Artikel Cogito Semester 2 Oleh Titus Noveno H.

Fenomena Banjir dan Kajian Filosofisnya
Oleh Titus Noveno H.

“Alam tidak membuat sesuatu pun dengan sia-sia saja dan tidak membuat sesuatu berkelebihan”
–AristotelesBagi orang-orang terdahulu yang hidup di pulau ini, alam begitu ditakuti dan dihormati.
Melihat dan mendengar halilintar yang menggelegarkan suaranya sudah cukup membuat mereka ini
takjub dan takut. Alam diperlakukan bak seseorang yang memiliki jiwa dan roh dengan memberi
aneka rupa sesajen. Di sisi lain, alam dihormati karena memberi penghidupan kepada umat
manusia. Hasil bumi selalu tumbuh dengan baik berkat tanah yang subur. Adanya tanah subur
berkat hujan yang jatuh ke bumi tepat pada musimnya. Barulah dikemudian hari bangsa manusia
mengenal keteraturan siklus alam ini dan mewariskannya dalam bentuk pengetahuan.
Namun, kita sebagai manusia
masa kini harus mengakui bahwa alam
tidak lagi teratur. Hujan tak lagi turun
tepat pada waktunya. Di banyak tempat
di Indonesia, datangnya hujan justru
menyebabkan
menyengsarakan

banjir
manusia.


yang
Sebutlah

Jakarta dan Manado yang beberapa saat
lalu tidak luput dari terjangan banjir.
Aktifitas

perekonomian

menjadi

lumpuh. Belum lagi bencana tahunan di
ibu kota ini merenggut korban jiwa
akibat penyakit maupun tersengat arus
listrik.
Air hujan yang seharusnya mengalir lewat sungai dan bermuara ke laut kini malah
menerjang permukiman penduduk. Jika demikian, pemberian alam sangat berlebihan, bahkan siasia. Pengetahuan tentang keteraturan siklus alam yang diwariskan nenek moyang kita agaknya perlu
dikaji lagi. Menanggapi fenomena tersebut, pantaslah kita bertanya apakah alam masih memiliki
keteraturan dewasa ini?


Mengenal alam
Sejarah mencatat, usaha manusia mengenal alam membutuhkan proses yang panjang.
Sebutlah bangsa Yunani sebagai kiblat ilmu pengetahuan kuno. Awalnya, mereka takjub
(thaumasia) melihat keindahan alam ini. Belum lagi aneka mitos yang tumbuh subur di kalangan
mereka semakin merangsang keingintahuan untuk menyelidiki alam. Mulailah gerakan untuk
mempertanyakan kebenaran mitos-mitos tersebut melalui logos (akalbudi, rasio). Peranan logos
makin populer karena dalam upaya menyelidiki alam, ia dapat dikontrol oleh siapa saja. Argumen
pun menjadi lebih logis, rasional, dan terbuka kemungkinan untuk memperdebatkannya. Dengan
cara inilah filsafat lahir.
Para filsuf awali mencoba untuk menemukan bahan dasar penyusun bumi. Ada yang
mengatakan bahwa udara adalah materi dasarnya, sementara yang lain mengusulkan air, api, bahkan
tanah. Sungguhpun terjadi perdebatan seru di antara mereka perihal zat asali penyusun bumi, namun
mereka sepakat bahwa alam semesta dikuasai oleh suatu hukum yang membuatnya teratur.
Keteraturan alam dikenal dengan istilah kosmos, yang juga memiliki lawannya, yakni chaos atau
keadaan kacau.
Seiring berjalannya waktu, Aristoteles menyempurnakan pemikiran tentang alam. Ia
mengatakan bahwa alam memiliki tujuan (telos). Berkembangnya alam semesta diandaikan menuju
kepada tujuan tersebut. Dalam rangka merealisasikan kodratnya (physis), alam – yang terdiri dari
keseluruhan benda-benda alamiah – bekerja secara harmonis. Tiap-tiap materi alam bergerak ke

tempat kodratinya dan dengan demikian menyatakan kodratnya. Contoh: batu yang jatuh dan asap
yang membumbung.
Demikianlah filsafat Barat menyelidiki alam dan memandangnya sebagai obyek sehingga
bisa dimanfaatkan demi kesejahteraan umat manusia. Hal ini terjadi sebab mereka telah mengetahui
bahwa alam memiliki keteraturan (siklus) yang nyatanya bisa dipelajari. Kendati demikian, alam
tidak mau terus-menerus dijajah manusia. Fenomena banjir di Jakarta dan Manado memaksa kita
merubah paradigma tentang alam; ia bukan obyek, tetapi harus diperlakukan sebagai subyek.
Filsafat Barat dan pemikirannya tentang alam rupanya belum cukup ampuh untuk menjawab
fenomena di atas.

