Dinamika Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa FISIP USU dalam Menjaga Harmonisasi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan sebuah negara yang multikultural. Multikulturalisme
adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan
menggunakan lebih dari satu kebudayaan (KBBI online). Indonesia sebagai
negara yang multikultural terlihat dari perbedaan ras, suku bangsa dan agama
yang beragam yang hidup berdampingan. Hal ini menyebabkan karakteristik
masyarakat di Indonesia menjadi heterogen di mana pola hubungan sosial antar
individu di dalam masyarakat bersifat toleran dan hidup berdampingan secara
damai satu sama lain dengan perbedaan yang melekat pada diri setiap individu.
Multikulturalisme yang dimiliki bangsa Indonesia ini merupakan satu
faktor yang tidak dapat dihindari. Keberagaman tersebut dapat menimbulkan
kesalahpahaman dalam kegiatan berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya,
baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Inilah yang sering menyebabkan
timbulnya konflik di dalam masyarakat yang dapat menyebabkan perpecahan.
Untuk menghindarinya, multikulturalisme

harus senantiasa dikelola dan


dipelihara agar tetap berada pada situasi dan kondisi yang kondusif dan
menguntungkan, serta bukan hal yang sebaliknya. Komunikasi sangat dibutuhkan
pada situasi seperti ini, karena hubungan antarbudaya dan komunikasi penting
dipahami untuk memahami antarbudaya. Inti budaya adalah komunikasi, karena
budaya timbul dari komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta
pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang bersangkutan.
Dengan

kata

lain,

melalui

pengaruh

budayalah

orang-orang


belajar

berkomunikasi. Budaya tidak akan eksis tanpa komunikasi dan komunikasi pun
tidak akan eksis tanpa budaya (Mulyana, 2004:14).
Ketika individu berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain yang
berbeda budaya, maka mereka dikatakan telah melakukan komunikasi

1
Universitas Sumatera Utara

2

antarbudaya. Budaya mencakup keseluruhan sistem komunikasi yang terdiri dari
perilaku manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Lustig dan Koester
(1993) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah suatu proses
komunikasi simbolik, interpretative, transaksional, kontekstual yang dilakukan
oleh sejumlah orang – yang memiliki perbedaan kepentingan – memberikan
interpretasi dan yang berbeda harapan terhadap apa yang disampaikan, dalam
bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Liliweri, 2004:11).
Menurut Samovar dan Poerter (2003:8-11), ada 5 karakteristik penting dari

kebudayaan, yaitu: 1) budaya itu dipelajari, 2) budaya adalah simbol (verbal
ataupun nonverbal), 3) budaya tumbuh serta berubah dari generasi ke generasi, 4)
budaya dapat dipertukarkan, dan 5) budaya itu etnosentris (Lubis, 2012:13).
Apabila multikulturalisme dapat dikelola dengan baik, maka akan menjadikan
bangsa ini selalu damai dan stabil dalam segala aspek kehidupannya. Hal ini tentu
dapat menjadi kelebihan Indonesia dan dapat menjadi contoh atau panutan bagi
bangsa-bangsa lain yang memiliki karakteristik yang serupa dengan Indonesia.
Budaya itu kuat dan stabil, meskipun demikian budaya tidak pernah statis.
Kelompok budaya menghadapi tantangan berkesinambungan dari pengaruh kuat,
seperti pergolakan lingkungan, tulah, peperangan, migrasi, banjir, imigrasi, dan
pertumbuhan teknologi baru. Sebagai akibatnya, budaya berubah dan berkembang
dari waktu ke waktu (Samovar dkk, 2010:47). Seiring berkembangnya zaman,
hubungan antarbudaya di antara manusia juga mengalami perkembangan dan
pergeseran. Saat ini, kehidupan manusia yang semakin dinamis menyebabkan
individu lebih mudah untuk mendapatkan informasi dan lebih mudah dalam
berpindah tempat sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan orang lain yang
berbeda ras, suku bangsa dan agama lebih besar. Semakin sering individu
dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan akan semakin
besar kemungkinan individu untuk menumbuhkan sikap toleransi dan saling
menghormati perbedaan yang ada. Pergeseran dan perubahan inilah yang disebut

