Analisis Manajemen Rujukan Pasien Komplikasi Persalinan di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Komplikasi persalinan merupakan salah satu permasalahan kesehatan ibu dan
anak yang berkaitan dengan kematian ibu dan bayi. Hal ini sesuai dengan prioritas
program dalam agenda Millenium Development Goals (MDGs) yang menitikberatkan
upaya menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), dan meningkatkan kesehatan anak
(Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Secara global satu dari tujuh wanita akan mengalami komplikasi selama
kehamilan dan persalinan. Kematian wanita sebanyak 500.000 karena proses
kehamilan dan persalinan terjadi setiap tahun, dan 90% terjadi di negara berkembang.
Sebanyak 130 juta bayi lahir setiap tahunnya, dan diperkirakan 4 juta meninggal di
empat minggu pertama kehidupannya. Kematian maternal dan neonatal terjadi pada
saat kehamilan, menjelang persalinan, persalinan dan setelah melahirkan.
Kebanyakan penyebab kematian ini bisa dicegah dengan penanganan yang adekuat di
fasilitas kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2012a).
Menurut data Riskesdas tahun 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) secara
nasional masih tinggi yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup dan mengalami kenaikan
yang cukup signifikan mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup dari hasil Data
Riskesdas 2013 (Kementrian kesehatan RI, 2014a). AKI menggambarkan risiko

obstetrik dari kehamilan dan persalinan sehingga perlu upaya yang lebih intensif,

1

2

artinya pemerintah menjadikan upaya penurunan AKI sebagai upaya dalam
pencapaian target MDGs. Sasaran yang ingin dicapai sesuai target MDGs pada tahun
2015 adalah target 4 dan 5, yaitu: menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015 dan menurunkan AKB menjadi 23 per 1000
kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa persalinan di fasilitas kesehatan
adalah 70,4% dan masih terdapat 29,6% di rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten (dokter spesialis, dokter umum dan bidan) mencapai
87,1%, namun masih bervariasi antar provinsi. Permasalahan proses persalinan masih
dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan,
sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Akan tetapi
dilihat dari aspek cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak sampai tahun 2013
menunjukkan peningkatan. Cakupan pelayanan ANC secara keseluruhan sudah
mencapai 95,2%. Kunjungan K4 sudah meningkat dari 61,4% tahun 2010 menjadi

70,0% tahun 2013, angka ini masih belum jauh dari standar yang diharapkan yaitu
80% (Kementerian Kesehatan RI, 2014a).
Penyebab tingginya AKI berdasarkan data Survei Dasar Kesehatan Indonesia
(SDKI, 2012) adalah sebesar 37% karena terlalu banyak melahirkan, 13,9% terlalu
tua punya anak, 9,4% teralu rapat jarak kelahiran dan 0,3% terlalu muda punya anak.
Komplikasi obstetrik dialami oleh sekitar 20% dari seluruh ibu hamil, tetapi kasus
komplikasi obstetrik yang ditangani secara baik kurang dari 10%. Menurut Rudge. et.
al (2011), beberapa hal yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu berawal

3

pada kompleksnya permasalahan yang melatarbelakangi, yaitu: terlalu muda atau
terlalu tua untuk melahirkan, tidak melakukan pemeriksaan kehamilan dengan teratur,
banyaknya persalinan yang ditolong oleh tenaga non professional, masih terdapat
persalinan yang dilakukan di rumah dan paritas yang tinggi. Ada tiga hal yang
berpengaruh terhadap proses terjadinya kematian ibu yang biasanya diawali dari
komplikasi persalinan dan nifas yang tidak ditangani atau diketahui secara dini.
Menurut Widyana (2011), proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian ibu,
disebut sebagai determinan dekat, yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi yang
terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas. Wanita yang hamil memiliki

risiko untuk mengalami komplikasi, baik komplikasi kehamilan maupun komplikasi
persalinan, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut.
Determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu
status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku
perawatan kesehatan/penggunaan pelayanan kesehatan dan penyebab lainnya yang
tidak diketahui atau tidak terduga. Dilain pihak terdapat juga determinan jauh yang
akan mempengaruhi kejadian kematian ibu melalui pengaruhnya terhadap determinan
antara, yang meliputi sosiokultural dan ekonomi, seperti status wanita dalam keluarga
dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat (Arulita,
2007).
Pada studi kuantitatif yang dilakukan Tarzon (2009), mengenai perilaku bidan
di desa dalam melakukan rujukan kasus obstetri neonatal ke puskesmas mampu
PONED berdasarkan teori Green, ditemukan bahwa faktor predisposisi yang

