Analisis Manajemen Rujukan Pasien Komplikasi Persalinan di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persalinan
2.1.1. Pengertian Persalinan
Persalinan adalah pengeluaran hasil konsepsi yang dimulai dengan secara
spontan dengan presentasi belakang kepala pada usia kehamilan 37-42 minggu.
Waktu yang diperlukan selama 18 jam kurang dari 24 jam tanpa komplikasi apapun.
Persalinan dapat diselesaikan dengan tenaga ibu sendiri ataupun tenaga bantuan alatalat persalinan. Proses persalinan mencakup transisi anatomik dan fisiologik yang
memudahkan kemampuan wanita secara aktif dan aman untuk melahirkan bayinya.
Menurut Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR)
persalinan merupakan salah satu fungsi dari seorang wanita. Fungsi ini berupa produk
hasil konsepsi (janin, air ketuban, plasenta, selaput ketuban) yang dilepaskan dan
dikeluarkan dari uterus melalui vagina ke dunia luar.
Menurut caranya, persalinan dibagi menjadi dua cara yaitu persalinan biasa
atau normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada kehamilan cukup bulan
(aterm: 37-42 minggu), pada janin letak memanjang, presentasi belakang kepala yang
disusul dengan pengeluaran plasenta dan seluruh proses kelahiran itu berakhir dalam
waktu kurang dari 24 jam tanpa tindakan/pertolongan buatan dan tanpa komplikasi.
Persalinan abnormal adalah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat maupun
melalui dinding perut dengan operasi caesarea (Manuaba, 2006).


13

14

2.1.2. Fisiologi Persalinan
Proses persalinan dapat terjadi karena adanya perubahan hormon estrogen,
progesteron, prostaglandin, uterus yang menjadi besar dan meregang, tekanan pada
ganglion servikal, dan penurunan fungsi plasenta. Menurut Midwiry dan Varney
(2004), persalinan dipengaruhi oleh lima faktor P, yaitu:
(1) Passanger (penumpang), yaitu penumpang terdiri dari keadaan janin,
plasenta, dan cairan aminon,
(2) Passage way (bentuk dan ukuran jalan lahir). Jalan lahir terdiri dari panggul
ibu, yakni bagian tulang yang padat, dasar panggul, vagina, dan introitus
vagina (lubang luar vagina),
(3) Power (kekuatan kontraksi uterus), apabila serviks berdilatasi, usaha volunter
(mengedan)

dimulai


untuk

mendorong

(kekuatan

sekunder),

yang

memperbesar kekuatan involunter.
(4) Position (posisi ibu). Posisi ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi
persalinan. Mengubah posisi membuat rasa letih menjadi hilang, memberi
rasa nyaman, dan memperbaiki sirkulasi. Posisi tegak yaitu berdiri, berjalan,
duduk, dan jongkok. Posisi tegak mengakibatkan curah jantung ibu yang
dalam kondisi normal meningkat selama persalinan seiring kontraksi uterus,
sehingga memperbaiki aliran darah ke uteroplasenta dan ginjal ibu. Posisi
tegak juga membantu mengurangi tekanan pada pembuluh darah ibu dan
mencegah kompresi atau penekanan pada pembuluh darah aorta dan vena
kava yang dapat menurunkan perfusi plasenta.


15

(5) Psyche (respon psikologis ibu). Pengalaman sebelumnya, kesiapan emosional
(cemas, stress, dan takut) terhadap persiapan persalinan, support system
(dukungan sosial dan lingkungan) berpengaruh terhadap proses persalinan.
2.1.3. Tanda dan Gejala Persalinan
Menurut Manuaba (2006) tanda dan gejala persalinan yaitu:
1. Tanda permulaan persalinan (preparatory stage of labour), terdiri dari (a)
Lightening atau setting/dropping, yaitu kepala turun memasuki Pintu Atas
Panggul (PAP), (b) Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun, (c)
perasaan sering buang air kecil (polikisuria) karena kandung kemih tertekan
oleh bagian terbawah janin, (d) perasaan sakit di perut dan di pinggang karena
kontraksi ringan otot rahim dan tertekannya fleksus frankenhauser yang
terletak pada sekitar serviks, (e) serviks menjadi lembek, mulai mendatar
karena terdapat kontraksi otot rahim, dan (f) terjadi pengeluaran lendir,
dimana lendir penutup serviks dilepaskan dan bisa bercampur darah (bloody
show).
2. Tanda-tanda inpartu, yaitu (a) kekuatan dan rasa sakit oleh adanya his yang
datang lebih kuat, sering dan teratur dengan jarak kontraksi yang semakin

pendek, (b) keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekanrobekan kecil pada serviks, (c) kadang-kadang ketuban pecah dengan
sendirinya, (d) pada pemeriksaan dalam dijumpai perubahan serviks:
perlunakannya, pendataran, dan terjadinya pembukaan serviks.