dinamika dalam komunikasi antarbudaya.
Saat

kebudayaan

mengalami

perubahan

dan

pergeseran,

perlu

ditumbuhkan rasa toleransi dan saling menghargai yang kuat agar kehidupan

Universitas Sumatera Utara

3


antarbudaya dapat harmonis. Hubungan harmonis dapat digambarkan sebagai
suatu keadaan di mana tidak ada pertengkaran atau ketidaksepahaman, yang ada
hanyalah hubungan yang damai dan kesetaraan antar individu. Sedangkan
harmonisasi yaitu suatu keadaan yang harmonis dan tidak ada pertentangan dalam
kehidupan masyarakat yang berbeda budaya. Sikap saling mengapresiasi antara
sistem budaya subkultur yang satu dengan yang lainnya adalah modal utama
untuk terjadinya situasi yang harmonis dan kondusif dalam tata pergaulan
masyarakat di Indonesia. Dengan adanya sikap tenggang rasa antar sistem budaya
subkultur maka akan terjadi toleransi antar budaya yang ujungnya adalah
terciptanya sikap dan perilaku budaya antar suku/etnik yang menjunjung asas
persatuan dalam keberagaman dan kerjasama dalam perbedaan, sehingga
masyarakat yang berbeda budaya dapat hidup saling berdampingan dengan damai.
Masyarakat adalah sebuah sistem di mana terdapat interaksi antar
komponen, baik individu, kelompok atau lembaga-lembaga. Mereka hidup saling
bergantung, saling

pengaruh-mempengaruhi, saling

menjaga


dan

saling

menghargai harmonitas sosial yang tersusun berdasarkan suatu ikatan normanorma dan nilai-nilai yang diakui, ditaati dan dianut untuk mengatur jalannya
interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari (social interaction and everyday life),
demi menjaga keseimbangan keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri
(Purwasito, 2003:81). Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang
memiliki pengetahuan dan kesadaran yang tinggi di dalam masyarakat, di mana
mereka terdiri dari latar belakang yang berbeda. Secara sederhana, mahasiswa
dapat diartikan sebagai status yang diberikan kepada pelajar pada tingkat yang
paling tinggi dan dianggap sebagai kaum intelektual yang menjadi calon
pemimpin nantinya dan mempunyai kedudukan istimewa dalam masyarakat
(Effendy, 2004:194).
Di Indonesia, para mahasiswa di suatu universitas berasal dari berbagai
daerah sehingga mahasiswa akan lebih banyak bertemu dengan mahasiswa lain
yang berbeda kebudayaan. Sebagai individu yang terdidik, mahasiswa akan
menjadi orang yang lebih mengerti dan bijaksana dalam menghadapi orang
dengan latar belakang budaya yang berbeda. Terkhusus pada mahasiswa jurusan


Universitas Sumatera Utara

4

ilmu-ilmu sosial, mahasiswa dituntut sebagai orang yang lebih mudah berbaur dan
saling menerima serta menghormati perbedaan yang ada. Oleh karena itu,
lingkungan kampus juga tidak terlepas dari kegiatan komunikasi antarbudaya.
Beberapa penelitian komunikasi antarbudaya yang berkenaan dengan
penelitian ini adalah, antara lain penelitian Iswari dan Pawito (2012),

yang

berjudul “Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa : Studi tentang
Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa Etnis Batak dengan
Mahasiswa Etnis Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta” menyatakan
bahwa “Pertama, hambatan-hambatan yang ditemukan dalam proses komunikasi
antarbudaya di kalangan mahasiswa etnis Batak dengan etnis Jawa yang ada di
Universitas


Sebelas

Maret

Surakarta

adalah

stereotipe,

keterasingan

(strangershood), dan ketidakpastian (uncertainty) yang dialami oleh mahasiswa
etnis Batak. Kedua, efektivitas komunikasi di antara mahasiswa etnis Batak dan
etnis Jawa dapat dicapai dengan mengatasi hambatan dan perbedaan latar
belakang budaya yang ada dengan sikap terbuka, empati dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri.”
Penelitian Henny, Rochayanti, dan Isbandi (2011) yang berjudul
“Komunikasi


