this PDF file PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA | Heryanto | Nirmana DKV04060104
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH
KRISIS EKONOMI DI INDONESIA
Januar Heryanto
Dosen Universitas Bina Nusantara
dan
Dosen Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi
Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser
kebudayaan tradisional. Seiring dengan adanya pergeseran nilai, konsumerisme juga menjalar
kemana-mana, baik di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Kesimpulan tulisan ini
membuktikan bahwa dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya
modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan
menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.
Kata kunci: pergeseran nilai, kebudayaan tradisional, modernisasi dan konsumerisme.
ABSTRACT
Development in Indonesia, especially since the New Order era, that uses Western
technology and foreign investment has brought about new values that shift society away from
traditional culture. Along with the shift of value, consumerism is spreading in big cities as well as
rural areas in Indonesia. This paper aims to prove that modernization, that uses Western
technology and foreign investment, the encroachment of foreign culture and the diffusion of
consumerism, that are gradually replacing traditional culture, are inevitable.
Keywords: the shift of value, traditional culture, modernization and consumerism.
PENDAHULUAN
Setiap masyarakat yang sedang membangun akan mengalami masa transisi yang
menunjukkan pola perkembangan yang dipengaruhi oleh masalah-masalah sosial,
ekonomi, dan politik. Salah satu gejala serta masalah yang akan diuraikan dalam tulisan
ini ialah perubahan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang kini sedang mengalami
transisi. Sejalan dengan derap langkah pembangunan dan modernisasi di Indonesia yang
memanfaatkan teknologi Barat, terjadi pergeseran kebudayaan. Yang dimaksud dengan
teknologi Barat adalah teknologi yang berasal dari negara-negara industri yang maju
seperti Amerika Utara, Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan dan sebagainya. Dapatkah
52
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
kebudayaan tradisional di Indonesia dipertahankan? Nilai-nilai budaya di Indonesia yang
tradisional sedang menghadapi tantangan dan mengalami polusi.. Sejalan dengan polusi
budaya, gaya hidup dengan falsafah konsumen atau yang disebut konsumerisme terlihat
dimana-mana, utamanya di kota-kota besar di Indonesia. Pengamatan itu sejalan dengan
pendapat Kartjono (1984) yang mengatakan bahwa perkembangan politik yang sekarang
ada di Indonesia, antara lain menimbulkan polusi budaya dan konsumerisme.
Pendapat utama yang ingin penulis sajikan disini ialah bahwa kemajuan di bidang
teknologi dan ekonomi cenderung akan mempengaruhi, bahkan seringkali menggeser
kebudayaan asli suatu negara, bangsa, masyarakat. Mengingat hal itu, dalam proses
modernisasi di Indonesia yang memanfaatkan teknologi Barat, penulis berpendapat kita
tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing atau Barat, yang perlahan-lahan
menyisihkan
kebudayaan
tradisional
di
Indonesia.
Dalam
tulisan
ini
akan
dipertimbangkan sejumlah pendapat dan data dari berbagai sumber yang tersedia. Penulis
akan memfokuskan kejadian-kejadian di kota-kota besar di Indonesia sejak lebih dari tiga
dasa warsa yang lalu hingga kini, tanpa menutup mata akan kejadian-kejadian di
pedesaan di Indonesia.
POLUSI KEBUDAYAAN
Akibat meningkatnya penggunaan radio dan televisi, maka musik-musik pop yang
paling mutakhir dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, rakyat di
pedesaan maupun di gunung-gunung, sudah tidak asing lagi dengan radio. Telah menjadi
hal yang biasa bila anak-anak desa terpencil dapat mendendangkan lagu-lagu pop dari
Yoshua atau penyanyi-penyanyi belia lainnya dan mengetahui kisah putri salju.
Sementara itu, adanya pesawat televisi yang seringkali diletakkan disudut operation room
Pak Lurah, akan mempercepat masuknya kebudayaan asing ke desa-desa. Demikian pula
dengan iklan dan film ikut ambil bagian dalam penyebaran kebudayaan asing. Suatu
contoh sederhana adalah cara minum dari botol, tanpa alat penyedot atau gelas. Anakanak muda sekarang merasa lebih enerjik dan dinamis bila langsung minum dari botol.
Suatu kebiasaan yang akhirnya diterima oleh masyarakat.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 53
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
Di bidang busana, Levi’s telah menjadi kegemaran anak-anak muda maupun
dewasa, pria maupun wanita, di kota maupun di desa. Sementara itu kaum elite dan kelas
menengah, agar kelihatan modern, lebih menyukai busana Barat. Bila kita perhatikan
film-film Indonesia, yang berkebaya atau bersarung, hampir selalu berperan sebagai
orang yang rendah derajatnya, yang bodoh, yang dari kampung atau udik, dan yang kolot.
Di pihak lain wajah-wajah Indo banyak diincar untuk dijadikan bintang-bintang iklan dan
film. Pesatnya kemajuan benda-benda siar: film, televisi, majalah, surat kabar, kalender,
dan sebagainya yang bersifat peraga ikut melambungkan remaja kita yang bertampang
Indo. Jutaan muda-mudi mimpi mendapatkan kesempatan melompat tinggi sedang
kesempatanpun makin banyak. Dimana-mana ada lomba-lomba pop song, foto model,
bintang iklan, peragawati, dan sebagainya. Disamping itu prasarana bagi gadis/wanita
Indonesia yang ingin meniru kecantikan Barat sekarang telah dimudahkan oleh
banyaknya usaha salon kecantikan. Dengan cepat perkara kecantikan Barat ini menjalar
pula ke pedesaan, berkat film dan televisi. Mencium perkembangan ini, siasat salon gesit
juga. Mereka membuka usaha di pinggiran kota, misalnya di jalur lalu lintas wanitawanita yang bekerja di pabrik-pabrik.
Terdapat indikasi banyak digunakannya nama-nama atau istilah asing untuk
gedung-gedung atau merk dagang. Masyarakat dari kelas menengah ke atas, supaya
kelihatan modern atau pandai, banyak menggunakan istilah asing dalam pembicaraan,
ceramah atau pidato. Pendapat ini dikuatkan oleh Kartjono (1984), yang mengatakan :
“In the daily life, it appears among others, in the use of language. The elitism inclines to
always use language which is difficult to be understood by the masses. We can find
examples about this everywhere. To mention, too much use of foreign terms. And when it
is translated, the translation is as peculiar as the former, at least the same difficulty is
faced as to understand it”. Juga adanya rasa bangga atau kagum akan segala sesuatu yang
buatan (product) luar negeri, misalnya pakaian, sepatu, parfum, bahkan pendidikan luar
negeri. Kentucky Fried Chicken dianggap lebih bersih, bergizi, modern dari pada ayam
goreng Ny Suharti. Ini semua belum tentu benar, karena pendidikan luar negeri juga
tergantung di universitas mana dan ayam goreng dengan cara tradisional yang biasanya
menggunakan ayam kampung jauh lebih sehat. Menurut Nuradi (1977), “merupakan
kenyataan bahwa apa saja yang diasosiasikan dengan luar negeri selalu memperoleh
54
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
kepercayaan yang lebih besar”. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Indonesia
berlomba-lomba menunjukkan ke publik bahwa mereka bekerja sama dengan lembaga
pendidikan di luar negeri agar menarik calon siswa dan mahasiswa serta orang tua mereka
(bagian dari stake-holder).
