Pengukuran Indeks Glikemik Roti Tawar Bengkuang (Pachyrhizus erosus)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Bengkuang
Bengkuang (Pachyrhizus erosus) dikenal dari umbi (cormus) putihnya

yang bisa dimakan sebagai komponen rujak dan asinan atau dijadikan masker
untuk menyegarkan wajah dan memutihkan kulit. Tumbuhan yang berasal dari
Amerika tropis ini termasuk dalam suku polong-polongan atau Fabaceae. Di
tempat asalnya, tumbuhan ini dikenal sebagai xicama atau jícama. Orang Jawa
menyebutnya sebagai besusu.
Menurut Van Steenis (2005) dalam Hilman (2012), klasifikasi tanaman
bengkuang adalah :
Kingdom
Divisio
Sub Divisio
Kelas
Ordo
Famili

Genus
Spesies

: Plantae
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dicotyledoneae
: Fabales
: Fabaceae
: Pachyrhizus
: Pachyrhizus erosusL. Urban

Gambar 2.1 Umbi Bengkuang

9

Universitas Sumatera Utara

10


Tanaman ini memiliki panjang 2 – 6 m, bentuk daun majemuk, dengan 3
selebaran per daun, banyak bunga dansekali berbunga memiliki panjang hingga 55
cm. Bunga dari jenis polong-polongan ini memiliki kelopak biru atau putih buah
legum, dengan panjang 6 – 13 cm dan lebar 8 – 17 mm serta berbulu ketika muda.
Bentuk benih pipih, bulat atau persegi, berwarna cokelat, hijau atau kemerahan.
Ukuran umbi bervariasi sesuai dengan kondisi pertumbuhan (Chooi, 2008 dalam
Hilman, 2012).
Walaupun umbinya dapat dimakan, namun bagian bengkuang yang lain
seperti biji sangat beracun karena mengandung rotenon, sejenis tuba. Racun ini
sering dipakai untuk membunuh serangga atau menangkap ikan. Biji bengkuang
yang telah masak kaya akan lipid yaitu lebih kurang 30%, namun tidak dapat
dimakan karena mengandung isoflavonoid yang tinggi yaitu rotenon, isoflavanon
dan furano-3-fenil kumarin yang sangat beracun bagi manusia (Hilman, 2012).
Apabila senyawa-senyawa beracun tersebut dikeluarkan maka minyak biji
bengkuang sebanding dengan kacang tanah yang memiliki komposisi asam
palmitat 26,7%, asam stearat 5,7%, asam oleat 33,4% dan asam linoleat 34,2%.
Umbi bengkuang tidak tahan terhadap suhu rendah, sehingga mudah
mengalami kerusakan. Karena itulah, umbi sebaiknya disimpan pada tempat
kering bersuhu maksimal 16oC. Umbi bengkuang dapat bertahan sekitar dua bulan
dengan penyimpanan pada kelembapan dan suhu yang sesuai (Astawan, 2009).


Universitas Sumatera Utara

11

2.2

Kandungan Gizi dan Manfaat Bengkuang
Bagian umbi merupakan bagian yang dikonsumsi dari tanaman bengkuang

yang mengandung gula, pati dan oligosakarida yang dikenal dengan nama inulin.
Inulin berfungsi sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut
yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh
mikroflora kolon (usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses
pencernaan (Rimbawan, 2013). Inulin bukan hanya serat pangan prebiotik, tapi
juga karbohidrat rendah kalori, yaitu 1,5 kkal/gram. Inulin melewati mulut,
lambung, dan usus halus tanpa dimetabolisme, sehingga cocok dikonsumsi
penderita diabetes (Roberfroid MB, 2005 ; Niness, KR, 1999 dalam Handayani,
2014).
Serat dan inulin dapat memperbaiki kadar glukosa darah karena samasama berperan sebagai prebiotik dimana tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh

akan tetapi dapat difermentasi oleh usus besar, sehingga waktu transit makanan
lebih pendek dan membuat rasa kenyang yang dirasakan lebih lama dan juga serat
dan inulin dapat mengikat karbohidrat, sehingga tubuh lambat menghasilkan
glukosa darah. Atau bisa juga karena stimulasi hormon inkretin. Hormon inkretin
adalah suatu zat yang punya aktivitas humoral yang dihasilkan di usus atas
pengaruh makanan salah satu jenis inkretin adalah glucagon-like peptida-1 (GLP1), yang disekresi oleh sel L endokrin di mukosa sekum dan kolon. Hormon GLP1 berperan penting dalam stimulasi sel βpankreas untuk menghasilkan insulin dan
secara langsung menghambat sekresi glukagon, sehingga terjadi penurunan kadar