16

2.2. Komplikasi Persalinan
Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab
langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan
setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan
infeksi akibat trauma pada persalinan (Kementerian Kesehatan RI, 2008 b).
Sebab-sebab perdarahan yang berperan penting dalam menyebabkan kematian
maternal selama kehamilan adalah perdarahan, baik yang terjadi pada usia kehamilan
muda/trimester pertama, yaitu perdarahan karena abortus (termasuk di dalamnya
adalah abortus provokatus karena kehamilan yang tidak diinginkan) dan perdarahan
karena Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), maupun perdarahan yang terjadi pada
kehamilan lanjut akibat perdarahan antepartum. Perdarahan juga dapat terjadi setelah
persalinan berlangsung atau perdarahan post partum (Saifudin, 2007).
Perdarahan post partum adalah hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah kala
tiga persalinan selesai (Cunningham, 2006). Di Inggris separuh kematian ibu hamil

akibat perdarahan disebabkan oleh proses post partum. Perdarahan post partum terjadi
secara mendadak dan lebih berbahaya apabila terjadi pada wanita yang menderita
anemia.
Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca persalinan
yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi. Dua pertiga dari semua kasus
perdarahan pascapersalinan terjadi pada ibu tanpa faktor resiko yang diketahui
sebelumnya dan tidak mungkin memperkirakan ibu mana yang akan mengalami
atonia uteri atau perdarahan pascapersalinan (Kementrian Kesehatan RI, 2008c).

17

Atonia uteri menyumbang 63% dari total kematian karena perdarahan dan
kondisi ini diperberat oleh tiga terlambat dan empat terlalu. Keterlambatan
mengambil keputusan menyebakan kondisi perdarahan yang terjadi semakin berat
karena tidak mendapatkan pertolongan yang segera dan sesuai dengan prosedur yang
berujung pada kematian ibu. Risiko lain apabila wanita yang bersangkutan pernah
mengalami perdarahan postpartum dan kesalahan penatalaksanaan pada kala III
(Kementerian Kesehatan RI, 2008c).
Penyebab perdarahan postpartum yang lain adalah perdarahan akibat retensi
sisa plasenta, inversio uteri, laserasi traktus genitalia, hematoma puerperium dan

ruptur uteri. Kematian ibu oleh karena ruptur uteri masih terjadi yang dilaporkan oleh
Ripley dalam Cunningham 2006. Bahkan, 20% kematian ibu karena perdarahan
disebabkan oleh ruptur uteri (Cunningham 2006).

2.3. Manajemen Rujukan
2.3.1. Konsep Rujukan
Adapun yang dimaksud dengan sistem rujukan di Indonesia, seperti yang
telah dirumuskan dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 001 tahun 2012 adalah
merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas
dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun
horizontal.
Sistem rujukan yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 032 tahun 1972 adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan

18

yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap suatu kasus
penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang
berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam
arti antar unit-unit yang setingkat kemampuannya (Azwar, 2006).

Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan ini dikembangkan atas
dasar Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.032/Birhup/72
tentang pelaksanaan Referal System, adapun batasan dan pengertian pada Bab I
Ketentuan Umum, Pasal 1 sebagai berikut: “ Referal System adalah suatu usaha
pelayanan kesehatan antara pelbagai tingkat unit-unit pelayanan medis dalam suatu
daerah tertentu ataupun untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Notoatmodjo (2008) mendefinisikan sistem rujukan sebagai suatu sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung
jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara
vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar unitunit yang setingkat kemampuannya). Sederhananya, sistem rujukan mengatur
darimana dan harus kemana seseorang dengan gangguan kesehatan tertentu
memeriksakan keadaan sakitnya. Agar sistem rujukan ini dapat dilaksanakan secara
efektif dan efesien, maka perlu diperhatikan organisasi dan pengelolanya, harus jelas
mata rantai kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing unit pelayanan
kesehatan yang terlihat didalamnya, termasuk aturan pelaksanaan dan kordinasinya.
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas
pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab

19


secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara
unit yang sederajat) maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit
yang lebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional
dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi (Syafrudin, 2009).
2.3.2. Jenis Rujukan
Berdasarkan sistem Kesehatan Nasional terdapat dua jenis rujukan yaitu:
1) Rujukan Kesehatan
Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit dan
peningkatan derajat kesehatan. Dengan demikian rujukan kesehatan pada dasarnya
berlaku untuk pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Rujukan
kesehatan dibedakan atas tiga macam yakni rujukan teknologi, sarana, dan
operasional (Azwar, 2006). Rujukan kesehatan yaitu hubungan dalam pengiriman,
pemeriksaan bahan atau specimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini
adalah rujukan yang menyangkut masalah kesehatan dan sifatnya pencegahan
penyakit (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Rujukan ini mencakup
rujukan teknologi, sarana dan operasional (Syafrudin, 2009).
2) Rujukan Medik
Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit serta
pemulihan kesehatan. Dengan demikian rujukan medik pada dasarnya berlaku untuk
pelayanan kedokteran (medical service). Sama halnya dengan rujukan kesehatan,

rujukan medik ini dibedakan atas tiga macam yakni rujukan penderita, pengetahuan
dan bahan bahan pemeriksaan (Azwar, 2006). Menurut Syafrudin (2009), rujukan

