Implementasi Peraturan Daerahnomor 10 Tahun 2011 Tentang Pajak Parkir Di Kota Medan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman,
tertib, sejahtera dan berkeadilan. Intinya adalah kesejahteraan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan dengan merata dan tidak hanya terealisasi di
sebagian daerah saja. Dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa itu, Pemerintah
menjalankan fungsi pemerintahan, sehingga proses menuju tujuan NKRI tersebut
berjalan. Namun, mewujudkan masyarakat adil dan makmur di Indonesia sebagai
salah satu negara yang besar, luas serta memiliki penduduk yang besar,
merupakan sebuah tantangan bangsa ini sehingga kesejahteraan yang adil tersebut
benar-benar terjadi.
Salah satu jawaban untuk mencapai keadilan masayarakat Indonesia dalam
hal kemakmuran adalah otonomi daerah. Otonomi daerah dalam Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, Indonesia menerapkan sistem sentralisasi yang membuat segala
urusan pusat dan daerah diatur oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah dalam

mengurus daerahnya masih harus bergantung dari pemerintah pusat untuk semua
aspek kebutuhan daerah. Hal ini tentu sulit menciptakan cita-cita bangsa yaitu adil

9
Universitas Sumatera Utara

dan makmur. Sebab, Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar, dengan
masyarakat yang juga dengan jumlah besar dan heterogen (dengan budaya dan
adat istiadat yang berbeda-beda). Pemerintah pusat tentu sulit mengatur setiap
provinsi, kota/kabupaten bahkan sampai ke desa-desa. Sehingga tidak semua
masyarakat dapat terjangkau dan tidak semua daerah menerima pembangunan.
Selain itu, kebutuhan setiap daerah berbeda-beda, sehingga dalam hal ini
pemerintah daerahlah yang akan lebih mengetahui kebutuhan masyarakat di
daerah tersebut. Oleh sebab itu, otonomi daerah merupakan salah satu solusi yang
tepat untuk menciptakan pemerataan pembangunan daerah serta mewujudkan
keadilan sosial.
Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah menyebabkan perubahan
mendasar dalam pengaturan hubungan pusat dan daerah khususnya dalam bidang

administrasi pemerintah maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini merupakan wujud nyata dari langkah
pengalokasian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk melakukan
serangkaian proses, mekanisme dan tahapan perencanaan yang dapat menjamin
keselarasan pembangunan antar daerah tanpa mengurangi kewenangan yang
diberikan.
Penerapan Otonomi Daerah diharapkan dapat mendorong pemerintah
daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya demi pembangunan daerahnya
masing-masing. Otonomi Daerah juga diharapkan mampu mendorong perbaikan
pengelolahan sumber daya yang dimiliki setiap daerah. Dengan diberikannya

10
Universitas Sumatera Utara

wewenang kepada daerah otonom, menyebabkan daerah tidak dapat sepenuhnya
menggantungkan diri pada pasokan dana dari pemerintah pusat, sebaliknya daerah
di dorong untuk lebih mandiri dalam membiayai pembangunannya. Otonomi
daerah juga diharapkan mampu mendorong pemerintahan daerah untuk
meningkatkan


daya

saing

daerah

dalam

meningkatkan

pembangunan

perekonomian di daerah. Dengan diberikannya kewenangan yang lebih besar
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, pemerintah daerah dapat
lebih mendekatkan pelayanannya kepada masyarakat, serta memudahkan
masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan
yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi.
Sejalan dengan kewenangan melalui otonomi daerah tersebut, Pemerintah
Daerah diharapkan mampu menggali dan mengelolah sumber-sumber pendapatan

daerah

khususnya

untuk

membiayai

pelaksanaan

pemerintahan

daerah,

kesejahteraan masyarakat di daerah dan pembangunan di daerahnya dengan lebih
mengoptimalkan potensi-potensi daerah yang dimiliki, termasuk melalui
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 antara lain : a) pajak daerah; b)
retribusi daerah; c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lainlain PAD yang sah. Sumber pendapatan tersebut merupakan potensi yang benarbenar berasal dari daerah masing-masing dan digunakan untuk keberlangsungan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di daerah tersebut. Selain Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah
dapat dikatakan sebagai penyumbang terbesar pemasukan daerah, dikarenakan