Universitas Sumatera Utara

12

glukosa darah. Asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) juga
berperan dalam peningkatan kadar GLP-1. Komponen SCFA dapat disintesis dari
fermentasi komponen karbohidrat tanaman yang tidak dapat dicerna, salah
satunya adalah serat dan inulin yang berperan sebagai prebiotik yang terdapat
pada umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus) (Anonim, 2011).
Menurut Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992) komposisi
bengkuang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bengkuang dalam 100 g Bahan

Komposisi
Jumlah
Energi (kkal)
Protein(g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin C (mg)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin A (IU)
Air (g)
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992)

55,00
1,40
0,20
12,80
15,00

18,00
0,60
20,00
0,04
0,00
85,10

Komposisi kimia yang seperti itu memungkinkan umbi bengkuang
digunakan sebagai obat, baik obat luar maupun obat dalam. Untuk obat luar,
bengkuang dijadikan masker wajah yang memberikan kesegaran pada kulit wajah.
Untuk obat dalam, bengkuang dapat menngatasi penyakit diabetes mellitus,
demam, eksim, sariawan dan wasir.
Bengkuang baik dikonsumsi oleh penderita hiperglikemia. Dengan
kandungan air yang sangat besar, mengkonsumsi bengkuang akan memberi
perasaan kenyang, tapi tidak memberikan sumbangan kalori dimana kandungan
kalori pada bengkuang 55 kkal dan tidak berpotensi untuk meningkatkan indeks

Universitas Sumatera Utara

13


glikemik. Kandungan air dalam bengkuang sangat baik untuk mempercepat proses
pencernaan makanan. Pencernaan yang lancar akan mengurangi penyerapan gula
yang harus dihindari oleh penderita hiperglikemia (Hilman, 2012).
Kandungan vitamin C yang cukup tinggi, memungkinkan bengkuang
digunakan sebagai sumber antioksidan yang potensial untuk menangkal atau
menetralisir serangan radikal bebas yang cenderung meningkat dalam tubuh
akibat hiperglikemia (stres oksidatif) sehingga dapat menghambat terjadinya
peroksidasi lipid, mencegah penurunan kadar asam askorbat dalam testis dan
mencegah penurunan kualitas spermatozoa (Hafiz, 2006 dalam Fithroh dan
Sukarjati, 2013).
Umbi bengkuang mengandung isoflavon yang dapat berperan sebagai
antioksidan sehingga berguna untuk mencegah kerusakan oksidatif dan membantu
penyerapan kalsium lebih kuat ke dalam tulang, sehingga tidak terjadi
pengkeroposan tulang atau osteoporosis. Bengkuang merupakan salah satu
makanan yang mengandung fitoestrogen, sehingga baik untuk dikonsumsi bagi
mereka

yang


sudah

memasuki

masa

menopause,

yang

berarti

dapat

mempertahankan kualitas hidup di usia tua (Lubis, 2012).

2.3

Tepung Bengkuang
Pemanfaatan bengkuang masih terbatas untuk bahan pangan dan sedikit


untuk industri bahan pangan. Umur simpan bengkuang yang terbatas juga menjadi
kendala dalam pengolahannya. Penyimpanan bengkuang yang terlalu lama
menyebabkan umbinya berserat (Anonim, 2009 dalam Damayanti, 2010).

Universitas Sumatera Utara

14

Untuk memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai jual, umbi
bengkuang dapat diolah menjadi tepung bengkuang.Tepung memiliki keuntungan
yaitu lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), mudah diperkaya
dengan zat gizi (difortifikasi), mudah dibentuk, dimasak, dikreasikan dan praktis,
mudah diolah menjadi aneka macam olahan, mulai dari olahan tradisional/khas
daerah hingga modern, sehingga nilai ekonomisnya semakin meningkat dan
diterima masyarakat luas, lebih mudah dalam distribusi dan menghemat ruangan
dan biaya penyimpanan dapat menciptakan peluang usaha baru.
Pembuatan tepung bengkuang berdasarkan metode yang dilakukan Dewi
(2012) bengkuang dibersihkan dari kotorannya dengan cara dikupas dan dibelah
kemudian dicuci hingga bersih. Setelah bengkuang bersih, kemudian dilakukan

pengecilan ukuran dengan menggunakan slicer dengan ketebalan ± 1 mm. Setelah
itu, di blanching selama 1 menit kemudian dimasukkan ke dalam oven padasuhu
60oC selama 16 jam. Setelah pengeringan bengkuang dikecilkan bengkuang
dengan cara digiling dan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh.
Terdapat cara lain dalam pembuatan tepung bengkuang, yang berbeda
hanya pada proses perendaman bengkuang dengan natrium metabisulfat 3000 ppm
selama 30 menit dan menghasilkan tepung dengan derajat putih 85,98%
(Damayanti, 2010). Selain itu, terdapat modifikasi pembuatan tepung bengkuang
Heat Moisture Treatment (HMT) (dengan metode Siwi, 2013 dalam Pangesti et
al., 2014 dengan modifikasi pada bahan baku dan suhu HMT) tepung bengkuang
yang telah mencapai kadar air 30% selanjutnya ditempatkan petridish dalam
keadaan tertutup dan dilapisi alumunium foil. Tepung bengkuang didiamkan

