Anteseden dari Willingness To Pay Produk
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, persaingan antar produk – produk makanan / minuman kemasan makin
ketat. Hal ini dapat terjadi karena makin beragamnya jenis dan merek makanan /
minuman kemasan yang dapat menjadi pilihan bagi para konsumen. Selama ini
persaingan antar produsen menggunakan aspek kualitas sebagai salah satu faktor yang
ditonjolkan untuk memenangkan persaingan (Steenkamp et al., 2010). Namun saat ini,
ada beberapa faktor disamping kualitas yang dapat dijadikan faktor - faktor untuk
bersaing (Gerzema and Lebar, 2008).
Beberapa peneliti berargumentasi bahwa ada faktor – faktor disamping kualitas
produk yang juga berkontribusi terhadap keinginan orang untuk membeli makanan /
minuman kemasan dengan harga premium (Anselmsson et al., 2014). Oleh karena itu
pemasar produk makanan / minuman kemasan harga premium perlu mengetahui faktor
tersebut mengingat banyaknya produk sejenis dengan harga yang lebih murah.
Industri makanan / minuman kemasan di Indonesia saat ini sudah berkembang pesat.
Salah satu jenis makanan / minuman kemasan yang cukup berkembang adalah produk –
produk susu dan yogurt di pasaran Indonesia. Kementerian Perindustrian telah
menetapkan industri pengolahan susu sebagai salah satu industri yang akan terus
diprioritaskan pengembangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 28
Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Sehingga dengan dukungan ini,
persaingan antar produsen susu dan yogurt juga semakin pesat di Indonesia.
Salah satu minuman kemasan adalah yogurt dan susu cair. Yogurt merupakan susu
hasil fermentasi dengan bakteri. Yogurt memiliki beberapa manfaat seperti menetralkan
racun, mencegah diare, kanker, radang paru-paru, menguatkan jantung dan mengurangi
susah tidur. Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu
2
mamalia. Susu binatang (biasanya sapi) juga diolah menjadi berbagai produk seperti
mentega, yogurt, es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk
konsumsi manusia.
Dewasa ini, susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Untuk umur produktif, susu
membantu pertumbuhan mereka. Sementara itu, untuk orang lanjut usia, susu membantu
menopang tulang agar tidak keropos.
Dengan pengolahan dan manfaatnya . yogurt dan susu memiliki harga cukup tinggi.
Saat ini salah satu produsen yogurt dan susu ternama di Indonesia adalah Cimory
(Cisarua Mountain Dairy). Perusahaan ini memproduksi yogurt dan susu yang bersumber
dari peternakan sapi miliknya.
Selain itu, Cimory juga membuka restoran khusus bagi para konsumen yaitu Cimory
Resto. Restoran ini juga disertai toko produk – produk mereka dan juga tempat bermain
bagi anak – anak. Restoran ini ada di beberapa lokasi yaitu 2 restoran di Puncak, Bogor
dan 1 restoran di Semarang. Di area restoran tersebut juga terdapat peternakan sapi untuk
memproduksi yogurt dan susu Cimory. Sapi yang digunakan oleh Cimory untuk di perah
adalah sapi berjenis Fresian Hosteiner. Sapi tersebut berasal dari Belanda. Hasil perahan
susu sapi dibeli oleh perusahaan dengan harga 10% diatas harga pasaran. Yogurt Cimory
ini memiliki beberapa varian rasa seperti rasa buah mangga, berry, leci, anggur dan
strawberry.
Di tengah dominasi berbagai produk susu yogurt
hasil pabrikan perusahaan-
perusahaan besar yang telah mapan, Cimory adalah salah satu perusahaan lokal yang
mampu mendobrak dominasi enam produsen susu yogurt yang telah mapan tergabung
dalam Industri Pengolahan Susu (IPS) (www.kompasiana.com). Saat ini produk yogurt
Cimory memiliki beberapa pesaing di pasar. Mereka adalah Heavenly Blush, Yummy dan
Milkuat. Sementara itu, dalam pasaran susu, Cimory memiliki beberapa pesaing seperti
Ultramilk, Indomilk dan Bendera.
3
Berdasarkan penelitian Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014),terdapat
beberapa faktor yang menjadi anteseden konsumen untuk rela membeli produk makanan /
minuman kemasan dengan harga lebih tinggi yaitu Kualitas (Quality), Kesadaran
(Awareness), Keunikan (Uniqueness), Pandangan Masyarakat (Social Image), dan Asal
Produk (Origin).
Hasil penelitian ketiga peneliti tersebut menemukan bahwa semakin tinggi
Kesadaran (Awareness) dan persepsi konsumen akan kualitas (Quality) terhadap produk
makanan / minuman kemasan, maka mereka semakin bersedia membeli produk tersebut.
Disamping itu, asal produk tersebut (Origin) juga mempengaruhi keinginan konsumen
untuk membeli produk tersebut. Adapun, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
dengan mengkonsumsi merek tertentu maka citra diri seseorang akan meningkat di mata
orang lain (Social Image). Serta keunikan (Uniqueness) produk tersebut dibandingkan
dengan produk makanan / minuman kemasan sejenis, akan semakin membuat konsumen
mau membelinya.
Berdasarkan deskripsi diatas, peneliti bermaksud menganalisa pengaruh Quality,
Awareness, Uniqueness, Social Image dan Origin terhadap Willingness To Pay Price
Premium produk susu dan yogurt dalam kemasan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Apakah terdapat pengaruh positif quality, awareness, origin, social image, dan
uniqueness terhadap willingness to pay price premium ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh awareness terhadap willingness to
pay price premium.
4
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh quality terhadap willingness to
pay price premium.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh uniqueness terhadap willingness
to pay price premium.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh social image terhadap willingness
to pay price premium.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh country of origin
terhadap
willingness to pay price premium.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
a. Bagi pemasar hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan mengenai
strategi pemasaran untuk produk minuman kemasan susu dan yogurt yang tepat.
b. Bagi peneliti yang akan datang, hasil penelitian dapat dijadikan masukan untuk
penelitian mengenai makanan minuman kemasan susu dan yogurt berikutnya.
1.5 Sistematika Penulisan
Penelitian ini di bagi menjadi 5 bab sesuai dengan format tulisan yang berlaku di Fakultas
Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta. Adapun urutan lengkapnya adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab ini juga memuat sistematika pembahasan berupa uraian singkat mengenai
bab – bab dalam laporan penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
5
Berisikan tinjauan pustaka, termasuk hasil – hasil penelitian sebelumnya
sebagai landasan menyusun pemikiran dan landasan hipotesis untuk menjawab
masalah penelitian.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan tentang rancangan penelitian, variabel dan
pengukuran teknik pengumpulan data, uji instrumen penelitian serta metode
analisis data yang digunakan dalam melakukan penelitian.
BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian atas deskripsi data, analisis data, dan pembahasan hasil
penelitian.
BAB V : SIMPULAN, IMPLIKASI MANAJERIAL, KETERBATASAN
PENELITIAN DAN SARAN UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA
Bab ini di uraikan tentang pembahasan kesimpulan, keterbatasan penelitian,
dan implikasi penelitian yang berisi saran.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Awareness
Menurut Aaker (1991), awareness (kesadaran merek), menunjukkan kesanggupan
calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan
bagian dari kategori produk tertentu. Awareness merupakan salah satu elemen yang ikut
memberikan peran untuk menciptakan suatu nilai, yaitu dalam menimbulkan rasa
terbiasa yang menjadikan keterikatan kesukaan yang kadang-kadang dapat menjadi suatu
pendorong dalam membuat keputusan. Selain itu, kesadaran akan nama dapat
menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi suatu perusahaan.
Jika kualitas dua merek sama, awareness akan menjadi faktor yang menentukan dalam
keputusan pembelian konsumen.
Awareness merupakan komponen penting dari ekuitas merek yang menjelaskan
keberadaan merek didalam pikiran konsumen, yang dapat menjadi penentu dari beberapa
kategori produk (Aaker, 1991; Keller, 1993 dalam Javiland, Samiei, Mahdavinia, 2011)
kesadaran merek (awareness) dapat dibedakan menjadi dua jenis menurut Farris, et al
(2010), dalam Dhurup et al., 2014), yaitu :
1. Kesadaran dibantu, terjadi ketika konsumen disediakan beberapa daftar nama
merek dan pada saat itu mereka mengakui adanya merek dari daftar tersebut.
2. Kesadaran atas pikiran, terjadi ketika nama merek secara otomatis teringat
dalam pikiran konsumen, karena konsumen cepat menghubungkan merek
dengan kategori produk merek tersebut (Keller, 2008 dalam Dhurup et al.,
2014).
7
Awareness terdiri atas hasil brand recognition dan brand recall. Brand recognition
adalah kemampuan konsumen untuk mengkonfirmasi eksposur sebelumnya kepada
brand ketika brand diberikan bantuan. Brand recall adalah kemampuan konsumen untuk
mengingat brand dari memori ketika diberikan kategori produk (Kevin Lane Keller,
2008). Menurut Dolak, (2003) dalam Subhani dan Osman (2010), Brand awareness
terdiri dari :
1. Brand recognition, berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk
mengkonfirmasikan sebuah merek, ketika diberi petunjuk atau tanda. Pada
recognition ini membuat konsumen agar dapat membedakan brand, karena
sudah pernah mendengar atau melihat sebelumnya.
2. Brand recall performance, berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk
mengingat merek ketika diberi kategori produk, kebutuhan yang dipenuhi oleh
kategori produk. Pada saat ini harus membuat konsumen mengingat merek
dengan benar.
Ada empat level awareness menurut Shimp (2007), yaitu :
1. Unaware of Brand, Pada tingkatan ini seseorang tidak menyadari akan keberadaan
2.
suatu brand tertentu atau tidak mengenalnya.
Brand Recognition, Pada tingkatan ini, merupakan tingkatan paling rendah dari
awareness seseorang, yaitu seseorang mengenali suatu brand. Pengukuran brand
responden dimana kesadarannya diukur dengan diberikan bantuan berupa ciri-ciri
suatu produk.
3. Brand Recall, Tahapan ini lebih tinggi dibandingkan pada tahap recognition, pada
tahap ini seseorang diminta untuk menyebutkan nama-nama produk dalam suatu
kategori produk tertentu dan orang tersebut dapat mengingatnya tanpa adanya
bantuan.
4. Top of Mind, Tahapan dimana nama suatu merek atau brand disebutkan pertama
kali oleh seseorang ketika ditanya mengenai suatu kategori produk, yang berarti
brand tersebut berada pada posisi yang istimewa. Dalam pengertian sederhana,
8
merek tersebut menjadi pimpinan dalam benak konsumen tersebut dibandingkan
nama merek-merek lain.
Peter dan Olson (2000: 190) menyatakan bahwa awareness adalah sebuah tujuan
umum komunikasi untuk semua strategi promosi. Dengan menciptakan awareness,
pemasar berharap bahwa kapanpun kebutuhan kategori muncul, brand tersebut akan
dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai
alternatif dalam pengambilan keputusan. Peter dan Olson (2000: 190) menyatakan
tingkat awareness dapat diukur dengan meminta konsumen menyebutkan nama brand
yang mana yang dianggap akrab oleh konsumen. Apakah pengingatan ulang atau
awareness sudah mulai memadai tergantung pada di mana dan kapan suatu keputusan
pembelian dilakukan. Strategi yang tepat tergantung pada seberapa terkenal brand
tersebut. Kadang kala tujuan promosi adalah untuk memelihara tingkat awareness yang
sudah tinggi.
Awareness dibentuk oleh beberapa faktor, misalnya dengan adanya iklan dan word
of mouth (Hoyer & Brown, 1990). Brand awareness mempunyai pengaruh terhadap
pilihan konsumen. Hal itu berpengaruh dalam keputusan konsumen untuk membeli suatu
produk (Keller, 1993, 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Hoyer & Brown (1990)
menyebutkan bahwa awareness adalah taktik pilihan yang paling umum diantara
konsumen yang belum berpengalaman dalam membuat keputusan untuk mengkonsumsi
suatu produk. Konsumen yang sadar akan keberadaan suatu produk tertentu sebagai
pilihannya mencoba untuk memilih merek yang terkenal meskipun pilihannya itu
memiliki kualitas yang lebih rendah daripada merek lain yang juga belum diketahuinya.
