prinsip ( guided reinvention and progressive mathematizing, didactical phenomenology, self developed models ) dan 5 karakteristik (1) the use of context, (2) the use of models, bridging by vertical instrument, (3) student contribution, (4) interactivity and (5) intertwining (Treffer,1987).

2.1.8 Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik Menurut Gravemeijer, sebagaimana dikutip Murdani et al ., (2013) ada tiga prinsip kunci dalam mendesain pembelajaran matematika realistik yaitu sebagai berikut:

a. Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif ( guided reinvention and progressive mathematizing ) Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi secara progresif. Siswa harus di beri kesempatan untuk mengalami proses yang sama dalam membangun dan menemukan kembali tentang ide-ide dan konsep-konsep matematika. Maksud mengalami proses yang sama dalam hal ini adalah setiap siswa diberi kesempatan sama dalam merasakan situasi dan jenis masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi.

b. Fenomena yang bersifat mendidik ( didactical phenomenology ) Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Topik-topik ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak dalam proses matematika secara progresif, artinya prosedur, aturan dan model matematika yang harus dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukannya dari penyelesaian masalah kontekstual tersebut.

c. Mengembangkan sendiri model-model ( self-developed models ) Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Prinsip ini berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dengan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.

2.1.9 Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik Lima prinsip kunci RME dalam implementasinya melahirkan karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu : (1) the use of context, (2) the use of models, bridging by vertical instrument, (3) student contribution, (4) interactivity and (5) intertwining (Treffer,1987) penjelasan dari kelima karakteristik pembelajaran matematika realistik tersebut sebagai berikut .

a. Menggunakan masalah kontekstual ( the use of context ) Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual, tidak dimulai dengan sistem formal, sehingga memungkinkan a. Menggunakan masalah kontekstual ( the use of context ) Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual, tidak dimulai dengan sistem formal, sehingga memungkinkan

b. Menggunakan model ( use models, bridging by vertical instruments ) Pada pembelajaran dengan pendekatan RME, digunakan model yang dikembangkan sendiri oleh siswa dari situasi yang sebenarnya ( model of ). Model tersebut digunakan sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain. Setelah terjadi interaksi dan diskusi kelas, selanjutnya model ini berkembang dan diarahkan untuk menjadi model yang formal.

c. Menggunakan konstribusi siswa ( students contribution ) Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai. Kontribusi dapat berupa aneka jawab, aneka cara, atau aneka pendapat dari siswa

d. Interaktivitas ( interactivity )

Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam RME sehingga siswa mendapatkan manfaat positif dari interaksi tersebut. Bentuk-bentuk interaksi Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam RME sehingga siswa mendapatkan manfaat positif dari interaksi tersebut. Bentuk-bentuk interaksi

e. Terintegrasi dengan topik lainnya ( intertwining ) Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, oleh karena itu keterkaitan dan keintegrasian antar topik (unit pelajaran) maupun lintas displin ilmu harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang lebih bermakna, sehingga memunculkan pemahaman secara serentak. Intertwin dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.

2.1.10 Kartu Masalah Kartu masalah merupakan media pembelajaran atau perlengkapan yang termasuk dalam media grafis atau visual berupa kartu yang berisi soal pemecahan masalah. Ide-ide matematika dapat dipelajari siswa melalui instruksi-instruksi, pertanyaan-pertanyaan dan latihan yang ditulis pada kartu-kartu masalah berupa masalah kontekstual. Melalui kartu-kartu masalah, siswa akan menyerap konsep-konsep dan menyelesaikan masalah-masalah. Cara menyusun kartu masalah (kartu soal) harus memenuhi kriteria berikut.

a. Konsep matematika atau generalisasi merupakan tujuan.

b. Materi harus diarahkan ke menemukan konsep atau generalisasi.

c. Materi harus menarik.

d. Petunjuk yang ditulis di kartu harus jelas dan mudah diikuti siswa dan harus membawa siswa ke kesimpulan yang dikehendaki.

e. Tampilan kartu harus menarik, mengutamakan bentuk dan warna (Hudojo, 2003:106).

Keunggulan kartu masalah (kartu soal) adalah sebagai berikut.

a. Siswa akan gemar menyelesaikan masalah-masalah yang didasarkan pada pengalamannya sendiri karena dituntut mengerjakan menurut kemampuannya.

b. Prinsip psikologi terpenuhi yaitu konsep atau generalisasi berjalan dari hal yang konkret ke abstrak.

c. Siswa dapat menemukan konsep sehingga memungkinkan untuk mentransfer ke masalah lainnya yang relevan.

d. Meningkatkan aktivitas siswa, karena memungkinkan saling bekerja sama dalam arti pertukaran ide (Hudojo, 2003: 109).

Kelemahan kartu masalah (kartu soal) adalah sebagai berikut.

a. Metode ini menyebabkan proses belajar menjadi lambat.

b. Pekerjaan laboratoris secara murni, sebenarnya bukan jenis kerja matematika, karena jika dilaksanakan terpisah dengan pelajaran matematika dapat terjadi proses belajar tidak memberikan latihan berpikir matematika bagi siswa.

c. Tidak semua topik matematika dapat dikerjakan dengan metode laboratorium itu.

d. Guru hanya dapat mengawasi kelas yang kecil, karena guru harus memperhatikan individu.

e. Kecenderungan peserta didik saling mencontoh dan ini sangat sulit untuk dikontrol. Karena itu dikhawatirkan, belajar matematika hanya sekedar latihan ketrampilan (Hudojo, 2003:110).