Antarbudaya

Mahasiswa

Korea

Selatan

di

Yogyakarta”

menyatakan bahwa “Mahasiswa Korea cenderung tertutup terlebih dengan orang
asing. Mereka cenderung melindungi diri dari orang asing, pendiam, dan
berbicara yang penting-penting saja. Mereka bersedia berkomunikasi dengan
orang yang baru jika dikenalkan oleh orang yang sudah dikenal (melalui
perantara). Walaupun demikian, komunikasi antarbudaya tidak dapat terhindarkan
antara mahasiswa Korea dengan tuan rumah. Keterbatasan bahasa dan segala
perbedaan yang mereka rasakan selama tinggal di Yogyakarta menimbulkan rasa
ketidakpastian dan kekhawatiran dengan tahap penyesuaian diri dengan keadaan

mereka saat ini. Mahasiswa Korea mengalami perbedaan permasalahan dan
memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi karena
setiap individu memiliki karakteristik tersendiri untuk dapat menyelesaikan
masalah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di Yogyakarta”.

Universitas Sumatera Utara

5

Di kota Medan juga terdapat penelitian komunikasi antarbudaya, antara
lain: Lubis (2012) yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan
Pribumi di Kota Medan” menyatakan bahwa “masyarakat etnis Tionghoa di kota
Medan banyak di antaranya masih menganut kepercayaan Sinkretisme yang telah
diwariskan turun temurun. Berbeda halnya dengan etnis pribumi yang pada
umumnya beragama Islam atau Kristen. Namun disebabkan perkawinan antara
etnis maka terjadinya perpindahan agama, khususnya kepada agama islam
bukanlah suatu hal yang mudah bagi etnis Tionghoa. Penemuan data wawancara
mendapati bahwa etnis Tionghoa mualaf telah dipinggirkan dari keluarga inti
maupun keluarga besar karena dianggap sial dan bahkan ada yang tidak dianggap
anak lagi setelah bertukar ke agama Islam dan menikah dengan salah satu etnis

pribumi. Bahkan kesan yang lebih lagi adalah pengamatan penulis pada etnis
Tionghoa yang mualaf di mana hubungan perdagangan terhenti karena
perdagangan tersebut umumnya tumbuh dan berkembang dari hubungan
perdagangan keluarga. Perpindahan agama atau kepercayaan etnis

Tionghoa

kepada Islam atau Kristen yang umumnya disebabkan karena perkawinan dengan
etnis pribumi memberi sumbangan besar sebagai salah satu aspek budaya yang
telah turut berperan dalam mengubah cara pandang antara etnis. Selain itu, dengan
meningkatkan frekuensi komunikasi antarbudaya akan meningkatkan pemahaman
terhadap nilai-nilai budaya di antara etnis Tionghoa dan Pribumi di kota Medan
sehingga pandangan dunia terhadap masing-masing etnis bertambah luas dan ini
dapat dilihat dari tampilan sikap atau perilaku.”
Lubis dan Pinem (2012) meneliti mengenai “Culture Shock pada
Mahasiswa Asal Malaysia di Medan.” Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
“sebagai individu yang berasal dari negara yang berbeda dengan membawa segala
bentuk budaya yang sudah tertanam dan melekat dalam diri individu tersebut,
maka ketika memasuki kota Medan dan kuliah di USU merupakan suatu
pengalaman yang baru dan mereka pun turut mengalami gegar budaya (culture
shock). Hal seperti penggunaan bahasa yang keras dan kasar, susah makan, lihat
jalan yang macet dan kurang teratur menimbulkan kecemasan pada informan.”

Universitas Sumatera Utara

6

Penelitian Riska Indria (2012) yang berjudul “Efektifitas Komunikasi
Antarbudaya di Pasar