Universitas Sumatera Utara

15

dalam refrigerator pada suhu 4-5oC selama satu malam untuk penyeragaman kadar
air. Petridish yang berisi tepung bengkuang basah dipanaskan dalam oven bersuhu
80oC, 90oC, 100oC dan 110oC selaam 3 jam. Setelah didinginkan, tepung

bengkuang termodifikasi kembali ditempatkan dalam loyang tanpa tutup dan
dikeringkan dalam oven selama 5 jam pada suhu 50oC. Tepung yang dihasilkan
dilihat dari karakteristik fisik dan fisikokimia mengalami penurunan dibandingkan
dengan proses pembuatan tepung bengkuang secara Heat Moisture Treatment
(HMT).
Kelebihan dari tepung bengkuang ini dibandingkan dengan tepung terigu
adalah kandungan inulin yang terdapat pada tepung bengkuang dengan kadar
14,8240 %. Dimana inulin ini merupakan komponen dalam serat pangan terlarut
yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan melainkan oleh bakteri yang ada
di usus besar. Menurut Nishimune, dkk (1991) dalam Rimbawan dan Siagian
(2004) menemukan bahwa serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik
pangan secara bermakna. Inulin memiliki banyak kegunaan diantaranya
digunakan sebagai prebiotik yang bermanfaat bagi kesehatan di dalam usus
dengan menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan kekebalan
tubuh, melancarkan pencernaan, mengurangi konstipasi, mengurangi resiko
kanker usus, serta mengatur konsentrasi hormon insulin dan glukagon (Lestari,
2013)
Inulin merupakan karbohidrat golongan fruktan. Fruktan memiliki efek
glikemik yang lebih rendah dibanding fruktosa, sehingga direkomendasikan untuk
digunakan sebagai pemanis bagi penderita diabetes. Penelitian menyebutkan

Universitas Sumatera Utara

16

bahwa penambahan inulin ke dalam makanan dapat menurunkan respons glikemik
darah. Inulin dapat mengontrol kadar glukosa serum dengan mengurangi kenaikan
glukosa serum setelah mengonsumsi makanan dan menunda masuknya glukosa
ke darah, serta memperlambat pengosongan lambung dan/atau mempersingkat
waktu transit di usus halus dimana hal ini dapat menunda absorpsi
karbohidrat, sehingga berefek pada respons insulin dan glikemik postprandial
yang lebih rendah. Penelitian lain menunjukkan, penambahan fruktan pada roti
gandum menyebabkan kadar glukosa dan insulin serta area di bawah kurva
kadar glukosa darah yang lebih rendah dibanding dengan pemberian sukrosa
(Dehghan Pet al, 2013 ; RianyYE, 2006 dalam Handayani 2014).

2.4

Roti Tawar Bengkuang
Roti adalah produk makanan yang terbuat dari fermentasi tepung terigu

dengan ragi atau bahan pengembang lainnya. Secara umum roti terdiri dari dua
macam, yaitu roti tawar dan roti manis, perbedaanya terletak pada penggunaan
gula, biasanya roti tawar menggunakan gula di bawah 10% sedangkan roti manis
menggunakan gula diatas 20% (Santoni, 2009 dalam Nur’aini 2011).
Roti tawar adalah roti yang dibuat dari tepung terigu berprotein tinggi,
air,yeast, lemak dan garam yang difermentasi dengan ragi roti dan dipanggang
(Mudjajanto, 2008 dalam Nur’aini 2011). Berdasarkan bahan pengembang yang
digunakan roti tawar termasuk dalam yeast raised goods, yaitu adonan yang
mengembang karena adanya karbondioksida yang dihasilkan dari proses

Universitas Sumatera Utara

17

fermentasi gula oleh yeast. Roti tawar mempunyai rasa yang gurih agak asin, dan
mempunyai bentuk khas.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01‐3840‐1995, Syarat
Mutu Roti tawar dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel. 2.2Syarat Mutu Roti Tawar
Kriteria Uji
Satuan
Kenampakan
Bau
Rasa
Kadar Air
%b/b
Kadar Abu
%b/b
Kadar NaCl
%b/b
Serangga
Sumber : Standar Nasional Indonesia (1995).