4

berhubungan, yaitu: pengetahuan tentang puskesmas mampu PONED dan sistem
rujukan, pengalaman terhadap fasilitas rujukan, dan pendidikan. Sedangkan faktor
pemungkin yang berhubungan yaitu pengetahuan tentang ketersediaan petugas
terlatih PONED, dan waktu tempuh dari desa ke puskesmas mampu PONED, serta

faktor penguat yang berhubungan yaitu dukungan keluarga.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan AKI, salah
satunya yang terkait dengan target MDGs yang ke-4 (meningkatkan kesehatan ibu)
dan ke-5 (menurunkan angka kematian bayi), pemerintah menetapkan salah satu
kebijakan untuk mencapai target tersebut, yakni PONEK (Pelayanan Obstetrik
Neonatal Emergensi Komprehensif) di fasilitas rujukan, dan PONED (Pelayanan
Obstetrik Neonatal Emergency Dasar) di fasilitas pelayanan dasar. Pelayanan
PONED

dan

PONEK

adalah

pelayanan

untuk

menanggulangi


kasus

kegawatdaruratan obstetri dan neonatal secara komprehensif yang terjadi pada ibu
hamil, ibu bersalin maupun ibu dalam masa nifas dengan komplikasi obstetri yang
mengancam jiwa ibu maupun janinnya. Kebijakan PONEK dan PONED salah
satunya dimaksudkan untuk percepatan proses rujukan kasus-kasus kegawatdaruratan
seperti komplikasi pada ibu hamil, sehingga dapat ditangani secara paripurna.
Ristrini dkk. (2004) dan Lestari dkk. (2006), yang menunjukkan kurangnya
pemenuhan kebutuhan peralatan kesehatan di polindes. Banyaknya kasus
kegawatdaruratan membutuhkan peralatan dan ketrampilan khusus, tetapi dalam
kenyataannya masih kurang. Mengingat puskesmas dan jaringannya (pustu, polindes)
adalah sasaran pertama untuk menangani kasus darurat maka penyediaan peralatan

5

gawat darurat perlu tersedia disemua jaringan puskesmas dan perlu pemberian
keterampilan kepada tenaga kesehatan yang bertanggung jawab di fasilitas kesehatan
tersebut.
Penelitian Ignasius (2012), menjelaskan bahwa pertimbangan utama dalam

memilih tempat rujukan dari puskesmas ke rumah sakit sebagai penyedia layanan
kesehatan sekunder adalah faktor kedekatan jarak dan kemudahan jangkauan. Alur
rujukan selama ini belum sepenuhnya memperhatikan aspek ketersediaan dan
kelengkapan jenis layanan pada fasilitas kesehatan yang dituju. Masih ada stigma
bahwa jika puskesmas tidak bisa menangani masalah pasien maka rumah sakit
menjadi pihak yang dianggap bisa menyelesaikan masalah tersebut. Padahal disisi
lain, rumah sakit di daerah belum tentu memiliki kapasitas untuk menangani masalah
tersebut. Salah satu masalah dalam implementasi sistem rujukan adalah keterbatasan
sumber daya dan infrastruktur yang esensial dalam institusi kesehatan untuk
menyediakan layanan kesehatan yang minimal seperti PONEK dan tenaga spesialis.
Pada umumnya rujukan kesehatan mengikuti pola pyramid yang dimulai dari
pelayanan tingkat dasar sampai pelayanan diatasnya, akan tetapi beberapa penelitian
membuktikan ada pola-pola yang berbeda dalam melakukan rujukan tergantung dari
keinginan yang menangani dengan melewati tingkatan yang lebih rendah ke tingkat
lanjut (Murray, 2005). Ada masyarakat di daerah terpencil dengan sarana transportasi
yang sulit dan sistem pelayanan kesehatan yang masih lemah, melakukan rujukan
sendiri ke fasilitas kesehatan sekunder. Hal ini dilakukan sebagai pilihan tercepat
yang dapat diambil untuk menghindari komplikasi yang tidak diinginkan dan ini

6


merupakan rujukan non piramid, hal ini juga dapat terjadi karena dilakukan oleh
pemberi layanan kesehatan pada tingkat lebih rendah (Omaha, 1998). Mayoritas
(61%-82%) pengguna layanan rumah sakit bersalin tidak dirujuk oleh petugas
kesehatan tetapi atas inisiatif sendiri. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya
pemanfaatan fasilitas kesehatan di tingkat bawah atau kurangnya kualitas layanan
rujukan di tingkat bawah (Nakahara, 2010).
Pelayanan rujukan merupakan salah satu bagian dari proses pelayanan
kesehatan baik ditingkat pelayanan dasar maupun pelayanan lanjutan. Tentunya
dalam proses pelayanan rujukan terintegrasi dengan manajamen rujukan yang terdiri
dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi dari setiap langkahlangkah dalam pelayanan rujukan. Menurut Ignasius (2012) ada beberapa determinan
yang memengaruhi sistem rujukan pelayanan kesehatan antara lain, transportasi,
pendamping pelayanan rujukan, administrasi rujukan, kebijakan pembiayaan rujukan,
dan kebijakan pengelolaan sumber daya manusia dalam sistem rujukan.
Permasalahan

kegawatdaruratan

obsteri


dan

neonatal

merupakan

permasalahan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah
keterlambatan dan sistem rujukan yang belum paripurna. Menurut Kementerian
Kesehatan RI (2014.b), bahwa sistem rujukan pelayanan kesehatan adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung
jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik, baik vertikal maupun horizontal yang
wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial,
dan seluruh fasilitas kesehatan. Sistem rujukan tersebut dilakukan secara berjenjang