Sebagian anggota masyarakat, bahkan beberapa pemimpin negara berkembang,
berpendapat bahwa mereka dapat mengusahakan kemajuan/modernisasi dengan cara
Barat, sekaligus mempertahankan kebudayaan asli mereka. Adanya pendapat itu juga
diakui oleh Andreas Buss (1984), yang mengatakan : "Many leaders of developing
nations believe that they can achieve Western-style progress and at the same time retain
their culture and their morals". Mengingat adanya
polusi budaya yang terjadi di
Indonesia sekarang ini, penulis tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin negara
yang dikatakan Andreas Buss. Uraian penulis mengenai adanya polusi kebudayaan telah
membuktikan bahwa sejalan dengan masuknya teknologi Barat, kebudayaan Barat juga
masuk dan perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional di Indonesia. Mengapa
dapat terjadi demikian, akan dijelaskan pada bagian lain dari tulisan ini. Pendapat penulis
juga dikuatkan oleh Mochtar Lubis (1981) yang melihat "betapa banyaknya nilai-nilai
budaya bangsa kita yang runtuh selama ini. Sekarang sudah banyak diantara kita yang
berpikir, beranggapan serta menentukan tujuan hidup dengan kerangka baru". Kerangkakerangka baru dan tujuan hidup kita timbul antara lain sebagai akibat masuknya modal
asing, industrialisasi, dan sebagainya.
Sekarang marilah kita perhatikan tempat-tempat rekreasi mewah dan pusat-pusat
hiburan. Walaupun di tengah krisis ekonomi, lantai dansa di kelab-kelab malam, di hotelhotel internasional maupun di diskotik-diskotik penuh sesak, sekalipun untuk menikmati
hiburan itu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, iklan-iklan
minuman bir dan rokok yang ber-merk asing yang setiap hari ditayangkan di televisi,
menggambarkan pola-pola gaya hidup dunia Barat yang merasuki remaja-remaja kita.
Orang tidak malu, bahkan bangga dapat atau mampu membeli karcis untuk menyaksikan
pertunjukan telanjang. Contoh-contoh di atas menunjukkan, di tengah krisis ekonomi
bukan saja terjadi pergeseran nilai-nilai di Indonesia, tetapi juga begitu eratnya dengan
konsumerisme.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 55
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
KONSUMERISME
Sejalan dengan adanya polusi kebudayaan, konsumerisme juga tersebar, utamanya
di kota-kota besar di Indonesia. Di dalam modernisasi terselip falsafah konsumerisme,
yang mengajar orang menjadi konsumtif supaya layak disebut modern. Dalam kondisi
krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat ini, menurut Parsudi Suparlan (2003),
antropolog dari Universitas Indonesia, tidak tampak adanya perasaan tengah mengalami
krisis, malahan konsumerisme terus meningkat. Sebelum menyajikan pembahasan
tentang gaya hidup konsumerisme masa kini, penulis ingin meninjau bagaimana
kehidupan rakyat sehubungan dengan hiburan yang biasanya mereka nikmati sebelum
periode pembangunan yang dijalankan Orde Baru. Rakyat di pedesaan atau di kampungkampung di kota tahun 1960-an, di bidang rekreasi dan hiburan tak tergantung pada
barang-barang impor. Di desa-desa tidak ada pesawat televisi atau gedung bioskop.
Hanya beberapa penduduk yang mempunyai radio. Pada waktu itu hiburan yang sering
dilakukan adalah mengobrol dengan teman-teman atau sanak keluarga. Hiburan lainnya,
misalnya sepak bola, menonton wayang, lomba perkutut, adu ayam, dan sebagainya.
Di jaman pembangunan, hiburan-hiburan yang masih tradisional harus bersaing
dengan hiburan-hiburan modern. Wayang, ketoprak, lenong dan sebagainya telah
tersaingi dengan film-film di bioskop-bioskop dan televisi. Sementara itu karena makin
lancarnya komunikasi antara kota dan pedesaan, gaya hidup kota dengan cepat masuk ke
desa. Orang kaya desa membeli mobil-mobil angkutan penumpang yang menghubungkan
desa dengan kota. Ada pula yang menanam modal di berbagai usaha di kota. Rakyat desa
yang kurang mampu dan tidak mempunyai pekerjaan di desa atau yang tertarik pada
gemerlapnya kota, pergi ke kota menjadi pekerja/buruh bangunan atau industri, pelayan
dan sebagainya. Selama bertahun-tahun persentase migrasi yang terbanyak adalah kaum
miskin di desa, yang tidak memiliki tanah, serta tidak mempunyai keterampilan.
Sayangnya, harapan untuk mendapat pekerjaan yang layak di kota tidaklah mudah.
Sebaliknya kaum berduit dari kota membeli tanah di desa, membangun vila-vila bak
istana dan lapangan golf, sehingga mengakibatkan perbedaan sosial. Gaya hidup
konsumtif atau konsumerisme dengan cepat menjalar ke desa-desa. Orang berlombalomba membeli pakaian bagus, radio, televisi, hand phone, yang selain dinikmati juga
untuk meningkatkan status. Tidak jarang kita jumpai orang desa menjual kerbau atau
56
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
sawah untuk membeli sepeda motor atau mobil. Para salesmen dari kota yang datang
mencari pembeli di desa-desa juga ikut berperan meluaskan konsumerisme. Menurut
Aswab Mahasin (1977), remaja desa bisa membeli Levi's di kota setelah menjual
kambingnya ke pasar.
Konsumerisme lebih terasa dan terlihat di kota-kota di Indonesia. Penelitian yang
dilakukan H.W. Dick (1985) terhadap pengeluaran/belanja memberikan data berikut ini :
"Between 1960 and 1976 real expenditure per capita increased twice as rapidly in urban
(40 percent) as in rural (20 percent) Java and faster in Jakarta (50 percent) than in any
other city. Moreover, the increase of 40 percent in urban per capita expenditure was
biased heavily toward the upper expenditure quintiles". Para remaja, pemuda atau
mahasiswa ada kecenderungan malu bersepeda ke sekolah atau ke kampus. Fungsi sepeda
pada waktu ini telah digantikan sepeda motor atau mobil. Contoh yang jelas di kampus
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, waktu ini sudah tidak ditemui sepeda.
