Pengukuran Indeks Glikemik Roti Tawar Bengkuang (Pachyrhizus erosus)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kemajuan suatu negara ditandai dengan kualitas sumber daya manusianya
yang dicerminkan dari Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development
Index. Indikator indeks pembangunan manusia meliputi 3 dimensi dasar
pembangunan manusia, yaitu dimensi kesehatan yang dilihat dari angka harapan
hidup, dimensi pendidikan melalui penguasaan ilmu pengetahuan, dan dimensi
ekonomi berdasarkan standar kehidupan yang layak. Berdasarkan BPS (2010),
indeks pembangunan manusia di Indonesia menempati urutan 108 dari 169
negara. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia
Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara-negara lain.
Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang dihadapi bangsa
Indonesia. Indonesia masih dihadapkan oleh permasalahan gizi ganda yaitu gizi
kurang dan gizi lebih. Disatu sisi permasalahan gizi kurang belum dapat diatasi
namun sudah timbul permasalahan yang lain yaitu gizi lebih. Masalah gizi kurang
pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan,
kurangnya higiene sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sebaliknya, masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai
dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan
(Almatsier, 2009).
1
Universitas Sumatera Utara
2
Asupan makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi risiko penyakit
degeneratif, terutama pada penderita atau orang dengan risiko penyakit diabetes
mellitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain. Menurut WHO (2011)
sekitar 3,4 juta orang meninggal akibat konsekuensi dari tingginya gula darah
pada orang yang menderita diabetes mellitus dan lebih dari 80% kematian tersebut
terjadi di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah (Djuwita, 2012
dalam Na’imah, 2013). Berdasarkan laporan Riskesdas (2013), prevalensi diabetes
mellitus yang terdiagnosa dokter dengan gejala adalah 2,1% dari jumlah penduduk
usia >15 tahun.
Salah satu pendekatan yang saat ini berkembang dan terkait dengan
pengaturan pola makan terutama untuk mencegah obesitas dan penyakit diabetes
mellitus adalah konsep indeks glikemik. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004),
konsep ini menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat)
berdasarkan kecepatan naiknya kadar glukosa darah setelah pangan tersebut
dikonsumsi. Beberapa studi prospektif observasional menunjukkan bahwa diet
konsumsi yang berkepanjangan dengan tinggi beban glikemik secara independen
dapat mengembangkan penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga
kanker.
Indeks glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan
glukosa darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara
sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut
efeknya terhadap kadar glukosa darah (Foster-Powell 2002). Faktor- faktor yang
dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara lain cara pengolahan,
Universitas Sumatera Utara
3
perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar
serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti gizi- pangan (Rimbawan &
Siagan 2004).
Pemilihan jenis makanan dengan indeks glikemik rendah terbukti pada
banyak penelitian sebagai proteksi terhadap timbulnya diabetes mellitus pada
orang sehat serta pertimbangan dalam penyusunan diet penyandang diabetes
mellitus. Diet dengan indeks glikemik yang rendah lebih baik dibandingkan
dengan yang tinggi dalam hal pengontrolan glukosa darah dan dalam jangka
panjang akan mengurangi komplikasi menahun (Argasasmita, 2008). Saat ini
banyak orang non diabetes mellitus juga mengunakan indeks glikemik sebagai
cara memilih makanan untuk dikonsumsi bagi kesehatan, penurunan berat badan,
dan performa (Barclay et al, 2008 dalam Ningrum, 2011).
Umbi-umbian merupakan salah satu bahan pangan alternatif sumber
karbohidrat yang berpotensi memiliki indeks glikemik rendah. Beberapa hasil
penelitian yang difokuskan untuk meneliti indeks glikemik umbi-umbian, salah
satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2011) menyatakan
bahwa umbi sukun kukus, sukun goreng, sukun rebus dan kukis sukun yaitu
masing-masing memiliki nilai indeks glikemik sebesar 89, 82, 85 dan 80.