11
Universitas Sumatera Utara

sumbernya yang beragam tergantung potensi yang ada di setiap daerahnya
masing-masing. Semakin banyak potensi daerah yang dapat dimanfaatkan atau
dikelola sebagai sumber pendapatan daerah itu, maka semakin besar pula
pemasukan daerahnya sehingga pembangunan daerah pun meningkat. Namun,
dari sekian banyak sumber pemasukan PAD, terbukti hingga saat ini sebagian
besar masih berasal dari sektor pajak dan retribusi daerah. Sehingga optimalisasi
pengelolahan pajak dan retribusi haruslah ditingkatkan.
Sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), perlu diakui
bahwa pajak cukup penting dan berpengaruh terhadap PAD itu sendiri, selain
retribusi daerah. Pendapatan malalui pajak yang merupakan salah satu sumber
pemasukan yang besar ini, bukan saja berdampak di daerah namun juga untuk
pendapatan nasional sendiri. Pemerintah daerah dalam hal ini, memanfaatkan
potensi alam daerahnya atau potensi lain untuk dijadikan sumber pajak melalui
pengguna jasa potensi daerah tersebut, sehingga dapat memberikan peningkatan

hasil PAD daerah tersebut.

Dalam Undang-UndangNomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah ditetapkan bahwa sumber pajak
kabupaten/kota terdiri dari pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar
kendaraan bermotor, pajak aor permukaan, pajak rokok, pajak hotel, pajak
restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral
bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet,
pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan serta bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan.
Salah satu perolehan PAD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah
adalah Pajak Parkir yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar

12
Universitas Sumatera Utara

badan jalan oleh orang pribadi atau badan. Berbeda dengan Retribusi Parkir yang
dikenakan kepada pemakai jika memanfaatkan sebagian dari badan jalan yang
merupakan fasilitas milik Negara, Pajak Parkir dikenakan terhadap pemilik

perorangan atau badan swasta yang memiliki lahan parkir diluar tanah milik
Negara. Meskipun pendapatan melalui pajak parkir tidaklah sebesar pajak reklame
dan pajak kendaraan bermotor, namun pajak parkir tetap memiliki kontribusi pada
PAD yang sebenarnya perlu dipertimbangkan.
Pajak parkir di Kota Medan sendiri tidak menjadi sumber terbesar untuk
Pendapatan Asli Daerah Kota Medan. Kota Medan merupakan salah satu kota
metropolitan yang terbesar di Pulau Sumatera dengan luas 26.510 hektar atau
setara dengan 265,10 km² serta jumlah penduduk sebesar 2.121.053 jiwa pada
tahun 2009. 1 Medan memiliki tempat yang strategis sebab berada pada jalur
pelayaran Selat Malaka. Dengan demikian, kota ini menjadi pintu gerbang
kegiatan ekonomi domestik dan mancanegara yang melalui Selat Malaka. Selain
itu, Medan juga berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan juga beberapa
daerah kaya sumber daya alam, mempengaruhi kemampuan Medan dalam hal
ekonomi sehingga memiliki hubungan kerjasama yang saling memperkuat dengan
daerah sekitarnya. Dengan kondisi seperti itu, banyak kegiatan ekonomi yang
berlangsung dan masyarakat dari daerah lain yang datang untuk berdagang dan
bekerja di Kota Medan, hal ini didukung dengan banyaknya pusat-pusat
perbelanjaan, perhotelan dan restoran di Kota Medan.
Dalam rangka penertiban dan peningkatan pendapatan daerah kota Medan
terutama dari pajak daerah, maka kepala daerah dalam hal ini Walikota bersama

dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Medan menetapkan
1

http://pemkomedan.go.id/new/hal-kependudukan.html

13
Universitas Sumatera Utara

Peraturan Daerah tentang Pajak Parkir yang diatur dalam Perda Nomor 10 Tahun
2011. Peraturan daerah tersebut sudah barang tentu tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perUndangUndangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Perda Nomor 10 Tahun 2011 merujuk
pada Undang-UndnagNomor 28 Tahun 2009. Namun, dalam pelaksanaan Perda
ini tersbut terdapat permasalahan seperti masih adanya pusat perbelanjaan dan
perhotelan yang belum menjalankan Perda pajak parkir tersebut, serta penolakan
terhadap diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 ini. 2
Ketidaksesuaian yang terjadi antara Perda ini dengan yang terjadi di
lapangan menimbulkan ketertarikan penulis dalam memilih penelitian terkait
pajak parkir dengan judul “Implementasi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun
2011 Tentang Pajak Parkir di Kota Medan”.


1.2 Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penelitian ini nantinya dan agar penelitian ini
memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam
penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang akan
diteliti. Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis
merumuskan

permasalahan

pokok

penelitian

ini

adalah:

“Bagaimana

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Pajak

Parkir di Kota Medan?”