Bahkan bila kita perhatikan lebih lanjut banyak karyawan universitas ini yang telah
memiliki mobil. Sangat menarik untuk diteliti disini bahwa di kota sekecil Salatiga,
kebutuhan akan mobil tentulah bukan kebutuhan mutlak apalagi bila segi keuangan belum
mengijinkan. Tetapi ada kecenderungan, banyak diantara mereka yang memaksakan diri
untuk membeli mobil, walaupun dengan gaji yang pas-pasan. Hal ini membuktikan
bahwa konsumerisme bukan saja terjadi di kota-kota besar, tetapi telah menyebar ke
berbagai tempat di Indonesia. Ini terjadi karena sepeda motor atau mobil, selain berfungsi
sebagai alat transport, juga merupakan simbol status atau simbol dunia modern.
Pengamatan yang sama juga dilakukan Kartjono (1984), yang mendapatkan : "Volvo,
Honda, Arrow, Citizen, ITT-Schaub Lorenz, Sony etc., become the symbols of modern
world, all of which now spread over throughout the country, infiltrate and crawl into the
mountain tops and remote islands. This is a significant price that modernization has
continued in our country".
Selanjutnya, pendapat penulis mengenai adanya polusi budaya dan timbulnya
konsumerisme, diperkuat oleh H.W. Dick (1985), yang berpendapat : "The number of
motor vehicles for personal use has soared and the number of motorcycles has increased
even more dramatically……… This consumer revolution has invilved a good deal of
superficial Westernization, sometimes referred to as the spread of Coca-Cola culture. The
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 57
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
press, radio, films, and more recently television have been powerful influences".
Sementara itu, pengaruh iklan dan modernisasi menyebabkan kaum ibu di kota-kota
besar lebih suka atau cenderung memberikan susu kalengan kepada bayi-bayi mereka
daripada menyusui sendiri, yang selanjutnya juga ditiru oleh ibu-ibu di desa. Pendapat itu
ditunjang oleh Nuradi (1977), yang mengatakan : "Yang lebih buruk lagi terjadi pada
kasus penyusuan bayi. Ibu-ibu di desa, karena melihat ibu-ibu di kota menyusukan
anaknya dengan susu kaleng, mulai meniru kebiasaan itu. Celakanya, kemampuan
ekonomi mereka menyebabkan susu kaleng yang sebenarnya hanya cukup untuk satu liter
itu dipergunakan seminggu penuh". Bagi ibu-ibu muda, ada tambahan alasan lain untuk
tidak menyusui sendiri, mungkin karena bekerja atau kuliah. Pada tahun 1980-an, setelah
adanya kampanye dari Departemen Kesehatan dan UNICEF, yang dibarengi pula dengan
berkurangnya iklan-iklan susu kalengan, maka ada kecenderungan kembali ke susu ibu.
Industri dan dunia bisnis juga berperan menciptakan rasa bosan secara teratur.
Konsumen diusahakan agar tidak terlampau lama terikat kepada suatu hasil pabrik. Pada
saatnya diusahakan agar mereka bosan dan siap menerima yang baru. Hal ini berlaku
bukan saja untuk barang-barang seperti sepatu, baju, tetapi juga hand phone, televisi,
mobil, dan sebagainya. Contoh yang sangat terasa saat ini adalah hand-phone. Nokia,
yang sekarang ini merupakan salah satu merk yang menguasai pasar Indonesia, secara
reguler selalu melahirkan type dan model-model baru. Perlahan-lahan masyarakat
Indonesia dihisap ke dalam jaringan perdagangan dan konsumsi modern. Dunia industri
dan perdagangan menarik keuntungan dari konsumen, karena perlindungan terhadap
konsumen di Indonesia belum terlampau kuat. Pendapat penulis sejalan dengan Richard
H. Leftwich dan Ansel M. Sharp (1984), yang menulis : "Thus the business firm
presumably has the power to take advantage of the consumer".
MENGAPA KEBUDAYAAN BARAT DAPAT MENYISIHKAN KEBUDAYAAN
TRADISIONAL INDONESIA?
Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan dan modernisasi di Indonesia telah
mendatangkan dan menggunakan teknologi dari dunia Barat. Mengenai definisi
teknologi, penulis sependapat dengan Jujun S. Suriasumantri (1986) : "Teknologi
merupakan penerapan teori-teori ilmiah dalam memecahkan masalah praktis, baik berupa
58
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
perangkat keras, yang berupa peralatan maupun perangkat lunak, yang berupa
metoda/teknik pemecahan masalah".
Sekarang marilah kita mencari jawaban mengapa dengan adanya modernisasi yang
memanfaatkan teknologi Barat kebudayaan tradisional di Indonesia dapat tergeser. Bila
kita
menelusuri
perkembangan
teknologi,
akan
terlihat
bahwa
teknologi
diciptakan/dilahirkan di dalam dan untuk suatu kebudayaan tertentu. Suatu contoh
sederhana adalah mobil sedan. Kendaraan ini diciptakan di suatu masyarakat yang telah
maju, bagi suatu keluarga kecil dan untuk digunakan di suatu kota/daerah yang
kondisinya memungkinkan/mendukung, misalnya adanya jalan-jalan umum yang
beraspal serta cukup lebar. Tentu saja untuk daerah-daerah tertentu di negara yang masih
terbelakang, penggunaan kendaraan tradisional lebih cocok, misalnya kuda untuk daerah
pegunungan, pedati atau sepeda di daerah pedesaan di Indonesia yang umumnya belum
mempunyai jalan beraspal. Bila kita mendatangkan dan menggunakan teknologi dari
negara asing/Barat, maka dengan sendirinya kebudayaan di tempat teknologi itu
dilahirkan akan ikut terbawa dan masuk ke Indonesia. Hal-hal lain yang ikut mendukung
masuknya kebudayaan asing/Barat tersebut adalah hadirnya modal asing maupun
pinjaman luar negeri, datangnya para konsultan dan teknisi asing, serta meningkatnya
jumlah turis asing yang datang ke Indonesia. Contoh mengenai masuknya kebudayaan
asing lewat kegiatan turisme dapat terlihat di pulau Bali.
Berbagai penerapan teknologi di Indonesia telah berperan mendorong adanya
perubahan, bukan saja dalam cara orang bekerja, tetapi juga gaya hidup, nilai-nilai
manusia, dan masyarakat. Penggunaan dan pengoperasian teknologi membutuhkan
keterampilan tertentu sehingga diperlukan pendidikan atau latihan tertentu. Akibatnya,
orang yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan akan tersingkir.
Contoh : mesin-mesin yang canggih/modern atau peralatan elektronika dan komputer
tentu saja tidak dapat ditangani oleh pekerja-pekerja yang tak terdidik. Pembangunan dan
modernisasi yang menggunakan teknologi itu juga menekankan pada efisiensi. Hal ini
akan menggeser hubungan sosial dan kedudukan manusia itu sendiri. Untuk
mempertahankan pekerjaan/kedudukannya orang haruslah bekerja efisien, yang akan
mengakibatkan mereka hidup dalam ketegangan karena persaingan. Untuk mengimbangi
ketegangan hidup, bagi yang berhasil dalam usahanya/pekerjaannya, sebagian dari
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 59
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
mereka cenderung untuk berfoya-foya pada waktu senggang/libur dan konsumerisme
meraja-lela. Gambaran mengenai kehidupan yang serba cepat dan hidup dalam
persainagan itu dijelaskan oleh Mochtar Lubis (1981) : “Teknologi modern cenderung
mempercepat tempo kehidupan, pengangkutan serba cepat, komunikasi secepat kilatan
cahaya. Momentum perdagangan dan keuangan didukung oleh kecepatan teknologi
telekomunikasi. Siapa terlambat akan ketinggalan dan akan kalah dalam persaingan”.