Awareness adalah sejauh mana konsumen dapat mengenali produk tertentu (Yadin,
2002 dalam Sharifi, 2014). Awareness merupakan bagian penting dari pengetahuan
konsumen tentang sebuah merek, kekuatan kehadiran merek dalam pikiran konsumen
dan bagaimana dengan mudahnya pengetahuan tersebut dapat diingatkan kembali
9
didalam pikiran manusia (O’Guinn, Allen dan Semenik, 2009 dalam Dhurup, Mafini,
dan Dumasi, 2014). Pengertian diatas memungkinkan konsumen akan dengan mudah
mengakui keberadaan sebuah produk yang ada (Mowen dan Minor, 2001 dalam Dhurup
et al., 2014).
Pemasar dapat meningkatkan kesadaran merek konsumen terhadap suatu produk
melalui pengulangan iklan dan publisitas serta Awareness memiliki faktor – faktor
penting yaitu (Stryfom et al., 1995) :
1. Brand name (nama merek), merupakan pilihan yang sangat penting karena
pada waktu – waktu tertentu digunakan untuk memahami tema utama atau
kunci dari asosiasi produk dari merek. Nama – nama merek ini menjadi sebuah
kesuksesan komunikasi untuk produk merek tersebut. Dalam penamaan merek
di dalam sebuah produk haruslah unik, dapat dibedakan dari nama merek lain,
mudah diingat dan menarik bagi pelanggan.
2. Logo dan simbol, menjadi sebuah sejarah panjang yang menunjukan
identifikasi merek perusaahaan. Logo dan simbol merupakan cara mudah untuk
mengenali sebuah produk dari produk lainnya.
3. Perhatian, menjadi suatu peran yang digunakan dalam membantu konsumen
untuk mengambil keputusan, bila produk yang tidak menarik perhatian atau
sedikit menarik perhatian konsumen maka produk tersebut tidak akan dipilih
oleh konsumen. Jadi semakin banyak produk menarik perhatian konsumen
maka semakin besar kemungkinan akan dipilih..
4. Recoginition (pengakuan), sebagai sesuatu yang memungkinkan konsumen
untuk dengan cepat mengenali salah satu produk yang akrab atau yang disukai
oleh konsumen.
5. Packaging (kemasan),
untuk
memberikan
konsumen
informasi
yang
dibutuhkan dengan cepat dan efisien. Serta kecepatan konsumen dapat
menemukan dan mengenali produk sangat penting dalam menentukan
10
keputusan konsumen untuk membeli atau tidak membeli produk merek
tersebut.
Manfaat maksimal dari kesadaran merek (awareness) adalah dominasi merek
(brand domination), yang terjadi ketika didalam brand recall kebanyakan konsumen
hanya mengingat satu merek saja. Pada saat terjadi brand domination, maka telah terjadi
kesadaran utama pada konsumen terhadap sebuah merek (Akker, 1996).
2.1.2 Quality
Menurut Aaker (1997), quality merupakan persepsi konsumen terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dengan
maksud yang diharapkannya. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas
merek. Penting untuk dicatat bahwa kualitas produk adalah sumber daya perusahaan
yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1989).
Quality didefinisikan oleh Zeithaml (1988) sebagai penilaian (persepsi) konsumen
terhadap keunggulan suatu produk secara keseluruhan. Dibandingkan dengan
penggantinya. Dari definisi ini pula maka diketahui bahwa quality adalah kemampuan
produk untuk dapat diterima dalam memberikan kepuasan apabila dibandingkan secara
relatif dengan alternatif yang tersedia.
Quality yang tinggi menunjukkan bahwa konsumen telah menemukan perbedaan
dan kelebihan produk tersebut dengan produk sejenis setelah melalui jangka waktu yang
lama. Zeithaml menyatakan bahwa quality adalah komponen dari nilai merek oleh
karena itu quality yang tinggi akan mendorong konsumen untuk lebih memilih merek
tersebut dibandingkan merek pesaing.
Kotler (2000), dinyatakan bahwa perceived value adalah perbandingan antara total
benefit yang diterima pelanggan dan total biaya yang dikeluarkannya. Sementara
Woodruff dan Gardial (2000) menyatakan perceived value menguraikan hubungan antara
11
produk dan pelanggan yaitu pemahaman pelanggan mengenai apa yang mereka inginkan
dengan produk atau jasa yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkannya. Jadi produk dikatakan memiliki nilai yang tinggi,
jika sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan permintaan pelanggan.
Chomvilailuk dan Butcher (2010) mengemukakan bahwa persepsi kualitas
merupakan hal penting terhadap terjadinya suatu transaksi pembelian produk, kondisi ini
cenderung meningkatkan preferensi merek pada konsumen untuk memilih dan
menggunakan merek tertentu atas merek lain. Klasifikasi konsep dari quality dalam dua
kelompok faktor (Zeithaml : 1998) :
1. Intrinsic attributes, ialah faktor yang berhubungan dengan aspek – aspek fisik
dari sebuah produk.
2. Extrinsic attributes, ialah atribut yang berelasi terhadap produk, tetapi tidak
dalam bagian fisik sebuah produk.
Quality yang tinggi akan memotivasi konsumen untuk memilih merek meskipun
banyak merek pesaing (Netemeyer et al., 2004). Quality dapat dijelaskan sebagai
persepsi konsumen terhadap produk secara keseluruhan melalui kualitas dan kemewahan
(Zeithaml, 1988). Dengan kata lain quality adalah persepsi pelanggan terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa dibandingkan dengan
alternatif dan dalam kaitannya dengan tujuan yang dimaksudkan (Silayoi dan Speece,
2007). Menurut Romero, Stone, dan Grewal (1997), quality memiliki empat dimensi,
yaitu :
1. Kesempurnaan (flawlessness), dimensi dari kesan kualitas ini berkaitan dengan
kepercayaan indivdu tentang beberapa kecacatan yang ada pada suatu produk.
2. Ketahanan (durability), berkaitan dengan kepercayaan konsumen tentang
jangka hidup waktu dari suatu produk.
3. Penampilan (appearance), perceived quality juga dapat
didasarkan pada
stereotip konsumen mengenai atribut umum suatu produk dengan kualitas yang
tinggi. Penampilan dari produk tersebut bisa saja lebih disukai oleh konsumen
12
sekalipun produk tersebut tidak terlalu handal, dibandingkan dengan produk
yang lebih handal namun dengan penampilan yang tidak terlalu menarik.
4. Kekhususan (distinctiveness), merupakan aset intangible lain yang berasal dari
memiliki produk yang berkualitas tinggi yaitu kapasitas produk untuk
meningkatkan status dari pemiliknya melalui kekhasan, keunikan dan
kemewahannya.
Quality menurut Foster (2004) menjelaskan berdasarkan teori Garvin terdapat lima
aspek dalam membentuk dimensi kualitas suatu produk, yaitu :
1. Transcendent, dimana kualitas merupakan sesuatu yang secara intuitif
dimengerti namun nyaris mustahil untuk disampaikan, seperti kecantikan atau
cinta.
2. Product-based, dimana kualitas ditemukan dalam komponen dan atribut produk
tersebut.
3. User-based, yaitu apabila konsumen puas, berarti produk tersebut memiliki
kualitas yang baik.
4. Manufacturing-based, yaitu apabila produk memenuhi spesifikasi desainnya,
maka produk tersebut memiliki kualitas baik.
5. Value-based, apabila produk dipersepsikan sebagai pembawa nilai yang baik
sesuai dengan harganya, maka produk tersebut adalah produk yang berkualitas.
Menurut David Garvin (1987) ada delapan dimensi dalam quality :
1. Performance, mengacu pada efisiensi dimana pencapaian suatu produk sesuai
dengan tujuannya. Maksudnya sejauh mana produk dapat berfungsi
sebagaimana fungsi utama produk tersebut. Dimensi performance ini
merupakan hal terpenting bagi pelanggan dan hal terpenting bagi pelanggan
adalah apakah kualitas produk menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau
13
tidak, apakah pelayanan diberikan dengan cara yang benar atau tidak. Itu yang
terpenting.
2. Features, adalah atribut suatu produk yang meningkatkan performa dasarnya.
Maksudnya, suatu produk selain punya fungsi utama, biasanya juga dilengkapi
dengan fungsi-fungsi lain yang bersifat komplemen.
3. Reliability, mengacu pada kemampuan dan performa suatu produk untuk
konsisten.
4. Conformance, merupakan definisi paling tradisional dari kualitas. Saat produk
didesain, beberapa jumlah dimensi dari performa produk tersebut akan dinilai,
seperti kapasitas, kecepatan, ukuran, ketahanan, dan lain- lain.
5. Durability, adalah ketahanan sampai mana produk tersebut mampu mengatasi
tekanan atau trauma.
6. Serviceability, Dimensi ini melihat kualitas barang dari kemudahan untuk
pengoperasian produk dan kemudahan perbaikan maupun ketersediaan
komponen pengganti. Jadi dimensi ini terkait dengan sejauh mana kemudahan
produk untuk dapat dilakukan perawatan sendiri oleh penggunanya. Bila suatu
barang,
dalam
hal
perawatan
membutuhkan
perawatan
khusus
dan
membutuhkan pihak ketiga, maka dapat dikatakan service ability dari barang
tersebut relatif rendah.
7. Aesthetics, Dimensi ini melihat kualitas suatu barang dari penampilan, corak,
rasa, daya tarik, bau, selera, dan beberapa faktor lainnya mungkin menjadi
aspek penting dalam kualitas. Dimensi ini menyangkut keindahan, keserasian
atau kesesuaian yang membuat enak dipandang, atau dirasakan sehingga
memberikan suatu daya tarik tersendiri kepada konsumen.
8. Quality, Dimensi ini berbicara tentang kualitas dari sisi persepsi konsumen.
Persepsi konsumen tersebut dapat terkait nama besar atau reputasi perusahaan,
atau merek. Dari dimensi ini, kualitas adalah bagian terbesar dari kesan
pelanggan terhadap produk dan pelayanan
14
2.1.3 Uniqueness
Keunikan merupakan “sampai sejauh mana para pelanggan merasa bahwa sebuah
merek berbeda dengan merek pesaingnya”. (Netemeyer et al., 2004).
Menurut Ros (2004:131) ada 3 (tiga) keunikan yang harus dimiliki suatu produk
untuk bisa menghasilkan word of mouth secara positif dan terus-menerus antara lain:
1. Bentuk Produk
Bentuk produk adalah pola atau tekstur produk yang membedakannya
dengan produk pesaing. Bentuk produk yang unik akan memudahkan
konsumen dalam mengidentifikasi produk sehingga nantinya akan
memperkuat identifikasi merek produk tersebut. Bentuk produk juga dapat
mengkomunikasikan kepada konsumen tentang suatu produk sehingga
mudah untuk dikenali.
2. Rasa Produk
Rasa adalah tanggapan indra pengecap terhadap rangsangan saraf seperti
rasa manis, pahit, masam, asin atau panas, dingin. Rasa yang unik harus
mampu memberikan kepuasan saat dikonsumsi pertama kali dan
memberikan sesuatu yang lebih dari harapan. Ketika konsumen merasakan
manfaat dari suatu produk pada saat mengkonsumsi produk tersebut untuk
pertama kalinya otomatis akan memberikan kepuasan dan konsumen pasti
akan melakukan pembelian selanjutnya karena merasa terpuaskan pada saat
mengkonsumsi produk tersebut.
3. Kemasan Produk
Fungsi utama dari kemasan adalah untuk membungkus dan melindungi
produk. Saat ini, banyak faktor yang membuat kemasan menjadi alat
pemasaran yang penting. Persaingan yang meningkat dan banyaknya jenis
produk di rak toko eceran mengharuskan kemasan menampilkan tugas
pemasaran, mulai dari menarik perhatian, menjelaskan produk, hingga
membuat penjualan. Kemasan produk yang inovatif akan memberi
15
informasi dan membawa makna pada konsumen tentang apa yang tersirat
pada kemasan.
Menurut Snyder dan Fromkin (1980), seorang konsumen itu mendapatkan
dan memperlihatkan kepemilikan materil dengan tujuan membedakan diri dari
orang lain untuk meningkatkan persepsi keunikan diri dan meningkatkan citra
diri dihadapan publik. Dalam hal ini, konsumen memiliki 3 hal yang
didapatkan dari keunikan tersebut, yaitu :
1. Creative choice
Konsumen yang membeli suatu produk (barang / jasa) yang dapat
mengekspresikan keunikan diri mereka dan pilihan itu masih diterima
oleh publik.
2. Unpopular choice
Konsumen yang berani untuk memilih produk dan merek yang berbeda
dari biasanya, hingga berani untuk mengambil risiko dianggap aneh
oleh publik.