Menurut Lukitaningsih (2012) dalam Sundari (2014), umbi walur memiliki nilai
indeks glikemik sangat rendah yaitu 16,9 kemudian diikuti umbi porang dengan
nilai indeks glikemik sebesar 20,6 dan umbi gayong sebesar 20,8 sedangkan
nilai indeks glikemik umbi uwi dan suweg masing-masing yaitu sebesar 23,1 dan
68,8.
Universitas Sumatera Utara
4
Dari beberapa jenis umbi-umbian yang ada di Indonesia, umbi bengkuang
masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit untuk industri bahan pangan.
Potensi gizi umbi bengkuang cukup baik, ini dapat dilihat pada setiap 100 gram
bengkuang mengandung energi 55 kkal, protein 1,4 gr, lemak 0,2 gr, karbohidrat
12,8 gr, kalsium 15 mg, fosfor 18 mg, vitamin A 0 SI, vitamin B1 0,04 mg,
vitamin C 20 mg dan zat besi 0,6 mg (Kurniawan, 2013 dalam Pratiwi, 2015)
Kadar energinya yang cukup rendah (55 kkal/100 gr) memungkinkan
bengkuang untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan yang baik bagi pelaksana
diet rendah kalori dan penderita diabetes mellitus. Serta rasa manis pada umbi
bengkuang berasal dari suatu oligosakarida yang disebut dengan inulin.
Kandungan vitamin C pada umbi bengkuang juga tinggi yaitu sebesar
20mg/100gram yang sangat berperan sebagai antioksidan yang bermanfaat untuk
menangkal serangan radikal bebas penyebab kanker dan penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, dan stroke.
Pemanfaatan bengkuang dengan basis teknologi yang telah ada yakni
bengkuang telah diproses dalam bentuk tepung bengkuang. Menurut hasil
penelitian Damayanti (2010) menghasilkan tepung bengkuang dengan kadar air
12.8640%, kadar vitamin C 39.8795 mg/100gr, kadar serat kasar 11.7798%,
rendemen 14.8300%, kadar inulin 14.8240%, kadar pati 43.2867%. Berbagai
macam makanan produk dari tepung bengkuang yang telah dilakukan diantaranya
pembuatan brownies oleh Pratiwi (2015), dan juga tepung bengkuang
dikembangkan menjadi tambahan pada pembuatan flakes talas oleh Paramita
Universitas Sumatera Utara
5
(2015). Namun dalam penelitian-penelitian yang terdahulu tidak ada yang
meneliti tentang indeks glikemik produk masing-masing.
Dewasa ini masyarakat makin banyak mengonsumsi roti sebagai salah satu
makanan pokok contohnya saja roti tawar. Produk roti tawar dari tepung terigu
dikenal sebagai produk pangan yang tinggi indeks glikemik. Dengan nilai indeks
glikemik yang tinggi pangan tersebut dicerna sangat cepat oleh tubuh yang pada
akhirnya menghasilkan lebih banyak insulin dan memicu kenaikan gula darah
secara drastis. Hal inilah yang memicu naiknya kadar gula darah yang bisa
mengarahkan pada risiko penyakit berbahaya seperti diabetes mellitus, dan
obesitas. Roti tawar dengan bahan baku non terigu maupun substitusi sebagian
bahan baku tepung terigunya dengan komoditi lain bisa menjadi alternatif untuk
menurunkan nilai indeks glikemik dan dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes
mellitus dan obesitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Arlene
(2009) mengganti tepung terigu dengan tepung singkong dan tepung kedelai serta
menambahkan 15% gluten dalam pembuatannya. Selain itu, penelitian lain yang
dilakukan Widodo et al (2014) pembuatan roti tawar dengan menggunakan
penambahan tepung suweg 10% mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan
dengan perbandingan yang lain dan memiliki beban glikemik sebesar 33,03.