20

medik yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas satu kasus yang
timbul baik secara vertikal maupun horizontal kepada yang lebih berwenang dan
mampu menangani secara rasional. Jenis rujukan medik antara lain: (a) Transfer of
patient, yaitu konsultasi penderita untuk keperluan diagnosis, pengobatan, tindakan
operatif dan lain-lain, (b) Transfer of specimen, yaitu pengiriman bahan (spesimen)
untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap, (c) Transfer of knowledge/
personal, yaitu pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan
mutu layanan setempat.
2.3.3. Manfaat Rujukan
Menurut Azwar (2006), beberapa manfaat yang akan diperoleh ditinjau dari
unsur pembentuk pelayanan kesehatan terlihat sebagai berikut :
1) Sudut pandang pemerintah sebagai penentu kebijakan Jika ditinjau dari sudut
pemerintah sebagai penentu kebijakan kesehatan (policy maker), manfaat
yang akan diperoleh antara lain membantu penghematan dana, karena tidak
perlu menyediakan berbagai macam peralatan kedokteran pada setiap sarana

kesehatan; memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat
hubungan kerja antara berbagai sarana kesehatan yang tersedia; dan
memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
2) Sudut pandang masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan. Jika ditinjau dari
sudut masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan (health consumer), manfaat
yang akan diperoleh antara lain meringankan biaya pengobatan, karena dapat
dihindari pemeriksaan yang sama secara berulang-ulang dan mempermudah

21

masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena diketahui dengan jelas
fungsi dan wewenang sarana pelayanan kesehatan.
3) Sudut pandang kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan. Jika ditinjau dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara
pelayanan kesehatan (health provider), manfaat yang diperoleh antara lain
memperjelas jenjang karir tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif
lainnya seperti semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi; membantu
peningkatan pengetahuan dan keterampilan yakni melalui kerjasama yang
terjalin; memudahkan dan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana
kesehatan mempunyai tugas dan kewajiban tertentu.

2.3.4. Tata Laksana Rujukan
Menurut Saifudin (2007), tatalaksana rujukan diantaranya adalah internal antarpetugas di satu rumah; antara puskesmas pembantu dan puskesmas; antara
masyarakat dan puskesmas; antara satu puskesmas dan puskesmas lainnya; antara
puskesmas dan rumah sakit, laboratorium atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya;
internal antar-bagian/unit pelayanan di dalam satu rumah sakit; antar rumah sakit,
laboratoruim atau fasilitas pelayanan lain dari rumah sakit.
2.3.5. Kegiatan Rujukan
Menurut Saifudin (2007), kegiatan rujukan terbagi menjadi tiga macam yaitu
rujukan pelayanan kebidanan, pelimpahan pengetahuan dan keterampilan, rujukan
informasi medis:

22

1) Rujukan Pelayanan Kebidanan

Kegiatan ini antara lain berupa pengiriman orang sakit dari unit kesehatan kurang
lengkap ke unit yang lebih lengkap; rujukan kasus-kasus patologik pada kehamilan,
persalinan, dan nifas; pengiriman kasus masalah reproduksi manusia lainnya, seperti
kasus-kasus ginekologi atau kontrasepsi yang memerlukan penanganan spesialis;
pengiriman bahan laboratorium; dan jika penderita telah sembuh dan hasil
laboratorium telah selesai, kembalikan dan kirimkan ke unit semula, jika perlu
disertai dengan keterangan yang lengkap (surat balasan).
2) Pelimpahan Pengetahuan dan Keterampilan

Adapun kegiatan dalam pelimpahan pengetahuan dan keterampilan adalah (a)
Pengiriman tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan pengetahuan dan
keterampilan melalui ceramah, konsultasi penderita, diskusi kasus, dan demonstrasi
operasi, (b) pengiriman petugas pelayanan kesehatan daerah untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan mereka ke rumah sakit yang lebih lengkap atau rumah
sakit pendidikan, juga dengan mengundang tenaga medis dalam kegiatan ilmiah yang
diselenggarakan dengan tingkat provinsi atau institusi pendidikan.
3) Rujukan Informasi Medis

Kegiatan ini antara lain berupa (a) membalas secara lengkap data-data medis
penderita yang dikirim dan advis rehabilitas kepada unit yang mengirim, (b)
Menjalin kerjasama dalam sistem pelaporan data-data parameter pelayanan
kebidanan, terutama mengenai kematian maternal dan prenatal. Hal ini sangat
berguna untuk memperoleh angka secara regional dan nasional.