2

http://www.dnaberita.com/berita-77758-pemko-medan-harus-tegas-jalan-perda-no-102011.html

14
Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas dan
merupakan pedoman dalam mengadakan penelitian, serta menunjukkan kualitas
dari penelitian tersebut. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan diatas,
maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Peraturan Daerah Nomor 10
Tahun 2011 Tentang Pajak Parkir di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi
dalam implementasi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 Tentang
Pajak Parkir di Kota Medan.


1.4 Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tentunya diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Subjektif
Sebagai suatu proses untuk melatih dan mengembangkan kemampuan
berpikir ilmiah dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya
tulis ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori yang diperoleh dari Ilmu
Administrasi Negara.
2. Manfaat Praktis
Sebagai upaya untuk memperkaya hasil penelitian tentang dunia pajak
khususnya yang berhubungan dengan kontribusi pajak parkir terhadap
pendapatan daerah di Kota Medan, sehingga di harapkan penelitian ini
dapat dipakai untuk pengembangan pengelolahan pajak parkir. Sekaligus
15
Universitas Sumatera Utara

sebagai masukan bagi Pemerintah daerah setempat tertutama dalam
pengambilan kebijakan dimasa yang akan datang guna meningkatkan
pendapatan daerah melalui pajak parkir dan sebagai tolak ukur dalam
menilai peran pajak parkir dalam menunjang pendapatan daerah.
3. Manfaat Akademis
Sebagai refrensi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara
dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik di dalam bidang ini.

1.5 Kerangka Teori
Sebagai titik tolak atau landasan berpikir dalam menyoroti atau
memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat
membantu.Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok
pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Menurut
Kerlinger (dalam Singarimbun), teori merupakan serangkaian asumsi, konsep,
konstrak, defenisi, dan proporsisi unutk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 3Adapun yang
menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

1.5.1

Kebijakan Publik

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani
“polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin menjadi
“politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris “policie”

3

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai, Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES, hal. 37

16
Universitas Sumatera Utara

yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau administrasi
pemerintahan. 4

Artinya

kebijakan

(policy)

tersebut

dilakukan

untuk

menyelesaikan masalah yang ada atau menjadi solusi dari suatu masalah.
Ada banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti dari
kebijakan. Thomas R. Dye mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Definisi kebijakan
publik dari Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa: a) kebijakan publik
tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; b) kebijakan
publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan
pemerintah. 5 Kebijakan menurut Dye tersebut mengandung makna yang luas,
sebab Dye juga mengartikan bahwa pemerintah yang memilih tidak melakukan
sesuatu adalah merupakan kebijakan pemerintah. Sehingga, ketika ada
permasalahan

yang

tidak

mendapat

solusi

atau

keputusan

untuk

menyelesaikannya, juga sudah diartikan sebagai suatu kebijakan.
James E. Anderson (1975) memberikan definisi kebijakan publik sebagai
kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah 1) kebijakan publik selalu
mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi
pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3)
kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
jadi bukan merupakan apa yang dimaksudkan untuk dilakukan; kebijakan publik
yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah
mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti

4
5

William Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:Gajah Mada University Press, hal. 22-25
A.G Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 2

17
Universitas Sumatera Utara

merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan
pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan
perUndang-Undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. 6 Definisi dari
Anderson ini memiliki kemiripan dengan Dye, namun Anderson menambahkan
bahwa pilihan pemerintah tersebut memiliki tujuan. Hal ini juga didukung oleh
Hugh Helgo yang menyebutkan bahwa kebijakan sebagai suatu tindakan yang
bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. 7
Defenisi Helgo ini selanjutnya diuraikan oleh Charles O. Jones (1977)
dalam kaitannya dengan beberapa isi kebijakan publik yang terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut:
1. Goals atau tujuan yang diinginkan
2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai
tujuan
3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision

atau

keputusan,

yaitu

tindakan-tindakan

untuk

menentukan tujuan , membuat rencana, melaksanakan dan
mengevaluasi program
5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak,
primer atau skunder). 8
Hogwood dan Gunn menjelaskan definisi kebijakan dengan sepuluh istilah
kebijakan dalam pengertian modern yaitu:
1. Sebagai label untuk sebuah bidang aktifitas
2. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktifitas negara yang diharapkan
6

Hessel Nogi Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi.Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI, hal. 2
Said Zainal Abidin. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah., hal 21
Ibid., hal. 2-3

7

8

18
Universitas Sumatera Utara

3. Sebagai proposal spesifik
4. Sebagai keputusan pemerintah
5. Sebagai otorisasi formal
6. Sebagai sebuah program
7. Sebagai output
8. Sebagai hasil (outcome)
9. Sebagai teori dan model
10. Sebagai sebuah proses

Pengertian-pengertian diatas menyatakan bahwa kebijakan selalu dibuat
oleh pemerintah dengan tujuan-tujuan tertentu. Pertimbangan pemerintah dalam
mengeluarkan suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh lingkungan ekternal maupun
internal

dan

kondisi

ketika kebijakan

tersebut

dibuat.