Bahan baku tambahan yang dapat digunakan dalam pembuatan roti tawar
ini adalah tepung bengkuang. Menurut data produksi tahun 2005-2007, produksi
bengkuang rata-rata sekitar 192 kuintal/hektar di Padang dan sekitar 5,020-7,030
ton pertahun di Kebumen (Winarto, 2009 dalam Panggabean, 2013). Salah satu
daerah yang potensial bengkuang di Sumatera Utara adalah kota Binjai
Universitas Sumatera Utara
6
menghasilkan sebanyak 7-7,5 ton/ha (Badan SDM Pertanian Binjai, 2011 dalam
Hilman, 2012). Bengkuang di Indonesia hanya diolah menjadi rujak, asinan dan
isian tekwan serta diolah untuk bahan kecantikan. Namun, bengkuang dapat
diolah menjadi tepung dan dimanfaatkan sebagai bahan baku tambahan roti tawar
yang memungkinkan nilai indeks glikemiknya lebih rendah dibandingkan dengan
roti tawar yang berbahan baku tepung terigu karena kandungan inulin yang ada
pada tepung bengkuang sebesar 14.8240%. Inulin merupakan karbohidrat
golongan fruktan. Fruktan memiliki efek glikemik yang lebih rendah dibanding
fruktosa, sehingga direkomendasikan untuk digunakan sebagai pemanis bagi
penderita diabetes. Fruktan ditansportasikan lebih lambat dari fruktosa di saluran
pencernaan bagian atas (Rumessen J.Jet al, 1990 dalam Handayani 2014). Selain
itu, inulin berfungsi sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut
yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh
mikroflora kolon (usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses
pencernaan (Rimbawan, 2013). Menurut Nishimune, dkk (1991) dalam
Rimbawan dan Siagian (2004) menemukan bahwa serat terlarut dapat
menurunkan respon glikemik pangan secara bermakna.
Berdasarkan percobaan yang peneliti lakukan sebelumnya dalam membuat
roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang ditemukan formulasi
penambahan tepung bengkuang sebesar 40% dari berat total bahan yang
digunakan serta tampilannya juga hampir menyerupai roti tawar standar tanpa
penambahan tepung bengkuang. Semakin banyak penambahan tepung bengkuang,
tampilannya juga semakin tidak menyerupai roti tawar standar.
Universitas Sumatera Utara
7
Pembuatan roti tawar dari tepung bengkuang diharapkan dapat menambah
keanekaragaman pangan dan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat
Indonesia terhadap bahan pangan impor seperti terigu sehingga dapat memperkuat
ketahanan pangan nasional. Selain itu, dengan adanya roti tawar bengkuang ini
dapat menjadi pangan fungsional untuk penderita diabetes mellitus dan obesitas.
Nilai indeks glikemik pada makanan dapat meningkat atau menurun sesuai
dengan cara pengolahan. Menurut penelitian Sundari (2014), talas belitung
memiliki indeks glikemik rendah (IG=50) namun, ketika diolah menjadi cookies
dengan acuan roti tawar nilai indeks glikemiknya meningkat menjadi 79,9%.
Perbedaan nilai indeks glikemik pada satu bahan pangan juga dapat terjadi karena
perbedaan metode pengujian yang dilakukan. Selain itu, juga dapat disebabkan
oleh varietas tanaman sumber pangan, pengolahan (misalnya penggilingan dan
pemanasan), dan pemilihan pangan acuan (roti atau glukosa) (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak
dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia. Namun, kajian mengenai nilai
indeks glikemik dari olahan pangan lokal alternatif sumber karbohidrat seperti
umbi bengkuang masih terbatas.
1.2
Rumusan Masalah
Roti tawar berbahan baku tepung terigu memiliki nilai indeks glikemik
yang tinggi. Penambahan tepung bengkuang menjadi salah satu bahan baku dalam
pembuatan roti tawar dimungkinkan dapat menurutkan nilai indeks glikemik.
Universitas Sumatera Utara
8
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana nilai indeks glikemik roti tawar dengan
penambahan tepung bengkuang sebesar 40%.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui nilai indeks glikemik bahan pangan olahan roti tawar dengan
penambahan tepung bengkuang.
1.3.2
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui
kandungan karbohidrat, kadar abu, kadar air, kadar lemak, kadar serat kasar dan
kadar protein dengan penambahan tepung bengkuang (Pachyrhizus erosus)
1.4
Manfaat Penelitian
Memberikan informasi mengenai nilai indeks glikemik yang terkandung
dalam bahan pangan olahan roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kemajuan suatu negara ditandai dengan kualitas sumber daya manusianya
yang dicerminkan dari Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development
Index. Indikator indeks pembangunan manusia meliputi 3 dimensi dasar
pembangunan manusia, yaitu dimensi kesehatan yang dilihat dari angka harapan
hidup, dimensi pendidikan melalui penguasaan ilmu pengetahuan, dan dimensi
ekonomi berdasarkan standar kehidupan yang layak. Berdasarkan BPS (2010),
indeks pembangunan manusia di Indonesia menempati urutan 108 dari 169
negara. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia
Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara-negara lain.
Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang dihadapi bangsa
Indonesia. Indonesia masih dihadapkan oleh permasalahan gizi ganda yaitu gizi
kurang dan gizi lebih. Disatu sisi permasalahan gizi kurang belum dapat diatasi
namun sudah timbul permasalahan yang lain yaitu gizi lebih. Masalah gizi kurang
pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan,
kurangnya higiene sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sebaliknya, masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai
dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan
(Almatsier, 2009).
1
Universitas Sumatera Utara
2
Asupan makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi risiko penyakit
degeneratif, terutama pada penderita atau orang dengan risiko penyakit diabetes
mellitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain. Menurut WHO (2011)
sekitar 3,4 juta orang meninggal akibat konsekuensi dari tingginya gula darah
pada orang yang menderita diabetes mellitus dan lebih dari 80% kematian tersebut
terjadi di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah (Djuwita, 2012
dalam Na’imah, 2013). Berdasarkan laporan Riskesdas (2013), prevalensi diabetes
mellitus yang terdiagnosa dokter dengan gejala adalah 2,1% dari jumlah penduduk
usia >15 tahun.
Salah satu pendekatan yang saat ini berkembang dan terkait dengan
pengaturan pola makan terutama untuk mencegah obesitas dan penyakit diabetes
mellitus adalah konsep indeks glikemik. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004),
konsep ini menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat)
berdasarkan kecepatan naiknya kadar glukosa darah setelah pangan tersebut
dikonsumsi. Beberapa studi prospektif observasional menunjukkan bahwa diet
konsumsi yang berkepanjangan dengan tinggi beban glikemik secara independen
dapat mengembangkan penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga
kanker.
Indeks glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan
glukosa darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara
sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut
efeknya terhadap kadar glukosa darah (Foster-Powell 2002). Faktor- faktor yang
dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara lain cara pengolahan,
Universitas Sumatera Utara
3
perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar
serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti gizi- pangan (Rimbawan &
Siagan 2004).
Pemilihan jenis makanan dengan indeks glikemik rendah terbukti pada
banyak penelitian sebagai proteksi terhadap timbulnya diabetes mellitus pada
orang sehat serta pertimbangan dalam penyusunan diet penyandang diabetes
mellitus. Diet dengan indeks glikemik yang rendah lebih baik dibandingkan
dengan yang tinggi dalam hal pengontrolan glukosa darah dan dalam jangka
panjang akan mengurangi komplikasi menahun (Argasasmita, 2008). Saat ini
banyak orang non diabetes mellitus juga mengunakan indeks glikemik sebagai
cara memilih makanan untuk dikonsumsi bagi kesehatan, penurunan berat badan,
dan performa (Barclay et al, 2008 dalam Ningrum, 2011).
Umbi-umbian merupakan salah satu bahan pangan alternatif sumber
karbohidrat yang berpotensi memiliki indeks glikemik rendah. Beberapa hasil
penelitian yang difokuskan untuk meneliti indeks glikemik umbi-umbian, salah
satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2011) menyatakan
bahwa umbi sukun kukus, sukun goreng, sukun rebus dan kukis sukun yaitu
masing-masing memiliki nilai indeks glikemik sebesar 89, 82, 85 dan 80.
Menurut Lukitaningsih (2012) dalam Sundari (2014), umbi walur memiliki nilai
indeks glikemik sangat rendah yaitu 16,9 kemudian diikuti umbi porang dengan
nilai indeks glikemik sebesar 20,6 dan umbi gayong sebesar 20,8 sedangkan
nilai indeks glikemik umbi uwi dan suweg masing-masing yaitu sebesar 23,1 dan
68,8.