Roti Tawar
Normal, tidak berjamur
Normal
Normal
Maksimal 40
Maksimal 1
Maksimal 2,5
Tidak boleh ada

Resep dasar pembuatan roti tawar menurut Mudjajanto dan Yulianti
(2004) adalah sebagai berikut:
Tabel. 2.3 Resep Dasar Roti Tawar
Jenis bahan
Tepung terigu (gram)
Gula pasir (gram)
Garam (gram)
Telur (butir)
Susu bubuk (gram)
Ragi (gram)
Mentega putih (gram)
Air (ml)
Air hangat (ml)
Sumber : Mudjajanto dan Yulianti (2004)

Berat
1000
60
20
1
100
22
600
500
60

Proses pembuatan roti tawar tersebut pada dasarnya sama saja.
Perbedaannya, hanya pada bahan utamanya yang menggunakan tepung
bengkuang. Secara garis besar bahan-bahan untuk pembuatan roti tawar
bengkuang meliputi:

Universitas Sumatera Utara

18

1.

Tepung Bengkuang

2.

Tepung Terigu berprotein tinggi

3.

Yeast/ ragi roti
Ragi

berfungsi

memfermentasi

adonan

sehingga

adonan

dapat

mengembang dan terbentuk serat atau pori roti.Ada 3 jenis ragi yang umum
dikenal, yaitu ragi tapai berbentuk bulat pipih berwarna putih, ragi roti berbentuk
butiran, dan ragi tempe berbentuk bubuk. Selain itu menurut Mahsun (2010)
dalam Nur’aini (2011) yeast juga berfungsi untuk memberikan aroma yang baik
pada produk, mematangkan dan mengempukan gluten dalam adonan sehingga
gluten mampu menahan gas.
4.

Air
Air berfungsi sebagai media glutein dengan karbohidrat, larutan garam dan

membentuk sifat kenyal glutein. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH 6–9.
Makin tinggi pH air maka roti yang dihasilkan baik karena absorbsi air meningkat
dengan

meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang

memenuhi persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak
berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2006 dalam Gulo, 2008).
5.

Shortening
Shortening adalah lemak padat yang memiliki sifat plastis dan kestabilan

tertentu, umumnya berwarna putih sehingga sering disebut mentega putih.
Mentega berfungsi sebagai pelumas untuk memperbaiki remah roti, memperbaiki
sifat pemotongan roti, memberikan kulit roti lebih lunak, dan dapat menahan air
sehingga shelf life lebih lama. Selain itu lemak juga bergizi, memberikan rasa

Universitas Sumatera Utara

19

lezat, mengempukkan, dan membantu pengembangan susunan fisik roti
(Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
6.

Gula
Sangat sedikit roti yang dibuat tanpa pemakaian gula. Pada umumnya gula

dipakai untuk memberikan rasa manis pada produk, namun mempengaruhi tekstur
dan kenampakan. Gula sangat penting peranannya dalam pembuatan roti,
diantaranya sebagai makanan ragi, memberi rasa, mengatur fermentasi,
memperpanjang umur roti, menambah kandungan gizi, membuat tekstur roti
menjadi lebih empuk, memberikan daya pembasahan pada roti dan memberikan
warna cokelat yang menarik pada roti (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
7.

Garam
Garam membuat proses fermentasi ragi dapat dikontrol. Jika tidak ada

garam, fermentasi berjalan lebih cepat dan gula habis “dimakan” ragi. Akibatnya
warna kulit roti menjadi pucat dan berkerut karena tidak ada gula. Selain itu
fungsi garam dalam pembuatan roti adalah penambah rasa gurih, pembangkit rasa
bahan-bahan lainnya, pengontrol waktu fermentasi dari adonan beragi,
penambahan kekuatan gluten. Syarat garam yang baik dalam pembuatan roti
adalah harus 100% larut dalam air, jernih, bebas dari gumpalan-gumpalan dan
bebas dari rasa pahit (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
8.

Telur
Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004) telur berfungsi sebagai

pengembang, pembentuk warna, perbaikan rasa, dan penambah nilai gizi. Jika
telur tidak digunakan dalam adonan maka adonan harus ditambahkan cairan

Universitas Sumatera Utara

20

walaupun hasilnya kurang lunak. Roti yang lunak dapat diperoleh dengan
penggunaan kuning telur yang lebih banyak. Kuning telur banyak mengandung
lesitin (emulsifier). Bentuknya padat, tetapi kadar airnya sekitar 50%. Sementara
putih telur, kadar airnya 86%. Putih telur mempunyai sifat creaming yang lebih
baik dibandingkan kuning telur.
Peranan utama telur atau protein dalam pengolahan pada umumnya adalah
memberikan fasilitas terjadinya koagulasi, pembentukan gel, emulsi dan
pembentukan struktur.
9.

Susu
Pada pembuatan roti, untuk tepung jenis lunak (soft) atau berprotein

rendah, penambahan susu lebih banyak dibandingkan tepung jenis keras
(hard)atau berprotein tinggi. Penambahan susu sebaiknya berupa susu padat.
Alasannya, susu padat menambah penyerapan (absorpsi) air dan memperkuat
adonan. Bahan padat bukan lemak (BPBL) pada susu padat tersebut berfungsi
sebagai bahan penyegar protein tepung sehingga volume roti bertambah
(Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
Tahapan pembuatan roti tawar menurut Mudjajanto dan Yulianto (2004),
yaitu:
1.

Pencampuran/mixing
Pencampuran

bahan

dilakukan

supaya

semua

bahan

homogen.

Pencampuran bahan dianggap selesai bila adonan sudah menjadi kalis (lembut,
elastis, dan resisten terhadap peregangan/tidak mudah sobek), yaitu pencapaian
pengadukan yang maksimum. Pada kondisi tersebut gluten baru terbentuk secara

Universitas Sumatera Utara

21

maksimal, sehingga kapasitas gluten sebagai penahan gas juga maksimal. Waktu
mixing umumnya selama 8–10 menit atau 10–12menit dengan mixer roti
(Mudjajanto dan Yulianti, 2004).
2.

Peragian
Tahap peragian sangat penting untuk pembentukan rasa dan volume. Suhu

ruangan 35oC dan kelembaban udara 75% merupakan kondisi yang ideal dalam
proses fermentasi adonan roti. Semakin panas suhu ruangan maka semakin cepat
proses fermentasi dalam adonan roti.
3.

Pembentukan adonan
Tahap pembentukan adonan dilakukan dengan cara adonan yang telah

diistrahatkan digiling pakai roll pin, kemudian digulung. Adonan yang sudah
digulung dimasukkan ke dalam cetakan dengan cara bagian lipatan diletakkan di
bawah agar lipatan tidak lepas yang mengakibatkan bentuk roti tidak baik.
Kemudian roti diistirahatkan sebentar sebelum dimasukkan ke dalam oven.
4.

Pemanggangan (baking)
Roti dipanggang atau dibakar dalam oven hingga matang dan kulit

berwarna kuning kecoklatan. Untuk roti ukuran kecil diperlukan suhu sekitar
180oC selama 12–15 menit. Untuk ukuran roti yang lebih besar, seperti roti tawar,
diperlukan suhu 220oC selama 20 -25 menit. Untuk roti yang menggunakan gula
banyak waktu pemangganggannya lebih singkat karena gula yang tinggi membuat
adonan lebih cepat berwarna kecoklatan.

Universitas Sumatera Utara

22

2.5

Indeks Glikemik
Konsep indeks glikemik pertama kali dikembangkan pada tahun 1981 oleh

Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada.
Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan
pengaruh yang sama pada kadar gula darah. Jenkins adalah peneliti yang pertama
mempertanyakan hal ini dan menyelidiki bagaimana sebenarnya pangan bekerja di
dalam tubuh (Rimbawan & Siagan 2004).
Menurut FAO (1998), indeks glikemik didefinisikan sebagai luas area di
bawah kurva respon glukosa darah dari 50g karbohidrat dari makanan uji yang
dinyatakan sebagai persen terhadap 50g karbohidrat dari makanan standar yang
diambil dari subyek yang sama. Indeks glikemik merupakan respons kadar gula
darah setelah makan (postprandial) dibandingkan dengan karbohidrat acuan
dengan jumlah yang setara. Nilai indeks glikemik dikembangkan untuk
membantu mengatur kadar glukosa darah penyandang diabetes (Jenskin et al.
2002 dalam Rimbawan & Siagian 2004).
Nilai indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah
di bawah kurva respons glikemik pangan uji dengan luas area dibawah kurva
respons glikemik pangan acuan. Kurva respons glikemik pangan diperoleh dari
data pengukuran kadar glukosa darah subyek setelah makan dengan interval 30
menit. Kurva akan menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran
seberapa cepat dan seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat
tubuh merespon dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah
makan (Whitney et al., 1990 dalam Waspadji et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara

23

Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang
sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet. Indeks glikemik
membolehkan penderita diabetes memilih jenis karbohidrat yang tepat untuk
mengendalikan gula darahnya sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada
tingkat yang aman (Rimbawan dan Siagian, 2004). Selain itu, indeks glikemik
juga dapat membantu orang yang sedang berusaha menurunkan berat tubuh
dengan cara memilih makanan yang cepat mengenyangkan dan tahan lama. Serta
indeks glikemik membantu seorang atlet memilih makanan yang tepat untuk
menunjang penampilan menurut jenis olahraga yang ditekuninya (Miller et al.,
1996 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).
Menurut Miller et al. (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004),
berdasarkan pengaruh glikemiknya, pangan dikelompokkan menjadi 3 kategori
yaitu kategori pangan IG rendah (IG70).Menurut Poet (2008) dalam Syadiah (2010), menyebutkan bahwa
pangan yang memiliki indeks glikemik rendah berada pada kebanyakan buahbuahan dan sayuran (kecuali kentang, semangka), roti, pasta, polong-polongan,
susu, produk sangat rendah karbohidrat (ikan, telur, daging, kacang-kacangan,
minyak). Pangan yang memiliki indeks glikemik sedang berada pada seluruh
produk gandum, beras lunak, jeruk, ubi jalar, nasi putih. Pangan yang memiliki
indeks glikemik tinggi berada pada corn flakes, baked potato, croissant,
semangka, roti putih, glukosa (100). Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan
pangan sumber karbohidrat disajikan dalam Tabel 2.4

Universitas Sumatera Utara

24

Tabel 2.4Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber
karbohidrat
Nilai Indeks
Peneliti
Jenis Produk Olahan
Tahun
Glikemik
Waspadji et al
Singkong Rebus
94,46
2003
Ningrum
Sponge Cake Sukun
59,70
2011
Rakhmawati et al Sukun Goreng
82,00
2011
Rakhmawati et al Sukun Rebus
85,00
2011
Rakhmawati et al Sukun Kukus
89,00
2011
Hasan et al
Tiwul Garut
40,00
2011
Hasan et al
Tiwul Singkong
29,00
2011
Hasan et al
Oyek Singkong
30,00
2011
Hasan et al
Oyek Garut
41,00
2011
Septiyani
Tiwul Konvensional
94,74
2012
Septiyani
Tiwul Instan Komersial
96,91
2012
Tiwul Instan Tinggi
Septiyani
71,92
2012
Protein
Larasati
Snack Bar Beras Hitam
42,20
2013
Larasati
Snack Bar Beras Merah
53,81
2013
Larasati
Snack Bar Beras Coklat
68,50
2013
Rimbawan
Gembili Rebus
85,56
2013
Rimbawan
Gembili Goreng
83,61
2013

2.5.1

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik
Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki indeks glikemik berbeda

bila diolah atau dimasak dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh
perbedaan metode pengujian yang dilakukan dan juga karakter fisik dan kimia
dari makanan. Dua makanan yang sama mungkin memiliki bahan yang berbeda
atau mungkin telah diproses dengan metode yang berbeda, sehingga terdapat
perbedaan yang signifikan dalam jumlah karbohidrat dan nilai indeks
glikemiknya. Dua merek yang berbeda dari jenis yang sama dari makanan, seperti
kue polos, mungkin rasanya terlihat hampir sama, tapi perbedaan jenis tepung
yang digunakan, kadar air, dan waktu memasak dapat mengakibatkan perbedaan
derajat pati gelatinisasi dan akibatnya nilai indeks glikemiknya berbeda.

Universitas Sumatera Utara

25

Perbedaan dalam metode pengujian meliputi penggunaan berbagai jenis sampel
darah (kapiler atau vena), periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagianbagian yang berbeda dari makanan (50 g dari total bukan dari karbohidrat yang
tersedia) (Foster-Powellet al., 2002).
Menurut Waspadjiet al.(2002), beberapa penelitian menunjukkan bahwa
cara memasak jenis tepung, kandungan serat, dan efek anti enzim pencernaan
mempengaruhi respons glikemik suatu makanan, artinya setiap makanan yang
disantap akan menimbulkan peningkatan kadar glukosa darah yang berbeda-beda.
Lemak dan protein juga mempengaruhi pencernaan hingga respons peningkatan
kadar glukosa akan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis makanan
akan menimbulkan respon yang berbeda meskipun mengandung karbohidrat
dalam jumlah yang sama.
Berbagai faktor dapat menyebabkan perbedaan indeks glikemik pangan
yang satu dengan pangan yang lain. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004),
beberapa faktor yang memengaruhi indeks glikemik pangan adalah cara
pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa
dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak
dan protein, serta kadar anti-gizi pangan.
a.

Proses Pengolahan
Pada zaman dahulu, nenek moyang mengonsumsi karbohidrat dalam

bentuk kacang-kacangan, sayuran dan serelia yang diolah dengan teknik yang
sederhana seperti ditumbuk serta tanpa ada bahan tambahan pangan yang lain.
Sedangkan pada zaman sekarang teknik pengolahan pangan menjadi pangan

Universitas Sumatera Utara

26

tersedia dalam bentuk, ukuran dan rasa yang lebih enak. Proses penggilingan
merupakan salah satu teknik pengolahan yang membuat struktur pangan menjadi
lebih halus sehingga pangan menjadi lebih cepat diserap dan dicerna dan
mengakibatkan cepatnya timbul rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan
diserap menaikkan kadar gula darah dengan cepat. Peningkatan kadar gula darah
yang cepat ini “memaksa” pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak.
Oleh karena itu, kadar gula darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin
(Ostman et al., 2001 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).
Pengolahan bengkuang menjadi tepung dengan pemanasan suhu tinggi
menyebabkan molekul granula pati tersusun menjadi lebih rapat sehingga
kemampuan membengkak menjadi lebih terbatas karena adanya pembatasan
masuknya air ke dalam pati (Pangesti, 2014). Pati dalam makanan mentah berada
dalam bentuk granula (butiran kecil) dan ketika dilakukan pemanasan atau
pemasakan sebagian besar granula mengembang. Granula yang mengembang dan
molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam
usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim.
Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang
cepat sehingga memiliki indeks glikemik tinggi (Rimbawan dan Siagian, 2004).
b.

Kadar Amilosa dan Amilopektin
Terdapat dua bentuk pati di dalam pangan yaitu amilosa dan amilopektin.

Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Sedangkan
amilopektin adalah polimer gula sederhana bercabang memiliki ukuran molekul

Universitas Sumatera Utara

27

lebih besar dan terbuka sehingga lebih mudah dicerna (Rimbawan dan Siagian,
2004).
Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin
berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih
rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan
berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan
rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki indeks glikemik tinggi, karena
molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi dan mudah
dicerna. Menurut Pangesti (2014) dalam proses pembuatan tepung bengkuang
mengalami gelatinisasi pada suhu 70oC dan tepung bengkuang termodifikasi
mengalami gelatinisasi pada suhu 93,7oC-94,1oC. Makanan dengan rasio
perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik
rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti, 2008).
c.

Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan
Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik

pangan. Gula meja (Sukrosa) memiliki indeks glikemik 65 (Sedang) yang
dibentuk oleh satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa diserap
langsung ke dalam hati dan diubah secara perlahan menjadi glukosa sehingga
respon gula darah terhadap fruktosa murni sangat kecil (IG=23). Hal ini
mengakibatkan respon gula darah terhadap 50 g gula meja sekitar setengah dari
responnya terhadap pati yang tergelatinisasi penuh (hampir seluruh molekulnya
adalah glukosa) (Miller et al., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).

Universitas Sumatera Utara

28

Bengkuang mengandung inulinyang merupakan suatu polisakarida yang
dibangunoleh

unit-unit

monosakarida

fruktosa

melalui

ikatan

β-2-1

fruktofuransida yang diawali oleh suatu molekul glukosa (Lunggani dkk, 2010).
Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami terdapat
dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai proporsi,
terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan
pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun
strukturnya.
d.

Kadar Serat Pangan
Pengaruh serat pada indeks glikemik pangan tergantung pada jenis

seratnya. Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan
dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat lewatnya makanan pada
saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Hal ini mengakibatkan
proses pencernaan menjadi lambat sehingga respon gula darah lebih rendah.
Keberadaan serat pada pangan ternyata sangat memberikan pengaruh pada
kenaikan kadar gula dalam darah (Fernandes et al., 2005 dalam Septiyani, 2012).
Menurut Damayanti (2010) pada tepung bengkuang 100g mengandung
11,7798% serat kasar. Tidak ada definisi tunggal yang berlaku terhadap serat
makanan (dietary fiber). Berdasarkan deskripsi fisiologis, serat makanan
didefinisikan sebagai komponen dalam tanaman yang tidak terdegradasi secara
enzimatis menjadi sub-unit yang dapat diserap oleh lambung dan usus halus
(Trowell et al, 1976; Ha et al, 2000 dalam Ribawan dan Siagian, 2004). Seperti
halnya inulin yang terkandung pada tepung bengkuang, dimana inulin berfungsi

Universitas Sumatera Utara

29

sebagai prebiotik karena sebagai komponen serat pangan larut yang tidak dapat
dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi oleh mikroflora kolon
(usus besar) sehingga inulin dapat memperlancar proses pencernaan (Rimbawan,
2013).
e.