Carl

Friedrich

mendefinisikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari
peluang-peluang untuk mencapai tujuan tertentu. 9 Maka kebijakan sebagai suatu
produk dari pemerintah terkait dengan kepentingan publik, harus dibuat
berdasarkan pada tujuan yang menyelesaikan masalah publik atau kepentingan
masyarakat dan negara.
Dari berbagai definisi kebijakan publik (public policy) di atas dapat
disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan serangkaian proses oleh badan-badan atau pejabat pemerintah sebagai
pembuat dan pelaksana dari tindakan tersebut yang memiliki tujuan tertentu.
9

Dwiyanto Indiahono. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis. Yogyakarta: Gava Media

19
Universitas Sumatera Utara

1.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kebijakan publik,
Dunn 10 mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan,
yaitu:
1. Agenda setting adalah proses pengumpulan isu-isu dan masalah publik
yang mencuat ke permukaan melalui proses problem structuring. Menurut
Dunn problem structuring memiliki empat fase yaitu: pencarian masalah,
pendefenisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah.
Woll mengatakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang menjadi
agenda kebijakan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat,
b) Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik
yang pernah dilakukan,
c) Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau
politik yang ada,
d) Terjadinya kegagalan pasar, dan
e) Tersedianya teknologi atau dana untuk menyelesaikan masalah
publik.
2. Policy formulation adalah mekanisme proses untuk menyelesaikan
masalah publik, dimana pada tahap ini para analis mulai menerapkan
beberapa teknik untuk menentukan sebuah pilihan yang terbaik yang akan
dijadikan kebijakan. Dalam menentukan kebijakan tersebut, aktor
10

Hesel Nogi Tangkilisan. 2003. Implementasi Kebijakan Publik: Transformasi Pikiran George

Edward

III.

Yogyakarta:Lukman Offset YPAPI., hal.7

20
Universitas Sumatera Utara

kebijakan dapat menggunakan analisis biaya dan manfaat dan analisis
keputusan, dimana keputusan yang harus diambil tidak ditentukan dengan
informasi yang serba terbatas. Para aktor kebijakan tersebut harus
mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui
psoses

peramalan

(forecasting)untuk

memecahkan

masalah

yang

didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang
akan dipilih.
3. Policy adoption adalah penetapan keputusan yang sudah ditetapkan untuk
menjadi solusi dari masalah publik tersebut. Tahap ini dilakukan setelah
mendapatkan rekomendasi melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a) Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah
untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan
langkah terbaik dalam mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan
masyarakat luas.
b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan dipilih untuk
menilai alternatif yang akan direkomendasikan.
c) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan
kriteria yang relevan agar efek posisi alernatif lebih besar dari efek
yang terjadi.
4. Policy implementation adalah proses pelaksanaan kebijakan yang sudah
ditetapkan tersebut oleh unit-unit eksekutor tertentu dengan memobilisasi
sumber dana dan sumber daya lainnya dan pada tahap ini proses
monitoring sudah dapat dilakukan. Tahapan implementasi kebijakan
merupakan kegiatan yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah

21
Universitas Sumatera Utara

suatu kebijakan ditetapkan dengan menghasilkan output yang jelas dan
dapat diukur.
5. Policy assessment atau penilaian kebijakan: pada tahap ini semua proses
implementasi dinilai apakah sudah sesuai dengan rencana dalam program
kebijakan dengan ukuran kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Proses
penilaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring dan
evaluasi. Monitoring dilakukan sewaktu proses pelaksanaan kebijakan
masih berjalan dan bertujuan untuk melihat bagaimana program tersebut
berjalan, biasanya dalam bentuk penelitian/ riset dan rekomendasi. dan
evaluasi dilakukan setelah kebijakan tersebut telah selesai dilakukan.
Evaluasi dilakukan terhadap program yang sudah selesai dan bertujuan
untuk mengetahui bagaimana hasil dari program tersebut apakah mencapai
sasaran.