Ada baik dan buruknya untuk hal ini yaitu, jika dia berhasil membuat
publik menerima dirinya maka dia dianggap sebagai trendsetter, namun
jika gagal ia akan dianggap oleh publik memiliki selera / pilihan produk
yang buruk.
3. Avoidance of similarity
Konsumen yang menghindari suatu merek dan produk yang dianggap
sudah mainstream di kalangan banyak, oleh karena itu konsumen ini
memiliki cara untuk membuat dirinya unik dan berbeda dengan
memakai merek atau produk yang misalnya sudah jadul sehingga
mengembalikan keunikan diri mereka dan berbeda.
Keunikan adalah tindakan merancang satu set perbedaan yang berarti
untuk membedakan penawaran perusahaan dari penawaran pesaing. Menurut
Kotler dalam penawaran pasar dapat didiferensiasikan
menurut lima dimensi yaitu, produk, pelanggan, personil, saluran dan citra.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa strategi diferensiasi merupakan bagian
16
dari strategi bersaing generik.
Para penjual dapat membuat unik produknya dalam empat cara, yaitu :
perusahaan mendiferensiasikan produk atau jasa yang ditawarkan melalui
pemerkayaan fungsi produk (product function), perusahaan melakukan
diferensiasi pada bentuk produk (product feature), perusahaan mendifrensiasikan
produk melalui pengembangan atribut-atribut subjektif (subjective image) untuk
meluluhkan perasaan pelanggan dan perusahaan mengembangkan diferensiasinya
karena kebaikan alam yaitu yang disebut dengan keunggulan alamiah yang
diberikan oleh suatu lokasi tertentu (Varadarajan, 1986).
2.1.4 Social Image
Social image merupakan keseluruhan persepsi terhadap suatu merek yang dibentuk
dengan memproses informasi dari berbagai sumber sosial setiap waktu. Social image
dibangun berdasarkan kesan, pemikiran ataupun pengalaman yang dialami seseorang
terhadap suatu merek yang pada akhirnya akan membentuk sikap terhadap merek yang
bersangkutan (Setiadi, 2003: 180).
Social Image juga merupakan keseluruhan dari persepsi konsumen mengenai
merek tersebut, atau bagaimana cara mereka memandangnya, yang mungkin tidak serupa
dengan identitas merek (Temporal & Lee 2002: 51).
Dalam perilaku konsumen, konsumsi sebuah produk tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan fungsional dan psikologi, namun juga untuk memperoleh social image dan
penghargaan diri, menaikkan status sosial dan juga identitas diri (Elliot & Wattanusawan,
1998). Interaksi sosial dapat mengakibatkan perubahan dalam kebiasaan sosial yang
mempengaruhi pola dalam perilaku sosial, termasuk dalam pandangan akan status sosial
yang berakibat pada perilaku pembelian mereka (He et al., 2012).
Dalam menaikkan Social Image, memiliki dan menggunakan merek sebuah produk
merupakan faktor yang menonjol yang akan disadari oleh para konsumen (Atwal &
17
Williams, 2009). Menurut Keller (2009), social image adalah bagaimana sebuah merek
memenuhi kebutuhan psikologi dan/atau kebutuhan sosialnya.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa social image
adalah sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan oleh konsumen terhadap merek tertentu
berdasarkan pandangan orang sekitar. Social image dapat disampaikan melalui setiap
sarana komunikasi yang tersedia.
Faktor-faktor yang membentuk social image dalam kaitannya dengan asosiasi
merek menurut (Elliot & Wattanusawan, 1998):
a. Favorability of brand associations
Keberhasilan dari suatu program pemasaran tercermin dalam sebuah kreasi
asosiasi merek yang menarik, sehingga pembeli percaya bahwa merek yang
mempunyai atribut dan keuntungan tersebut akan dapat memuaskan kebutuhan
dan keinginan mereka sehingga terbentuklah sebuah perilaku positif terhadap
merek tersebut secara keseluruhan.
b. Strength of brand associations
Kekuatan dari suatu asosiasi akan menentukan pembentukan citra merek. Hal ini
juga tergantung pada bagaimana informasi masuk ke dalam ingatan pembeli dan
bagaimana kekuatan asosiasi tersebut bertahan sebagai sebuah bagian dari citra
merek.
c. Uniqueness of brand association
18
Inti dari penempatan merek adalah merek mempunyai keuntungan kompetitif
(persaingan) yang dapat dipertahankan atau proporsi penjualan yang unik yang
dapat mengikat pembeli sebagai suatu alasan yang memaksa untuk membeli
merek tertentu itu.
2.1.5 Origin
Origin adalah tempat dimana suatu produk diproduksi. Efek origin di negara maju
cenderung lebih kecil (Elliot dan Comoron, 1994). Menurut Schooler (1995),
menemukan bahwa negara asal sebuah produk dapat memengaruhi opini seseorang akan
produk tersebut. Pandangan konsumen akan negara asal produk dipengaruhi oleh nama
merek dan sumber daya negara tersebut (Han & Qualls, 1985). Semakin homogen
budaya sebuah negara, maka efek origin dalam sebuah produk semakin tinggi
(Noorderhaven dan Harzing, 2003). Sebuah produk dapat dinilai kualitasnya salah
satunya dengan melihat negara asal produk tersebut (Becker, 2000).
Di negara maju, masyarakat cenderung lebih tertarik untuk membeli produk lokal
daripada produk impor, karena mereka mengetahui kualitas produknya. Sedangkan
negara berkembang memiliki dampak origin lebih besar. Masyarakat negara berkembang
lebih menyukai produk dari luar negeri karena percaya memiliki kualitas yang tinggi.
Citra suatu negara dipandang sebagai suatu senyawa kontemporer dan anosiasi sejarah,
yang merupakan faktor dalam keputusan membeli baik dalam pencitraan dan dalam
representasi proporsional.
Reputasi suatu negara terhadap kategori produk cenderung lebih berpengaruh
daripada daya tarik secara keseluruhan (O’Shaunghnessy, 2000). Kadang persepsi origin
19
dapat mencakup seluruh produk suatu negara. Dalam suatu studi konsumen di Hong
Kong, produk Amerika dianggap sebagai produk yang prestisius, produk – produk
Jepang sebagai produk yang inovatif, dan produk – produk Cina yang murah (Siu dan
Chan, 1997). Namun demikian, bagi konsumen produk tertentu mungkin cenderung
kurang menggunakan informasi origin. Lascu dan Babb (1995) menemukan bahwa para
konsumen Polandia kurang tertarik pada produk origin jika mereka membeli barang
yang lebih murah atau produk yang sudah diterima oleh keluarga dan teman – teman.
Efek dari origin sering dijelaskan dalam tingkat pembangunan ekonomi negara asal
(Wang dan Lamb, 1983). Penelitian mengusulkan efek hierarki berdasarkan tingkat
pembangunan ekonomi, yang menunjukan bahwa evaluasi produk tertinggi cenderung
kepada negara dengan tingkat pembangunan yang tinggi, diikuti oleh negara – negara
industri baru, dan terendah untuk Eropa Timur atau negara – negara sosialis dan negara
berkembang. Pengamatan empiris dan percobaan telah menemukan bahwa origin dapat
memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi kualitas suatu produk (Shimp dan
Samiee, 1993) menemukan bahwa informasi country of origin lebih penting dalam
mempengaruhi penilaian kualitas produk daripada informasi merek atau harga.
Konsumen sering menggunakan persepsi citra suatu negara dalam evaluasi produk
ketika mereka tidak mampu mendeteksi kualitas sejati produk suatu negara. Oleh karena
itu mereka bisa berpaling kepada citra suatu negara untuk menyimpulkan kualitas
produk yang diketahui (Balestrini dan Gamble, 2006). Dari suatu segi pandangan
konseptual, country of image membangun pendekatan literatur pada dua tingkat yang
berbeda : (1) mewakili gambaran suatu negara, (2) mewakili gambaran suatu produk;
sebagian besar country of image mewakili gambaran suatu produk dan seringkali ukuran
gambaran produk dengan suatu negara tidak sesuai. Seringkali country of image
mempunyai arti yang mirip dengan pengaruh lingkungan persepsi negeri, stereotipikal
20
kepercayaan, sikap negeri umum dan negara evaluasi. Kondisi yang sama berlaku juga
untuk produk image yang mana sering dikenal sebagai produk kepercayaan, origin
kepercayaan, gambaran merek, sikap produk, produk country of origin, produk persepsi,
evaluasi produk, mutu produk, negeri mempengaruhi country image.
Kemungkinan setiap orang melakukan keputusan pembelian terhadap suatu produk
bisa jadi dipengaruhi oleh origin dari produk tersebut. Dalam situasi ini, konsumen
melihat hubungan produk tersebut dengan negara asal produk melalui beberapa aspek
yang mempengaruhi dan ada pada negara tersebut. Dalam proses pembelian, konsumen
tidak hanya memperhatikan tentang kualitas dan harga dari sebuah produk, tetapi juga
faktor lainnya seperti negara asal dari merek itu sendiri (Yasin NM et al, 2007). Menurut
Nagashima (1970), pengertian origin image adalah gambaran, reputasi, stereotip yang
dihubungkan oleh pengusaha dan konsumen akan negara asal sebuah produk. Gambaran
ini dibentuk oleh variabel – variabel seperti produk yang mewakili, karakteristik negara
tersebut, latar belakang ekonomi dan politik, serta sejarah dan budaya negara tersebut.
Proses informasi menciptakan teori bahwa konsumen menggunakan petunjuk suatu
produk itu sendiri, dimana cenderung dapat mempengaruhi perilaku pembelian mereka.
Pemasar dan peneliti perilaku konsumen umumnya menerima bahwa negara asal produk
atau merek adalah faktor penting yang mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen
(Khachaturian et al., 1990 dalam Schaefer A., 1997).
2.1.6 Willingness To Pay Price Premium
Willingness to pay price premium merupakan harga tertinggi yang disetujui oleh
pembeli untuk dibayarkan untuk kuantitas barang atau jasa yang diinginkan (Kalish dan
21
Nelson, 1991). Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk
mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam
analisis WTP didasarkan pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan
angkutan umum tersebut.
Dalam permasalahan transportasi WTP dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
1.
Produk yang ditawarkan/disediakan oleh operator jasa pelayanan transportasi;
2.
Kualitas
3.
Utilitas pengguna terhadap angkutan tersebut
4.
Perilaku Pengguna
dan
kuantitas
pelayanan
yang
disediakan;
Willingness to Pay atau kesediaan untuk membayar adalah kesediaan individu
untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya
alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP
dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk
membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar
sesuai degan kondisi yang diinginkan. WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari
sumberdaya alam dan jasa lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).
Menurut Syakya (2005) WTP adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui
pada level berapa seseorang mampu membayar biaya perbaikan lingkungan apabila ingin
lingkungan menjadi baik.
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penghitungan WTP untuk menghitung
peningkatan atau kemunduran kondisi lingkungan adalah:
22
1. Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi
dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.
2. Menghitung pengurangan atau penambahan nilai atau harga dari suatu barang
akibat semakin menurunnya atau meningkatnya kualitas lingkungan.
3. Melalui suatu survey untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan atau
untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.
Empat metode untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTP responden
(Hanley dan Spash, 1993), yaitu:
1. Metode Tawar Menawar (Bidding Game)
Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah
bersedia membayar / menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai
titik
awal
(starting
point).
Jika
“ya”
maka
besarnya
nilai
uang
diturunkan/dinaikkan sampai ke tingkat yang disepakati.
2. Metode Pertanyaan Terbuka (Open-Ended Question)
Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa
jumlah maksimal uang yang ingin dibayarkan atau jumlah minimal uang ingin
diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Kelebihan metode ini adalah
responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang
diberikan dan metode ini tidak menggunakan nilai awal yang ditawarkan
sehingga tidak akan timbul bias titik awal. Sementara kelemahan metode ini
adalah kurangnya akurasi nilai yang diberikan dan terlalu besar variasinya.
23
3. Metode Kartu Pembayaran (Payment Card)
Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai
nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan untuk menerima dimana
responden tersebut dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai
dengan preferensinya. Pada awalnya, metode ini dikembangkan untuk mengatasi
bias titik awal dari metode tawar-menawar. Untuk meningkatkan kualitas
metode ini terkadang diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan
nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi
barang lingkungan yang lain.
4. Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi (Close-Ended Referendum)
Metode ini menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan
apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk
memperoleh kualitas lingkungan tertentu apakah responden mau menerima atau
tidak sejumlah uang tersebut sebagai kompensasi atau diterimanya penurunan
nilai kualitas lingkungan. Menurut Whitehead (1994), WTP untuk konsumen
dan produsen dipengaruhi oleh :
a.
b.
c.
d.
Kuantitas dan kualitas atribut
Tingkat pendapatan
Selera
Faktor – faktor sosial ekonomi yang relevan
Rerangka Konseptual
Peter dan Olson (2000) menyatakan bahwa awareness adalah sebuah tujuan
umum komunikasi untuk semua strategi promosi. Dengan menciptakan awareness,
24
pemasar berharap bahwa kapanpun kebutuhan kategori muncul, brand tersebut akan
dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai
alternatif dalam pengambilan keputusan dan juga membuat konsumen rela membayar
lebih mahal untuk suatu produk.
Menurut Aaker (1997), quality merupakan persepsi konsumen terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dnegan
maksud yang diharapkannya. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas
merek.
Keunikan merupakan “sampai sejauh mana para pelanggan merasa bahwa sebuah
merek berbeda dengan merek pesaingnya” (Netemeyer et al., 2004). Aaker (1997)
mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) keunikan yang harus dimiliki suatu produk untuk
bisa menghasilkan word of mouth secara positif dan terus-menerus antara lain:
1. Memberi kemudahan kepada konsumen dalam mengidentifikasi produk.
2. Mampu memberikan kepuasan saat dikonsumsi pertama kali.
3. Mampu menarik perhatian konsumen dan menjelaskan produk.
Dalam perilaku konsumen, konsumsi sebuah produk tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan fungsional dan psikologi, namun juga untuk memperoleh social
image dan penghargaan diri, menaikkan status sosial dan juga identitas diri (Elliot &
Wattanusawan, 1998).
Menurut Schooler (1965), negara asal sebuah produk dapat memengaruhi opini
seseorang akan produk tersebut. Pandangan konsumen akan negara asal produk
dipengaruhi oleh nama merek dan sumber daya negara tersebut (Han & Qualls, 1985).
Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan
bahwa terdapat pengaruh akan Quality terhadap Willingness To Pay Premium Price.
Semakin baik kualitas produk yang diterima konsumen, maka akan semakin rela
konsumen untuk membeli produk walaupun dengan harga lebih tinggi. Juga adanya
pengaruh positif akan Awareness terhadap Willingness To Pay Premium Price, karena
semakin produk ini dikenal maka konsumen akan semakin rela untuk membeli produk
25
ini walaupun dengan harga lebih tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa Origin
berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price, yang menunjukkan
bahwa semakin baik image asal negara produk tersebut maka konsumen akan semakin
rela untuk membeli lebih mahal akan produk tersebut. Juga bahwa Uniqueness sebuah
produk berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price. Dengan ini,
maka semakin unik sebuah produk akan membuat konsumen semakin rela untuk
membeli produk tersebut walaupun dengan harga lebih tinggi. Social Image juga
berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price, sehingga semakin baik
anggapan orang akan konsumen karena membeli produk ini, maka konsumen akan
semakin rela untuk membeli produk ini walaupun dengan harga lebih tinggi.
Gambar 1.1.
Quality
Awareness
Origin
Uniquenes
s
Willingness
To Pay
Premium
Price
Social
Image
Pengembangan Hipotesis
Awereness dinyatakan sebagai kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi
sebuah merek dalam berbagai hal (Keller, 1993). Menurut Aaker (1996), awareness
merupakan salah satu pilar penting untuk membangun kesadaran konsumen akan produk
tersebut.
Menurut Anselmsson (2007), awareness telah dinyatakan mempengaruhi
secara positif terhadap sebuah merek. Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson
26
and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya pengaruh akan Awareness terhadap
Willingness To Pay Price Premium.
H1 : Terdapat pengaruh positif awareness terhadap willingness to pay price premium.
Dalam model brand equity, quality merupakan elemen utama (Aaker, 1996). Selain
itu, quality merupakan konsep yang menonjol dalam literatur pemasaran produk
makanan / minuman (Anselmsson et al., 2007). Penelitian menunjukan hubungan positif
antara quality dengan harga premium sebuah produk (Netemeyer et al., 2004). Penelitian
yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014)
menemukan bahwa
adanya pengaruh akan Quality terhadap Willingness To Pay Price Premium.
H2 : Terdapat pengaruh positif quality terhadap willingness to pay price premium.
Umumnya konsumen akan merespon lebih baik sebuah produk jika berasal dari
negara dengan pandangan yang baik (Maheswaran, 1994). Juga beberapa penelitian (Ger
et al., 1999; Gurhan-Canli dan Maheswaran, 2000) yang menyatakan negara asal sebuah
produk akan mempengaruhi kerelaan konsumen untuk membeli produk tersebut.
Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan
bahwa adanya pengaruh akan Origin terhadap Willingness To Pay Price Premium.
H3 : Terdapat pengaruh positif origin terhadap willingness to pay price premium.
Social image mempengaruhi respon konsumen akan beberapa kategori produk
(Lassar et al., 1995). Social image juga telah terbukti mempengaruhi pembelian produk
27
makanan / minuman dengan harga premium (Anselmsson et al., 2007). Penelitian yang
dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya
pengaruh Social Image terhadap Willingness To Pay Price Premium.
H4 : Terdapat pengaruh positif social image terhadap willingness to pay price premium.
Keunikan merupakan sejauh mana pelanggan merasa bahwa sebuah merek berbeda
dari merek dengan produk sejenis (Netemeyer et al., 2004). Penelitian telah menyatakan
adanya hubungan antara keunikan, harga premium dan loyalitas akan sebuah merek
(Kalra dan Goodstein, 1998). Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and
Johansson (2014)
menemukan bahwa adanya pengaruh akan Uniquenes terhadap
Willingness To Pay a Price.
H5 : Terdapat pengaruh positif uniqueness terhadap willingness to pay price premium.
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Anselmsson,
Bondesson, dan Johansson, (2014). Untuk menganalisis apakah ada pengaruh positif
Awareness, Quality, Uniqueness, Social Image, dan Origin terhadap Willingness to pay
price premium. Rancangan penelitian ini adalah pengujian hipotesis (hipotesis testing).
Pengujian hipotesis bertujuan untuk menguji hipotesis, yang umunya menjelaskan
tentang karakteristik hubungan – hubungan tertentu atau perbedaan – perbedaan antar
kelompok atau independensi dari dua faktor atau lebih dalam satu situasi (Hermawan
dan Kristaung, 2013).
3.2 Variabel dan Pengukuran
Terdapat 6 variabel dalam penelitian ini, yaitu (1) Awareness, (2) Quality, (3)
Origin, (4) Social Image, (5) Uniqueness, dan (6) Willingness To Pay Price Premium.
Alat ukur yang digunakan berupa item pernyataan. Item pernyataan yang diajukan
kepada konsumen menggunakan tipe skala interval dan dengan teknik skala ukuran
Skala Likert. Skala Likert menggunakan lima (5) poin pengukuran yaitu, angka 1 =
“Sangat Tidak Setuju”, angka 2 = “Tidak Setuju”, angka 3 = “Cukup Setuju”, angka 4 =
“Setuju”, angka 5 = “Sangat Setuju”.
29
Dalam penelitian ini, tiap variabel akan diukur dengan beberapa pernyataan yang
akan mewakili jawaban responden, yaitu :
a.
Awareness diukur dengan 5 item pernyataan yang diadaptasi dari
(Anselmsson, Bondesson and Johansson 2014), yakni :
1. Saya mengetahui merek ini.
2. Saya mengetahui bentuk produk (susu / yogurt) dengan merek ini.
3. Saya mengetahui manfaat produk (susu / yogurt) dengan merek ini.
4. Saya memiliki pendapat tersendiri mengenai produk (susu / yogurt)
merek ini.
5. Saya dapat mengenali merek ini dibanding produk (susu / yogurt)
sejenis.
b. Quality diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari (Anselmsson,
Bondesson and Johansson 2014), yakni :
1. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini dibuat dengan baik.
2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki standar
kualitas yang tinggi.
3. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki kualitas yang
terjaga
c. Origin diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari Anselmsson,
Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Merek ini benar – benar merek dari Indonesia
2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini diproduksi di Indonesia.
3. Bahan baku dari produk – produk (susu / yogurt) dengan merek ini
berasal dari Indonesia.
d. Social Image diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari
Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini membuat saya merasa
diterima di lingkungan saya.
2. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan meningkatkan
bagaimana saya akan dinilai orang.
3. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan membentuk kesan
diri saya yang baik di mata orang.
30
e. Uniqueness diukur dengan 4 item pernyataan yang diadaptasi dari
Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Merek ini berbeda dari merek lain dalam kategori
produk (susu /
yogurt) yang sama.
2. Merek ini benar – benar menonjol dalam kategori produk (susu /
yogurt) yang sama.
3. U3. Merek ini amat berbeda dibanding merek lain dalam kategori
produk (susu / yogurt) yang sama.
4. U4. Merek ini unik dibandingkan merek – merek lain dalam kategori
produk (susu / yogurt) sejenis.
f. Willingness to pay price premium diukur dengan 2 item pernyataan yang
diadaptasi dari Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Saya rela membayar lebih mahal untuk produk (susu / yogurt) merek ini
dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis.
2. Saya rela membayar jauh lebih mahal untuk merek ini dibanding merek
lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.
3.3 Sampel dan Pengumpulan Data
Metode penarikan sampel yang digunakan adalah teknik non-probability sampling
dengan prosedur purposive sampling. Prosedur purposive sampling adalah teknik
penentuan sampel dari populasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau memenuhi kriteria
tertentu (Hermawan dan Kristaung, 2013). Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 158 responden. Kriteria sampel
dalam penelitian ini adalah khusus responden yang pernah mengkonsumsi produk susu
dan, atau yogurt merek Cimory.
3.4 Profil Responden
Tabel 1
Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
31
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Total
Jumlah Responden
96
62
158
Persentase
60,8%
65,2%
100%
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden adalah laki –
laki yaitu sebanyak 96 orang dengan persentase sebesar 60.8% selebihnya adalah
perempuan yaitu sebanyak 62 orang dengan persentase sebesar 39.2%.
Tabel 2
Profil Responden Berdasarkan Usia
Usia
Jumlah Responden
18 - 21 tahun
23
22 - 25 tahun
22
25 - 28 tahun
8
> 28 tahun
105
Total
158
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Persentase
14,6%
13,9%
5,%
66,5%
100%
Berdasarkan tabel diatas dapat dikeathui bahwa mayoritas responden adalah yang
berusia > 28 tahun yaitu sebanyak 105 orang dengan persentase sebesar 66,5%.
Tabel 3
Profil Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan
Jumlah Responden
SMA / Sederajat
25
D3 / S1
102
S2
30
S3
1
Total
158
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Persentase
15,8%
64,6%
19%
0,6%
100%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan
terakhir adalah dijenjang D3 / S1 yaitu sebanyak 102 orang dengan persentase 64,6%.
Tabel 4
Profil Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Pekerjaan
PNS
Jumlah Responden
15
Persentase
9,5%
32
Pegawai Swasta
71
44,9%
Profesional
19
12%
Wiraswasta
12
7,6%
Ibu Rumah Tangga
6
3,8%
Mahasiswa/i
35
22,2%
Total
158
100%
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki
pekerjaan sebagai Pegawai Swasta sebanyak 71 orang dengan persentase sebesar 44,9%.
Tabel 5
Profil Responden Berdasarkan Pengeluaran Per Bulan
Pengeluaran Per Bulan
Jumlah Responden
Persentase
< Rp. 2.000.000
36
22,8%
Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000
21
13,3%
Rp. 4.000.000 - Rp. 5.000.000
16
10,1%
> Rp. 5.000.000
85
53,8%
Total
158
100%
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki
pengeluaran per bulan sebesar >Rp. 5.000.000 yaitu sebanyak 85 orang dengan
persentase 53,8%.
3.5 Uji Instrumen
Uji instrumen dilakukan dengan cara menguji validitas dan reliabilitas.
3.5.1 Uji Validitas
Uji validitas berkaitan dengan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah
semua pernyataan (indikator) penelitian yang diajukan untuk mengukur variabel
penelitian adalah valid. Validitas berarti sejauh mana skala pengukuran mampu
mengukur apa yang seharusnya diukur (Hermawan, 2003).