Alam dan filsafat timur
Filsafat Timur memandang alam sebagai subyek yang harus dihormati dan dijaga
keteraturannya. Keteraturan ini mengandaikan peran serta manusia di dalamnya. Keselarasan alam
dalam filsafat Cina meliputi T’ien atau langit, bumi, dan manusia. Confucius, salah satu filsuf Cina
termasyur mengatakan bahwa alam adalah baik dan dapat mengatur
dirinya sendiri. Sudah menjadi tugas manusia untuk mengikuti aturan
alam sebab keberadaan dan kodrat manusia berasal dari T’ien.
Ontologinya, hidup manusia harus tertuju ke langit (T’ien) karena
hidupnya adalah pemberian langit. Oleh sebab itu, hubungan manusia
dengan alam haruslah selaras.

Dalam filsafat Cina, manusia dilihat sebagai agen alam yang bertujuan menyusun fondasi
dari kebudayaan galaksi, yakni arus keberadaan alam semesta berbentuk ekspresi tak terbatas.
Kebudayan ini yang akan menyatukan kembali seluruh alam semesta dalam kebaikan dan harmoni.
Jika manusia mengikuti aturan alam, maka hidup menjadi tenang dan teratur. Sebaliknya, jika
manusia membangkang, maka yang terjadi hanyalah kekacauan dimana-mana. Eksistensi kita pun
terancam. Keteraturan alam menginspirasi para filsuf Cina dan membuahkan pemikiran terkenal,
yaitu Yin dan Yang. Yin mewakili sifat feminin, sementara Yang maskulin. Keduanya memang
berlawanan, tetapi perpaduannya merupakan syarat keharmonisan alam.
Fenomena terkait Yin dan Yang yang mudah kita amati adalah pergantian malam ke pagi
dan sebaliknya. Saat malam menjelang, cahaya matahari hilang sementara bulan bersinar. Suasana
menjadi gelap seperti konsep Yin. Ketika fajar merekah, suasana menjadi terang kembali seperti
konsep Yang. Dinamika pergantian hari adalah sifat alam yang normal. Mengapa tidak selamanya
gelap atau terang saja? Yin dan Yang sudah menjawabnya.
Berguru pada alam
Harus diakui bahwa filsafat Cina ‘memperlakukan’ alam dengan lebih baik ketimbang
filsafat Barat. Wisdom atau kebijaksanaan yang bagi orang Barat ialah menggunakan rasio melulu,
ternyata tidak sejalan dengan orang Timur. Wisdom sebagai pengetahuan praktis yang didasari oleh
refleksi, penilaian, dan kepedulian terjadap seni kehidupan tampil melalui pemikiran banyak filsuf
Timur seperti Confucius. Penggunaan perasaan, gairah, dan intuisi dalam proses memahami sesuatu
tidaklah buruk, melainkan sangat manusiawi. Pemikiran akan menjadi tidak seimbang jika kita

hanya mengandalkan rasio.

Benang merahnya adalah keteraturan alam diakui baik oleh filsafat Barat maupun Timur.
Terkait fenomena banjir, kita harus mengakui bahwa kekacauan alam ini adalah akibat manusia.
Sekarang tinggal bagaimana usaha kita menjaga keteraturannya. Himbauan membuang sampah
pada tempatnya, reboisasi hutan, mengurangi polusi udara, dan menambah daerah resapan air hujan
di perkotaan hanya akan sia-sia bila kita tidak mau berguru pada alam yang tertib dan teratur itu.
Kiranya masyarakat mau membuka diri dan berguru pada keteraturan alam; matahari terbit dan
terbenam tepat pada waktunya. Siang tak pernah lebih panjang dari malam. Bila kita telah
menjadikan diri teratur seperti alam, mengerti kedudukan dan fungsi kita di hadapan alam, niscaya
usaha kita untuk back to nature akan berhasil.

***

Sumber:
BERTENS K. Prof. Dr., Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi), Kanisius, Yogyakarta 1984.
TAKWIN, BAGUS, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Jalasutra,
Yogyakarta 2009.