Universitas Sumatera Utara
4
Dari beberapa jenis umbi-umbian yang ada di Indonesia, umbi bengkuang
masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit untuk industri bahan pangan.
Potensi gizi umbi bengkuang cukup baik, ini dapat dilihat pada setiap 100 gram
bengkuang mengandung energi 55 kkal, protein 1,4 gr, lemak 0,2 gr, karbohidrat
12,8 gr, kalsium 15 mg, fosfor 18 mg, vitamin A 0 SI, vitamin B1 0,04 mg,
vitamin C 20 mg dan zat besi 0,6 mg (Kurniawan, 2013 dalam Pratiwi, 2015)
Kadar energinya yang cukup rendah (55 kkal/100 gr) memungkinkan
bengkuang untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan yang baik bagi pelaksana
diet rendah kalori dan penderita diabetes mellitus. Serta rasa manis pada umbi
bengkuang berasal dari suatu oligosakarida yang disebut dengan inulin.
Kandungan vitamin C pada umbi bengkuang juga tinggi yaitu sebesar
20mg/100gram yang sangat berperan sebagai antioksidan yang bermanfaat untuk
menangkal serangan radikal bebas penyebab kanker dan penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, dan stroke.
Pemanfaatan bengkuang dengan basis teknologi yang telah ada yakni
bengkuang telah diproses dalam bentuk tepung bengkuang. Menurut hasil
penelitian Damayanti (2010) menghasilkan tepung bengkuang dengan kadar air
12.8640%, kadar vitamin C 39.8795 mg/100gr, kadar serat kasar 11.7798%,
rendemen 14.8300%, kadar inulin 14.8240%, kadar pati 43.2867%. Berbagai
macam makanan produk dari tepung bengkuang yang telah dilakukan diantaranya
pembuatan brownies oleh Pratiwi (2015), dan juga tepung bengkuang
dikembangkan menjadi tambahan pada pembuatan flakes talas oleh Paramita
Universitas Sumatera Utara
5
(2015). Namun dalam penelitian-penelitian yang terdahulu tidak ada yang
meneliti tentang indeks glikemik produk masing-masing.
Dewasa ini masyarakat makin banyak mengonsumsi roti sebagai salah satu
makanan pokok contohnya saja roti tawar. Produk roti tawar dari tepung terigu
dikenal sebagai produk pangan yang tinggi indeks glikemik. Dengan nilai indeks
glikemik yang tinggi pangan tersebut dicerna sangat cepat oleh tubuh yang pada
akhirnya menghasilkan lebih banyak insulin dan memicu kenaikan gula darah
secara drastis. Hal inilah yang memicu naiknya kadar gula darah yang bisa
mengarahkan pada risiko penyakit berbahaya seperti diabetes mellitus, dan
obesitas. Roti tawar dengan bahan baku non terigu maupun substitusi sebagian
bahan baku tepung terigunya dengan komoditi lain bisa menjadi alternatif untuk
menurunkan nilai indeks glikemik dan dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes
mellitus dan obesitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Arlene
(2009) mengganti tepung terigu dengan tepung singkong dan tepung kedelai serta
menambahkan 15% gluten dalam pembuatannya. Selain itu, penelitian lain yang
dilakukan Widodo et al (2014) pembuatan roti tawar dengan menggunakan
penambahan tepung suweg 10% mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan
dengan perbandingan yang lain dan memiliki beban glikemik sebesar 33,03.