Pengujian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua
pernyataan (instrumen) penelitian yang diajukan untuk mengukur variabel penelitian
adalah va
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, persaingan antar produk – produk makanan / minuman kemasan makin
ketat. Hal ini dapat terjadi karena makin beragamnya jenis dan merek makanan /
minuman kemasan yang dapat menjadi pilihan bagi para konsumen. Selama ini
persaingan antar produsen menggunakan aspek kualitas sebagai salah satu faktor yang
ditonjolkan untuk memenangkan persaingan (Steenkamp et al., 2010). Namun saat ini,
ada beberapa faktor disamping kualitas yang dapat dijadikan faktor - faktor untuk
bersaing (Gerzema and Lebar, 2008).
Beberapa peneliti berargumentasi bahwa ada faktor – faktor disamping kualitas
produk yang juga berkontribusi terhadap keinginan orang untuk membeli makanan /
minuman kemasan dengan harga premium (Anselmsson et al., 2014). Oleh karena itu
pemasar produk makanan / minuman kemasan harga premium perlu mengetahui faktor
tersebut mengingat banyaknya produk sejenis dengan harga yang lebih murah.
Industri makanan / minuman kemasan di Indonesia saat ini sudah berkembang pesat.
Salah satu jenis makanan / minuman kemasan yang cukup berkembang adalah produk –
produk susu dan yogurt di pasaran Indonesia. Kementerian Perindustrian telah
menetapkan industri pengolahan susu sebagai salah satu industri yang akan terus
diprioritaskan pengembangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 28
Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Sehingga dengan dukungan ini,
persaingan antar produsen susu dan yogurt juga semakin pesat di Indonesia.
Salah satu minuman kemasan adalah yogurt dan susu cair. Yogurt merupakan susu
hasil fermentasi dengan bakteri. Yogurt memiliki beberapa manfaat seperti menetralkan
racun, mencegah diare, kanker, radang paru-paru, menguatkan jantung dan mengurangi
susah tidur. Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu
2
mamalia. Susu binatang (biasanya sapi) juga diolah menjadi berbagai produk seperti
mentega, yogurt, es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk
konsumsi manusia.
Dewasa ini, susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Untuk umur produktif, susu
membantu pertumbuhan mereka. Sementara itu, untuk orang lanjut usia, susu membantu
menopang tulang agar tidak keropos.
Dengan pengolahan dan manfaatnya . yogurt dan susu memiliki harga cukup tinggi.
Saat ini salah satu produsen yogurt dan susu ternama di Indonesia adalah Cimory
(Cisarua Mountain Dairy). Perusahaan ini memproduksi yogurt dan susu yang bersumber
dari peternakan sapi miliknya.
Selain itu, Cimory juga membuka restoran khusus bagi para konsumen yaitu Cimory
Resto. Restoran ini juga disertai toko produk – produk mereka dan juga tempat bermain
bagi anak – anak. Restoran ini ada di beberapa lokasi yaitu 2 restoran di Puncak, Bogor
dan 1 restoran di Semarang. Di area restoran tersebut juga terdapat peternakan sapi untuk
memproduksi yogurt dan susu Cimory. Sapi yang digunakan oleh Cimory untuk di perah
adalah sapi berjenis Fresian Hosteiner. Sapi tersebut berasal dari Belanda. Hasil perahan
susu sapi dibeli oleh perusahaan dengan harga 10% diatas harga pasaran. Yogurt Cimory
ini memiliki beberapa varian rasa seperti rasa buah mangga, berry, leci, anggur dan
strawberry.
Di tengah dominasi berbagai produk susu yogurt
hasil pabrikan perusahaan-
perusahaan besar yang telah mapan, Cimory adalah salah satu perusahaan lokal yang
mampu mendobrak dominasi enam produsen susu yogurt yang telah mapan tergabung
dalam Industri Pengolahan Susu (IPS) (www.kompasiana.com). Saat ini produk yogurt
Cimory memiliki beberapa pesaing di pasar. Mereka adalah Heavenly Blush, Yummy dan
Milkuat. Sementara itu, dalam pasaran susu, Cimory memiliki beberapa pesaing seperti
Ultramilk, Indomilk dan Bendera.
3
Berdasarkan penelitian Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014),terdapat
beberapa faktor yang menjadi anteseden konsumen untuk rela membeli produk makanan /
minuman kemasan dengan harga lebih tinggi yaitu Kualitas (Quality), Kesadaran
(Awareness), Keunikan (Uniqueness), Pandangan Masyarakat (Social Image), dan Asal
Produk (Origin).
Hasil penelitian ketiga peneliti tersebut menemukan bahwa semakin tinggi
Kesadaran (Awareness) dan persepsi konsumen akan kualitas (Quality) terhadap produk
makanan / minuman kemasan, maka mereka semakin bersedia membeli produk tersebut.
Disamping itu, asal produk tersebut (Origin) juga mempengaruhi keinginan konsumen
untuk membeli produk tersebut. Adapun, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
dengan mengkonsumsi merek tertentu maka citra diri seseorang akan meningkat di mata
orang lain (Social Image). Serta keunikan (Uniqueness) produk tersebut dibandingkan
dengan produk makanan / minuman kemasan sejenis, akan semakin membuat konsumen
mau membelinya.
Berdasarkan deskripsi diatas, peneliti bermaksud menganalisa pengaruh Quality,
Awareness, Uniqueness, Social Image dan Origin terhadap Willingness To Pay Price
Premium produk susu dan yogurt dalam kemasan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Apakah terdapat pengaruh positif quality, awareness, origin, social image, dan
uniqueness terhadap willingness to pay price premium ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh awareness terhadap willingness to
pay price premium.
4
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh quality terhadap willingness to
pay price premium.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh uniqueness terhadap willingness
to pay price premium.
4. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh social image terhadap willingness
to pay price premium.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh country of origin
terhadap
willingness to pay price premium.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
a. Bagi pemasar hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan mengenai
strategi pemasaran untuk produk minuman kemasan susu dan yogurt yang tepat.
b. Bagi peneliti yang akan datang, hasil penelitian dapat dijadikan masukan untuk
penelitian mengenai makanan minuman kemasan susu dan yogurt berikutnya.
1.5 Sistematika Penulisan
Penelitian ini di bagi menjadi 5 bab sesuai dengan format tulisan yang berlaku di Fakultas
Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta. Adapun urutan lengkapnya adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab ini juga memuat sistematika pembahasan berupa uraian singkat mengenai
bab – bab dalam laporan penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
5
Berisikan tinjauan pustaka, termasuk hasil – hasil penelitian sebelumnya
sebagai landasan menyusun pemikiran dan landasan hipotesis untuk menjawab
masalah penelitian.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan tentang rancangan penelitian, variabel dan
pengukuran teknik pengumpulan data, uji instrumen penelitian serta metode
analisis data yang digunakan dalam melakukan penelitian.
BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian atas deskripsi data, analisis data, dan pembahasan hasil
penelitian.
BAB V : SIMPULAN, IMPLIKASI MANAJERIAL, KETERBATASAN
PENELITIAN DAN SARAN UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA
Bab ini di uraikan tentang pembahasan kesimpulan, keterbatasan penelitian,
dan implikasi penelitian yang berisi saran.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Awareness
Menurut Aaker (1991), awareness (kesadaran merek), menunjukkan kesanggupan
calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan
bagian dari kategori produk tertentu. Awareness merupakan salah satu elemen yang ikut
memberikan peran untuk menciptakan suatu nilai, yaitu dalam menimbulkan rasa
terbiasa yang menjadikan keterikatan kesukaan yang kadang-kadang dapat menjadi suatu
pendorong dalam membuat keputusan. Selain itu, kesadaran akan nama dapat
menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi suatu perusahaan.
Jika kualitas dua merek sama, awareness akan menjadi faktor yang menentukan dalam
keputusan pembelian konsumen.
Awareness merupakan komponen penting dari ekuitas merek yang menjelaskan
keberadaan merek didalam pikiran konsumen, yang dapat menjadi penentu dari beberapa
kategori produk (Aaker, 1991; Keller, 1993 dalam Javiland, Samiei, Mahdavinia, 2011)
kesadaran merek (awareness) dapat dibedakan menjadi dua jenis menurut Farris, et al
(2010), dalam Dhurup et al., 2014), yaitu :
1. Kesadaran dibantu, terjadi ketika konsumen disediakan beberapa daftar nama
merek dan pada saat itu mereka mengakui adanya merek dari daftar tersebut.
2. Kesadaran atas pikiran, terjadi ketika nama merek secara otomatis teringat
dalam pikiran konsumen, karena konsumen cepat menghubungkan merek
dengan kategori produk merek tersebut (Keller, 2008 dalam Dhurup et al.,
2014).
7
Awareness terdiri atas hasil brand recognition dan brand recall. Brand recognition
adalah kemampuan konsumen untuk mengkonfirmasi eksposur sebelumnya kepada
brand ketika brand diberikan bantuan. Brand recall adalah kemampuan konsumen untuk
mengingat brand dari memori ketika diberikan kategori produk (Kevin Lane Keller,
2008). Menurut Dolak, (2003) dalam Subhani dan Osman (2010), Brand awareness
terdiri dari :
1. Brand recognition, berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk
mengkonfirmasikan sebuah merek, ketika diberi petunjuk atau tanda. Pada
recognition ini membuat konsumen agar dapat membedakan brand, karena
sudah pernah mendengar atau melihat sebelumnya.
2. Brand recall performance, berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk
mengingat merek ketika diberi kategori produk, kebutuhan yang dipenuhi oleh
kategori produk. Pada saat ini harus membuat konsumen mengingat merek
dengan benar.
Ada empat level awareness menurut Shimp (2007), yaitu :
1. Unaware of Brand, Pada tingkatan ini seseorang tidak menyadari akan keberadaan
2.
suatu brand tertentu atau tidak mengenalnya.
Brand Recognition, Pada tingkatan ini, merupakan tingkatan paling rendah dari
awareness seseorang, yaitu seseorang mengenali suatu brand. Pengukuran brand
responden dimana kesadarannya diukur dengan diberikan bantuan berupa ciri-ciri
suatu produk.
3. Brand Recall, Tahapan ini lebih tinggi dibandingkan pada tahap recognition, pada
tahap ini seseorang diminta untuk menyebutkan nama-nama produk dalam suatu
kategori produk tertentu dan orang tersebut dapat mengingatnya tanpa adanya
bantuan.
4. Top of Mind, Tahapan dimana nama suatu merek atau brand disebutkan pertama
kali oleh seseorang ketika ditanya mengenai suatu kategori produk, yang berarti
brand tersebut berada pada posisi yang istimewa. Dalam pengertian sederhana,
8
merek tersebut menjadi pimpinan dalam benak konsumen tersebut dibandingkan
nama merek-merek lain.
Peter dan Olson (2000: 190) menyatakan bahwa awareness adalah sebuah tujuan
umum komunikasi untuk semua strategi promosi. Dengan menciptakan awareness,
pemasar berharap bahwa kapanpun kebutuhan kategori muncul, brand tersebut akan
dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai
alternatif dalam pengambilan keputusan. Peter dan Olson (2000: 190) menyatakan
tingkat awareness dapat diukur dengan meminta konsumen menyebutkan nama brand
yang mana yang dianggap akrab oleh konsumen. Apakah pengingatan ulang atau
awareness sudah mulai memadai tergantung pada di mana dan kapan suatu keputusan
pembelian dilakukan. Strategi yang tepat tergantung pada seberapa terkenal brand
tersebut. Kadang kala tujuan promosi adalah untuk memelihara tingkat awareness yang
sudah tinggi.
Awareness dibentuk oleh beberapa faktor, misalnya dengan adanya iklan dan word
of mouth (Hoyer & Brown, 1990). Brand awareness mempunyai pengaruh terhadap
pilihan konsumen. Hal itu berpengaruh dalam keputusan konsumen untuk membeli suatu
produk (Keller, 1993, 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Hoyer & Brown (1990)
menyebutkan bahwa awareness adalah taktik pilihan yang paling umum diantara
konsumen yang belum berpengalaman dalam membuat keputusan untuk mengkonsumsi
suatu produk. Konsumen yang sadar akan keberadaan suatu produk tertentu sebagai
pilihannya mencoba untuk memilih merek yang terkenal meskipun pilihannya itu
memiliki kualitas yang lebih rendah daripada merek lain yang juga belum diketahuinya.