Dengan demikian orang akan cenderung menjadi individualistis, hidup dalam kompetisi,
mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Padahal falsafah hidup masyarakat
tradisional di Indonesia adalah kegotong-royongan, yang mana hubungan antar anggota
masyarakat cukup mesra, tolong-menolong bila ada kesulitan/kesusahan.
Masyarakat tradisional di Indonesia yang semula hidup tenteram dalam
kesederhanaan, sekarang, utamanya yang di kota-kota besar, telah dihinggapi semangat
materialisme dan konsumerisme. Keadaan ini juga mulai mengubah hubungan keluarga.
Jumlah anggota keluarga masa kini di satu rumah hanya terdiri atas suami-isteri dan anakanak mereka. Di masa lalu suatu keluarga besar terdiri atas kakek-nenek bersama-sama
dengan beberapa anak/menantu serta cucu-cucu tinggal di suatu rumah besar. Kadangkadang karena sulitnya mendapat pekerjaan di daerah asalnya, orang terpaksa pindah ke
kota besar dan mengakibatkan angka urbanisasi terus meningkat. Mereka yang berasal
dari pedesaan, yang kemudian tinggal di kota besar, akan merasa terpencar dari keluarga
besarnya/sanak keluarganya. Di kota-kota besar, pola kehidupan dengan hubungan
kekeluargaan yang mesra cenderung menurun terus.
Di samping itu, kebudayaan asing/Barat dapat menggeser kebudayaan tradisional
di Indonesia, karena pada beberapa hal dapat berfungsi lebih cocok dengan suasana
modernisasi. Contoh yang sederhana adalah di bidang pakaian. Untuk menjalankan tugas
sehari-hari, bagi remaja/pemuda, baik yang sekolah/kuliah atau bekerja, pakaian-pakaian
dengan model Barat lebih sesuai digunakan dari pada pakaian dengan model tradisional.
Celana lebih mudah dan praktis digunakan untuk kuliah dari pada sarung. Dari uraian di
atas terlihat bahwa kebudayaan Barat menyertai masuknya teknologi ke Indonesia,
sehingga apabila kita ingin menerapkan teknologi Barat, kita terpaksa menerima
kebudayaan Barat. Di pihak lain, agar dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan
keadaan, maka terpaksa menyisihkan kebudayaan tradisional.
60
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
SIMPULAN
Kebudayaan cenderung akan selalu berubah-ubah dalam ruang dan waktu,
menjawab keperluan-keperluan insani. Di satu pihak memperbaharui dan di pihak lain
melestarikan nilai-nilai. Bila semata-mata hanya melestarikan nilai-nilai lama dan
menolak nilai-nilai baru, dapat terjadi tabrakan dengan keperluan-keperluan objektif
masyarakat. Walaupun ada sebagian anggota masyarakat yang berpendapat bahwa
modernisasi tidaklah harus berarti Westernisasi, dalam arti kita boleh mengambil alih
teknologi yang faktual datang dari Barat, tetapi tanpa mengambil alih kebudayaan Barat,
penulis berpendapat hal ini tidak mungkin. Selanjutnya, menanggapi hal itu penulis
sependapat dengan Y.B. Mangunwijaya (1983), yang mengatakan : “Dari sejarah
perkembangan bangsa kita dan negara-negara berkembang lain, tanda-tanda nonwesternisasi nada-nadanya sulit dicari. Khususnya pada angkatan muda yang sejak bayi
sudah dimandikan dengan sabun dan minum susu kaleng hasil perusahaan multinasional,
namun dalam kalangan tertinggi kita menggariskan langkah strategi ekonomi dan
pengembangan, kemajuan, kemakmuran dan sebagainya, kecenderungan dasar sikap
mereka sama sekali tidak berbeda dari rekan-rekan mereka di Barat”. Perusahaanperusahaan multinasional telah memaksakan sistem sosial baru yang kadang-kadang tidak
sejalan dengan kebudayaan masyarakat negara sedang berkembang. Demikianlah, dari
uraian dalam tulisan ini terbukti bahwa dalam proses modernisasi di Indonesia yang
memanfaatkan teknologi Barat, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing
atau Barat, yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional di Indonesia,
kecuali jika kita juga menolak teknologi Barat. Kehadiran teknologi yang serupa
“ideologi” itu bukan untuk dikutuk atau ditolak semata-mata, tetapi untuk memudahkan
hidup manusia, termasuk manusia Indonesia. Contoh sederhana dapat kita lihat misalnya
teknologi pertanian serta komunikasi, dan akhir-akhir ini teknologi informasi, telah
membuktikan kesanggupannya memecahkan berbagai masalah. Maka “ideologi” baru itu
perlu terus dipahami agar kita tidak tertinggal dalam pergaulan di masyarakat
internasional.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 61
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
KEPUSTAKAAN
Buss, A., “Max Weber’s Heritage and Modern Southeast Asian Thinking on
Development”, Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 12, No. 1, 1984.
Dick, H.W., “The Rise of A Middle Class and The Changing Concept of Equity in
Indonesia : An Interpretation”, Indonesia, Cornell Southeast Asia program, No. 39,
April 1985.
Kartjono, “Depolitization Politics in Indonesia”, Transnationalization of The State and
Social Formation : Indonesia Experience, Research Project’s Seminar on “The
State and People in the Context of Transnationalization”, held in Salatiga, October
8-12, 1984, Sponsored by U.N. University, LP3ES, 1984.
Leftwich, R.H. & A.M. Sharp, Economics of Social Issues, Business Publication, Inc,
Plano Texas 75075, Sixth Edition, 1984.
Lubis, M., “Penerusan Budaya Kita Terputus”, Prisma, No. 11, November 1981, LP3ES,
Jakarta.
Lubis, M., “Dampak Teknologi Pada Kebudayaan”, Teknologi dan Dampak
Kebudayaannya, Vol. II, Penyunting Y.B. Mangunwijaya, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta 1985.
Mahasin, A., “Pengantar Redaksi”, Prisma, No. 6, Juni 1977, LP3ES, Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B., Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. 1, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta 1983.
Nuradi, “Iklan dan Polusi Gaya Hidup”, Prisma, No 6, Juni 1977, LP3ES, Jakarta.
Suriasumantri, J. S., Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik , Penerbit PT
Gramedia, Jakarta 1986.
Suara Pembaruan, “Katanya Krisis, Konsumerisme Malah Meningkat”, 17 Agustus 2003,
Thn XVII Nomor 5800.