Bahan baku tambahan yang dapat digunakan dalam pembuatan roti tawar
ini adalah tepung bengkuang. Menurut data produksi tahun 2005-2007, produksi
bengkuang rata-rata sekitar 192 kuintal/hektar di Padang dan sekitar 5,020-7,030
ton pertahun di Kebumen (Winarto, 2009 dalam Panggabean, 2013). Salah satu
daerah yang potensial bengkuang di Sumatera Utara adalah kota Binjai
Universitas Sumatera Utara
6
menghasilkan sebanyak 7-7,5 ton/ha (Badan SDM Pertanian Binjai, 2011 dalam
Hilman, 2012). Bengkuang di Indonesia hanya diolah menjadi rujak, asinan dan
isian tekwan serta diolah untuk bahan kecantikan. Namun, bengkuang dapat
diolah menjadi tepung dan dimanfaatkan sebagai bahan baku tambahan roti tawar
yang memungkinkan nilai indeks glikemiknya lebih rendah dibandingkan dengan
roti tawar yang berbahan baku tepung terigu karena kandungan inulin yang ada
pada tepung bengkuang sebesar 14.8240%. Inulin merupakan karbohidrat
golongan fruktan. Fruktan memiliki efek glikemik yang lebih rendah dibanding
fruktosa, sehingga direkomendasikan untuk digunakan sebagai pemanis bagi
penderita diabetes. Fruktan ditansportasikan lebih lambat dari fruktosa di saluran
pencernaan bagian atas (Rumessen J.Jet al, 1990 dalam Handayani 2014). Selain
itu, inulin berfungsi sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut
yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh
mikroflora kolon (usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses
pencernaan (Rimbawan, 2013). Menurut Nishimune, dkk (1991) dalam
Rimbawan dan Siagian (2004) menemukan bahwa serat terlarut dapat
menurunkan respon glikemik pangan secara bermakna.
Berdasarkan percobaan yang peneliti lakukan sebelumnya dalam membuat
roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang ditemukan formulasi
penambahan tepung bengkuang sebesar 40% dari berat total bahan yang
digunakan serta tampilannya juga hampir menyerupai roti tawar standar tanpa
penambahan tepung bengkuang. Semakin banyak penambahan tepung bengkuang,
tampilannya juga semakin tidak menyerupai roti tawar standar.
Universitas Sumatera Utara
7
Pembuatan roti tawar dari tepung bengkuang diharapkan dapat menambah
keanekaragaman pangan dan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat
Indonesia terhadap bahan pangan impor seperti terigu sehingga dapat memperkuat
ketahanan pangan nasional. Selain itu, dengan adanya roti tawar bengkuang ini
dapat menjadi pangan fungsional untuk penderita diabetes mellitus dan obesitas.
Nilai indeks glikemik pada makanan dapat meningkat atau menurun sesuai
dengan cara pengolahan. Menurut penelitian Sundari (2014), talas belitung
memiliki indeks glikemik rendah (IG=50) namun, ketika diolah menjadi cookies
dengan acuan roti tawar nilai indeks glikemiknya meningkat menjadi 79,9%.
Perbedaan nilai indeks glikemik pada satu bahan pangan juga dapat terjadi karena
perbedaan metode pengujian yang dilakukan. Selain itu, juga dapat disebabkan
oleh varietas tanaman sumber pangan, pengolahan (misalnya penggilingan dan
pemanasan), dan pemilihan pangan acuan (roti atau glukosa) (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak
dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia. Namun, kajian mengenai nilai
indeks glikemik dari olahan pangan lokal alternatif sumber karbohidrat seperti
umbi bengkuang masih terbatas.
1.2
Rumusan Masalah
Roti tawar berbahan baku tepung terigu memiliki nilai indeks glikemik
yang tinggi. Penambahan tepung bengkuang menjadi salah satu bahan baku dalam
pembuatan roti tawar dimungkinkan dapat menurutkan nilai indeks glikemik.
Universitas Sumatera Utara
8
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana nilai indeks glikemik roti tawar dengan
penambahan tepung bengkuang sebesar 40%.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui nilai indeks glikemik bahan pangan olahan roti tawar dengan
penambahan tepung bengkuang.
1.3.2
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui
kandungan karbohidrat, kadar abu, kadar air, kadar lemak, kadar serat kasar dan
kadar protein dengan penambahan tepung bengkuang (Pachyrhizus erosus)
1.4
Manfaat Penelitian
Memberikan informasi mengenai nilai indeks glikemik yang terkandung
dalam bahan pangan olahan roti tawar dengan penambahan tepung bengkuang.
Universitas Sumatera Utara