Tradisional

(Studi Kasus Efektifitas Komunikasi

Antarbudaya Antar Penjual Dan Pembeli Di Pasar Tradisional Petisah Medan)”
menyatakan bahwa “para penjual di sana kebanyakan menggunakan bahasa
Indonesia dengan penjual yang lain terlebih lagi kepada pembeli. Hal ini
disebabkan karena banyaknya ragam suku yang terdapat di pasar Petisah,
sehingga lebih didominasi pemakaian dengan bahasa Indonesia sebagai salah satu
cara/ alat interaksi di antara para penjual dan pembeli. Pada umumnya, suku
yang paling sering berkomunikasi dengan bahasa daerah mereka sendiri adalah
etnis Tionghoa. Faktanya di lapangan menunjukkan bahwa etnis Tionghoa sangat
sering memakai bahasa daerah mereka sendiri karena pada umumnya
masyarakat pribumi tidak mengerti bahasa dari etnis Tionghoa itu sendiri,
jadi secara tidak langsung bahasa yang mereka pakai dapat menjadi bahasa
rahasia mereka dengan masyarakat pribumi. Di sisi lain jika suku Batak, Karo,
Jawa, dan Padang menggunakan bahasa daerahnya sendiri, etnis Tionghoa dapat
mengerti dengan apa yang dikatakan oleh suku tersebut. Hal ini disebabkan
karena, bahasa daerah di antara suku tersebut memiliki kesamaan makna/arti
maupun dalam hal segi pengucapannya sehingga mudah dipelajari oleh suku
yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa bahasa daerah dari suku Batak, Karo,
Jawa dan Padang lebih mudah untuk dimengerti dan dipelajari dibandingkan
dengan bahasa dari etnis Tionghoa itu sendiri.”
Penelitian-penelitian di atas menggambarkan dinamika komunikasi
antarbudaya dalam beberapa konteks yang berbeda-beda. Seperti halnya bahasa,
budaya yang berbeda, gaya hidup yang berbeda, makanan hingga pada hambatanhambatan yang mereka alami ketika berbeda budaya dengan orang lain di
sekitarnya. Hal tersebut pastinya pernah dihadapi oleh hampir semua orang tanpa
terkecuali, dan cara menghadapi situasi seperti ini pastinya berbeda pada diri satu
individu dengan individu lainnya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti
Komunikasi antarbudaya dari aspek dinamika dalam kaitannya dengan menjaga
harmonisasi. Penelitian ini akan diadakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

7

Universitas Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan pada pra survey yang peneliti
lakukan menunjukkan banyak mahasiswa yang datang dari latar belakang budaya
seperti: suku batak (termasuk toba, karo, mandailing, tapanuli, simalungun, dan
pak-pak), suku jawa, suku padang, suku aceh, sunda, melayu, nias dan tionghoa
(pra survey dilakukan Desember 2013). Setiap suku bangsa ini memiliki ciri-ciri
tersendiri dan tata budaya yang berbeda-beda, sehingga peneliti ingin melihat
mahasiswa yang berbeda budaya tersebut dapat saling berinteraksi dan
berkomunikasi serta saling menyelaraskan perbedaan yang ada sebagai mahasiswa
yang berkuliah di FISIP USU sehingga tamat.

Universitas Sumatera Utara

8

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan tersebut, peneliti
merumuskan permasalahan adalah “Bagaimanakah Dinamika Komunikasi
Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa FISIP USU dalam Menjaga Harmonisasi?”
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas yang dapat
membuat penelitian menjadi tidak jelas, maka penelitian ini dibatasi sebagai
berikut.
1. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu menggambarkan
keadaan atau peristiwa komunikasi antar mahasiswa yang berbeda latar
belakang budaya di kampus FISIP USU.
2. Objek pada penelitian ini adalah mahasiswa FISIP USU yang masih
aktif menjalani perkuliahan, diambil dari angkatan 2010-2012. Hal ini
dikarenakan peneliti beranggapan bahwa angkatan 2010-2012 sudah
cukup lama menempuh pendidikan di FISIP USU, sehingga
kemungkinan untuk lebih memahami komunikasi antarbudaya dengan
teman yang berbeda latarbelakang budaya lebih besar.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dinamika komunikasi antarbudaya di kalangan
mahasiswa FISIP USU
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang
terjadi di kalangan mahasiswa FISIP USU
3. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga
harmonisasi di kalangan mahasiswa FISIP USU

Universitas Sumatera Utara

9

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara akademis
Penelitian ini disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
USU dalam rangka memperkaya khasanah penelitian dan sumber bacaan
2. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
peneliti terhadap penelitian
3. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat memberi masukan-masukan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan

Universitas Sumatera Utara