23

2.3.6. Keuntungan Sistem Rujukan
Menurut Saifudin (2007), keuntungan sistem rujukan adalah (a) pelayanan
yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, berarti bahwa pertolongan dapat
diberikan lebih cepat, murah dan secara psikologis memberi rasa aman pada pasien
dan keluarga. (b) Adanya penataran yang teratur diharapkan pengetahuan dan
keterampilan petugas daerah makin meningkat sehingga makin banyak kasus yang
dapat dikelola di daerahnya masing-masing, dan (c) masyarakat desa dapat menikmati
tenaga ahli.

2.4. Determinan Pemanfaatan Rujukan Pelayanan Kesehatan
Ada beberapa konsep yang relevan dengan pemanfaatan rujukan pelayanan
kesehatan. Pada prinsipnya pelayanan rujukan adalah bagian dari pelayanan
kesehatan, maka konsep berikut ini sangat berkaitan dengan upaya individu untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan.
2.4.1. Model Zschock (1979)
Model Zschok dalam Ilyas (2006), menyatakan bahwa ada beberapa faktor
yang mempengaruhi seseorang menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu:
(1) status kesehatan, Pendapatan dan Pendidikan, artinya makin tinggi status
kesehatan seseorang, maka ada kecenderungan orang tersebut banyak
menggunakan pelayanan kesehatan. Tingkat pendapatan seseorang sangat
mempengaruhi dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Seseorang yang tidak
memiliki biaya yang cukup akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan

24

pelayanan kesehatan meskipun dia sangat memerlukan pelayanan tersebut.
Disamping itu tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi
penggunaan pelayanan kesehatan. Orang dengan tingkat pendidikan rendah
mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang akan informasi tentang pelayanan
kesehatan, sehingga akan mempengaruhi status kesehatan.
(2) Faktor konsumen dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), yaitu provider
sebagai pemberi jasa pelayanan mempunyai peranan yang lebih besar dalam
menentukan tingkat dan jenis pelayanan yang akan diberikan, karena adanya
assimetry information. Konsumen akan menyerahkan semua keputusan terkait
kesehatannya kepada provider.
(3) Kemampuan dan penerimaan pelayanan kesehatan, yaitu kemampuan
membayar pelayanan kesehtan berhubungan erat dengan penerimaan dan
pengguanaan pelayanan kesehatan. Adanya pihak ketiga yang cenderung
membayar pembiayaan kesehatan tertanggung lebih besar dibanding dengan
perorangan sehingga peranan pihak ketiga (asurance) sangat penting dalam
menentukan penggunaan pelayanan kesehatan.
(4) Resiko sakit dan lingkungan, yaitu resiko sakit setiap individu berbeda-beda,
individu yang menyadari mempunyai resiko sakit akan cenderung mencari
pelayanan kesehatan. Lingkungan yang memenuhi persyaratan kesehatan
memberikan resiko sakit yang lebih rendah kepada individu.

25

2.4.2. Model Andersen dan Anderson (1979)
Menurut Andersen dan Anderson (1979) dalam Sarwono (2006), terdapat
tujuh kategori berdasarkan tipe dari variabel yang digunakan sebagai faktor yang
menentukan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu:
(1) Model demografi, yaitu variabel yang digunakan adalah umur, seks, satatus
perkawinan, dan besarnya keluarga.
(2) Model struktur sosial, yaitu variabel yang diapakai adalah pendidikan,
pekerjaan, dan etnis. Variabel tersebut mencerminkan status sosial dan gaya
hidup dari individu.
(3) Model sosial psikologis, yaitu variabel yang digunakan adalah pengetahuan,
sikap dan keyakinan individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Variabel ini mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan dalam
menggunakan pelayanan kesehatan.
(4) Model sumber keluarga, yaitu variabel pendapatan keluarga dan cakupan
asuransi kesehatan. Variabel ini mengukur kesanggupan dari individu untuk
memperoleh pelayanan kesehatan.
(5) Model sumber daya masyarakat, yaitu model sumber daya masyarakat ini
adalah variabel penyediaan pelayanan kesehatan dan sumber-sumber di dalam
masyarakat. Artinya makin banyak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang
tersedia, makin tinggi aksesibilitas masyarakat untuk menggunakan pelayanan
kesehatan.

26

(6) Model organisasi. Pada model ini variabel yang digunakan adalah perbedaan
bentuk-bentuk sistem pelayanan kesehatan. Variabel yang digunakan adalah (a)
gaya praktek pengobatan (sendiri, rekanan atau kelompok), (b) sifat alamiah
(nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak), (3) lokasi dari
pelayanan kesehatan, dan (d) petugas kesehatan yang pertama kali dikontak
oleh pasien.
(7) Model sistem kesehatan. Model ini mengintegrasikan keenam model diatas ke
dalam suatu model yang lebih sempurna.
Beberapa

penelitian

menunjukkan

bahwa

ada

variasi

faktor

yang

memengaruhi terlaksananya proses rujukan pasien dengan komplikasi. penelitian
Sharestha et al (2012) di Nepal dan Ramos (2007) di Argentina yang menunjukkan
bahwa kurangnya transportasi merupakan salah satu faktor utama persalinan di rumah
dan menyebabkan keterlambatan rujukan apabila terjadi komplikasi (Okour et al.
2011). Kurangnya transportasi disebabkan karena tidak adanya perencanaan
transportasi persalinan sehingga suami atau pihak keluarga dapat menghabiskan
waktu sekitar 15-30 menit untuk mencari transportasi. Hal ini dapat menambah
keparahan komplikasi tersebut karena terlambat mendapatkan penanganan.