7

mulai dari masyarakat/kader/ibu hamil ke tingkat pelayanan dasar (puskesmas),
dilanjutkan ke jenjang tingkat lanjutan yaitu rumah sakit yang memiliki dokter
spesialis dan sub dokter spesialis, sehingga kematian ibu dapat dicegah secara dini ,
sistem rujukan tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini :

RS Kelas B

RS Kelas C

RS Kelas D

Puskesmas
Bidan

Masyarakat

Masyarakat/Kader/Ibu Hamil
Gambar 1.1. Mekanisme Alur Rujukan Puskesmas Mampu PONED
Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 604/Menkes/SK/VII/2008
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pada rujukan pasien dengan indikasi
komplikasi diawali dari adanya informasi dan komunikasi dari masyarakat, kader
kesehatan maupun ibu bersalin/keluarga ibu bersalin yang mengkonfirmasikan
kepada petugas kesehatan (bidan), atau masyarakat untuk di rujuk ke puskesmas
sebagai pusat layanan rujukan dasar kemudian baru diteruskan ke rumah sakit-rumah
sakit dengan kemampuan pelayanan yang lebih paripurna. Permasalahan yang lazim


8

muncul adalah masih lemahnya sistem informasi rujukan dari masyarakat,
komunikasi yang dibangun unit pelayanan puskesmas dengan masyarakat, dan
berbagai permasalahan manajemen pelayanan lainnya, seperti aplikasi Standar
Operasional Prosedur (SOP) pelayanan rujukan, kesiapan tenaga dokter dan perawat,
serta alat yang tidak memadai.
Permasalahan komplikasi persalinan juga masih menjadi permasalahan utama
dalam upaya akselerasi kesehatan ibu di propinsi Sumatera Utara. Hasil Riskesdas
(2013), menunjukkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sudah mencapai
92,4%, persentase persalinan normal sebesar 86,9%, namun cakupan pemeriksaan
ANC secara keseluruhan masih sebesar 70,7%. Profil Kesehatan Propinsi Sumatera
Utara (2013) menunjukkan angka kematian ibu disebabkan oleh pendarahan yaitu
sebesar 32,9%, 8,43% akibat infeksi, 27,7% akibat eklamsi, 4,42% akibat partus
macet dan 2,81% akibat abortus. Jumlah kematian ibu secara absolut tertinggi terjadi
di Kabupaten Labuhan Batu Utara dan Selatan, masing-masing 17 kasus, dan posisi
ke-5 tertinggi adalah Kabupaten Deli Serdang dengan jumlah kasus sebanyak 14
kasus dimana jika dilihat dari statusnya yaitu 1 orang meninggal pada saat hamil, 9
orang meninggal pada saat bersalin, dan 4 orang meninggal pada masa nifas.

Kabupaten Deli Serdang adalah salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera
Utara yang masih memiliki masalah kesehatan ibu dan anak. Selama kurun waktu
2009-2013 menunjukkan kasus kematian ibu cenderung berfluktuasi dari 32 kasus
pada tahun 2009, menurun menjadi 21 kasus Tahun 2009 dan 2010, dan kembali
menurun menjadi 20 kasus dari 37.770 kelahiran hidup, dan Tahun 2012 menjadi 15