Kadar Lemak dan Protein Pangan
Pangan dengan kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung

memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan
makanan di usus halus juga diperlambat. Pangan dengan kandungan lemak tinggi
cenderung memiliki indeks glikemik lebih rendah dibandingkan dengan jenis
pangan yang sejenis berkadar lemak rendah. Bengkuang memiliki kandungan
protein dan lemak yang rendah yaitu 1,4g dan 0,2g (Kurniawan, 2013 dalam
Pratiwi, 2015). Manusia memerlukan makanan berkadar lemak rendah, bukan
berkadar lemak tinggi Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan
berindeks glikemik rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana
(Rimbawan dan Siagian, 2004).
f.

Kadar Anti-Gizi Pangan
Beberapa

pangan

secara

alamiah

mengandung

zat

yang

dapat

menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat yang berpotensi menyebabkan
efek merugikan terhadap status gizi disebut anti-gizi. Zat anti-gizi pada biji-bijian
dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya,
indeks glikemik pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Universitas Sumatera Utara

30

2.5.2

Pengukuran Indeks Glikemik Pangan
Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan pada pengukuran indeks

glikemik, seperti metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan
makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan,
jumlah dan jenis subyek dan perhitungan IAUC (Simila, 2012 dalam Sundari
2014)
Menurut FAO (1998), pengambilan sampel darah yang direkomendasikan
untuk mengukur indeks glikemik adalah pengambilan sampel darah kapiler. Hal
ini disebabkan pembuluh kapiler yang mudah didapatkan. Pangan acuan yang
digunakan adalah roti putih atau glukosa murni dan porsi pangan acuan ataupun
pangan uji harus mengandung 50g karbohidrat yang sebelumnya dilakukan
pengujian karbohidrat pada pangan. Pemberian pangan acuan dan pangan uji
dalam pengukuran indeks glikemik dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan
subyek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respons glukosa darah dari
hari ke hari. Untuk mendapatkan respons rata-rata yang representatif untuk
pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan penngukuran indeks glikemik pangan
acuan secara berulang untuk setiap subyek.
Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam
pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah
digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data
indeks glikemik, area dibawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di
bawah kurva respons glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di
bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan

Universitas Sumatera Utara

31

menerapkan aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan dan Siagian
(2004), luas daerah di bawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon
glikemik, tidak hanya satu titik yang diberikan oleh puncak respons glukosa
darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area di bawah kurva
sebagai angka yang menggambarkan respons glukosa darah secara benar.
Menurut Monro dan Shaw (2008) dalam Sundari (2014), pengukuran nilai
indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
=


Dimana
demikian,

Keterangan:
IG
IAUC food
IAUC glucose
Wt

=



dengan

: Indeks Glikemik
: Luas area di bawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam
terhadap pangan uji
: Luas area di bawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam
terhadap glukosa murni (pangan acuan)
: Berat (g)

Menurut Miller, et al (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004),
prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai beikut:
a. Pangan tunggal yang akan ditentukan indeks glikemiknya (mengandung 50
gram karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa
penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00
pagi besoknya)

Universitas Sumatera Utara

32

b. Selama 2 jam pasca-pemberian (atau 3 jam bila relawan menderita diabetes),
sampel darah sebanyak 50µL – finger-prick capillary blood samples methoddiambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam
kedua yaitu berturut-turut pada menit ke 0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45,
60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur
dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent.
c. Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan
pangan acuan (50g glukosa murni atau white bread) diberikan kepada
relawan. Hal ini dilakukan sebanyak 2 kali (dilakukan pada hari lain, minimal
3 hari setelah perlakuan pertama) untuk mengurangi efek keragaman respons
gula darah dari hari ke hari
d. Kadar gula darah ( pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua
sumbu waktu (x) dan sumbu kadar glukosa darah (y)
e. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di
bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan
acuan.

2.6

Kerangka Konsep

Roti Tawar Bengkuang
(Pachyrhizus erosus)

Roti Tawar berbahan baku tepung
bengkuang (Pachyrhizus erosus)
- Kandungan Gizi (Air, Abu, Lemak,
Protein, Serat kasar, dan Karbohidrat)
- Nilai Indeks Glikemik

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara

33

Berdasarkan kerangka konsep diatas, tepung bengkuang akan diolah
menjadi roti tawar dengan penambahan 40% tepung bengkuang (Pachyrhizus
erosus). Roti tawar bengkuang yang akan diukur indeks glikemiknya terlebih
dahulu dianalisis profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat
kasar dan kandungan karbohidrat. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya,
relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan roti tawar bengkuang
yang mengandung 50g karbohidrat kemudian diukur nilai indeks glikemiknya
dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0 (sebelum
diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan pangan
acuan.

Universitas Sumatera Utara