2.5. Puskesmas Mampu PONED
Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai
pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam
bidang kesehatan serta pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan

27

kegiatannya secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu
masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Azwar, 2006).
Jika ditinjau dari sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, maka peranan
kesehatan Indonesia. Ini disebabkan karena peranan dan kedudukan puskesmas di
Indonesia adalah amat unik, sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan di
Indonesia, maka puskesmas kecuali bertanggung jawab dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan masyarakat, juga bertanggung jawab dalam menyelenggarakan
pelayanan kedokteran (Azwar, 2006).
Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergenci Dasar (PONED) merupakan
pelayanan untuk menanggulangi kasus-kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
yang meliputi segi:
1. Pelayanan Obstetri: pemberian oksitosin par enteral, antibiotika par enteral
dan sedative parenteral, pengeluaran plasenta manual/kuret serta pertolongan
persalinan menggunakan Vakum Ekstraksi/Forceps Ekstraksi.
3. Pelayanan Neonatal: resusitasi untuk bayi asfiksia, pemberian antibiotic
parenteral, pemberian bicnat intraumbilical/Phenobarbital untuk mengatasi
ikterus, pelaksanaan thermal control untuk mencegah hipotermia dan
penanggulangan gangguan pemberian nutrisi.
Pelayanan Kegawatdaruratan Dasar merupakan keharusan bagi keperluan
pelayanan rujukan primer, alasannya adalah pada wilayah yang sulit terhadap akses
ke pusat pelayanan rujukan, geografi dan transportasi yang terbatas yang sulit
dijangkau maka puskesmas PONED merupakan fasilitas satu-satunya yang paling

28

mungkin dijangkau. Selain pelayanan tingkat primer juga tersedia pelayanan di
jenjang rujukan rumah sakit PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency
Komperhensif).
Ketersediaan pelayanan kedaruratan untuk ibu hamil beserta janinnya sangat
menentukan kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir. Misalnya, perdarahan
sebagai sebab kematian langsung terbesar dari ibu bersalin perlu mendapat tindakan
dalam waktu kurang dari 2 jam, dengan demikian keberadaan puskesmas mampu
PONED menjadi sangat strategis.
2.5.1. Kriteria Puskesmas Mampu PONED
Puskesmas mampu PONED yang merupakan bagian dari jaringan pelayanan
obstetri dan neonatal di kabupaten/kota sangat spesifik daerah, namun untuk
menjamin kualitas, perlu ditetapkan beberapa kriteria pengembangan :
(a) Puskesmas dengan sarana pertolongan persalinan diutamakan Puskesmas
dengan tempat perawatan/ puskesmas dengan ruang rawat inap,
(b) Puskesmas sudah berfungsi/pertolongan persalinan,
(c) mempunyai fungsi sebagai sub senter rujukan. Adapun syarat puskesmas
PONED sebagai sub center rujukan adalah:
i. Melayani sekitar 50.000-100.000 penduduk yang tercakup oleh Puskesmas
(termasuk penduduk di luar wilayah puskesmas PONED).
ii. Jarak tempuh dari lokasi pemukiman sasaran, pelayanan dasar dan
puskesmas biasa ke puskesmas mampu PONED paling lama 1 jam dengan

29

transportasi umum setempat, mengingat waktu pertolongan hanya 2 jam
untuk kasus perdarahan.
(d) Jumlah dan jenis tenaga kesehatan yang perlu tersedia, sekurang-kurangnya
seorang dokter dan seorang bidan terlatih GDON dan seorang perawat terlatih
PPGDON (Pertolongan Pertama Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal).
Tenaga tersebut bertempat tinggal di sekitar lokasi Puskesmas mampu
PONED.
(e) Jumlah dan jenis sarana kesehatan yang perlu tersedia sekurang-kurangnya :
i.

Alat dan obat

ii.

Ruangan tempat menolong persalinan.

iii. Ruangan ini dapat memanfaatkan ruangan yang sehari-hari digunakan
oleh pengelola program KIA.
iv. Luas minimal 3 x 3 m
v.

Ventilasi dan penerangan yang memenuhi syarat

vi. Suasana aseptik bisa dilaksanakan
vii. Tempat tidur minimal dua buah dan dapat dipergunakan untuk
melaksanakan tindakan
viii. Air bersih tersedia
ix. Kamar mandi/WC tersedia
(f) Jenis pelayanan yang diberikan dikaitkan dengan sebab kematian ibu yang
utama yaitu pendarahan, eklamsi, infeksi. partus lama, abortus dan sebab

30

kematian neonatal yang utama yaitu asfiksia, tetanus neonatorum dan
hipotermi.
2.5.2. Pengembangan PONED
a) Persiapan
a. Diseminasi Informasi
Agar semua pihak yang terkait mempunyai persepsi yang sama dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam mengembangkan PONED dan adanya
komitmen lintas program yang disepakati bersama melalui pertemuan-pertemuan
yang melibatkan, Dinas Kesehatan Kabupaten dan RS kabupaten/kota yang terdiri
dari dokter spesialis Obstetri Ginekologi (SpOG) dan dokter spesialis Anak (SpA)
(Depkes RI, 2004). Dalam pertemuan tersebut perlu dibahas upaya-upaya untuk
meningkatkan pelayanan KIA dalam mencapai target MDG’S, sebagai berikut :
1) Cakupan Pelayanan Kebidanan meliputi K1 harus > 95% dan K4 > 90% pada
akhir tahun, cakupan pertolongan persalinan Partus normal (PN) oleh tenaga
kesehatan 90 % pada akhir tahun di wilayah kerja puskesmas serta cakupan
Penanganan komplikasi (VK) obstetri dan neonatal minimal. Target cakupan
tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat. Adapun upaya-upaya
untuk peningkatan cakupan pelayanan obstetri antara lain adalah pendataan
sasaran dan pencatatan kelahiran serta kematian ibu dan bayi baru lahir, upaya
yang mendorong masyarakat agar memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu
baik di bidan di desa maupun di puskesmas, serta upaya pemberdayaan
masyarakat untuk mengenali tanda bahaya/resiko tinggi obstetri.

31

2) Perkiraan Jumlah Komplikasi Obstetri
Perkiraan jumlah komplikasi obstetri dan neonatal per tahun di wilayah
Kabupaten/kota akan dapat memberikan gambaran mengenai persiapan yang
diperlukan untuk menanganinya.
3) Tenaga
a) Jumlah dan jenis tenaga di puskesmas yang dapat memberikan pelayanan
kebidanan dan neonatal yaitu minimal seorang dokter, bidan dan perawat
termasuk pengaturan penempatan, pemanfaatan dari fungsi mereka dalam
melaksanakan pelayanan kebidanan dan neonatal.
b) Tenaga tersebut di atas sudah terlatih PONED.
c) Semua tenaga tersebut harus siap memberi pelayanan kegawatdaruratan
selama 24 jam dengan didukung oleh RS PONEK yang siap melayani rujukan
selama 24 jam.
4) Kerjasama Dinkes Kabupaten/Kota dan RS di Kabupaten/Kota
5) Logistik dan Dana
b. Membangun Kesepakatan
Terjadi persamaan persepsi tentang kebutuhan puskesmas mampu PONED
dalam rangka mendekatkan pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal
(GDON) kepada sasaran, dalam rangka mempercepat penurunan AKI. Dari berbagai
pertemuan analisis tim kabupaten/kota tersebut, diharapkan terbentuk kesepakatan
menyangkut upaya-upaya pelayanan KIA (Depkes RI, 2004).

32

c. Pelatihan Klinis Obstetri-Neonatal Berbasis Kompetensi
Dalam melaksanakan PONED di puskesmas diperlukan kompetensi/
keterampilan yang sesuai dengan pelayanan yang diberikan baik untuk ibu maupun
untuk bayinya. Pelaksana PONED di puskesmas harus menguasai 85% dari langkahlangkah baku yang terdapat pada modul "Keterampilan Klinik".
a) Pelaksanaan PONED
Pada tahap persiapan Pelaksanaan, perlu dipersiapkan biaya operasional
PONED, lokasi pelayanan emergensi di puskesmas, pengaturan petugas dalam
memberikan pelayanan gawat darurat obestetri dan neonatal, dan format-format:
Rujukan, Pencatatan dan pelaporan sesuai format.
Langkah berikutnya adalah sosialisasi. Dalam sosialisasi ini yang perlu
diketahui oleh masyarakat antara lain adalah jenis pelayanan yang diberikan dan
biaya pelayanan. Pemasaran sosial dapat dilaksanakan antara lain oleh petugas
kesehatan dan sektor terkait, dari tingkat kecamatan sampai ke desa, Dukun/Kader
dan Satgas GSI melalui berbagai forum yang ada seperti rapat koordinasi tingkat
kecamatan/desa, lokakarya mini dan kelompok pengajian dan lain-lainnya.
b. Alur Pelayanan di PONED
Setiap kasus emergensi yang datang ke puskesmas mampu PONED harus
langsung ditangani, setelah itu baru pengurusan administrasi (pendaftaran),
pembayaran, alur pasien. Pelayanan gawat darurat obstetri dan neonatal yang
diberikan harus mengikuti prosedur tetap (protap).