1.5.2

Implementasi Kebijakan

1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Dalam penjelasan mengenai kebijakan publik diatas, beberapa ahli
menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah untuk
mencapai tujuan tertentu. Maka dalam mencapai tujuan tersebut, sudah disusun
rencana dan proses yang terkait dengan pencapaian tujuan tersebut. Pada saat
suatu kebijakan sudah dibuat maka kebijakan haruslah dilaksanakan atau
diterapkan. Pelaksanaan kebijakan tersebutlah yang disebut implementasi
kebijakan. Seperti yang dikemukakan oleh Lineberry bahwa pengambilan
kebijakan (policy making) tidaklah berakhir ketika kebijakan dikemukakan atau

22
Universitas Sumatera Utara

diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan. Ketika
kebijakan selesai dirumuskan maka proses implementasi dimulai, dengan melalui
cara-cara lain. 11
Implementasi kebijakan dapat dikatakan sebagai tahap yang krusial dalam
proses kebijakan publik, sebab suatu program kebijakan harus diimplementasikan
agar mempunyai dampak, makna dan tujuan yang diinginkan. Suatu program
kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak
pernah diimplementasikan. Oleh karena itu, dapat dikatakan sebagai salah satu
tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan terletak pada proses implementasinya.
Namun, implementasi kebijakan tidak dapat terpisah dengan formulasinya.
Keberhasilan suatu kebijakan itu sangat tergantung tatanan kebijakan itu sendiri.
Dalam

pengertian

yang

luas,

implementasi

mempunyai

makna

pelaksanaan Undang-Undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan
teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih
tujuan-tujuan kebijakan dan program-program. 12 Konsep mengenai implementasi
ini lebih lanjut dikemukakan oleh Van Meter Van Horn, yang menyatakan bahwa
implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan individuindividu, kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua
tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan
dampak aktualnya. 13

11

Fadillah Putra. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan (Perubahan dan Inovas Kebijakan Publik dan Ruang
Partisipasi Masyarakat dalan Proses Kebijakan Publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 82
12
Riant Nugroho.2006. Kebijakan untuk Negara-Negara Berkembang (Model-model Perumusan Implementasi dan
Evaluasi). Jakarta: Elex Media Komputindo., hal. 31
13
Fadillah Putra. Op. Cit., hal. 81

23
Universitas Sumatera Utara

Sementara implementasi kebijakan menurut Patton dan Sawicki adalah
berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program
dimana

posisi

ini

eksekutif

mengatur

cara

untuk

mengorganisir,

mengiterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang sudah diseleksi. Sehingga
dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan
efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan
program serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat dan
petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang
dilaksanakan. 14
Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier mengatakan bahwa mengkaji
masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya
terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan, yakni
peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan
kebijakan, baik yang menyangkut usaha-usaha mengadministrasikannya maupun
untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau pada kejadian-kejadian
tertentu. 15
Jadi tahap implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan
apa yang terjadi setelah suatu perUndang-Undangan ditetapkan dengan
memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas
dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui
aktifitas atau kegiatan dari program pemerintah. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu rangkaian aktivitas

14

Tangkilisan. Op.Cit., hal. 9
Fadillah Putra. Op. Cit., hal. 84

15

24
Universitas Sumatera Utara

dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan
tersebut membawa hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Proses ini
berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah solusi dari permasalan
yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan dampak sesuai dengan
yang diharapkan sejak awal.
1.5.2.2 Model-Model Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy maker,
bukan menjadi jaminan bahwa kebijakan tersebut akan berhasil untuk
diimplementasikan. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok/institusi.
Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy maker untuk
mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan
dan mengatur perilaku kelompok sasaran.
Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor
unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi
dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel yang individual maupun
organisasional dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling
berinteraksi satu sama lain.
1. Model George C. Edward III 16
Edward memberikan empat variabel yang menunjukkan peran penting
dalam pencapaian keberhasilan implementasi, yaitu sebagai berikut:
1. Komunikasi
Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses
komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut
16

Dwiyanto Indiahono. Op. Cit., hal. 31

25
Universitas Sumatera Utara

Edwards, prasyarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah
bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka
lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan
kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti. Tentu saja
komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh
para pelaksana. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi, yaitu:
a. Transmisi
Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan
satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak
selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya.
Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau
jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap
keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah
implementasi. 1) Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan
perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan
terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi
seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para
pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan
dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum.
2)Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan

26
Universitas Sumatera Utara

sarana komunikasi yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan
perintah-perintah pelaksana.
b. Kejelasan.
Jika

kebijakan-kebijakan

diimpelentasikan

sebagaimana

yang

diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus
diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi
kebijakan tersebut harus jelas. Namun demikian, ketidakjelasan pesan
komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada
tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam
melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor
yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan,
yaitu:

kompleksitas

kebijakan

publik,

keinginan

untuk

tidak

mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus
mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai
suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan
sifat pembuatan kebijakan pengadilan.
c. Konsistensi.
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintahperintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah implementasi
kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana
mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan
berakibat pada ketidakefektivan implementasi kebijakan. Menurut
Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan

27
Universitas Sumatera Utara

implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa
semakin

cermat

keputusan-keputusan

dan

perintah-perintah

pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya,
maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan
perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan.
2. Sumber-sumber
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas
dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun
cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat menjadi faktor
yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang
penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna pelaksakan
pelayanan publik.
a. Staf.
Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan
adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak
selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus
rendahnya pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang
dapat digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di
Indonesia sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efesien.
Penyebabnya bukan terletak pada jumlah staf yang menangani
pelayanan publik tersebut, tetapi lebih pada kurangnya sumber daya
28
Universitas Sumatera Utara

manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demikian
tidaklah cukap hanya dengan jumlah pelaksana yang memadai, namun
harus disertai dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan
untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh
pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang mempunyai keterampilanketerampilan pengelolaan. Seringkali mereka yang mempunyai latar
belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya sampai mereka
menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka seringkali tidak
mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka yang baru.
Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat
minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami kenaikan
yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu
pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang
relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka
panjang.

Kurangnya

keterampilan-keterampilan

pengelolaan

merupakan masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal
ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk
latihan profesional. Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan
mempertahankan administrator-administrator yang kompeten karena
umumnya gaji, prestise dan jaminan kerja mereka yang rendah. Dalam
banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang
untuk menghindari pekerjaan di birokrasi pemerintah. Orang-orang
yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau
di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang baik.

29
Universitas Sumatera Utara

b. Informasi
Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi
kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi
mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksanapelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana
mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah
data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturanperaturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah
orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini
mentaati Undang-Undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan
tentang

bagaimana

mengimplementasikan

beberapa

kebijakan

mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1) Beberapa
tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi
atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2) Ketidakefisienan.
Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain
atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan,
mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak
diperlukan.

c. Wewenang.
Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program
lainnya serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun
demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang
yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu

30
Universitas Sumatera Utara

kebijakan dengan tepat. Bila wewenang formal tidak ada, atau sering
disebut dengan wewenang di atas kertas, seringkali salah dimengerti
oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya
mempunyai perbedaan yang substansial. Wewenang di atas kertas atau
wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang
tersebut digunakan secara efektif adalah hal lain. Dengan demikian,
bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar,
namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut. Menurut
Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan
menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial
merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang
menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan
beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus;
kewenangan, baik sukareka maupun paksaan, merupakan konsesi dari
mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir,
kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindlom, sebabsebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian
orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang
memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman,
teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.
d. Fasilitas-fasilitas
Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber-sumber penting dalam
implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang
memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin

31
Universitas Sumatera Utara

mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa
bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa
perlengkapan,

tanpa

perbekalan,

maka

besar

kemungkinan

implementasi yang dicanangkan tidak akan berhasil.
3. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga
yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan
yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu,
dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan
kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan di awal.
Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektifperspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses
pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dalam beberapa kasus,
karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali suatu
kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin
terbukanya interpretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benarbenar terjadi maka akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan,
sebab interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin
mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi
yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya
kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif,
maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap
implementasi kebijakan.

32
Universitas Sumatera Utara

a. Dampak dari kecenderungan-kecenderungan
Menurut

Edwards

banyak

kebijakan

masuk

dalam

“zona

ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif
karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun
kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung
dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingankepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Jika orang
diminta untuk melaksanakan perintah-perintah yang tidak mereka
setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan terjadi,
yakni antara kebijakan-kebijakan keputusan dan pencapaian kebijakan.
Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana kebijakan akan
menggunakan keleluasaan dan kadang-kadang dengan cara-cara yang
halus untuk menghambat implementasi. Para pejabat dalam birokrasi
pemerintah merupakan pelaksana-pelaksana yang paling umum dan
penting

dalam

mengetahui

pengaruh-pengaruh

tertentu

pada

kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku mereka,
bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan
swasta/nonpemerintah. Badan-badan birokasi pemerintah mempunyai
beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan
lainnya, yaitu:
1) Badan-badan biroktasi pemerintah lebih bersifat homogen
Tingkah laku yang homogen ini berkembang karena model
rekruitmen staf baru yang berlangsung secara selektif. Mereka
yang tertarik bekerja dalam badan-badan pemerintah mungkin

