Uji Daya Terima dan Kandungan Gizi Kue Pao Modifikasi Berbahan Mocaf, Bit dan Kolang-kaling

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Era globalisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)

menuntut sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, seiring dengan
kemajuannya, kesehatan yang merupakan aspek penting sering dinomor duakan.
Di balik kemajuan teknologi dan globalisasi terdapat mobilitas tinggi yang
menuntut semuanya serba cepat dan praktis. Kepraktisan ini terlihat jelas pada
gaya makanan junk food dan fast food yang tren di tengah masyarakat.
Kehadiran fast food langsung disukai oleh masyarakat karena cocok
dengan gaya hidup orang modern. Cara penyajiannya cepat hingga orang bisa
menyantapnya kapan dan di mana saja. Sebenarnya fast food berbeda dengan junk
food (makanan yang hanya padat kalori). Bahan penyusun fast food umumnya

tergolong pangan bergizi. Mie instan adalah salah satu contoh fast food sedangkan
contoh junk food adalah kentang goreng, minuman berkarbonasi, fast food yang
digoreng misalnya nugget, ayam goreng kentucky atau burger sandwich.
Jenis fast food yang digoreng serta junk food pada umunya sangat padat

kalori juga mengandung banyak sodium, lemak jenuh, dan kolesterol. Bila jumlah
ini terlalu banyak di dalam tubuh akan menimbulkan beragam penyakit seperti
hipertensi, stroke, jantung, obesitas bahkan kanker (Adriani dan Bambang
Wirjatmadi, 2012).
Fakta di atas menunjukkan bahwa kemajuan zaman ternyata dapat
memengaruhi kualitas sumber daya manusia secara tidak langsung. Tanpa banyak
yang menyadari seiring kemajuan jaman tersebut bertambah pula pengidap
penyakit degeneratif yaitu penyakit tidak menular yang biasanya disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

menuanya usia dan atau pola hidup yang tidak sehat. Kehidupan modern secara
tidak langsung melahirkan kebiasaan makan yang tidak sehat.
World Health Organization mencatat bahwa setiap tahunnya penyakit

degeneratif menyebabkan kematian di dunia hingga 38 juta orang dengan ¾ kasus
tersebut terjadi di negara berkembang. Kematian yang terjadi akibat penyakit
degeneratif tersebut 16 juta diantaranya adalah pada mereka yang justru masih
berusia di bawah 70 tahun. Menurut Pase dalam Butarbutar (2015), saat ini
Indonesia menduduki peringkat ketujuh penyakit tidak menular di dunia. Bukan

tidak mungkin Indonesia akan menduduki peringkat lima dunia jika hal ini tidak
dicegah.
Indonesia adalah negara dengan penduduk terbanyak ke empat di dunia
dengan total penduduk sekitar 255 juta jiwa. Berdasarkan data dari sensus
penduduk Indonesia tahun 2010, Indonesia memiliki penduduk yang 66% adalah
manusia golongan usia produktif (usia 15-64 tahun). Berarti ada sekitar 120 juta
jiwa manusia golongan usia produktif yang dimiliki negara ini. Ini menunjukkan
bahwa Indonesia tengah memiliki sumber daya manusia yang berpeluang besar
produktif dan kreatif. Namun fakta bahwa ternyata Indonesia sedang terancam
penyakit degeneratif, merupakan hal yang harus menjadi sorotan yang tidak bisa
dipandang sebelah mata.
Penyakit tidak menular atau penyakit degenaratif sangat erat kaitannya
dengan gizi. Gizi pada dasarnya berfungsi sebagai zat pengatur proses
metabolisme dalam rangka mempertahankan jaringan tubuh untuk senantiasa
sehat. Gizi akan menjalankan fungsinya dengan baik jika diasup oleh tubuh dalam
takaran yang seimbang dan penggunaan yang tepat. Penyakit degeneratif

Universitas Sumatera Utara

ditemukan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pengasupan gizi yang tidak

seimbang oleh tubuh.
Obesitas adalah salah satu contoh cikal bakal penyakait degenaratif yang
erat kaitannya dengan pola konsumsi rendah serat namun tinggi kalori dan lemak.
Penelitian juga membuktikan bahwa konsumsi serat berkaitan erat dengan angka
kejadian penyakit CVD (Cardiovascular Disease) dan penyakit kanker kolon (UI,
2007). Menurut Graha (2010), angka konsumsi serat masyarakat Indonesia hanya
10,8 gram perharinya (Graha, 2010). Angka tersebut bahkan tidak sampai
memenuhi angka kebutuhan serat harian yaitu rata-rata 28 sampai 30 gram.
Penyakit degeneratif sangat erat kaitannya dengan gizi, maka upaya
pencegahan penyakit tersebut idealnya dapat dilakukan dengan pengaturan gizi.
Kebiasaan masyarakat dalam kegiatan konsumsi yang rendah serat dan tidak
bergizi seimbang membuat peneliti tertarik membuat suatu produk pangan yang
terinspirasi dari diversifikasi pengolahan pangan dan pangan fungsional yang
merupakan aspek penting dalam upaya pengaturan gizi kesehatan masyarakat.
Diversifikasi (penganekaragaman) pangan merupakan suatu proses
pemilihan pangan yang tidak hanya tergantung pada satu jenis pangan, akan tetapi
memiliki beragam pilihan (alternatif) terhadap berbagai bahan pangan. Pada
dasarnya pelaksanaan program diversifikasi atau penganekaragaman pangan di
Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang kuat melalui UU Pangan No. 7
tahun 2006 tentang Pangan, PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dan

Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal (Ariani, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Diversifikasi pangan dianggap memiliki kaitan yang erat dengan
pembangunan sumber daya manusia lewat perbaikan gizi. Diversifikasi pangan
akan menimbulkan keanekaragaman jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat.
Keanekaragaman sumber pangan biasanya sejalan dengan beragamnya zat gizi
yang diasup masyarakat. Pengaplikasian diversifikasi pangan dapat dicontohkan
dengan mensubstitusi pemanfaatan terigu dalam pembuatan kue dengan tepung
mocaf.
Tepung mocaf yang merupakan akronim dari Modified Cassava Flour adalah
tepung yang berasal dari pangan lokal Indonesia yakni singkong ( Cassava ).
Pemanfaatan tepung mocaf dianggap mampu menekan penggunaan tepung terigu
yang kebanyakan adalah hasil import ke Indonesia. Kandungan gizi yang dikandung
mocaf juga tak kalah baik dengan terigu. Tepung mocaf bahkan memiliki keunggulan
karena mengandung sedikit sekali atau hampir tidak ada gluten sehingga aman bagi
penderita diabetes untuk mengonsumsi kue yang berbahan dasar mocaf.


Selain diversifikasi pangan, program yang dianggap berperan besar dalam
pembentukan pola makan masyarakat yang sehat adalah pangan fungsional.
Menurut Badan POM, pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah diproses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang
bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional umumnya ditujukan untuk
penurunan resiko, perlambatan atau pencegahan penyakit terutama penyakit
degeneratif. Pangan fungsional bisa mengandung serat makanan, asam lemak,
vitamin dan mineral tertentu (Syamsir, 2012). Bit dan kolang-kaling adalah
contoh pangan fungsional namun masih sedikit pemanfaatannya oleh masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Bit merupakan sejenis umbi yang kaya akan kandungan serat yang
dibutuhkan tubuh dalam proses pencernaan dan metabolisme. Selain serat bit juga
berfungsi sebagai antioksidan yang berasal dari pigmen ungu betacyanin dan
pigmen kuning betaxhantanin. Selain itu, dalam 100 gram bit juga memiliki
kandungan Asam Folat sebesar 34%, berfungsi untuk menumbuhkan dan
mengganti sel-sel yang rusak. Kalium sebesar 14,8%, berfungsi untuk
memperlancar keseimbangan cairan di dalam tubuh. Serat sebesar 13,6%. Vitamin

C sebesar 10,2%, berfungsi untuk menumbuhkan jaringan dan menormalkan
saluran darah. Magnesium sebesar 9,8%, berfungsi untuk menjaga fungsi otot.
Triptofan sebesar 1,4%. Zat Besi sebesar 7,4%, berfungsi untuk metabolisme
energy dan sistem kekebalan tubuh. Tembaga sebesar 6,5%, berfungsi untuk
membentuk sel darah merah. Kalsium 2,7% dan Fosfor sebesar 6,5%, berfungsi
untuk memperkuat tulang (Rizki, 2013).
Bit mampu menghancurkan sel tumor dan sel kanker, mencegah penyakit
stroke dan jantung, mampu berfungsi sebagai obat hati dan kantong empedu
mampu untuk menurunkan kolesterol, membersihkan dan menetralisir racun di
dalam tubuh, memperkuat fungsi darah dan mengatasi anemia, memproduksi selsel darah merah, memperkuat sistem peredaran darah dan sistem kekebalan tubuh,
mengobati infeksi dan radang, menghasilkan energi dan menyeimbangakan tubuh.
Buah bit terbukti secara efektif dapat menurunkan tekanan darah penderita
hipertensi (Rizki, 2013).
Selain bit, kolang-kaling juga mampu berperan sebagai pangan fungsional.
Kolang-kaling adalah buah dari pohon aren yang biasa dijadikan bahan minuman
segar atau manisan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Kolang-kaling,

Universitas Sumatera Utara

dalam 100 gramnya mengandung 5,2% protein, 0,4% lemak, 39% serat, 52,9%

karbohidrat, dan 91mg kalsium (Nisa dalam Tarigan, 2014). Karbohidrat di dalam
kolang-kaling pada umumnya adalah galaktomanan.
Galaktomanan adalah polisakarida yang berperan sebagai sumber serat
makanan dan memicu pertumbuhan bakteri usus yang membantu pencernaan.
Galaktomanan juga ampuh menurunkan serum total kolesterol dan low density
lipoprotein (LDL) kolesterol 10 - 15%. Sedangkan kadar high density lipoprotein

(HDL) dan trigliserida tidak berubah. Di dalam tubuh, galaktomanan
menghidrolisis enzim amilase untuk memperlambat penyerapan gula (Nurcahyo,
2014).
Hasil penelitian membuktikan bahwa dapat menurunkan respon insulin
terhadap makanan dan memperlambat penyerapan karbohidrat, sehingga kadar
glukosa darah tetap normal. Galaktomanan dapat mengurangi 54% kadar gula
pada urine penderita diabetes. Oleh sebab itu, galaktomanan berkhasiat bagi
penderita diabetes (Nurcahyo, 2014).
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik membuat kue pao yang
pembuatannya dimodifikasi yaitu menjadikan bahan dasar pembuatan kue yaitu
kombinasi tepung terigu dan mocaf. Isian kue pao adalah selai bit kemudian
dikombinasikan dengan potongan kecil kolang-kaling.
Pada penelitian pendahuluan, penulis mencoba membuat kue pao dengan

bahan dasar 100% tepung mocaf dengan bahan isian selai kolang-kaling. Hasil uji
kandungan gizi yang didapatkan ternyata kandungan protein tidak terdeteksi,
kandungan serat 6,46%, lemak 7,11%, karbohidrat 33,79%. Oleh karena mocaf

Universitas Sumatera Utara

tidak mengandung protein, penulis berinisiatif untuk mengkombinasikannya
dengan terigu.
Kue pao modifikasi berbahan mocaf, bit dan kolang-kaling adalah ide
yang mengaplikasikan prinsip diversifikasi pangan dan pangan fungsional.
Pembuatan kue pao merupakan salah satu cara dalam mengolah bahan pangan
menjadi suatu produk yang bernilai gizi dan bermanfaat bagi masyarakat. Peneliti
bermaksud menjadikan bahan baku dalam pembuatan kue pao adalah tepung
mocaf yang akan menggantikan posisi terigu sebagai bahan utama pembuatan kue
pao pada umumnya. Kue pao yang selalu memiliki isian dibagian tengah akan
diisi dengan selai yang terbuat dari bit dan potongan kolang-kaling. Pemanfaatan
bit dan kolang-kaling dalam pembuatan kue pao ini akan sejalan dengan konsep
pangan fungsional.
Kue pao biasanya dijadikan masyarakat sebagai jenis kue yang dimakan
saat jam makan selingan atau untuk sarapan diwaktu pagi yang singkat. Peneliti

berharap kue pao yang dihasilkan adalah kue yang bernilai gizi dan disukai oleh
masyarakat selain karena rasa yang enak juga karena akan bermanfaat bagi
kesehatan khususnya mencegah beragam kejadian penyakit degenaratif.

Universitas Sumatera Utara

1.2

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana daya terima kue pao modifikasi berbahan mocaf, bit dan
kolang-kaling?
2. Apakah kue pao modifikasi berbahan mocaf, bit dan kolang-kaling
mengandung protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kadar air, kadar
abu dan kalsium?

1.3

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya terima dan


kandungan gizi kue pao modifikasi berbahan mocaf, bit dan kolang-kaling.
1.4

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai salah satu referensi ilmiah mengenai pemanfaatan bit dan
kolang-kaling sebagai pangan fungsional di tengah masyarakat.
2. Sebagai salah satu referensi mengenai pemanfaatan tepung mocaf
dalam diversifikasi pangan di Indonesia.
3. Sebagai referensi ilmiah mengenai kandungan gizi dan daya terima
kue pao modifikasi berbahan mocaf, bit dan kolang-kaling.

Universitas Sumatera Utara