33

c. Pelaksanaan Rujukan
1) Masyarakat dapat langsung ke fasilitas pelayanan untuk mendapatkan
pelayanan Pertolongan Pertama Kegawat daruratan Obstetri dan Neonatal
(PPGDON).
2) Bidan di desa memberikan pelayanan langsung kepada ibu hamil/ibu
bersalin/ibu nifas baik yang datang sendiri ataupun dirujuk oleh kader maupun
dukun. Selain memberikan pertolongan persalinan, bidan di desa dapat merujuk
ke puskesmas, puskesmas mampu PONED maupun RS mampu PONEK
dengan persiapan yang memadai.
3) Puskesmas yang belum mampu PONED, sekurang-kurangnya mampu
memberikan PPGDON terhadap ibu hamil/bersalin/nifas yang datang secara
langsung ataupun yang dikirim oleh dukun/kader dan bidan di desa serta
mempersiapkan rujukan ke puskesmas mampu PONED dan RS mampu
PONEK.
4) Puskesmas mampu PONED dapat memberikan pelayanan kepada ibu
hamil/bersalin/nifas

yang

datang

sendiri

maupun

yang

dirujuk

oleh

kader/dukun, bidan di desa dan puskesmas. Komplikasi yang tidak bisa
ditangani di puskesmas mampu PONED dirujuk ke RS mampu PONEK.
5) RS PONEK memberikan pelayanan kepada ibu hamil/bersalin/nifas yang
datang sendiri ataupun yang dirujuk oleh kader/dukun, puskesmas dan
puskesmas mampu PONED. Bila mungkin RS PONEK diberitahu sebelumnya
tentang kedatangan kasus yang akan dirujuk. Disamping itu rujukan dapat

34

merupakan rujukan pengetahuan melalui pembinaan dari dokter SpOG dan
dokter SpA dengan mengunjungi Puskesmas PONED/ Non PONED/PPGDON
d. Pencatatan dan Pelaporan
Dalam pelaksanaan PONED ini diperlukan pencatatan yang akurat baik dalam
tingkat kabupaten/kota (RS PONEK) maupun di tingkat Puskesmas. Format-format
yang digunakan adalah yang sudah baku seperti: 1) Pencatatan dalam, Sistim
Informasi Manajemen Puskesmas/SP2TP, 2) KMS ibu hamil/buku KIA, 3) Register
Kohor Ibu dan Bayi, 4) Partograf, 5) Format AMP
Pelaporan hasil kegiatan dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan
format yang terdapat pada buku Pedoman AMP, yaitu: 1) Laporan dari RS
kabupaten/kota ke dinkes kabupaten/kota (Form RS), Laporan bulanan ini berisi
informasi mengenai kesakitan dan kematian (serta sebab kematian) ibu dan bayi baru
lahir, laporan dari puskesmas ke dinkes kabupaten/kota (Form Puskesmas) dan
laporan bulanan ini berisi informasi yang sama seperti di atas, dan jumlah kasus yang
dirujuk ke RS kabupaten/kota. 2) Laporan dari Dinkes Kabupaten/Kota ke tingkat
propinsi/Dinkes Propinsi. Laporan triwulanan ini berisi informasi mengenai kasus ibu
dan neonatal yang ditangani oleh RS kabupaten/kota dan puskesmas, serta tingkat
kematian dari tiap jenis komplikasi/gangguan.
f) Pemantauan dan evaluasi
Pemantauan dilakukan secara berjenjang dan melalui (a) Pemanfaatan laporan
Laporan yang diterima diolah dan dianalisa, (2) Umpan Balik. Hasil analisa laporan
di umpan balik kemudian lalu dikirimkan tiga bulan sekali dari dinas kesehatan

35

kabupaten/kota ke RS PONEK dan puskesmas mampu PONED atau diberikan
melalui pertemuan review program KIA secara berkala di kabupaten/kota yang
melibatkan Dinkes kabupaten/kota, RS PONEK dan puskesmas mampu PONED.
Umpan balik ini diberikan dengan tujuan untuk menindaklanjuti berbagai masalah
yang ditemukan dalam pelaksanaan PONED.
Supervisi dilakukan secara berjenjang dan terpadu dengan pihak terkait seperti
RS-PONEK serta sesuai kebutuhan. Supervisi fasilitatif dilakukan oleh dokter
Spesialis Obstetri dan Ginekologi dan dokter Spesialis Anak bersama pengelola
program KIA propinsi/Kabupaten/kota berdasarkan prioritas dan masalah yang ada
misalnya adanya kematian ibu atau neonatal yang dilayani. Supervisi berjenjang
dilakukan :1) Dinkes Propinsi supervisi ke kabupaten/kota dan puskesmas PONED,
2) Dinkes kabupaten/kota/RS kabupaten/kota ke Puskesmas. Aspek yang disupervisi
adalah aspek teknis medis (kebidanan dan neonatal) oleh RS-PONEK dan aspek
administrasi/managerial oleh pengelola program KIA.
g. Evaluasi
Evaluasi PONED juga dilakukan secara berjenjang dan dilaksanakan setiap
semester berupa evaluasi tengah tahun dan evaluasi akhir tahun. Kegiatan evaluasi ini
sebaiknya dilaksanakan melalui pertemuan evaluasi yang sudah ada yaitu evaluasi
KIA. Hasil evaluasi disampaikan kepada pihak terkait baik lintas program maupun
lintas sektor, untuk mencari pemecahan masalah dan tindak lanjut. Adapun aspek
yang dievaluasi adalah :

36

1) Masukan :
Tenaga, dana, sarana obat dan alat di tingkat puskesmas dan desa, formatformat pencatatan dan pelaporan, prosedur tetap PONED, jumlah dan kualitas
pananganan yang telah ada termasuk Case Fatality Rate (CFR).
2) Proses
Pelayanan yang diberikan, kemampuan, keterampilan dan kepatuhan terhadap
protap PONED, tenaga pelaksana, frekuensi pertemuan audit Maternal Perinatal
(AMP) di kabupaten/ kota dalam satu tahun.
3) Luaran.
Secara kuantitas luaran yang diharapkan adalah cakupan pelayanan KIA di
puskesmas mampu PONED tersebut, jumlah dan jenis kasus yang dilayani. Secara
kualitas adalah Case Fatality Rate (CFR) dari tiap kasus komplikasi yang terjadi pada
ibu dan bayi, proporsi tiap jenis kesakitan ibu dan bayi.
PONED merupakan salah satu bagian upaya untuk mempercepat penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) melalui peningkatan
akses ibu hamil kepada pelayanan emergensi dasar. Pelaksanaan terdepan dari
PONED yaitu bidan desa yang merupakan tenaga kesehatan yang paling dekat
dengan ibu hamil. Jika dalam proses kehamilan, persalinan, dan nifas ditemukan
tanda-tanda kegawatdaruratan obstetri neonatal, bidan desa dapat melakukan rujukan
ke puskesmas yang telah mampu PONED untuk dapat memberikan pertolongan
pertama, sebelum dirujuk ke PONEK jika diperlukan. Untuk itu penelitian ini ingin

37

menggali hal-hal apa saja yang mempengaruhi rujukan kasus kegawatdaruratan
obstetri neonatal oleh bidan desa ke puskesmas mampu PONED.

2.6. Landasan Teori
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012b), sistem Rujukan pelayanan
kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal maupun horizontal.
Konsep manajemen rujukan merupakan aplikasi dari manajemen pelayanan
secara umum yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Determinan manajemen
terintegrasi dengan sistem suatu organisasi pelayanan kesehatan. Menurut Andersen
(1979) dalam Sarwono (2006), bahwa model pemanfaatan pelayanan rujukan salah
satunya adalah model sistem organisasi yang terdiri dari masukan, proses dan
keluaran serta evaluasi (umpan balik).
Konteks manajemen rujukan mencakup rujukan kesehatan dan rujukan medik.
Determinan manajemen rujukan dipengaruhi oleh perencanaan yang terintegrasi
dengan kondisi objektif sumber daya manusia, sarana dan prasarana, regulasi dan
organisasi pelaksana, sedangkan pada tahap pelaksanaan terintegrasi pada proses
pengorganisasian, pendelegasian kewenangan pada masing-masing level rujukan.
Pelayanan rujukan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk optimalisasi
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). PONED adalah pelayanan
untuk menanggulangi kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang terjadi pada

38

ibu hamil, ibu bersalin maupun ibu dalam masa nifas dengan komplikasi obstetri
yang mengancam jiwa ibu maupun janinnya. Dengan demikian, upaya PONED
adalah merupakan terobosan peningkatan pelayanan kesehatan pada ibu hamil,
bersalin dan nifas, agar mampu memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan
neonatal kepada masyarakat.

2.7. Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori, maka dapat dirumuskan
kerangka teori dalam penelitian ini:
Level
Analisis
Masyarakat

Puskesmas

Masukan (input)
1.
2.
3.
4.

Pendanaan
Sarana Tranportasi
Komunikasi
Sosial Budaya

1. Kerjasama Tim
2. Proses Tranportasi
3. Proses Komunikasi

1.
2.
3.
4.
5.

Pendanaan
SDM
Sarana Tranportasi
Komunikasi
Peralatan Kesehatan
dan Obatan
Ketersediaan SOP

1.
2.
3.
4.
5.
6.

6.
RSUD
Deli
Serdang

Proses (proccess)

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pendanaan
SDM
Sarana Tranportasi
Komunikasi
Peralatan Kesehatan
dan Obatan
Ketersediaan SOP

1.
2.
3.
4.
5.

Pelaksanaan SOP
Kerjasama Tim
Proses Transportasi
Proses Komunikasi
Proses Informasi
Alur Rujukan

Pelaksanaan SOP
Kerjasama Tim
Proses Transportasi
Proses Komunikasi
Proses Informasi

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian
Sumber: Murray&Pearson (2005)

Keluaran
(output)
Rujukan
Obstetri
dan
Neonata
l