62
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH
KRISIS EKONOMI DI INDONESIA
Januar Heryanto
Dosen Universitas Bina Nusantara
dan
Dosen Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi
Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser
kebudayaan tradisional. Seiring dengan adanya pergeseran nilai, konsumerisme juga menjalar
kemana-mana, baik di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Kesimpulan tulisan ini
membuktikan bahwa dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya
modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan
menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.
Kata kunci: pergeseran nilai, kebudayaan tradisional, modernisasi dan konsumerisme.
ABSTRACT
Development in Indonesia, especially since the New Order era, that uses Western
technology and foreign investment has brought about new values that shift society away from
traditional culture. Along with the shift of value, consumerism is spreading in big cities as well as
rural areas in Indonesia. This paper aims to prove that modernization, that uses Western
technology and foreign investment, the encroachment of foreign culture and the diffusion of
consumerism, that are gradually replacing traditional culture, are inevitable.
Keywords: the shift of value, traditional culture, modernization and consumerism.
PENDAHULUAN
Setiap masyarakat yang sedang membangun akan mengalami masa transisi yang
menunjukkan pola perkembangan yang dipengaruhi oleh masalah-masalah sosial,
ekonomi, dan politik. Salah satu gejala serta masalah yang akan diuraikan dalam tulisan
ini ialah perubahan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang kini sedang mengalami
transisi. Sejalan dengan derap langkah pembangunan dan modernisasi di Indonesia yang
memanfaatkan teknologi Barat, terjadi pergeseran kebudayaan. Yang dimaksud dengan
teknologi Barat adalah teknologi yang berasal dari negara-negara industri yang maju
seperti Amerika Utara, Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan dan sebagainya. Dapatkah
52
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
kebudayaan tradisional di Indonesia dipertahankan? Nilai-nilai budaya di Indonesia yang
tradisional sedang menghadapi tantangan dan mengalami polusi.. Sejalan dengan polusi
budaya, gaya hidup dengan falsafah konsumen atau yang disebut konsumerisme terlihat
dimana-mana, utamanya di kota-kota besar di Indonesia. Pengamatan itu sejalan dengan
pendapat Kartjono (1984) yang mengatakan bahwa perkembangan politik yang sekarang
ada di Indonesia, antara lain menimbulkan polusi budaya dan konsumerisme.
Pendapat utama yang ingin penulis sajikan disini ialah bahwa kemajuan di bidang
teknologi dan ekonomi cenderung akan mempengaruhi, bahkan seringkali menggeser
kebudayaan asli suatu negara, bangsa, masyarakat. Mengingat hal itu, dalam proses
modernisasi di Indonesia yang memanfaatkan teknologi Barat, penulis berpendapat kita
tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing atau Barat, yang perlahan-lahan
menyisihkan
kebudayaan
tradisional
di
Indonesia.
Dalam
tulisan
ini
akan
dipertimbangkan sejumlah pendapat dan data dari berbagai sumber yang tersedia. Penulis
akan memfokuskan kejadian-kejadian di kota-kota besar di Indonesia sejak lebih dari tiga
dasa warsa yang lalu hingga kini, tanpa menutup mata akan kejadian-kejadian di
pedesaan di Indonesia.
POLUSI KEBUDAYAAN
Akibat meningkatnya penggunaan radio dan televisi, maka musik-musik pop yang
paling mutakhir dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, rakyat di
pedesaan maupun di gunung-gunung, sudah tidak asing lagi dengan radio. Telah menjadi
hal yang biasa bila anak-anak desa terpencil dapat mendendangkan lagu-lagu pop dari
Yoshua atau penyanyi-penyanyi belia lainnya dan mengetahui kisah putri salju.
Sementara itu, adanya pesawat televisi yang seringkali diletakkan disudut operation room
Pak Lurah, akan mempercepat masuknya kebudayaan asing ke desa-desa. Demikian pula
dengan iklan dan film ikut ambil bagian dalam penyebaran kebudayaan asing. Suatu
contoh sederhana adalah cara minum dari botol, tanpa alat penyedot atau gelas. Anakanak muda sekarang merasa lebih enerjik dan dinamis bila langsung minum dari botol.
Suatu kebiasaan yang akhirnya diterima oleh masyarakat.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 53
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
Di bidang busana, Levi’s telah menjadi kegemaran anak-anak muda maupun
dewasa, pria maupun wanita, di kota maupun di desa. Sementara itu kaum elite dan kelas
menengah, agar kelihatan modern, lebih menyukai busana Barat. Bila kita perhatikan
film-film Indonesia, yang berkebaya atau bersarung, hampir selalu berperan sebagai
orang yang rendah derajatnya, yang bodoh, yang dari kampung atau udik, dan yang kolot.
Di pihak lain wajah-wajah Indo banyak diincar untuk dijadikan bintang-bintang iklan dan
film. Pesatnya kemajuan benda-benda siar: film, televisi, majalah, surat kabar, kalender,
dan sebagainya yang bersifat peraga ikut melambungkan remaja kita yang bertampang
Indo. Jutaan muda-mudi mimpi mendapatkan kesempatan melompat tinggi sedang
kesempatanpun makin banyak. Dimana-mana ada lomba-lomba pop song, foto model,
bintang iklan, peragawati, dan sebagainya. Disamping itu prasarana bagi gadis/wanita
Indonesia yang ingin meniru kecantikan Barat sekarang telah dimudahkan oleh
banyaknya usaha salon kecantikan. Dengan cepat perkara kecantikan Barat ini menjalar
pula ke pedesaan, berkat film dan televisi. Mencium perkembangan ini, siasat salon gesit
juga. Mereka membuka usaha di pinggiran kota, misalnya di jalur lalu lintas wanitawanita yang bekerja di pabrik-pabrik.
Terdapat indikasi banyak digunakannya nama-nama atau istilah asing untuk
gedung-gedung atau merk dagang. Masyarakat dari kelas menengah ke atas, supaya
kelihatan modern atau pandai, banyak menggunakan istilah asing dalam pembicaraan,
ceramah atau pidato. Pendapat ini dikuatkan oleh Kartjono (1984), yang mengatakan :
“In the daily life, it appears among others, in the use of language. The elitism inclines to
always use language which is difficult to be understood by the masses. We can find
examples about this everywhere. To mention, too much use of foreign terms. And when it
is translated, the translation is as peculiar as the former, at least the same difficulty is
faced as to understand it”. Juga adanya rasa bangga atau kagum akan segala sesuatu yang
buatan (product) luar negeri, misalnya pakaian, sepatu, parfum, bahkan pendidikan luar
negeri. Kentucky Fried Chicken dianggap lebih bersih, bergizi, modern dari pada ayam
goreng Ny Suharti. Ini semua belum tentu benar, karena pendidikan luar negeri juga
tergantung di universitas mana dan ayam goreng dengan cara tradisional yang biasanya
menggunakan ayam kampung jauh lebih sehat. Menurut Nuradi (1977), “merupakan
kenyataan bahwa apa saja yang diasosiasikan dengan luar negeri selalu memperoleh
54
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
kepercayaan yang lebih besar”. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Indonesia
berlomba-lomba menunjukkan ke publik bahwa mereka bekerja sama dengan lembaga
pendidikan di luar negeri agar menarik calon siswa dan mahasiswa serta orang tua mereka
(bagian dari stake-holder).