2.1.11 Model Pembelajaran PBL Pendekatan Realistik Berbantuan Kartu Masalah Sintaks pembelajaran PBL dengan pendekatan realistik berbantuan kartu masalah sebagai berikut:

Tabel 2.1.11 Sintaks Pembelajaran Tahap

Aktivitas Siswa Dan Guru

1. Mengorientasikan

a. Guru menyampaikan kepada peserta didik

siswa tentang Standar terhadap masalah

Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan tujuan pembelajaran.

b. Guru memotivasi siswa dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan kehidupan siswa sehari-hari.

c. Guru memberikan masalah kontekstual berkaitan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan siswa, sesuai dengan materi dengan bantuan kartu masalah.

d. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya.

e. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru menjelaskan atau memberikan petunjuk seperlunya.

f. Menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai masalah awal dalam pembelajaran dan melakukan interaktivitas (menggunakan interaksi), dalam hal ini interaksi terjadi secara timbal balik antara guru dengan siswa dan antar sesama siswa.

2. Mengorganisasi

a. Meminta siswa untuk peserta didik untuk

memahami masalah belajar

kontekstual yang dipersiapkan guru.

b. Meminta siswa mendeskripsikan masalah kontekstual itu dengan b. Meminta siswa mendeskripsikan masalah kontekstual itu dengan

3. Membimbing

a. Siswa secara individual atau penyelidikan

kelompok, diminta individual maupun

menyelesaikan masalah kelompok

kontekstual pada LKPD dengan menggunakan alat peraga. (Sesuai dengan karakteristik RME yaitu menggunakan model)

b. Guru memotivasi siswa agar mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan- pertanyaan penuntun yang mengarahkan siswa dalam memperoleh penyelesaian soal.

c. Guru diharapkan tidak perlu memberi tahu penyelesaian soal atau masalah tersebut, sebelum siswa memperoleh penyelesaiannya sendiri.

4. Mengembangkan

a. Guru berkeliling dan dan

menyajikan memberikan bantuan terbatas hasil karya

kepada setiap kelompok. Bantuan ini dapat berupa penjelasan secukupnya (tanpa memberikan jawaban terhadap masalah yang sementara dihadapi siswa), dapat pula memberikan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa dan mengarahkan siswa untuk kepada setiap kelompok. Bantuan ini dapat berupa penjelasan secukupnya (tanpa memberikan jawaban terhadap masalah yang sementara dihadapi siswa), dapat pula memberikan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa dan mengarahkan siswa untuk

b. Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam kelompok kecil dengan teman sebangku (berpasangan) atau dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4 atau 5 siswa. Pada tahap ini karakteristik RME yang muncul adalah terjadinya interaktivitas, yakni interaksi antar siswa.

c. Siswa melaporkan hasil penyelesaian masalah atau hasil dari aktivitas kelompok,

d. Guru menentukan siswa tertentu atau kelompok tertentu untuk mempresentasikan hasil kerjanya.

e. Selanjutnya hasil dari diskusi kelompok itu dibandingkan pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru, untuk memformalkan konsep/definisi/prinsip matematika yang ditemukan siswa.

5. Menganalisis dan Guru mengarahkan siswa untuk mengevaluasi

menarik kesimpulan secara proses pemecahan formal tentang konsep, definisi, masalah

teorema, prinsip, cara atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual/soal yang baru diselesaikan. Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini adalah interaktivitas atau menggunakan teorema, prinsip, cara atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual/soal yang baru diselesaikan. Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini adalah interaktivitas atau menggunakan

2.1.12 Analisis Kesalahan Kegiatan analisis kesalahan dalam menyelesaikan masalah matematika perlu dilakukan agar kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dapat diketahui dan dapat ditindaklanjuti cara terbaik untuk memaksimalkan hasil belajar siswa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:60), analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaiman duduk perkaranya, dan sebagainya. Sedangkan kesalahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1248) adalah perihal salah, kekeliruan, kealpaan. Jadi analisis kesalahan adalah sebuah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mencari penyebab kesalahan atau kekeliruan tersebut.

Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu memahami kesalahan yang dialami siswanya beserta penyebab-penyebabnya kesalahan tersebut muncul. Dengan diketahuinya sumber masalah, guru dapat mengupayakan penyelesaian masalah tersebut. Pada pertengahan tahun 1970an seorang warga Negara Australia yang berprofesi sebagai guru matematika M. Anne Newman menemukan suatu hierarki dalam proses pemecahan soal mateatika yang sleanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk menganalisis kesalahan siswa. Menurut Newman sebagaimana dikutip oleh Singh (2010:265) mendifinisikan bahwa ada lima hierarki yang dibutuhkan seseorang untuk menyelesaikan soal atematika uraian. Kelima hierarki tersebut adalah reading, comprehension, transformation, procces skill, dan encoding. Prakitipong & Nakamura (2006) menyatakan bahwa keberhasilan di dua langkah awal ( reading dan comprehension ) dapat diartikan Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu memahami kesalahan yang dialami siswanya beserta penyebab-penyebabnya kesalahan tersebut muncul. Dengan diketahuinya sumber masalah, guru dapat mengupayakan penyelesaian masalah tersebut. Pada pertengahan tahun 1970an seorang warga Negara Australia yang berprofesi sebagai guru matematika M. Anne Newman menemukan suatu hierarki dalam proses pemecahan soal mateatika yang sleanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk menganalisis kesalahan siswa. Menurut Newman sebagaimana dikutip oleh Singh (2010:265) mendifinisikan bahwa ada lima hierarki yang dibutuhkan seseorang untuk menyelesaikan soal atematika uraian. Kelima hierarki tersebut adalah reading, comprehension, transformation, procces skill, dan encoding. Prakitipong & Nakamura (2006) menyatakan bahwa keberhasilan di dua langkah awal ( reading dan comprehension ) dapat diartikan