Awareness adalah sejauh mana konsumen dapat mengenali produk tertentu (Yadin,
2002 dalam Sharifi, 2014). Awareness merupakan bagian penting dari pengetahuan
konsumen tentang sebuah merek, kekuatan kehadiran merek dalam pikiran konsumen
dan bagaimana dengan mudahnya pengetahuan tersebut dapat diingatkan kembali
9
didalam pikiran manusia (O’Guinn, Allen dan Semenik, 2009 dalam Dhurup, Mafini,
dan Dumasi, 2014). Pengertian diatas memungkinkan konsumen akan dengan mudah
mengakui keberadaan sebuah produk yang ada (Mowen dan Minor, 2001 dalam Dhurup
et al., 2014).
Pemasar dapat meningkatkan kesadaran merek konsumen terhadap suatu produk
melalui pengulangan iklan dan publisitas serta Awareness memiliki faktor – faktor
penting yaitu (Stryfom et al., 1995) :
1. Brand name (nama merek), merupakan pilihan yang sangat penting karena
pada waktu – waktu tertentu digunakan untuk memahami tema utama atau
kunci dari asosiasi produk dari merek. Nama – nama merek ini menjadi sebuah
kesuksesan komunikasi untuk produk merek tersebut. Dalam penamaan merek
di dalam sebuah produk haruslah unik, dapat dibedakan dari nama merek lain,
mudah diingat dan menarik bagi pelanggan.
2. Logo dan simbol, menjadi sebuah sejarah panjang yang menunjukan
identifikasi merek perusaahaan. Logo dan simbol merupakan cara mudah untuk
mengenali sebuah produk dari produk lainnya.
3. Perhatian, menjadi suatu peran yang digunakan dalam membantu konsumen
untuk mengambil keputusan, bila produk yang tidak menarik perhatian atau
sedikit menarik perhatian konsumen maka produk tersebut tidak akan dipilih
oleh konsumen. Jadi semakin banyak produk menarik perhatian konsumen
maka semakin besar kemungkinan akan dipilih..
4. Recoginition (pengakuan), sebagai sesuatu yang memungkinkan konsumen
untuk dengan cepat mengenali salah satu produk yang akrab atau yang disukai
oleh konsumen.
5. Packaging (kemasan),
untuk
memberikan
konsumen
informasi
yang
dibutuhkan dengan cepat dan efisien. Serta kecepatan konsumen dapat
menemukan dan mengenali produk sangat penting dalam menentukan
10
keputusan konsumen untuk membeli atau tidak membeli produk merek
tersebut.
Manfaat maksimal dari kesadaran merek (awareness) adalah dominasi merek
(brand domination), yang terjadi ketika didalam brand recall kebanyakan konsumen
hanya mengingat satu merek saja. Pada saat terjadi brand domination, maka telah terjadi
kesadaran utama pada konsumen terhadap sebuah merek (Akker, 1996).
2.1.2 Quality
Menurut Aaker (1997), quality merupakan persepsi konsumen terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dengan
maksud yang diharapkannya. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas
merek. Penting untuk dicatat bahwa kualitas produk adalah sumber daya perusahaan
yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1989).
Quality didefinisikan oleh Zeithaml (1988) sebagai penilaian (persepsi) konsumen
terhadap keunggulan suatu produk secara keseluruhan. Dibandingkan dengan
penggantinya. Dari definisi ini pula maka diketahui bahwa quality adalah kemampuan
produk untuk dapat diterima dalam memberikan kepuasan apabila dibandingkan secara
relatif dengan alternatif yang tersedia.
Quality yang tinggi menunjukkan bahwa konsumen telah menemukan perbedaan
dan kelebihan produk tersebut dengan produk sejenis setelah melalui jangka waktu yang
lama. Zeithaml menyatakan bahwa quality adalah komponen dari nilai merek oleh
karena itu quality yang tinggi akan mendorong konsumen untuk lebih memilih merek
tersebut dibandingkan merek pesaing.
Kotler (2000), dinyatakan bahwa perceived value adalah perbandingan antara total
benefit yang diterima pelanggan dan total biaya yang dikeluarkannya. Sementara
Woodruff dan Gardial (2000) menyatakan perceived value menguraikan hubungan antara
11
produk dan pelanggan yaitu pemahaman pelanggan mengenai apa yang mereka inginkan
dengan produk atau jasa yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkannya. Jadi produk dikatakan memiliki nilai yang tinggi,
jika sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan permintaan pelanggan.
Chomvilailuk dan Butcher (2010) mengemukakan bahwa persepsi kualitas
merupakan hal penting terhadap terjadinya suatu transaksi pembelian produk, kondisi ini
cenderung meningkatkan preferensi merek pada konsumen untuk memilih dan
menggunakan merek tertentu atas merek lain. Klasifikasi konsep dari quality dalam dua
kelompok faktor (Zeithaml : 1998) :
1. Intrinsic attributes, ialah faktor yang berhubungan dengan aspek – aspek fisik
dari sebuah produk.
2. Extrinsic attributes, ialah atribut yang berelasi terhadap produk, tetapi tidak
dalam bagian fisik sebuah produk.
Quality yang tinggi akan memotivasi konsumen untuk memilih merek meskipun
banyak merek pesaing (Netemeyer et al., 2004). Quality dapat dijelaskan sebagai
persepsi konsumen terhadap produk secara keseluruhan melalui kualitas dan kemewahan
(Zeithaml, 1988). Dengan kata lain quality adalah persepsi pelanggan terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa dibandingkan dengan
alternatif dan dalam kaitannya dengan tujuan yang dimaksudkan (Silayoi dan Speece,
2007). Menurut Romero, Stone, dan Grewal (1997), quality memiliki empat dimensi,
yaitu :
1. Kesempurnaan (flawlessness), dimensi dari kesan kualitas ini berkaitan dengan
kepercayaan indivdu tentang beberapa kecacatan yang ada pada suatu produk.
2. Ketahanan (durability), berkaitan dengan kepercayaan konsumen tentang
jangka hidup waktu dari suatu produk.
3. Penampilan (appearance), perceived quality juga dapat
didasarkan pada
stereotip konsumen mengenai atribut umum suatu produk dengan kualitas yang
tinggi. Penampilan dari produk tersebut bisa saja lebih disukai oleh konsumen
12
sekalipun produk tersebut tidak terlalu handal, dibandingkan dengan produk
yang lebih handal namun dengan penampilan yang tidak terlalu menarik.
4. Kekhususan (distinctiveness), merupakan aset intangible lain yang berasal dari
memiliki produk yang berkualitas tinggi yaitu kapasitas produk untuk
meningkatkan status dari pemiliknya melalui kekhasan, keunikan dan
kemewahannya.
Quality menurut Foster (2004) menjelaskan berdasarkan teori Garvin terdapat lima
aspek dalam membentuk dimensi kualitas suatu produk, yaitu :
1. Transcendent, dimana kualitas merupakan sesuatu yang secara intuitif
dimengerti namun nyaris mustahil untuk disampaikan, seperti kecantikan atau
cinta.
2. Product-based, dimana kualitas ditemukan dalam komponen dan atribut produk
tersebut.
3. User-based, yaitu apabila konsumen puas, berarti produk tersebut memiliki
kualitas yang baik.
4. Manufacturing-based, yaitu apabila produk memenuhi spesifikasi desainnya,
maka produk tersebut memiliki kualitas baik.
5. Value-based, apabila produk dipersepsikan sebagai pembawa nilai yang baik
sesuai dengan harganya, maka produk tersebut adalah produk yang berkualitas.
Menurut David Garvin (1987) ada delapan dimensi dalam quality :
1. Performance, mengacu pada efisiensi dimana pencapaian suatu produk sesuai
dengan tujuannya. Maksudnya sejauh mana produk dapat berfungsi
sebagaimana fungsi utama produk tersebut. Dimensi performance ini
merupakan hal terpenting bagi pelanggan dan hal terpenting bagi pelanggan
adalah apakah kualitas produk menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau
13
tidak, apakah pelayanan diberikan dengan cara yang benar atau tidak. Itu yang
terpenting.
2. Features, adalah atribut suatu produk yang meningkatkan performa dasarnya.
Maksudnya, suatu produk selain punya fungsi utama, biasanya juga dilengkapi
dengan fungsi-fungsi lain yang bersifat komplemen.
3. Reliability, mengacu pada kemampuan dan performa suatu produk untuk
konsisten.
4. Conformance, merupakan definisi paling tradisional dari kualitas. Saat produk
didesain, beberapa jumlah dimensi dari performa produk tersebut akan dinilai,
seperti kapasitas, kecepatan, ukuran, ketahanan, dan lain- lain.
5. Durability, adalah ketahanan sampai mana produk tersebut mampu mengatasi
tekanan atau trauma.
6. Serviceability, Dimensi ini melihat kualitas barang dari kemudahan untuk
pengoperasian produk dan kemudahan perbaikan maupun ketersediaan
komponen pengganti. Jadi dimensi ini terkait dengan sejauh mana kemudahan
produk untuk dapat dilakukan perawatan sendiri oleh penggunanya. Bila suatu
barang,
dalam
hal
perawatan
membutuhkan
perawatan
khusus
dan
membutuhkan pihak ketiga, maka dapat dikatakan service ability dari barang
tersebut relatif rendah.
7. Aesthetics, Dimensi ini melihat kualitas suatu barang dari penampilan, corak,
rasa, daya tarik, bau, selera, dan beberapa faktor lainnya mungkin menjadi
aspek penting dalam kualitas. Dimensi ini menyangkut keindahan, keserasian
atau kesesuaian yang membuat enak dipandang, atau dirasakan sehingga
memberikan suatu daya tarik tersendiri kepada konsumen.
8. Quality, Dimensi ini berbicara tentang kualitas dari sisi persepsi konsumen.
Persepsi konsumen tersebut dapat terkait nama besar atau reputasi perusahaan,
atau merek. Dari dimensi ini, kualitas adalah bagian terbesar dari kesan
pelanggan terhadap produk dan pelayanan
14
2.1.3 Uniqueness
Keunikan merupakan “sampai sejauh mana para pelanggan merasa bahwa sebuah
merek berbeda dengan merek pesaingnya”. (Netemeyer et al., 2004).
Menurut Ros (2004:131) ada 3 (tiga) keunikan yang harus dimiliki suatu produk
untuk bisa menghasilkan word of mouth secara positif dan terus-menerus antara lain:
1. Bentuk Produk
Bentuk produk adalah pola atau tekstur produk yang membedakannya
dengan produk pesaing. Bentuk produk yang unik akan memudahkan
konsumen dalam mengidentifikasi produk sehingga nantinya akan
memperkuat identifikasi merek produk tersebut. Bentuk produk juga dapat
mengkomunikasikan kepada konsumen tentang suatu produk sehingga
mudah untuk dikenali.
2. Rasa Produk
Rasa adalah tanggapan indra pengecap terhadap rangsangan saraf seperti
rasa manis, pahit, masam, asin atau panas, dingin. Rasa yang unik harus
mampu memberikan kepuasan saat dikonsumsi pertama kali dan
memberikan sesuatu yang lebih dari harapan. Ketika konsumen merasakan
manfaat dari suatu produk pada saat mengkonsumsi produk tersebut untuk
pertama kalinya otomatis akan memberikan kepuasan dan konsumen pasti
akan melakukan pembelian selanjutnya karena merasa terpuaskan pada saat
mengkonsumsi produk tersebut.
3. Kemasan Produk
Fungsi utama dari kemasan adalah untuk membungkus dan melindungi
produk. Saat ini, banyak faktor yang membuat kemasan menjadi alat
pemasaran yang penting. Persaingan yang meningkat dan banyaknya jenis
produk di rak toko eceran mengharuskan kemasan menampilkan tugas
pemasaran, mulai dari menarik perhatian, menjelaskan produk, hingga
membuat penjualan. Kemasan produk yang inovatif akan memberi
15
informasi dan membawa makna pada konsumen tentang apa yang tersirat
pada kemasan.
Menurut Snyder dan Fromkin (1980), seorang konsumen itu mendapatkan
dan memperlihatkan kepemilikan materil dengan tujuan membedakan diri dari
orang lain untuk meningkatkan persepsi keunikan diri dan meningkatkan citra
diri dihadapan publik. Dalam hal ini, konsumen memiliki 3 hal yang
didapatkan dari keunikan tersebut, yaitu :
1. Creative choice
Konsumen yang membeli suatu produk (barang / jasa) yang dapat
mengekspresikan keunikan diri mereka dan pilihan itu masih diterima
oleh publik.
2. Unpopular choice
Konsumen yang berani untuk memilih produk dan merek yang berbeda
dari biasanya, hingga berani untuk mengambil risiko dianggap aneh
oleh publik.
Ada baik dan buruknya untuk hal ini yaitu, jika dia berhasil membuat
publik menerima dirinya maka dia dianggap sebagai trendsetter, namun
jika gagal ia akan dianggap oleh publik memiliki selera / pilihan produk
yang buruk.
3. Avoidance of similarity
Konsumen yang menghindari suatu merek dan produk yang dianggap
sudah mainstream di kalangan banyak, oleh karena itu konsumen ini
memiliki cara untuk membuat dirinya unik dan berbeda dengan
memakai merek atau produk yang misalnya sudah jadul sehingga
mengembalikan keunikan diri mereka dan berbeda.
Keunikan adalah tindakan merancang satu set perbedaan yang berarti
untuk membedakan penawaran perusahaan dari penawaran pesaing. Menurut
Kotler dalam penawaran pasar dapat didiferensiasikan
menurut lima dimensi yaitu, produk, pelanggan, personil, saluran dan citra.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa strategi diferensiasi merupakan bagian
16
dari strategi bersaing generik.
Para penjual dapat membuat unik produknya dalam empat cara, yaitu :
perusahaan mendiferensiasikan produk atau jasa yang ditawarkan melalui
pemerkayaan fungsi produk (product function), perusahaan melakukan
diferensiasi pada bentuk produk (product feature), perusahaan mendifrensiasikan
produk melalui pengembangan atribut-atribut subjektif (subjective image) untuk
meluluhkan perasaan pelanggan dan perusahaan mengembangkan diferensiasinya
karena kebaikan alam yaitu yang disebut dengan keunggulan alamiah yang
diberikan oleh suatu lokasi tertentu (Varadarajan, 1986).
2.1.4 Social Image
Social image merupakan keseluruhan persepsi terhadap suatu merek yang dibentuk
dengan memproses informasi dari berbagai sumber sosial setiap waktu. Social image
dibangun berdasarkan kesan, pemikiran ataupun pengalaman yang dialami seseorang
terhadap suatu merek yang pada akhirnya akan membentuk sikap terhadap merek yang
bersangkutan (Setiadi, 2003: 180).
Social Image juga merupakan keseluruhan dari persepsi konsumen mengenai
merek tersebut, atau bagaimana cara mereka memandangnya, yang mungkin tidak serupa
dengan identitas merek (Temporal & Lee 2002: 51).
Dalam perilaku konsumen, konsumsi sebuah produk tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan fungsional dan psikologi, namun juga untuk memperoleh social image dan
penghargaan diri, menaikkan status sosial dan juga identitas diri (Elliot & Wattanusawan,
1998). Interaksi sosial dapat mengakibatkan perubahan dalam kebiasaan sosial yang
mempengaruhi pola dalam perilaku sosial, termasuk dalam pandangan akan status sosial
yang berakibat pada perilaku pembelian mereka (He et al., 2012).
Dalam menaikkan Social Image, memiliki dan menggunakan merek sebuah produk
merupakan faktor yang menonjol yang akan disadari oleh para konsumen (Atwal &
17
Williams, 2009). Menurut Keller (2009), social image adalah bagaimana sebuah merek
memenuhi kebutuhan psikologi dan/atau kebutuhan sosialnya.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa social image
adalah sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan oleh konsumen terhadap merek tertentu
berdasarkan pandangan orang sekitar. Social image dapat disampaikan melalui setiap
sarana komunikasi yang tersedia.
Faktor-faktor yang membentuk social image dalam kaitannya dengan asosiasi
merek menurut (Elliot & Wattanusawan, 1998):
a. Favorability of brand associations
Keberhasilan dari suatu program pemasaran tercermin dalam sebuah kreasi
asosiasi merek yang menarik, sehingga pembeli percaya bahwa merek yang
mempunyai atribut dan keuntungan tersebut akan dapat memuaskan kebutuhan
dan keinginan mereka sehingga terbentuklah sebuah perilaku positif terhadap
merek tersebut secara keseluruhan.
b. Strength of brand associations
Kekuatan dari suatu asosiasi akan menentukan pembentukan citra merek. Hal ini
juga tergantung pada bagaimana informasi masuk ke dalam ingatan pembeli dan
bagaimana kekuatan asosiasi tersebut bertahan sebagai sebuah bagian dari citra
merek.
c. Uniqueness of brand association
18
Inti dari penempatan merek adalah merek mempunyai keuntungan kompetitif
(persaingan) yang dapat dipertahankan atau proporsi penjualan yang unik yang
dapat mengikat pembeli sebagai suatu alasan yang memaksa untuk membeli
merek tertentu itu.
2.1.5 Origin
Origin adalah tempat dimana suatu produk diproduksi. Efek origin di negara maju
cenderung lebih kecil (Elliot dan Comoron, 1994). Menurut Schooler (1995),
menemukan bahwa negara asal sebuah produk dapat memengaruhi opini seseorang akan
produk tersebut. Pandangan konsumen akan negara asal produk dipengaruhi oleh nama
merek dan sumber daya negara tersebut (Han & Qualls, 1985). Semakin homogen
budaya sebuah negara, maka efek origin dalam sebuah produk semakin tinggi
(Noorderhaven dan Harzing, 2003). Sebuah produk dapat dinilai kualitasnya salah
satunya dengan melihat negara asal produk tersebut (Becker, 2000).
Di negara maju, masyarakat cenderung lebih tertarik untuk membeli produk lokal
daripada produk impor, karena mereka mengetahui kualitas produknya. Sedangkan
negara berkembang memiliki dampak origin lebih besar. Masyarakat negara berkembang
lebih menyukai produk dari luar negeri karena percaya memiliki kualitas yang tinggi.
Citra suatu negara dipandang sebagai suatu senyawa kontemporer dan anosiasi sejarah,
yang merupakan faktor dalam keputusan membeli baik dalam pencitraan dan dalam
representasi proporsional.
Reputasi suatu negara terhadap kategori produk cenderung lebih berpengaruh
daripada daya tarik secara keseluruhan (O’Shaunghnessy, 2000). Kadang persepsi origin
19
dapat mencakup seluruh produk suatu negara. Dalam suatu studi konsumen di Hong
Kong, produk Amerika dianggap sebagai produk yang prestisius, produk – produk
Jepang sebagai produk yang inovatif, dan produk – produk Cina yang murah (Siu dan
Chan, 1997). Namun demikian, bagi konsumen produk tertentu mungkin cenderung
kurang menggunakan informasi origin. Lascu dan Babb (1995) menemukan bahwa para
konsumen Polandia kurang tertarik pada produk origin jika mereka membeli barang
yang lebih murah atau produk yang sudah diterima oleh keluarga dan teman – teman.
Efek dari origin sering dijelaskan dalam tingkat pembangunan ekonomi negara asal
(Wang dan Lamb, 1983). Penelitian mengusulkan efek hierarki berdasarkan tingkat
pembangunan ekonomi, yang menunjukan bahwa evaluasi produk tertinggi cenderung
kepada negara dengan tingkat pembangunan yang tinggi, diikuti oleh negara – negara
industri baru, dan terendah untuk Eropa Timur atau negara – negara sosialis dan negara
berkembang. Pengamatan empiris dan percobaan telah menemukan bahwa origin dapat
memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi kualitas suatu produk (Shimp dan
Samiee, 1993) menemukan bahwa informasi country of origin lebih penting dalam
mempengaruhi penilaian kualitas produk daripada informasi merek atau harga.
Konsumen sering menggunakan persepsi citra suatu negara dalam evaluasi produk
ketika mereka tidak mampu mendeteksi kualitas sejati produk suatu negara. Oleh karena
itu mereka bisa berpaling kepada citra suatu negara untuk menyimpulkan kualitas
produk yang diketahui (Balestrini dan Gamble, 2006). Dari suatu segi pandangan
konseptual, country of image membangun pendekatan literatur pada dua tingkat yang
berbeda : (1) mewakili gambaran suatu negara, (2) mewakili gambaran suatu produk;
sebagian besar country of image mewakili gambaran suatu produk dan seringkali ukuran
gambaran produk dengan suatu negara tidak sesuai. Seringkali country of image
mempunyai arti yang mirip dengan pengaruh lingkungan persepsi negeri, stereotipikal
20
kepercayaan, sikap negeri umum dan negara evaluasi. Kondisi yang sama berlaku juga
untuk produk image yang mana sering dikenal sebagai produk kepercayaan, origin
kepercayaan, gambaran merek, sikap produk, produk country of origin, produk persepsi,
evaluasi produk, mutu produk, negeri mempengaruhi country image.
Kemungkinan setiap orang melakukan keputusan pembelian terhadap suatu produk
bisa jadi dipengaruhi oleh origin dari produk tersebut. Dalam situasi ini, konsumen
melihat hubungan produk tersebut dengan negara asal produk melalui beberapa aspek
yang mempengaruhi dan ada pada negara tersebut. Dalam proses pembelian, konsumen
tidak hanya memperhatikan tentang kualitas dan harga dari sebuah produk, tetapi juga
faktor lainnya seperti negara asal dari merek itu sendiri (Yasin NM et al, 2007). Menurut
Nagashima (1970), pengertian origin image adalah gambaran, reputasi, stereotip yang
dihubungkan oleh pengusaha dan konsumen akan negara asal sebuah produk. Gambaran
ini dibentuk oleh variabel – variabel seperti produk yang mewakili, karakteristik negara
tersebut, latar belakang ekonomi dan politik, serta sejarah dan budaya negara tersebut.
Proses informasi menciptakan teori bahwa konsumen menggunakan petunjuk suatu
produk itu sendiri, dimana cenderung dapat mempengaruhi perilaku pembelian mereka.
Pemasar dan peneliti perilaku konsumen umumnya menerima bahwa negara asal produk
atau merek adalah faktor penting yang mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen
(Khachaturian et al., 1990 dalam Schaefer A., 1997).
2.1.6 Willingness To Pay Price Premium
Willingness to pay price premium merupakan harga tertinggi yang disetujui oleh
pembeli untuk dibayarkan untuk kuantitas barang atau jasa yang diinginkan (Kalish dan
21
Nelson, 1991). Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk
mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam
analisis WTP didasarkan pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan
angkutan umum tersebut.
Dalam permasalahan transportasi WTP dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
1.
Produk yang ditawarkan/disediakan oleh operator jasa pelayanan transportasi;
2.
Kualitas
3.
Utilitas pengguna terhadap angkutan tersebut
4.
Perilaku Pengguna
dan
kuantitas
pelayanan
yang
disediakan;
Willingness to Pay atau kesediaan untuk membayar adalah kesediaan individu
untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya
alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP
dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk
membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar
sesuai degan kondisi yang diinginkan. WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari
sumberdaya alam dan jasa lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).
Menurut Syakya (2005) WTP adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui
pada level berapa seseorang mampu membayar biaya perbaikan lingkungan apabila ingin
lingkungan menjadi baik.
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penghitungan WTP untuk menghitung
peningkatan atau kemunduran kondisi lingkungan adalah:
22
1. Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi
dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.
2. Menghitung pengurangan atau penambahan nilai atau harga dari suatu barang
akibat semakin menurunnya atau meningkatnya kualitas lingkungan.
3. Melalui suatu survey untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan atau
untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.
Empat metode untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTP responden
(Hanley dan Spash, 1993), yaitu:
1. Metode Tawar Menawar (Bidding Game)
Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah
bersedia membayar / menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai
titik
awal
(starting
point).
Jika
“ya”
maka
besarnya
nilai
uang
diturunkan/dinaikkan sampai ke tingkat yang disepakati.
2. Metode Pertanyaan Terbuka (Open-Ended Question)
Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa
jumlah maksimal uang yang ingin dibayarkan atau jumlah minimal uang ingin
diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Kelebihan metode ini adalah
responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang
diberikan dan metode ini tidak menggunakan nilai awal yang ditawarkan
sehingga tidak akan timbul bias titik awal. Sementara kelemahan metode ini
adalah kurangnya akurasi nilai yang diberikan dan terlalu besar variasinya.
23
3. Metode Kartu Pembayaran (Payment Card)
Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai
nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan untuk menerima dimana
responden tersebut dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai
dengan preferensinya. Pada awalnya, metode ini dikembangkan untuk mengatasi
bias titik awal dari metode tawar-menawar. Untuk meningkatkan kualitas
metode ini terkadang diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan
nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi
barang lingkungan yang lain.
4. Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi (Close-Ended Referendum)
Metode ini menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan
apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk
memperoleh kualitas lingkungan tertentu apakah responden mau menerima atau
tidak sejumlah uang tersebut sebagai kompensasi atau diterimanya penurunan
nilai kualitas lingkungan. Menurut Whitehead (1994), WTP untuk konsumen
dan produsen dipengaruhi oleh :
a.
b.
c.
d.
Kuantitas dan kualitas atribut
Tingkat pendapatan
Selera
Faktor – faktor sosial ekonomi yang relevan
Rerangka Konseptual
Peter dan Olson (2000) menyatakan bahwa awareness adalah sebuah tujuan
umum komunikasi untuk semua strategi promosi. Dengan menciptakan awareness,
24
pemasar berharap bahwa kapanpun kebutuhan kategori muncul, brand tersebut akan
dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai
alternatif dalam pengambilan keputusan dan juga membuat konsumen rela membayar
lebih mahal untuk suatu produk.
Menurut Aaker (1997), quality merupakan persepsi konsumen terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dnegan
maksud yang diharapkannya. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas
merek.
Keunikan merupakan “sampai sejauh mana para pelanggan merasa bahwa sebuah
merek berbeda dengan merek pesaingnya” (Netemeyer et al., 2004). Aaker (1997)
mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) keunikan yang harus dimiliki suatu produk untuk
bisa menghasilkan word of mouth secara positif dan terus-menerus antara lain:
1. Memberi kemudahan kepada konsumen dalam mengidentifikasi produk.
2. Mampu memberikan kepuasan saat dikonsumsi pertama kali.
3. Mampu menarik perhatian konsumen dan menjelaskan produk.
Dalam perilaku konsumen, konsumsi sebuah produk tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan fungsional dan psikologi, namun juga untuk memperoleh social
image dan penghargaan diri, menaikkan status sosial dan juga identitas diri (Elliot &
Wattanusawan, 1998).
Menurut Schooler (1965), negara asal sebuah produk dapat memengaruhi opini
seseorang akan produk tersebut. Pandangan konsumen akan negara asal produk
dipengaruhi oleh nama merek dan sumber daya negara tersebut (Han & Qualls, 1985).
Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan
bahwa terdapat pengaruh akan Quality terhadap Willingness To Pay Premium Price.
Semakin baik kualitas produk yang diterima konsumen, maka akan semakin rela
konsumen untuk membeli produk walaupun dengan harga lebih tinggi. Juga adanya
pengaruh positif akan Awareness terhadap Willingness To Pay Premium Price, karena
semakin produk ini dikenal maka konsumen akan semakin rela untuk membeli produk
25
ini walaupun dengan harga lebih tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa Origin
berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price, yang menunjukkan
bahwa semakin baik image asal negara produk tersebut maka konsumen akan semakin
rela untuk membeli lebih mahal akan produk tersebut. Juga bahwa Uniqueness sebuah
produk berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price. Dengan ini,
maka semakin unik sebuah produk akan membuat konsumen semakin rela untuk
membeli produk tersebut walaupun dengan harga lebih tinggi. Social Image juga
berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price, sehingga semakin baik
anggapan orang akan konsumen karena membeli produk ini, maka konsumen akan
semakin rela untuk membeli produk ini walaupun dengan harga lebih tinggi.
Gambar 1.1.
Quality
Awareness
Origin
Uniquenes
s
Willingness
To Pay
Premium
Price
Social
Image
Pengembangan Hipotesis
Awereness dinyatakan sebagai kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi
sebuah merek dalam berbagai hal (Keller, 1993). Menurut Aaker (1996), awareness
merupakan salah satu pilar penting untuk membangun kesadaran konsumen akan produk
tersebut.
Menurut Anselmsson (2007), awareness telah dinyatakan mempengaruhi
secara positif terhadap sebuah merek. Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson
26
and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya pengaruh akan Awareness terhadap
Willingness To Pay Price Premium.
H1 : Terdapat pengaruh positif awareness terhadap willingness to pay price premium.
Dalam model brand equity, quality merupakan elemen utama (Aaker, 1996). Selain
itu, quality merupakan konsep yang menonjol dalam literatur pemasaran produk
makanan / minuman (Anselmsson et al., 2007). Penelitian menunjukan hubungan positif
antara quality dengan harga premium sebuah produk (Netemeyer et al., 2004). Penelitian
yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014)
menemukan bahwa
adanya pengaruh akan Quality terhadap Willingness To Pay Price Premium.
H2 : Terdapat pengaruh positif quality terhadap willingness to pay price premium.
Umumnya konsumen akan merespon lebih baik sebuah produk jika berasal dari
negara dengan pandangan yang baik (Maheswaran, 1994). Juga beberapa penelitian (Ger
et al., 1999; Gurhan-Canli dan Maheswaran, 2000) yang menyatakan negara asal sebuah
produk akan mempengaruhi kerelaan konsumen untuk membeli produk tersebut.
Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan
bahwa adanya pengaruh akan Origin terhadap Willingness To Pay Price Premium.
H3 : Terdapat pengaruh positif origin terhadap willingness to pay price premium.
Social image mempengaruhi respon konsumen akan beberapa kategori produk
(Lassar et al., 1995). Social image juga telah terbukti mempengaruhi pembelian produk
27
makanan / minuman dengan harga premium (Anselmsson et al., 2007). Penelitian yang
dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya
pengaruh Social Image terhadap Willingness To Pay Price Premium.
H4 : Terdapat pengaruh positif social image terhadap willingness to pay price premium.
Keunikan merupakan sejauh mana pelanggan merasa bahwa sebuah merek berbeda
dari merek dengan produk sejenis (Netemeyer et al., 2004). Penelitian telah menyatakan
adanya hubungan antara keunikan, harga premium dan loyalitas akan sebuah merek
(Kalra dan Goodstein, 1998). Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and
Johansson (2014)
menemukan bahwa adanya pengaruh akan Uniquenes terhadap
Willingness To Pay a Price.
H5 : Terdapat pengaruh positif uniqueness terhadap willingness to pay price premium.
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Anselmsson,
Bondesson, dan Johansson, (2014). Untuk menganalisis apakah ada pengaruh positif
Awareness, Quality, Uniqueness, Social Image, dan Origin terhadap Willingness to pay
price premium. Rancangan penelitian ini adalah pengujian hipotesis (hipotesis testing).
Pengujian hipotesis bertujuan untuk menguji hipotesis, yang umunya menjelaskan
tentang karakteristik hubungan – hubungan tertentu atau perbedaan – perbedaan antar
kelompok atau independensi dari dua faktor atau lebih dalam satu situasi (Hermawan
dan Kristaung, 2013).
3.2 Variabel dan Pengukuran
Terdapat 6 variabel dalam penelitian ini, yaitu (1) Awareness, (2) Quality, (3)
Origin, (4) Social Image, (5) Uniqueness, dan (6) Willingness To Pay Price Premium.
Alat ukur yang digunakan berupa item pernyataan. Item pernyataan yang diajukan
kepada konsumen menggunakan tipe skala interval dan dengan teknik skala ukuran
Skala Likert. Skala Likert menggunakan lima (5) poin pengukuran yaitu, angka 1 =
“Sangat Tidak Setuju”, angka 2 = “Tidak Setuju”, angka 3 = “Cukup Setuju”, angka 4 =
“Setuju”, angka 5 = “Sangat Setuju”.
29
Dalam penelitian ini, tiap variabel akan diukur dengan beberapa pernyataan yang
akan mewakili jawaban responden, yaitu :
a.
Awareness diukur dengan 5 item pernyataan yang diadaptasi dari
(Anselmsson, Bondesson and Johansson 2014), yakni :
1. Saya mengetahui merek ini.
2. Saya mengetahui bentuk produk (susu / yogurt) dengan merek ini.
3. Saya mengetahui manfaat produk (susu / yogurt) dengan merek ini.
4. Saya memiliki pendapat tersendiri mengenai produk (susu / yogurt)
merek ini.
5. Saya dapat mengenali merek ini dibanding produk (susu / yogurt)
sejenis.
b. Quality diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari (Anselmsson,
Bondesson and Johansson 2014), yakni :
1. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini dibuat dengan baik.
2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki standar
kualitas yang tinggi.
3. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki kualitas yang
terjaga
c. Origin diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari Anselmsson,
Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Merek ini benar – benar merek dari Indonesia
2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini diproduksi di Indonesia.
3. Bahan baku dari produk – produk (susu / yogurt) dengan merek ini
berasal dari Indonesia.
d. Social Image diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari
Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini membuat saya merasa
diterima di lingkungan saya.
2. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan meningkatkan
bagaimana saya akan dinilai orang.
3. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan membentuk kesan
diri saya yang baik di mata orang.
30
e. Uniqueness diukur dengan 4 item pernyataan yang diadaptasi dari
Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Merek ini berbeda dari merek lain dalam kategori
produk (susu /
yogurt) yang sama.
2. Merek ini benar – benar menonjol dalam kategori produk (susu /
yogurt) yang sama.
3. U3. Merek ini amat berbeda dibanding merek lain dalam kategori
produk (susu / yogurt) yang sama.
4. U4. Merek ini unik dibandingkan merek – merek lain dalam kategori
produk (susu / yogurt) sejenis.
f. Willingness to pay price premium diukur dengan 2 item pernyataan yang
diadaptasi dari Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :
1. Saya rela membayar lebih mahal untuk produk (susu / yogurt) merek ini
dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis.
2. Saya rela membayar jauh lebih mahal untuk merek ini dibanding merek
lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.
3.3 Sampel dan Pengumpulan Data
Metode penarikan sampel yang digunakan adalah teknik non-probability sampling
dengan prosedur purposive sampling. Prosedur purposive sampling adalah teknik
penentuan sampel dari populasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau memenuhi kriteria
tertentu (Hermawan dan Kristaung, 2013). Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 158 responden. Kriteria sampel
dalam penelitian ini adalah khusus responden yang pernah mengkonsumsi produk susu
dan, atau yogurt merek Cimory.
3.4 Profil Responden
Tabel 1
Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
31
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Total
Jumlah Responden
96
62
158
Persentase
60,8%
65,2%
100%
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden adalah laki –
laki yaitu sebanyak 96 orang dengan persentase sebesar 60.8% selebihnya adalah
perempuan yaitu sebanyak 62 orang dengan persentase sebesar 39.2%.
Tabel 2
Profil Responden Berdasarkan Usia
Usia
Jumlah Responden
18 - 21 tahun
23
22 - 25 tahun
22
25 - 28 tahun
8
> 28 tahun
105
Total
158
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Persentase
14,6%
13,9%
5,%
66,5%
100%
Berdasarkan tabel diatas dapat dikeathui bahwa mayoritas responden adalah yang
berusia > 28 tahun yaitu sebanyak 105 orang dengan persentase sebesar 66,5%.
Tabel 3
Profil Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan
Jumlah Responden
SMA / Sederajat
25
D3 / S1
102
S2
30
S3
1
Total
158
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Persentase
15,8%
64,6%
19%
0,6%
100%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan
terakhir adalah dijenjang D3 / S1 yaitu sebanyak 102 orang dengan persentase 64,6%.
Tabel 4
Profil Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Pekerjaan
PNS
Jumlah Responden
15
Persentase
9,5%
32
Pegawai Swasta
71
44,9%
Profesional
19
12%
Wiraswasta
12
7,6%
Ibu Rumah Tangga
6
3,8%
Mahasiswa/i
35
22,2%
Total
158
100%
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki
pekerjaan sebagai Pegawai Swasta sebanyak 71 orang dengan persentase sebesar 44,9%.
Tabel 5
Profil Responden Berdasarkan Pengeluaran Per Bulan
Pengeluaran Per Bulan
Jumlah Responden
Persentase
< Rp. 2.000.000
36
22,8%
Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000
21
13,3%
Rp. 4.000.000 - Rp. 5.000.000
16
10,1%
> Rp. 5.000.000
85
53,8%
Total
158
100%
Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki
pengeluaran per bulan sebesar >Rp. 5.000.000 yaitu sebanyak 85 orang dengan
persentase 53,8%.
3.5 Uji Instrumen
Uji instrumen dilakukan dengan cara menguji validitas dan reliabilitas.
3.5.1 Uji Validitas
Uji validitas berkaitan dengan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah
semua pernyataan (indikator) penelitian yang diajukan untuk mengukur variabel
penelitian adalah valid. Validitas berarti sejauh mana skala pengukuran mampu
mengukur apa yang seharusnya diukur (Hermawan, 2003).
Pengujian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua
pernyataan (instrumen) penelitian yang diajukan untuk mengukur variabel penelitian
adalah va