Sebagian anggota masyarakat, bahkan beberapa pemimpin negara berkembang,
berpendapat bahwa mereka dapat mengusahakan kemajuan/modernisasi dengan cara
Barat, sekaligus mempertahankan kebudayaan asli mereka. Adanya pendapat itu juga
diakui oleh Andreas Buss (1984), yang mengatakan : "Many leaders of developing
nations believe that they can achieve Western-style progress and at the same time retain
their culture and their morals". Mengingat adanya
polusi budaya yang terjadi di
Indonesia sekarang ini, penulis tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin negara
yang dikatakan Andreas Buss. Uraian penulis mengenai adanya polusi kebudayaan telah
membuktikan bahwa sejalan dengan masuknya teknologi Barat, kebudayaan Barat juga
masuk dan perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional di Indonesia. Mengapa
dapat terjadi demikian, akan dijelaskan pada bagian lain dari tulisan ini. Pendapat penulis
juga dikuatkan oleh Mochtar Lubis (1981) yang melihat "betapa banyaknya nilai-nilai
budaya bangsa kita yang runtuh selama ini. Sekarang sudah banyak diantara kita yang
berpikir, beranggapan serta menentukan tujuan hidup dengan kerangka baru". Kerangkakerangka baru dan tujuan hidup kita timbul antara lain sebagai akibat masuknya modal
asing, industrialisasi, dan sebagainya.
Sekarang marilah kita perhatikan tempat-tempat rekreasi mewah dan pusat-pusat
hiburan. Walaupun di tengah krisis ekonomi, lantai dansa di kelab-kelab malam, di hotelhotel internasional maupun di diskotik-diskotik penuh sesak, sekalipun untuk menikmati
hiburan itu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, iklan-iklan
minuman bir dan rokok yang ber-merk asing yang setiap hari ditayangkan di televisi,
menggambarkan pola-pola gaya hidup dunia Barat yang merasuki remaja-remaja kita.
Orang tidak malu, bahkan bangga dapat atau mampu membeli karcis untuk menyaksikan
pertunjukan telanjang. Contoh-contoh di atas menunjukkan, di tengah krisis ekonomi
bukan saja terjadi pergeseran nilai-nilai di Indonesia, tetapi juga begitu eratnya dengan
konsumerisme.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 55
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
KONSUMERISME
Sejalan dengan adanya polusi kebudayaan, konsumerisme juga tersebar, utamanya
di kota-kota besar di Indonesia. Di dalam modernisasi terselip falsafah konsumerisme,
yang mengajar orang menjadi konsumtif supaya layak disebut modern. Dalam kondisi
krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat ini, menurut Parsudi Suparlan (2003),
antropolog dari Universitas Indonesia, tidak tampak adanya perasaan tengah mengalami
krisis, malahan konsumerisme terus meningkat. Sebelum menyajikan pembahasan
tentang gaya hidup konsumerisme masa kini, penulis ingin meninjau bagaimana
kehidupan rakyat sehubungan dengan hiburan yang biasanya mereka nikmati sebelum
periode pembangunan yang dijalankan Orde Baru. Rakyat di pedesaan atau di kampungkampung di kota tahun 1960-an, di bidang rekreasi dan hiburan tak tergantung pada
barang-barang impor. Di desa-desa tidak ada pesawat televisi atau gedung bioskop.
Hanya beberapa penduduk yang mempunyai radio. Pada waktu itu hiburan yang sering
dilakukan adalah mengobrol dengan teman-teman atau sanak keluarga. Hiburan lainnya,
misalnya sepak bola, menonton wayang, lomba perkutut, adu ayam, dan sebagainya.
Di jaman pembangunan, hiburan-hiburan yang masih tradisional harus bersaing
dengan hiburan-hiburan modern. Wayang, ketoprak, lenong dan sebagainya telah
tersaingi dengan film-film di bioskop-bioskop dan televisi. Sementara itu karena makin
lancarnya komunikasi antara kota dan pedesaan, gaya hidup kota dengan cepat masuk ke
desa. Orang kaya desa membeli mobil-mobil angkutan penumpang yang menghubungkan
desa dengan kota. Ada pula yang menanam modal di berbagai usaha di kota. Rakyat desa
yang kurang mampu dan tidak mempunyai pekerjaan di desa atau yang tertarik pada
gemerlapnya kota, pergi ke kota menjadi pekerja/buruh bangunan atau industri, pelayan
dan sebagainya. Selama bertahun-tahun persentase migrasi yang terbanyak adalah kaum
miskin di desa, yang tidak memiliki tanah, serta tidak mempunyai keterampilan.
Sayangnya, harapan untuk mendapat pekerjaan yang layak di kota tidaklah mudah.
Sebaliknya kaum berduit dari kota membeli tanah di desa, membangun vila-vila bak
istana dan lapangan golf, sehingga mengakibatkan perbedaan sosial. Gaya hidup
konsumtif atau konsumerisme dengan cepat menjalar ke desa-desa. Orang berlombalomba membeli pakaian bagus, radio, televisi, hand phone, yang selain dinikmati juga
untuk meningkatkan status. Tidak jarang kita jumpai orang desa menjual kerbau atau
56
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
sawah untuk membeli sepeda motor atau mobil. Para salesmen dari kota yang datang
mencari pembeli di desa-desa juga ikut berperan meluaskan konsumerisme. Menurut
Aswab Mahasin (1977), remaja desa bisa membeli Levi's di kota setelah menjual
kambingnya ke pasar.
Konsumerisme lebih terasa dan terlihat di kota-kota di Indonesia. Penelitian yang
dilakukan H.W. Dick (1985) terhadap pengeluaran/belanja memberikan data berikut ini :
"Between 1960 and 1976 real expenditure per capita increased twice as rapidly in urban
(40 percent) as in rural (20 percent) Java and faster in Jakarta (50 percent) than in any
other city. Moreover, the increase of 40 percent in urban per capita expenditure was
biased heavily toward the upper expenditure quintiles". Para remaja, pemuda atau
mahasiswa ada kecenderungan malu bersepeda ke sekolah atau ke kampus. Fungsi sepeda
pada waktu ini telah digantikan sepeda motor atau mobil. Contoh yang jelas di kampus
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, waktu ini sudah tidak ditemui sepeda.
Bahkan bila kita perhatikan lebih lanjut banyak karyawan universitas ini yang telah
memiliki mobil. Sangat menarik untuk diteliti disini bahwa di kota sekecil Salatiga,
kebutuhan akan mobil tentulah bukan kebutuhan mutlak apalagi bila segi keuangan belum
mengijinkan. Tetapi ada kecenderungan, banyak diantara mereka yang memaksakan diri
untuk membeli mobil, walaupun dengan gaji yang pas-pasan. Hal ini membuktikan
bahwa konsumerisme bukan saja terjadi di kota-kota besar, tetapi telah menyebar ke
berbagai tempat di Indonesia. Ini terjadi karena sepeda motor atau mobil, selain berfungsi
sebagai alat transport, juga merupakan simbol status atau simbol dunia modern.
Pengamatan yang sama juga dilakukan Kartjono (1984), yang mendapatkan : "Volvo,
Honda, Arrow, Citizen, ITT-Schaub Lorenz, Sony etc., become the symbols of modern
world, all of which now spread over throughout the country, infiltrate and crawl into the
mountain tops and remote islands. This is a significant price that modernization has
continued in our country".
Selanjutnya, pendapat penulis mengenai adanya polusi budaya dan timbulnya
konsumerisme, diperkuat oleh H.W. Dick (1985), yang berpendapat : "The number of
motor vehicles for personal use has soared and the number of motorcycles has increased
even more dramatically……… This consumer revolution has invilved a good deal of
superficial Westernization, sometimes referred to as the spread of Coca-Cola culture. The
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 57
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
press, radio, films, and more recently television have been powerful influences".
Sementara itu, pengaruh iklan dan modernisasi menyebabkan kaum ibu di kota-kota
besar lebih suka atau cenderung memberikan susu kalengan kepada bayi-bayi mereka
daripada menyusui sendiri, yang selanjutnya juga ditiru oleh ibu-ibu di desa. Pendapat itu
ditunjang oleh Nuradi (1977), yang mengatakan : "Yang lebih buruk lagi terjadi pada
kasus penyusuan bayi. Ibu-ibu di desa, karena melihat ibu-ibu di kota menyusukan
anaknya dengan susu kaleng, mulai meniru kebiasaan itu. Celakanya, kemampuan
ekonomi mereka menyebabkan susu kaleng yang sebenarnya hanya cukup untuk satu liter
itu dipergunakan seminggu penuh". Bagi ibu-ibu muda, ada tambahan alasan lain untuk
tidak menyusui sendiri, mungkin karena bekerja atau kuliah. Pada tahun 1980-an, setelah
adanya kampanye dari Departemen Kesehatan dan UNICEF, yang dibarengi pula dengan
berkurangnya iklan-iklan susu kalengan, maka ada kecenderungan kembali ke susu ibu.
Industri dan dunia bisnis juga berperan menciptakan rasa bosan secara teratur.
Konsumen diusahakan agar tidak terlampau lama terikat kepada suatu hasil pabrik. Pada
saatnya diusahakan agar mereka bosan dan siap menerima yang baru. Hal ini berlaku
bukan saja untuk barang-barang seperti sepatu, baju, tetapi juga hand phone, televisi,
mobil, dan sebagainya. Contoh yang sangat terasa saat ini adalah hand-phone. Nokia,
yang sekarang ini merupakan salah satu merk yang menguasai pasar Indonesia, secara
reguler selalu melahirkan type dan model-model baru. Perlahan-lahan masyarakat
Indonesia dihisap ke dalam jaringan perdagangan dan konsumsi modern. Dunia industri
dan perdagangan menarik keuntungan dari konsumen, karena perlindungan terhadap
konsumen di Indonesia belum terlampau kuat. Pendapat penulis sejalan dengan Richard
H. Leftwich dan Ansel M. Sharp (1984), yang menulis : "Thus the business firm
presumably has the power to take advantage of the consumer".
MENGAPA KEBUDAYAAN BARAT DAPAT MENYISIHKAN KEBUDAYAAN
TRADISIONAL INDONESIA?
Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan dan modernisasi di Indonesia telah
mendatangkan dan menggunakan teknologi dari dunia Barat. Mengenai definisi
teknologi, penulis sependapat dengan Jujun S. Suriasumantri (1986) : "Teknologi
merupakan penerapan teori-teori ilmiah dalam memecahkan masalah praktis, baik berupa
58
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
perangkat keras, yang berupa peralatan maupun perangkat lunak, yang berupa
metoda/teknik pemecahan masalah".
Sekarang marilah kita mencari jawaban mengapa dengan adanya modernisasi yang
memanfaatkan teknologi Barat kebudayaan tradisional di Indonesia dapat tergeser. Bila
kita
menelusuri
perkembangan
teknologi,
akan
terlihat
bahwa
teknologi
diciptakan/dilahirkan di dalam dan untuk suatu kebudayaan tertentu. Suatu contoh
sederhana adalah mobil sedan. Kendaraan ini diciptakan di suatu masyarakat yang telah
maju, bagi suatu keluarga kecil dan untuk digunakan di suatu kota/daerah yang
kondisinya memungkinkan/mendukung, misalnya adanya jalan-jalan umum yang
beraspal serta cukup lebar. Tentu saja untuk daerah-daerah tertentu di negara yang masih
terbelakang, penggunaan kendaraan tradisional lebih cocok, misalnya kuda untuk daerah
pegunungan, pedati atau sepeda di daerah pedesaan di Indonesia yang umumnya belum
mempunyai jalan beraspal. Bila kita mendatangkan dan menggunakan teknologi dari
negara asing/Barat, maka dengan sendirinya kebudayaan di tempat teknologi itu
dilahirkan akan ikut terbawa dan masuk ke Indonesia. Hal-hal lain yang ikut mendukung
masuknya kebudayaan asing/Barat tersebut adalah hadirnya modal asing maupun
pinjaman luar negeri, datangnya para konsultan dan teknisi asing, serta meningkatnya
jumlah turis asing yang datang ke Indonesia. Contoh mengenai masuknya kebudayaan
asing lewat kegiatan turisme dapat terlihat di pulau Bali.
Berbagai penerapan teknologi di Indonesia telah berperan mendorong adanya
perubahan, bukan saja dalam cara orang bekerja, tetapi juga gaya hidup, nilai-nilai
manusia, dan masyarakat. Penggunaan dan pengoperasian teknologi membutuhkan
keterampilan tertentu sehingga diperlukan pendidikan atau latihan tertentu. Akibatnya,
orang yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan akan tersingkir.
Contoh : mesin-mesin yang canggih/modern atau peralatan elektronika dan komputer
tentu saja tidak dapat ditangani oleh pekerja-pekerja yang tak terdidik. Pembangunan dan
modernisasi yang menggunakan teknologi itu juga menekankan pada efisiensi. Hal ini
akan menggeser hubungan sosial dan kedudukan manusia itu sendiri. Untuk
mempertahankan pekerjaan/kedudukannya orang haruslah bekerja efisien, yang akan
mengakibatkan mereka hidup dalam ketegangan karena persaingan. Untuk mengimbangi
ketegangan hidup, bagi yang berhasil dalam usahanya/pekerjaannya, sebagian dari
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 59
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
mereka cenderung untuk berfoya-foya pada waktu senggang/libur dan konsumerisme
meraja-lela. Gambaran mengenai kehidupan yang serba cepat dan hidup dalam
persainagan itu dijelaskan oleh Mochtar Lubis (1981) : “Teknologi modern cenderung
mempercepat tempo kehidupan, pengangkutan serba cepat, komunikasi secepat kilatan
cahaya. Momentum perdagangan dan keuangan didukung oleh kecepatan teknologi
telekomunikasi. Siapa terlambat akan ketinggalan dan akan kalah dalam persaingan”.