33
Universitas Sumatera Utara

mendukung kebijakan yang dijalankan oleh badan-badan itu.
Badan-badan ini lebih suka mempekerrjakan orang-orang yang
mempunyai pikiran yang sama sehingga mendorong timbulnya
lingkungan yang secara relatif seragam dimana pembuatan
kebijakan dilakukan.
2) Berkembangnya pandangan-pandangan parokial
Sifat parokial ini didukung oleh beberapa faktor, yakni: a) terlalu
sedikitnya jumlah pembuat keputusan tingkat tinggi yang
menghabiskan

masa

jabatannya

dalan

suatu

badan

atau

departemen. Karena orang ingin percaya apa yang mereka lakukan
untuk hidupnya, maka hubungan-hubungan lama akan sangat
mempengaruhi tingkah laku para birokrat. Suatu hasil dari
pengelompokan

ini

adalah

bahwa

komunikasi-komunikasi

antarorganisasi terutama berlaku dikalangan orang-orang yang
mempunyai pandangan yang sama dan memperkuat parokialisme
birokrasi dengan hubungan mereka yang terus berlanjut. b)
pengaruhpengaruh yang datang dari luar. Seperti diungkapkan
Edwards, kita sering menemukan fakta bahwa apabila kelompokkelompok kepentingan dan komite-komite dalan badan legislatif
mendukung satu badan, maka mereka akan mengharapkan imbalan
dukungan birokrasi yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini
akan menciptakan suatu lingkungan yang baik bagi perkembangan
parokialisme. Pandangan parokialisne ini mempunyai pengaruh
yang cukup kuat bagi implementasi kebijakan yang efektif.

34
Universitas Sumatera Utara

Beberapa pejabat diangkat dengan alasan-asalan politik dan dalam
waktu yang singkat. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan
pandangan-pandangan unit birokrasi yang sempit. Ketergantungan
pejabat-pejabat tersebut pada pejabat-pejabat bawahan karena
ingin mendapatkan informasi dan nasehat, kebutuhan untuk
mempertahankan moral organisasi dengan mendukung pandanganpandangan yang ada, serta tekanantekanan dari para klien
bercampur menjadi satu yang pada akhirnya mendorong pejabatpejabat tinggi untuk tidak mempertahankan kepentingan publik.
b. Dampak dari kekuatan-kekuatan ini adalah seringnya birokrat
mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu para pelaksana
akan cenderung melihat kepentingan organisasi mereka sebagai
prioritas yang tinggi. Hal ini lah yang menjadi penyebab bagi
munculnya perbedaan antara pembuat keputusan puncak dan
mendorong ketidakefektivan implementasi kebijakan.

c. Pengangkatan birokrat.
Kecenderungan-kecenderungan pelaksana menimbulkan hambatanhambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Hanya yang
menjadi persoalan adalah bila personil yang ada tidak melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat tinggi, mengapa
mereka tidak diganti dengan orang yang lebih bertanggung jawab

35
Universitas Sumatera Utara

kepada pemimpin-pemimpin mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini,
barangkali kita dapat merujuk pada suatu kasus pengangkatan pejabat
eksekutif oleh presiden. Dalam pengangkatan pejabat tinggi, presiden
sering menemui hambatan politik. Biasanya presiden beranggapan
bahwa pengangkatan pejabat-pejabat tinggi ini harus menunjukkan
perimbangan geografis, ideologi, kesukuan, seks dan karakteristikkarakteristik kependudukan yang menonjol pada suatu waktu.
Sebenarnya, dalam mencari pejabat-pejabat tinggi ini hanya beberapa
saja dari jumlah orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk
pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena kebutuhan politik
maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat. Pengangkatan
pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya untuk
menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada
pertimbangan

–pertimbangan

mengakomodasi

berbagai

politik,

seperti

kepentingan.

misalnya

untuk

Keuntungan-keuntungan

politik yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan
pendukung-pendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan
landasan bagi administrasi yang sehat. Dengan demikian, kita dapat
mengatakan
pengangkatan

bahwa
pejabat

pertimbangan-pertimbangan
tinggi

akan

menghambat

politik

dalam

implementasi

kebijakan yang efektif.
d. Beberapa insentif
Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan
yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan

36
Universitas Sumatera Utara

lancar. Menurut Edwards salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan
memanipulasi insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang
bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi
insentif-insentif oleh para pembuat kebijakan tingkat tinggi bisa
kemungkinan

mempengaruhi

tindakan-tindakan

para

pelaksana

kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau
biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi,
organisasi atau kebijakan substanstif.
4. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak
sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka
memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Mereka tidak
hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga dalam organisasi-organsiasi
swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan kadang kala satu
sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu.
Ripley dan Franklin, berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap birokrasi
Amerika, mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni: 1) Birokrasi
dimana pun berada, dipilih sebagai instrumen sosial yang ditujukan untuk
masalah-masalah yang didefinisikan sebagai urusan publik 2) Birokrasi
merupakan institusi yang didominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang
37
Universitas Sumatera Utara

tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-masing tahap. 3) Birokrasi
mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4) Fungsi birokrasi berada dalam
lingkungan yang luas dan kompleks. 5)Birokrasi jarang mati, naluri untuk
bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi. 6) Birokrasi bukan merupakan
sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan mereka, tidak juga secara penuh
dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Otonomi yang
mereka miliki membuat mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan tawar
menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan yang mereka
ambil. Dengan merujuk pada peran yang dijalankan birokrasi dalam proses
implementasi seperti diungkapkan di atas, maka mengetahui struktur birokrasi
merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan.
Pada dasarnya para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan
dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya,
namun dalam pelaksanaannya mereka masih dihambat oleh struktur-struktur
organisasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards ada
dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni:

a. Prosedur kerja (Standart Operating Procedures = SOP)
SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang
terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk
keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks
dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas
yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat
ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-

38
Universitas Sumatera Utara

peraturan.

Kurangnya

sumber-sumber

yang

diperlukan

untuk

melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan semestinya membantu
dalam menjelaskan penggunaan SOP yang berulang-ulang. Para
pelaksana jarang mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan
seksama dan secara individual setiap keadaan yang mereka hadapi.
Sebaliknya mereka mengandalkan pada prosedur-prosedur biasa yang
menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan tanggung
jawab program dengan sumber-sumber yang ada. Sekali prosedurprosedur biasa ditetapkan, maka akan cenderung tetap berlaku. Hal ini
menguntungkan para pelaksana kebijakan karena kondisi seperti in
ditambah keinginan untuk memperoleh stabilitas dan kurangnya
konflik dan biaya yang tinggi dalam mengembangkan SOP, telah
mendorong pelestarian status quo. Namun demikian, prosedurprosedur biasa yang dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan
untuk meyelesaikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan
keadaan sekarang justru akan menghambat perubahan dalam kebijakan
karena prosedur- prosedur biasa itu tidak sesuai dengan keadaan baru.
Cara-cara yang lazim seringkali ditetapkan terhadap tanggung jawabtanggung jawab baru, tetapi cara ini mungkin menghalangi
implementasi dengan membatasi fleksibilitas yang diperlukan untuk
menanggapi

keadaan-keadaan

baru,

menghambat

pengangkatan

personil dengan kemampuan yang baik, dan tidak mendorong teknikteknik

kerja

yang

tepat.

Kadang-kadang

organisasi

bahkan

menghindari tanggung jawab yang baru karena pemimpin-pemimpin

39
Universitas Sumatera Utara

mereka menganggapnya tidak konsisten dengan cara-cara yang lazim
ditetapkan. Di samping cara-cara yang disesuaikan dengan ukuran
dasar, pemakaian waktu dan pemborosan dapat menghambat
implementasi. Setiap komponen dalam sistem yang harus menjelaskan
program-program atau proyek-proyek menempatkan prioritas-prioritas
bagi tindakan pada program-program tertentu. Sementara pada sisi
yang lain, prioritas-prioritas untuk program-program biasa tidak sama
besarnya dengan perhatian untuk program-program baru. Pemborosan
akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk suatu tujuan
dipertahankan selama waktu tertentu dan diterapkan dalam keadaan
yang sama sekali tidak perlu. SOP sangat mungkin menghalangi
implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara
kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan.
Disamping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan
dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula
probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun demikian,
disamping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai
manfaat. Organisasi dengan prosedur pelaksanaan yang luwes dan
kontrol yang besar atas program yang luwes mungkin lebih dapat
meyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi
tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.
b. Fragmentasi
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam
pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab

40
Universitas Sumatera Utara

bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa
organisasi, sering pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut
dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebij