PRAKTIKUM FISIK KIMIA DAN FUNGSIONAL PAS

Nama asisten: Hanna Felina
Tanggal praktikum: Desember 2017
Tanggal pengumpulan: Desember 2017
PRAKTIKUM FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL PASCA MORTEM
DAGING IKAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
HENDI KUSWENDI (240210160049)
Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran, Jatinangor
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600 Telp. (022)
7798844, 779570 Fax. (022) 7795780 Email: hendi@mail.unpad.ac.id
ABSTRACT
Fish are classified into fragile foodstuffs or rapidly declining quality if they are not
handled properly. After capture, the fish undergoes biochemical and microbiological
changes, so the fish undergoes changes in physical, chemical, and functional properties.
The purpose of this practicum students can see and observe physical, chemical, and
functional changes after catching fish that includes observation of temperature, pH,
texture, and water holding capacity. Based on the results of the experiment, the pH value
in the early minutes caused by microbes to reform the protein and fat, resulting in
alkaline compounds, while the decrease in fish pH dgimg caused by the formation of
lactic acid due to the occurrence of anaerobic respiration. Fish flesh has decreased

temperature over time. Decrease in temperature is caused by nervous regulation,
hormones, and cessation of respiratory patterns in fish. The quantity of fish mucus from
time to time decreases, this is a natural condition in fish. While the texture of fish meat
becomes harder / stiffer which is an indication of entering the phase of rigor mortis.
WHC value of fish meat is negative. This is due to the reduced ability of fish protein
protein in water binding.

Keywords: Fish, pH, temperature, texture, water holding capacity.
PENDAHULUAN
Ikan tergolong ke dalam bahan
pangan yang mudah rusak atau
penurunan mutu yang sangat cepat
apabila tidak ditangani dengan baik.
Kerusakan atau kebusukan pada ikan
dapat disebabkan oleh tiga sistem yang
bekerja pada ikan tersebut yaitu enzim
dari ikan itu sendiri, sistem enzim dari
mikrobiologi serta ketengikan. (Irawan,
A. 1995)
Setelah

penangkapan,
ikan
mengalami perubahan biokimia dan
mikrobiologi, sehingga ikan mengalami
perubahan sifat fisik, kimia, dan sifat
fungsional. Pada proses ini, terjadi tiga
fase yaitu prarigor, rigor mortis, dan
postrigor. Pada fase prarigor konsentrasi
ATP masih cukup tinggi dan energi yang

terbentuk masih rendah, tidak cukup
untuk
mengakibatkan
terjadinya
penggabungan antara protein aktin dan
protein miosin menjadi aktomiosin,
sehingga daging ikan menjadi lunak dan
melentur. Kemudian pada fase rigor
mortis daging menjadi keras (kaku atau
rigid). Hal ini terjadi setelah 1-7 jam

ikan mati, dan apabila dibekukan fase
ini terjadi setelah 3-120 jam. Daging
ikan yang kaku ini disebabkan
terjadinya kontraksi hasil interaksi
protein aktin dan protein miosin
membentuk aktomiosin. Selanjutnya,
pada fase post rigor akan terjadi
relaksasi pada daging yaitu melemasnya
kembali daging ikan yang telah
mengalami kekakuan. Relaksasi dapat
terjadi apabila aktomiosin kembali ke
bentuk semulanya yaitu aktin dan

Nama asisten: Hanna Felina
Tanggal praktikum: Desember 2017
Tanggal pengumpulan: Desember 2017
miosin. Bakteri ini akan berkembang
biak dan akan menguraikan komponenkomponen daging yang menyebabkan
kebusukan (Irawan, A. 1995)
Salah satu penyebab terjadinya

proses kemunduran mutu ikan adalah
adanya aktivitas enzim terutama enzim
proteolitik diantaranya enzim katepsin
dan kolagenase (Muchtadi, 2010). Pada
praktikum ini, dilakukan percobaan
mengenai perubahan fisik, kimia, dan
sifat fungsional pascamortem daging
ikan. Daging yang digunakan dalam
praktikum ini adalah daging ikan segar.
Pengamatan yang dilakukan mengenai
pengukuran pH, suhu, kekerasan secara
subjektif, dan pengukuran Water
Holding Capacity pada protein daging
ikan.
Tujuan praktikum ini mahasiswa
dapat melihat dan mengamati perubahan
fisik, kimia, dan fungsional pacsa
tangkap ikan yang meliputi pengamatan
suhu, pH, tekstur, dan water holding
capacity

METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum
kali ini antaralain: Gelas ukur, mortar
dan alu, pH meter, pisau, sentrifusi,
talenan, termometer infrared.
Bahan
yang
digunakan
pada
praktikum kali ini antaralain:. Akuades
dan ikan hidup

Penentuan pH Ikan
Mula-mula
ikan
dimatikan,
pengukuran pH dilakukan dengan cara
menyampurkan 5 gram daging dengan 5
mL akuades, kemudian diukur pHnya

setiap 10 menit selama 1 jam
menggunakan pH meter.
Pengukuran Suhu Ikan

Pengukuran suhu dilakukan setiap
10 menit selama 1 jam. Sampel ikan
yang digunakan terlebih dahulu

dimatikan dengan cara memukul
bagian kelapanya, kemudian tubuh
ikan disisik dan dibelah pada bagian
perut hingga bagian dalam daging
terlihat. Pengukuran suhu daging
ikan
dilakukan
dengan
alat
termometer infrared. Pengukuran
suhu dilakukan pada daging ikan
bagian dalam karena suhu pada agian

dalam ikan cenderung stabil,
sehingga dapat menghasilkan data
yang akurat.
Penentuan Tekstur Ikan
Mula-mula sampel ikan dimatikan
dengan cara dipukul pada bagian kepala,
kemudian ikan dibiarkan dengan kondisi
utuh dan tanpa disisik pada suhu
ruangan. Tekstur ditentukan dengan cara
ditekan oleh ibu jari setiap 30 menit
selama 1 jam.
Penentuan
capacity)

WHC

(Water

holding


Mula-mula sampel ikan dimatikan
dengan cara dipukul pada bagian kepala,
dan tubuh ikan disisik, ambil 10 gram
daging ikan, kemudian dihaluskan dan
ditambahkan akuades sebanyak 10 ml,
setelah itu daging ikan dimasukkan ke
dalam tabung sentrifugasi, selanjutnya
daging ikan disimpan dalam suhu 0
℃ selama 1 hari. Daging ikan
cincang yang telah disimpan dalam suhu
dingin selama 1 hari tersebut kemudian
disentrifugasi (300 RPM) selama 20
menit. Setelah itu, air yang terpisah
dengan
padatan
daging
diukur
volumenya dan dihitung nilai WHCnya
berdasarkan rumus berikut:


Volume awal−Volume akhir
x 100
Berat ikan

PEMBAHASAN
Pengukuran pH daging dilakukan
dengan cara menyampurkan 5 gram
daging ikan yang disimpan pada suhu
ruang dengan 5 ml akuades, kemudian

Nama asisten: Hanna Felina
Tanggal praktikum: Desember 2017
Tanggal pengumpulan: Desember 2017
diukur pHnya setiap 10 menit selama
rentang waktu 1 jam dengan alat
pHmeter.

Tabel 1. Hasil Pengukuran pH
pada Daging Ikan
K

el.

pH
0’

10


20


30


40


50



60


1

6,
91

5,
43

6,
12

5,
87

5,
78

6,
07

6,
36

6

6,
80

6,
85

7,
08

6,
94

7,
07

6,
71

6,
67

(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengukuran pH
daging ikan, diperoleh nilai pH daging
berkisar antara 5,4-7,08. Menurut
Tranggono dan Sutardi (1990), hewan
yang
pada
kematiannya
banyak
melakukan gerakan seperti halnya pada
ikan, maka kandungan glikogen akan
menurun, akibatnya pH akhir yang
dicapai sekitar 6,0-6,6 dan pada hewan
yang banyak beristirahat sebelum
pemotongannya maka
pascamortem
karkas memiliki pH akhir antara 5,3-5,5
(Tranggono dan Sutardi, 1990).
Berdasarkan data kelompok 1,
Daging ikan yang disimpan di suhu
ruang, nilai pH daging ikan mengalami
perubahan yang tidak konstan, nilai pH
terpantau turun naik dari menit ke-0
sampai menit ke-60. Hal ini diduga
akibat suhu ruangan praktikum tidak
stabil. Menurut Liviawaty dan Afrianto
(2014) ada keterkaitan/hubungan antara
suhu dengan penurunan/kenaikan pH.
Sedangkan nilai pH daging ikan pada
data kelompok 6 mengalami kenaikan

dari menit ke-0 sampai menit ke-20
sebelum akhirnya turun pada menit ke30, dan ph naik kembali pada menit ke40. Nilai ph kembali turun pada menit
ke-50 sampai menit ke-60. Peningkatan
nilai pH pada menit-menit awal terjadi
karena enzim yang berasal dari daging
ikan
dan
mikroba
melakukan
perombakan terhadap protein dan lemak,
sehingga
menghasilkan
senyawasenyawa bersifat basa (Liviawaty dan
Afrianto, 2014). Sedangkan penurunan
pH yang terjadi disebabkan oleh
terbentuknya asam laktat akibat
terjadinya respirasi anaerob. Lintasan
glikolitik
berkaitan
dengan
pembentukan ATP dan penurunan pH
yang secara langsung menentukan
berlangsungnya rigor mortis. Fase rigor
mortis berlaku singkat, yaiu sekitar satu
hingga tujuh jam setelah ikan mati
(Liviawaty dan Afrianto, 2014).
Umumnya saat setelah ikan mati pH
ikan mendekati netral yaitu 6,8 hingga
netral. Menurut Tranggono dan Sutardi
(1990), perubahan seperti penurunan
pH, kandungan keratin fosfat dan ATP
berlangsung lambat hanya pada suhu
rendah. Suhu rendah mengakibatkan
aktivitas enzim glikolitik dan reaksi
berlangsung lambat. Dengan demikian,
secara tidak langsung dapat diketahui
bahwa daging ikan yang disimpan pada
suhu rendah lebih lambat menuju
pembusukan
dibandingkan
dengan
daging yang disimpan pada suhu ruang.
Berikut skema respirasi anaerob yang
menghasilkan produk berupa asam
laktat:

Gambar 1. Skema Perubahan Glikogen

(Sumber: Liviawaty dan Afrianto, 2014)
Pengukuran Suhu Daging Ikan

Perlakuan terhadap suhu ikan pasca
tangkap harus diperhatikan, suhu tinggi
dapat mempercepat penurunan pH

Nama asisten: Hanna Felina
Tanggal praktikum: Desember 2017
Tanggal pengumpulan: Desember 2017
daging pasca mortem dan menurunkan
kapasitas
mengikat
air
karena
meningkatnya denaturasi protein daging
dan meningkatnya perpindahan air ke
ruang ekstraseluler (Lawrie, 1996).
Kondisi Suhu pada daging akan
berpengaruh
pada
struktur,
pengembangan ( swelling ) dan daya
larut protein. Kondisi protein tersebut
akan berpengaruh terhadap daya ikat
( Water Holding Capacity ) dan
juiciness
(kemampuan
untuk
menghasilkan cairan), daya emulsi,
kemampuan membentuk gel, kekerasan,
warna dan umur simpan. (Lawrie, 1996)

Tabel 2. Hasil Pengukuran Suhu
Daging Ikan

Ke
l.
2
7

0’
26,
4
26,
2

10

24,
9
24,
8

T
20

24,
7
24,
6


30

24,
6
24,
5

40

23,
5
23,
7

50

23,
4
23,
6

60

23,
2
23,
5

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengukuran, dapat
diketahui bahwa daging ikan yang
disimpan pada suhu ruang mengalami
penurunan dari waktu ke waktu.
Penurunan suhu pada daging ikan
disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain yaitu regulasi nervous, hormona,
dan terhentinya pola respirasi pada ikan
(Lawrie, 1995).

Tabel 3. Pengukuran Tekstur
Kel

Waktu

Lendir

Tekstur

0’
Ada, bening sewajarnya
30’
Ada, bening sedikit
60’
Sangat sedikit
0’
Ada, bening
8
30’
Ada, bening sedikit
60’
Sangat sedikit
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)

Keras Keras +
Keras +++
kenyal ++
Kenyal +
kaku

3

Berdasarkan
hasil
pengamatan,
kuantitas lendir ikan dari waktu ke
waktu semakin berkurang. hal ini sesuai
dengan pernyataan Herudiyanto (2006)
bahwa ikan segar memiliki ciri sedikit
lendir pada kulit, tubuh kaku atau diam.
Sedangkan tekstur daging ikan dari
waktu ke waktu menjadi lebih keras/
kaku. Kekerasan pada daging ini
merupakan indikasi bahwa daging ikan

mulai memasuki fase rigor mortis.
(Tranggono dan Sutardi, 1990).
Menurut Tranggono dan Sutardi
(1990), jangka waktu antara matinya
ikan dan berlangsungnya rigor mortis
ditentukan oleh aktivitas enzim dalam
sistem yang ada kaitannya dengan
pembentukan dan pemecahan ATP. Suhu
rendah akan memperlambat aktivitas
enzim sehingga jangka waktu menuju
rigor mortis semakin lama.

Tabel 4. Hasil Pengamatan Pengukuran WHC
Volume Air (ml)
Ke Waktu
Berat
l
(t)
(gr)
Awal
Akhir
4
10
14
10
60’
9
10
12
10
5
10
9.5
10
120’
10
10
10.5
10
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

%WHC
-40
-20
5
-5

Nama asisten: Hanna Felina
Tanggal praktikum: Desember 2017
Tanggal pengumpulan: Desember 2017
Water Holding Capacity (WHC)
didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengikat air selama diberi gaya,
tekanan,
sentrifugasi,
ataupun
pemanasan. WHC merupakan sifat fisik
pada struktur makanan yang mencegah
keluarnya air dari struktur tiga dimensi
protein (Zayas, 1997). Pada praktikum
ini, dilakukan pengukuran nilai WHC
pada daging ikan dengan cara
sentrifugasi.
Berdasarkan hasil pengukuran WHC,
dapat diketahui bahwa nilai WHC pada
sampel daging ikan yang didiamkan
selama
60 sampai
120 menit
menunjukan nilai WHC yang negatif.
Hal ini mengindikasikan berkurangnya
kemampuan protein daging ikan dalam
mengikat air. Penyebab dari penurunan
WHC ini adalah berkurangnya kualitas
daging selama penyimpanan sebagai
akibat turunnya pH daging karena
pembentukan asam laktat. Turunnya pH
merubah kondisi menjadi asam yang
disertai
dengan
berbagai
reaksi
eksotermis seperti glikolisis yang
berpengaruh terhadap protein daging
dan ikan. Sensitivitas protein meningkat
karena perubahan pH yang nyata. Pada
tahap
prarigor
daging
memiliki
kemampuan memegang air yang tinggi
yang akan turun beberapa jam setelah
hewan mati dan mencapai penurunan
maksimum pada saat terjadinya rigor
mortis (Tranggono dan Sutardi, 1990).
KESIMPULAN
Besarnya nilai pH pada menit-menit
awal
diakibatkan
oleh
mikroba
melakukan perombakan terhadap protein
dan lemak, sehingga menghasilkan
senyawa-senyawa
bersifat
basa,
sedangkan penurunan pH pada dagimg
ikan disebabkan oleh terbentuknya asam
laktat akibat terjadinya respirasi
anaerob.
Daging ikan mengalami penurunan
suhu dari waktu ke waktu. Penurunan
suhu disebabkan oleh regulasi nervous,
hormona, dan terhentinya pola respirasi
pada ikan.

Kuantitas lendir ikan dari waktu ke
waktu semakin berkurang, hal ini
merupakan kondisi alamiah pada ikan.
Sedangkan tekstur daging ikan menjadi
lebih keras/ kaku yang merupakan
indikasi memasuki fase rigor mortis.
Nilai WHC daging ikan negatif. Hal ini
akibat
berkurangnya
kemampuan
protein daging ikan dalam mengikat air.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan E. Liviawaty, 1989.
Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Herudiyanto, Marleen. 2006. Bahan Ajar
Pengantar Teknologi Pengolahan
Pangan. Jatinangor.
Irawan, A. 1995. Pengawetan Ikan dan
Hasil Perikanan, Cara Mengolah
dan
Mengawetkan
Secara
Tradisional dan Modern. Penerbit
CV. Aneka Solo
Muchtadi, 2010.. Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. 2010. Bogor:
Alfabeta CV
Tranggono dan Sutardi. 1990. Biokimia
dan Teknologi Pascapanen. PAU
Pangan dan Gizi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Zayas, J.F. 1997. Fungtional Properties
of Protein in Food. Springer-Verlag.
Berlin.