Dengan demikian orang akan cenderung menjadi individualistis, hidup dalam kompetisi,
mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Padahal falsafah hidup masyarakat
tradisional di Indonesia adalah kegotong-royongan, yang mana hubungan antar anggota
masyarakat cukup mesra, tolong-menolong bila ada kesulitan/kesusahan.
Masyarakat tradisional di Indonesia yang semula hidup tenteram dalam
kesederhanaan, sekarang, utamanya yang di kota-kota besar, telah dihinggapi semangat
materialisme dan konsumerisme. Keadaan ini juga mulai mengubah hubungan keluarga.
Jumlah anggota keluarga masa kini di satu rumah hanya terdiri atas suami-isteri dan anakanak mereka. Di masa lalu suatu keluarga besar terdiri atas kakek-nenek bersama-sama
dengan beberapa anak/menantu serta cucu-cucu tinggal di suatu rumah besar. Kadangkadang karena sulitnya mendapat pekerjaan di daerah asalnya, orang terpaksa pindah ke
kota besar dan mengakibatkan angka urbanisasi terus meningkat. Mereka yang berasal
dari pedesaan, yang kemudian tinggal di kota besar, akan merasa terpencar dari keluarga
besarnya/sanak keluarganya. Di kota-kota besar, pola kehidupan dengan hubungan
kekeluargaan yang mesra cenderung menurun terus.
Di samping itu, kebudayaan asing/Barat dapat menggeser kebudayaan tradisional
di Indonesia, karena pada beberapa hal dapat berfungsi lebih cocok dengan suasana
modernisasi. Contoh yang sederhana adalah di bidang pakaian. Untuk menjalankan tugas
sehari-hari, bagi remaja/pemuda, baik yang sekolah/kuliah atau bekerja, pakaian-pakaian
dengan model Barat lebih sesuai digunakan dari pada pakaian dengan model tradisional.
Celana lebih mudah dan praktis digunakan untuk kuliah dari pada sarung. Dari uraian di
atas terlihat bahwa kebudayaan Barat menyertai masuknya teknologi ke Indonesia,
sehingga apabila kita ingin menerapkan teknologi Barat, kita terpaksa menerima
kebudayaan Barat. Di pihak lain, agar dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan
keadaan, maka terpaksa menyisihkan kebudayaan tradisional.
60
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
SIMPULAN
Kebudayaan cenderung akan selalu berubah-ubah dalam ruang dan waktu,
menjawab keperluan-keperluan insani. Di satu pihak memperbaharui dan di pihak lain
melestarikan nilai-nilai. Bila semata-mata hanya melestarikan nilai-nilai lama dan
menolak nilai-nilai baru, dapat terjadi tabrakan dengan keperluan-keperluan objektif
masyarakat. Walaupun ada sebagian anggota masyarakat yang berpendapat bahwa
modernisasi tidaklah harus berarti Westernisasi, dalam arti kita boleh mengambil alih
teknologi yang faktual datang dari Barat, tetapi tanpa mengambil alih kebudayaan Barat,
penulis berpendapat hal ini tidak mungkin. Selanjutnya, menanggapi hal itu penulis
sependapat dengan Y.B. Mangunwijaya (1983), yang mengatakan : “Dari sejarah
perkembangan bangsa kita dan negara-negara berkembang lain, tanda-tanda nonwesternisasi nada-nadanya sulit dicari. Khususnya pada angkatan muda yang sejak bayi
sudah dimandikan dengan sabun dan minum susu kaleng hasil perusahaan multinasional,
namun dalam kalangan tertinggi kita menggariskan langkah strategi ekonomi dan
pengembangan, kemajuan, kemakmuran dan sebagainya, kecenderungan dasar sikap
mereka sama sekali tidak berbeda dari rekan-rekan mereka di Barat”. Perusahaanperusahaan multinasional telah memaksakan sistem sosial baru yang kadang-kadang tidak
sejalan dengan kebudayaan masyarakat negara sedang berkembang. Demikianlah, dari
uraian dalam tulisan ini terbukti bahwa dalam proses modernisasi di Indonesia yang
memanfaatkan teknologi Barat, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing
atau Barat, yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional di Indonesia,
kecuali jika kita juga menolak teknologi Barat. Kehadiran teknologi yang serupa
“ideologi” itu bukan untuk dikutuk atau ditolak semata-mata, tetapi untuk memudahkan
hidup manusia, termasuk manusia Indonesia. Contoh sederhana dapat kita lihat misalnya
teknologi pertanian serta komunikasi, dan akhir-akhir ini teknologi informasi, telah
membuktikan kesanggupannya memecahkan berbagai masalah. Maka “ideologi” baru itu
perlu terus dipahami agar kita tidak tertinggal dalam pergaulan di masyarakat
internasional.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 61
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
KEPUSTAKAAN
Buss, A., “Max Weber’s Heritage and Modern Southeast Asian Thinking on
Development”, Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 12, No. 1, 1984.
Dick, H.W., “The Rise of A Middle Class and The Changing Concept of Equity in
Indonesia : An Interpretation”, Indonesia, Cornell Southeast Asia program, No. 39,
April 1985.
Kartjono, “Depolitization Politics in Indonesia”, Transnationalization of The State and
Social Formation : Indonesia Experience, Research Project’s Seminar on “The
State and People in the Context of Transnationalization”, held in Salatiga, October
8-12, 1984, Sponsored by U.N. University, LP3ES, 1984.
Leftwich, R.H. & A.M. Sharp, Economics of Social Issues, Business Publication, Inc,
Plano Texas 75075, Sixth Edition, 1984.
Lubis, M., “Penerusan Budaya Kita Terputus”, Prisma, No. 11, November 1981, LP3ES,
Jakarta.
Lubis, M., “Dampak Teknologi Pada Kebudayaan”, Teknologi dan Dampak
Kebudayaannya, Vol. II, Penyunting Y.B. Mangunwijaya, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta 1985.
Mahasin, A., “Pengantar Redaksi”, Prisma, No. 6, Juni 1977, LP3ES, Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B., Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. 1, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta 1983.
Nuradi, “Iklan dan Polusi Gaya Hidup”, Prisma, No 6, Juni 1977, LP3ES, Jakarta.
Suriasumantri, J. S., Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik , Penerbit PT
Gramedia, Jakarta 1986.
Suara Pembaruan, “Katanya Krisis, Konsumerisme Malah Meningkat”, 17 Agustus 2003,
Thn XVII Nomor 5800.
62
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/