9

kasus dan tahun 2013 menjadi 14 dari 38.573 kelahiran. Adapun penyebab kematian
ibu tersebut adalah perdarahan 6 orang (42,9%), eklamsia 4 orang (28,6%), emboli
air ketuban 3 orang (21,4%), penyebab lain 1 orang (7,1%). Sedangkan AKB secara
umum juga terjadi fluktuasi, data tahun 2011-2013 menunjukkan jumlah kematian
bayi tahun 2011 sebanyak 97 kasus dari 377.770 kelahiran, dan menjadi 74 kasus dari
48.573 kelahiran. Beberapa penyebab kematian bayi antara lain Berat Badan Bayi
Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 21 orang (28,3 %), Asfiksia sebanyak 23 orang
(31,1%) dan sebab lain 10 orang (13,5%). Namun angka kematian bayi yang
dilaporkan tersebut belum tentu menggambarkan angka kematian bayi yang
sebenarnya di populasi, masih banyak yang belum terdeteksi (Dinas Kesehatan
Kabupaten Deli Serdang, 2013a).
Fenomena sistem rujukan di Kabupaten Deli Serdang secara umum masih
menjadi permasalahan. Hal ini diindikasikan dari masih sulitnya aksesibilitas
masyarakat ke sarana kesehatan seperti puskesmas mengingat kondisi geografis di
beberapa kecamatan yang jauh dari sarana kesehatan. Selain itu masih belum
optimalnya fungsi puskesmas PONED dibeberapa puskesmas di Kabupaten Deli
Serdang seperti tidak tersedianya dokter spesialis kandungan dan kebidanan serta
dokter spesialis anak.
Berbagai upaya juga telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Deli Serdang
melalui dinas kesehatan, antara lain melalui penguatan Program KIA di 34
Puskesmas, seperti Pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN), distribusi tenaga
bidan, penambahan Puskesmas PONED, penguatan sistem rujukan puskesmas,

10

program kunjungan dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta dokter spesialis
anak pada 21 puskesmas rawat inap, sehingga dapat menangani masalah
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal (Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang,
2013b).
Berdasarkan survei awal dilakukan peneliti melalui wawancara kepada Kepala
Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, ada beberapa
masalah lain yang dihadapi oleh puskesmas dalam merujuk pasien komplikasi
persalinan dari 16 puskesmas PONED yang ada, dimana dari 21 puskesmas rawat
inap baru 16 puskesmas PONED dan dari puskesmas PONED yang ada, masih ada
beberapa puskesmas PONED di Kabupaten Deli Serdang yang belum memahami
prosedur alur pelayanan rujukan dimana sebagian bidan dari desa jika ada kasus
komplikasi persalinan tidak merujuk ke puskesmas PONED tetapi langung merujuk
ke rumah sakit PONEK, meskipun sebenarnya kondisi ibu masih dapat ditangani di
puskesmas. Menurut Lusia (2012) puskesmas PONED yang ada belum dimanfaatkan
secara optimal, hal ini ditandai dengan hanya sebagian saja kasus Obstetri Neonatal
yang dirujuk ke puskesmas PONED yang ada diwilayah puskesmas PONED adapun
tujuan rujukan lain ke rumah sakit PONEK di kabupaten. Faktor lain juga tenaga
yang dilatih PONED terbatas, sehingga kemampuan tenaga kesehatan untuk
memahami prosedur pelayanan rujukan sesuai standar pelayanan kegawatdaruratan
obstetrik dan neonatal terbatas, prinsip Puskesmas PONED yang belum dilaksanakan
dengan baik oleh petugas, misalnya tidak adanya Tim PONED khusus, tidak adanya
dokter jaga 24 jam sehingga ada beberapa bidan yang tidak berani melakukan

11

stabilisasi awal terhadap kasus kegawat daruratan obstetrik dan neonatal sebelum
dirujuk ke Rumah Sakit PONEK, sarana dan prasarana masih terbatas untuk
mendukung pelayanan di puskesmas demikian juga dengan pembiayaan pelayanan
rujukan juga tidak ada kejelasan proses pengklaiman, sehingga berimplikasi terhadap
integritas manajemen rujukan di puskesmas.
Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Deli serdang, diperoleh data dari ruang Pelayanan Kebidanan (VK) dan
ruang perawatan Nifas Melati untuk kasus komplikasi persalinan tahun 2013, terdapat
137 kasus komplikasi persalinan dengan 3 kriteria yaitu pasien datang sendiri ada 45
kasus, pasien rujukan yang berasal dari dokter praktek, klinik swasta, praktek bidan
dan rumah sakit swasta ada 57 kasus sedangkan pasien komplikasi persalinan yang
dirujuk dari puskesmas oleh petugas ada 35 kasus dengan jenis kasus: partus tak
maju, letak bokong, eklamsia, pre-eklamsia, retensio plasenta, post date, perdarahan,
plasenta previa, dan posisi lintang.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti tentang analisis manajemen rujukan pasien komplikasi persalinan di wilayah
kerja Dinas kesehatan Kabupaten Deli Serdang.
1.2. Permasalahan
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana manajemen
rujukan pasien komplikasi persalinan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Deli Serdang Tahun 2014.

12

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis manajemen rujukan pasien
komplikasi persalinan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dalam
pengelolaan dan manajemen pelayanan rujukan di tingkat pelayanan dasar guna
mereduksi angka kematian ibu akibat terlambat rujukan dan komplikasi
persalinan.
2. Memberikan masukan kepada Kepala Puskesmas diseluruh Kabupaten Deli
Serdang dalam menyusun perencanaan dan mobilisasi sumber daya manusia
kesehatan untuk optimalisasi pelayanan rujukan.
3. Menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya.