Efektivitas Terhadap Pengutipan Pajak Parkir dalam Hubungannya dengan Peningkatan Pendapatan Daerah di Kota Medan menurut Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011

14

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan

masyarakat

serta

peningkatan

daya

saing

daerah


dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Daerah
diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan
antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini meliputi aspek
keuangan, seperti yang diungkapkan oleh Krishna yaitu bahwa “pembangunan daerah
terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal daerah
terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar”. 1
Desentralisasi fiskal merupakan varian dari pelaksanaan desentralisasi yang
ditempuh suatu negara. Desentralisasi fiskal ini dapat didefinisikan sebagai devolusi
(penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan
1

Krishna D. Darumurti dan Umbu Raufa, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran,

Pengaturan dan Pelaksanaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 89.

Universitas Sumatera Utara

15

pemerintahan yang ada dibawahnya, sub-national levels of government, seperti
negara bagian, daerah, propinsi, distrik, dan kota.
Diimplementasikannya kebijakan daerah dengan peningkatan penerimaan dari
pajak daerah dan retribusi daerah, tentunya harus disusun kerangka hukum (legal
framework) yang jelas. Kerangka hukum ini merupakan seperangkat aturan yang
saling kait mengkait, melibatkan seluruh tingkatan pemerintahan yang ada, dan
tentunya tidak boleh saling bertentangan satu dengan lainnya.
Seperangkat peraturan perundang-undangan perlu dibuat untuk mengatur atau
memberikan kerangka acuan yang jelas bagi daerah dalam upayanya untuk
meningkatan penerimaan dari sumber penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
di tingkat pusat. Operasionalisasi dari aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
yang lebih tinggi harus dapat dijabarkan dalam peraturan yang lebih rendah, dan
tentunya lebih operasional, oleh tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya
dengan tetap mengacu pada aturan yang telah ditetapkan tingkatan pemerintahan

yang lebih tinggi. 2
Sumber-sumber keuangan daerah terutama dalam meningkatkan pendapatan
asli daerah, pemerintah daerah harus berusaha mencari sumber-sumber keuangan
yang potensial yaitu dari hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah.
Peningkatan pendapatan daerah ini bertujuan untuk pembangunan suatu daerah
sebagai suatu kesatuan pembangunan nasional sekaligus merupakan amanat dari

2

Iksan, M. dan Salomo, Roy V.. Keuangan Daerah di Indonesia. (Jakarta: Sekolah Tinggi,
Ilmu Administrasi LAN Press, 2002), hal. 43.

Universitas Sumatera Utara

16

Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya kepada daerah diberi wewenang untuk
mengurus daerahnya masing-masing berdasarkan asas desentralisasi.
Penyelenggaraan desentralisasi yang memberi wewenang kepada daerah
untuk mengurus daerahnya terlebih untuk meningkatkan pendapatan daerah

khususnya dari sektor pajak daerah. Daerah dapat memungut pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan pasal 23 A UUD 1945, yang
berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan pasal 23A UUD 1945 tersebut, kemudian dilahirkanlah undangundang tentang pajak daerah dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
memungut pajak daerah. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang- undang No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentag Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun
2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dan ditindaklanjuti peraturan pelaksananya dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66
Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentag Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Universitas Sumatera Utara


17

dicabut dan diyatakan tidak berlaku. Selanjutnya Peraturan pelaksanaan atas Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-undang tersebut diundangkan.
Peraturan pelaksanaan yang dimaksud tentang pajak daerah dan retribusi daerah
hingga saat ini belum diterbitkan, padahal waktu yang diberikan selama satu tahun
telah berlalu. Sementara peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yakni
Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66
Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah tidak ditentukan apakah masih tetap berlaku
atau tidak sepanjang belum diterbitkannya PP yang baru.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dimana dalam penyelenggaraan
otonomi daerah, daerah dapat mengurus daerahnya sendiri sebagai wujud dari
pembangunan daerah dalam kesatuan pembangunan nasional melalui pungutan pajak.
Pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut, dilaksanakan
dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Undang-undang No.28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Abdul Halim

mengatakan, “membicarakan pengelolaan keuangan daerah

tidak terlepas dari pembahasan anggaran pendapatan dan belanja daerah: oleh karena

Universitas Sumatera Utara

18

itu anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah merupakan program kerja suatu
daerah dalam bentuk angka-angka selama satu tahun anggaran”. 3
Daerah dalam mempersiapkan kemandiriannya harus melakukan penguatan
struktur perekonomiannya sehingga pemerintah daerah harus dapat memiliki sumbersumber keuangan yang memadai. Untuk itu pemerintah daerah diberikan kewenangan
untuk mengelola dan menggali sumber-sumber keuangannya agar dapat membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan memberikan pelayanan kepada
masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Namun demikian berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2009 dan
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintah c.q. Departemen Keuangan diberikan
mandat untuk memonitor dan mengevaluasi perda. Pada kenyataannya kewenangan

yang diberikan kepada Daerah tersebut memberikan dampak di mana perda tentang
pajak daerah dan retribusi daerah tersebut dibatalkan oleh pemerintah, karena
dianggap bertentangan dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi
daerah yang dapat mengganggu iklim investasi dan usaha di daerah sehingga
memberatkan pelaku usaha, seperti pembatalan terhadap Peraturan Kabupaten
Bengkulu Selatan Nomor 21 Tahun 2000 tentang Retribusi Kartu ternak. Ketentuan
tentang penerbitan Peraturan Daerah yang harus mendapatkan pengesahan dari Pusat
dirasakan telah mengurangi makna otonomi daerah sebagai perwujudan kemandirian
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

3

Abdul Halim. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP AMP YPKN.
Yogyakarta. 2001, hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

19

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber

dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber pendapatan asli
daerah adalah: 4
a.

Pajak Daerah

b.

Retribusi Daerah

c.

Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

d.

Lain-lain PAD yang sah

Sejak pelaksanaan otonomi daerah peningkatan PAD selalu menjadi

pembahasan penting termasuk strategi peningkatannya. Hal ini mengingat bahwa
kemandirian daerah menjadi tuntutan utama sejak diberlakukannya otonomi daerah.
Optimalisasi potensi daerah digalakkan untuk meningkatkan PAD. Dalam era
otonomi daerah PAD merupakan pencerminan dari pajak daerah yang seharusnya
memiliki peranan yang cukup signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Namun kenyataannya peran PAD terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota masih relatif kecil. Rata-rata kontribusi
PAD terhadap total penerimaan sebelum era desentralisasi sebesar 0,2 (nol koma dua)
persen (1998-2000), sedangkan pada era desentralisasi mengalami penurunan menjadi
8,1 (delapan koma satu) persen (2000-2001). 5
Implementasi Undang-undang tentang otonomi daerah dan desentralisasi

4
5

Pasal 157 Undang-undang Nomor 32 Tahu 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Muhammad Zaenuddin. Batam Pos. Strategi Peningkatan PAD. Selasa 20 November 2007.

Universitas Sumatera Utara


20

fiskal membawa konsekuensi pada kemandirian daerah dalam mengoptimalkan
penerimaan daerahnya. Optimalisasi penerimaan daerah ini sangat penting bagi
daerah dalam rangka menunjang pembiayaan pembangunan secara mandiri dan
berkelanjutan. Sumber penerimaan daerah yang dapat menjamin keberlangsungan
pembangunan di daerah dapat diwujudkan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
PAD memiliki peran penting dalam rangka pembiayaan pembangunan di
daerah. Berdasarkan pada potensi yang dimiliki masing-masing daerah, peningkatan
dalam penerimaan PAD ini akan dapat meningkatkan kemampuan keuangan daerah.
Seiring dengan perkembangan perekonomian daerah yang semakin terintegrasi
dengan perekonomian nasional dan internasional, maka kemampuan daerah dalam
mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber penerimaan PAD menjadi sangat
penting. 6
Sumber-sumber penerimaan PAD tersebut dapat diuraikan lagi dalam bentuk
penerimaan dari pajak daerah dan restribusi daerah. Pajak daerah tersebut seperti
pajak hotel, restoran, hiburan, kendaran bermotor, bea balik nama kendaraan
bermotor, bahan bakar kendaraan bermotor, air, rokok, penerangan jalan, mineral
bukan logam dan batuan, bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah dan

bangunan, air tanah, parkir, sarang burung wallet, dan pajak reklame. Berdasarkan
pada Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah dapat diklasifikasikan mana yang merupakan pajak provinsi dan pajak
6

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

21

kabupaten kota. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah menyebutkan pajak provinsi dan pajak
kabupaten/kota, terdiri dari:
(1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Salah satu sumber pajak daerah yang cukup berkembang adalah pajak parkir.
Objek Pajak parkir adalah setiap penyelengaraan tempat parkir diluar badan jalan dan
tempat khusus parkir oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan
dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk
penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor
yang memungut bayaran. 7
Jika melihat dari segi hukum, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf g UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
7

Lihat Pasal 38 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Medan No. 12 Tahun 2003 tentang Pajak
Daerah Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

22

menetapkan Pajak Parkir merupakan jenis pajak daerah kabupaten/kota yang
kemudian diatur secara khusus dalam Peraturan Daerah oleh Pemerintah Daerah
masing-masing sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Jika mengacu pada Daerah
Medan, maka Peraturan yang mengatur tentang pajak Parkir diatur dalam Peraturan
Daerah Kota Medan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir dan Peraturan
Daerah Kota Medan Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pajak Daerah Kota Medan.
Pajak parkir diharapkan dapat memiliki peranan yang berarti dalam
pembiayaan pembangunan daerah. Sebagaimana diketahui bahwa parkir adalah jenis
usaha penjualan jasa pelayanan yang mempunyai keterkaitan sangat erat dan saling
menunjang dengan dunia perdagangan yang menghasilkan penerimaan daerah. Parkir
pada saat ini sangatlah diperlukan kerena untuk menjaga keamanan kendaraan.Bukan
hanya untuk menjaga keamanan saja tetapi juga untuk keteraturan dan kenyamanan
suatu tempat.
Berdasarkan kondisi di atas, maka pendapatan daerah tergantung kepada pajak
yang dipungutnya, termasuk pajak parkir. Untuk itu dilakukan penelitian dengan
judul: “Efektivitas Terhadap Pengutipan Pajak Parkir Dalam Hubungannya Dengan
Peningkatan Pendapatan Daerah Di Kota Medan Menurut Perda Kota Medan No. 10
Tahun 2011” .
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka
perumusan masalah yang akan diajukan adalah:
1.

Bagaimanakah metode pemungutan pajak parkir dan implikasinya bagi

Universitas Sumatera Utara

23

peningkatan pendapatan daerah di Kota Medan ?
2.

Bagaimanakah efektivitas pemungutan pajak parkir terhadap peningkatan
pendapatan daerah di Kota Medan ?

3.

Bagaimana hambatan-hambatan yang ditemui dalam upaya pemungutan pajak
parkir di Kota Medan ?

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Untuk mengkaji metode pemungutan pajak parkir dan implikasinya bagi
peningkatan pendapatan daerah di Kota Medan.

2.

Untuk mengkaji efektivitas pemungutan pajak parkir terhadap peningkatan
pendapatan daerah di Kota Medan

3.

Untuk mengkaji dan meneliti hambatan-hambatan yang ditemui dalam upaya
pemungutan pajak parkir di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:
1.

Secara Teoritis
a.

Sebagai bahan informasi bagi akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi para peneliti yang tentang efektivitas pemungutan pajak
parkir terhadap peningkatan pendapatan daerah.

Universitas Sumatera Utara

24

b.

Sebagai bahan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam penyempurnaan
peraturan Perundangan-undangan tentang pengaturan pemungutan pajak
parkir terhadap peningkatan pendapatan daerah.

2.

Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi pihak-pihak yang berhubungan langsung terutama pemungutan pajak parkir
terhadap peningkatan pendapatan daerah khususnya di Kota Medan.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dari hasil-hasil penelitan yang
pernah dilakukannya, khususnya di Universitas Sumatera Utara, penelitian yang
dilakukan

lebih memfokuskan pada Efektivitas Hukum Pajak Parkir Dalam

Hubungannya Dengan Peningkatan Pendapatan Daerah Di Kota Medan Menurut
Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari
segi judul, permasalahan dan lokasi serta daerah penelitian yang belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain, maka berdasarkan hal tersebut dengan demikian hasil
penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara
ilmiah.
.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori efektivitas hukum. Menurut

Universitas Sumatera Utara

25

Soerjono Soekanto suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif apabila
sikap tindak atau perilaku pihak lain menuju pada tujuan yang dikehendaki atau
apabila pihak lain itu mematuhi hukum. Masalah pengaruh hukum tidak hanya
terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek
total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif
maupun negatif.8
Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum adalah
sebagai berikut:9
a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orangorang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu,
jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat
undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari
target pemberlakuan undang-undang tersebut.
b. Kejelasan rumusan dari subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami
oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi perumusan substansi aturan
hukum itu, harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis harus ditulis
dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap
membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogianya
aturannya bersifat melarang dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum
yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang
hukum yang bersifat mengharuskan (mandatur).
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat
aturan hukum yang dilanggar.
f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus
proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
8

Soerjono Soekanto. Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi. (Jakarta: Remadja Karya
CV.1985), hal. 1.
9
Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence). (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.2012), hal. 376.

Universitas Sumatera Utara

26

Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran
terhadap aturan hukum tersebut adalah memang memungkinkan karena
tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret,
dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam
setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penghukuman).
Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan saknsi terhadap tindakantindakan yang bersifat gaib atau mistik adalah mustahil untuk efektif karena
mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi bagi
perbuatan yang sering dikenal sebagai ‘sihir’ atau ‘tenung’ adalah mustahil
untuk efektif dan dibuktikan.
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif
akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan
nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target
diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif adalah
aturan hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan yang
juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma moral,
norma agama, norma adat-istiadat atau kebiasaan dan lainnya. Aturan hukum
yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain akan lebih tidak efektif.
i. Efektif atau tidak efekttifnya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum
untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap
pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi
tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan
konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret.
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan
adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di masyarakat. Dan
sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak, harus telah terjaga, karena
tidak mungkin efektivitas hukum akan terwujud secara optimal jika
masyarakat dalam keadaan kaos atau situasi perang dasyat.
g.

Efektivitas

penegakan

hukum

membutuhkan

kekuatan

fisik

untuk

menegakkan kaidah-kaidah hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan
wewenang yang sah. Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum dan promises,
yaitu suatu ancaman tidak akan mendapatkan legitimasi bila tidak ada faedahnya
untuk dipatuhi atau ditaati. Internal values merupakan penilaian pribadi menurut hati
nurani dan ada hubungan dengan yang diartikan sebagai suatu sikap tingkah laku.
Efektivitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektivitas hukum.

Universitas Sumatera Utara

27

Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan
sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk
ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa
hukum tersebut adalah efektif.
Menurut Syamsuddin Pasamai, persoalan efektivitas hukum mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan
hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benarbenar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. 10
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila
seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai
tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur
sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak.
Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin
dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar
supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksisanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang
maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan
tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.
Terkait dengan penegakan hukum dalam kaitannya dengan efektivitas hukum,
Friedman mengemukakan sebuah sistem hukum agar penegakan hukum dapat

10

Syamsuddin Pasamai, Sosiologi & Sosiologi Hukum; Suatu Pengetahuan Praktis dan
Terapan. Makassar, Umitoha Ukhuwah Grafika, 2009.

Universitas Sumatera Utara

28

berjalan dengan baik, dimana sistem yang dimaksud adalah pertama mempunyai
struktur. Kedua memiliki substansi, meliputi aturan, norma dan perilaku nyata
manusia yang berada didalam sistem itu. Termasuk pula dalam pengertian substansi
ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang disusun dan dihasilkan
oleh orang yang berada di dalam sistem itu pula. Aspek ketiga, budaya hukum
meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Struktur dapat diibaratkan
sebagai mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu.
Budaya hukum (legal culture) adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan
untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta bagaimana mesin itu harus
digunakan. Masalah penegakan hukum tampaknya sangat sederhana, tetapi dalam
kenyataankeadaan adalah tidak seperti itu, melainkan yang terjadi adalah bahwa
penegakan hukum itumengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan
kepada kenyataan yang kompleks. 11
Masyarakat memerlukan sebuah aturan untuk menciptakan suatu suasana yang
harmonis didalam kehidupannya. Aturan tersebut berupa hukum, hukum yang ada
dapat merupakan hukum tertulis atau tak tertulis. Hukum yang ada dalam masyarakat
ini hendaknya memiliki sebuah dasar hukum yang menjiwai dari keadaan seluruh
masyarakaat, memiliki fungsi yang ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian
dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Efektifitas hukum diperlukan dalam pengutipan pajak parkir dalam rangka

11

Satjipto Raharjo, Sosilogi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cet.II,
(Yogyakarta: Genta,, 2010), hal.190.

Universitas Sumatera Utara

29

meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai wujud pembangunan daerah, dimana
daerah diberikan kewenangan dalam mengurus daerahnya sendiri (desentralisasi)
sebagai daerah otonom. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang
sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada
dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi
daerah tersebut, yaitu: 12
1.

Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah

2.

Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat

3.

Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan

untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan
pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih
dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan
yang relatif rendah dan terbatas serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya
basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver
keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
Ditinjau dari aspek administrasi atau manajemen yang dimaksud dengan
pengelolaan keuangan adalah proses pengurusan, penyelenggaraan, penyediaan dan
12

Tim Apkasi, “Format Otda dan Dampaknya Terhadap Anggaran Pembangunan Daerah”,
Makalah, Disampaikan pada Seminar Nasional “Pasar Modal Sebagai Alternatif Pembiayaan dan
Investasi dalam Kerangka Otonomi Daerah”, Golden Ballroom Hotel Hilton, Jakarta, 2001

Universitas Sumatera Utara

30

penggunaan uang dalam setiap usaha kerjasama

sekelompok

orang

untuk

tercapainya suatu tujuan. Proses ini tersusun dari pelaksanaan fungsi-fungsi
penganggaran pembukuan dan pemeriksaan atau secara operasional apabila
dirangkaikan dengan daerah maka pengelolaan keuangan daerah adalah

yang

pelaksanaannya meliputi penyusunan, penetapan, pelaksanaan pengawasan dan
perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah.13
Sejalan dengan pengertian tersebut di atas Abdul Halim 14 mengatakan,
membicarakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari pembahasan
anggaran pendapatan dan belanja daerah : oleh karena itu anggaran pendapatan dan
belanja daerah adalah merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angkaangka selama satu tahun anggaran.
Devas yang dikutip Tjahjanulin Domai mengemukakan bahwa tujuan utama
dari pengelolaan keuangan daerah adalah: 15
1.
2.

3.
4.

5.

Pertanggungjawaban. Pemerintah daerah harus mempertanggung-jawabkan tugas
keuangannya pada lembaga yang sah.
Mampu memenuhi kewajiban. Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa
sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka
panjang.
Kejujuran. Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur.
Hasil guna dan daya guna kegiatan daerah. Tata cara mengurus keuangan daerah
harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk mencapai tujuan
pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu
secepat-cepatnya.
Pengendalian petugas keuangan pemerintahan daerah, dewan perwakilan rakyat
13

Tjahjanulin Domai, Reinventing Keuangan Daerah (Studi tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah), Bahan Ajar, Fakultas Ilmu Administrasi dan Program S2 Ilmu Administrasi Program
Pascasarjana Unibraw Malang. 2002, hal. 1
14
Abdul Halim, Loc.Cit.
15
Tjahjanulin Domai, Op.Cit, hal. 3

Universitas Sumatera Utara

31

daerah dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan
tersebut di atas tercapai mereka harus mengusahakan agar selalu mendapat
informasi yang diperlukan untuk memantau pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran, dan untuk membandingkan penerimaan dan pengeluaran dengan
rencana dan sasaran.

Secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu: “Manajemen penerimaan daerah dan manajemen
pengeluaran daerah.”16 Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan
kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut
antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggungjawab, penyelenggaraan pemerataan dan pembangunan
daerah secara bertahap akan semakin banyak diserahkan kepada daerah. Berbagai
kebijaksanaan keuangan daerah yang diambil diarahkan untuk semakin meningkatkan
kemampuan

dalam

membiayai

urusan

penyelenggaraan

pemerataan

dan

pembangunan daerahnya.
Secara garis besar kebijaksanaan mencakup beberapa komponen utama
yaitu:17
16

Mardiasmo, “Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah,
” Makalah Disampaikan Dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia,
Jakarta, 7 Mei 2002.
17
Atik
Norhayati,
“Strategi
Meningkatkan
Pendapatan
Daerah”,
http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/strategi-meningkatkan-pendapatan-asli.html,
diakses
tanggal 10 Februari 2013.

Universitas Sumatera Utara

32

b.
c.

d.

Kebijaksanaan di bidang penerimaan, yaitu untuk mendorong kemampuan daerah
yang semaksimal mungkin dalam membiayai urusan rumah tangganya sendiri
Kebijaksanaan di bidang pengeluaran, berorientasi pada prinsip desentralisasi
dalam perencanaan, penyusunan program, serta pengambilan keputusan dalam
memilih Negara dan proyek daerah serta pelaksanaannya.
Peningkatan kemampuan organisasi pemerintah daerah termasuk kemampuan
personil dan struktur organisasinya.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan

dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1974, proses
penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah
menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari
Menteri Dalam Negeri untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Propinsi dan
pengesahan Gubernur untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota,
melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui
Peraturan Daerah (Perda).
Melalui peraturan daerah, kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat menyesuaikan pendapatannya
sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan
tarif. Sementara di Pihak lain, dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk
menetapkan jenis pajak akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha
yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.

2. Konsepsi
“Konsep adalah suatu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan

Universitas Sumatera Utara

33

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition. 18 Pentingnya definisi profesional adalah untuk
menghindari perbedaaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai”. 19
Konsepsi merupakan unsur pokok dalam suatu penelitian atau untuk membuat
karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah “suatu pengertian
mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu
yang akan dikerjakan. Jadi jika teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang
telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya
yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori”. 20
Konsepsi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1.

Efektivitas hukum adalah proses yang bertujuan agar hukum dapat berlaku
efektif.

2.

Pemungutan adalah suatu rangkaian mulai dari penghimpunan data objek dan
subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang
tertuang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau
wajib Retribusi serta pengawasan penyetoran.

3.

Pajak adalah: ”Pajak adalah iuran negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
18

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.
10.
19
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara (Medan: PPs-USU, 2002), hal. 35.
20
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

34

mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.21
4.

Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
bermotor.22

5.

Pendapatan Asli Daerah adalah dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah,
yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi.

G. Metode Penelitian
1.

Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian

ini akan dipaparkan tentang efektivitas pajak parkir dihubungkan dengan peningkatan
pendapatan asli daerah. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu
dilakukan analisis data secara kualitatif.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ialah pendekatan yuridis empiris,

21
22

Hamdan Aini, Perpajakan,(Jakarta: Bumi Aksara, 1985), hal. 1.
Lihat Pasal 1 angka 10 Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir

Universitas Sumatera Utara

35

yaitu melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan
efektivitas pajak parkir dihubungkan dengan peningkatan pendapatan asli daerah.
2.

Sumber Data
Sumber data diperoleh dari data primer, yang dilakukan melalui metode

wawancara. Selain itu sumber data penelitian juga berasal dari data sekunder yang
dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa:
a.

Bahan hukum primer, berupa bahan hukum yang meliputi peraturan
perundang-undangan yang mendukung yaitu Undang-Undang UU No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda Kota Medan
No. 12 Tahun 2003 tentang Pajak Daerah Kota Medan,

Perda Kota

Medan No. 10 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir.
b.

Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan berupa buku-buku yang
berhubungan dengan bahan penelitian.

c.

Bahan hukum tertier, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum
primer dan sekunder berupa kamus hukum, kamus ekonomi, kamus
bahasa Inggris, Indonesia, Belanda, dan artikel-artikel lainnya baik yang
berasal dari dalam maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law
maupun common law.

3.

Alat Pengumpulan Data
Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengkajian deskriptif analistis

Universitas Sumatera Utara

36

terdiri dari wawancara langsung dan mendalam, penggunaan kuisioner dan observasi
atau survey lapangan. 23 Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah
melalui:
1)

Pedoman wawancara (interview guide) dilakukan dengan pihak-pihak
yang terkait didalamnya, yakni staf yang ada di wilayah Dinas
Pendapatan Kota Medan, sebagai responden.

2)

Studi dokumen yaitu pengumpulan data, dengan jalan mengadakan
pencatatan langsung mengenai data yang berupa dokumen ataupun
mengutip keterangan-keterangan yang dibutuhkan.

4. Analisis Data
Semua data yang telah diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh
dilapangan dianalisa secara kualitatif. Metode penarikan kesimpulan yang dipakai
adalah metode deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan
dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat
pelaksanaannya dalam melihat efektivitas pajak parkir dalam penambahan pendpatan
daerah.

23

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),

hal. 166.

Universitas Sumatera Utara