Evaluasi Kinerja Bangunan Sekolah Alam Star International Medan (Playgroup dan Taman Kanakkanak)

39

BAB II
LANDASAN TEORITIS EVALUASI KINERJA BANGUNAN
Permasalahan utama yang terjadi pada sekolah alam Star International Medan
adalah munculnya respon ketidakpuasan dari pengguna terhadap kondisi sekolah,
terutama pada kualitas bangunan, dalam mengakomodasi kegiatan belajar dan
bermain anak. Dengan kata lain, tingkat kinerja bangunan sekolah, rendah (Busono,
2008).
Penyelesaian permasalahan berkaitan dengan tingkat kinerja bangunan, dapat
dilakukan

melalui

Evaluasi

Kinerja

Bangunan

(Building


Performance

Evaluation/BPE) pada sekolah.

2.1 Sistem Evaluasi Kinerja Bangunan (BPE)
Evaluasi Kinerja Bangunan ini berfokus pada penilaian dari umpan balik seluruh
pengguna bangunan dan orang yang melakukan evaluasi (evaluator) terhadap kinerja
bangunan. Bangunan dengan kinerja baik hanya dapat dihasilkan dari proses desain
yang baik dengan menjadikan pemakai sebagai basis desain. Ketidaksesuaian antara
desain

dan

kebutuhan/harapan

pengguna,

dapat


diidentifikasi

melalui

penilaian/Evaluasi Kinerja Bangunan (Busono; 2008). Hal ini disebabkan BPE
memiliki sistem dasar yakni perbandingan antara kinerja bangunan yang dievaluasi
dengan kebutuhan pengguna dan standar bangunan (Gambar 2.1).

21

40

Tujuan Klien

Kriteria
Pengguna
Objek yang
dievaluasi

Standar

Kinerja

Gambar 2.1 Diagram Sistem Evaluasi Kinerja Bangunan
Sumber: Konsultan Penelitian Arsitektural, Alburquerque, NM; Preiser & Vischer,
2005

2.2 Tahapan Evaluasi Kinerja Bangunan (BPE)
Evaluasi Kinerja Bangunan (BPE) dikembangkan dari Evaluasi Pascahuni (Post
Occupancy Evaluation/POE). Pada tahun 1997, model proses POE dikembangkan
menjadi kerangka integratif untuk Evaluasi Kinerja Bangunan (Preiser dan Schramm,
1997; Preiser & Vischer, 2005), yang terdiri dari 6 (enam) tahap evaluasi, yaitu:

2.2.1 Rencana strategis evaluasi (strategic planning)
Fokus evaluasi pada tahap ini adalah untuk menentukan pilihan, termasuk ideide pertama, konsep-konsep umum, atau mengembangkan skenario tertentu pada
desain bangunan. Hal ini jelas bahwa perencanaan strategis tidak pernah dimulai dari

41

nol; selalu ada situasi yang dimulai dengan munculnya ketidakpuasan dari pengguna
bangunan.


2.2.2 Program evaluasi (programming)
Program evaluasi adalah parameter atau persyaratan kinerja yang harus
dipenuhi untuk menghasilkan suatu solusi desain. Pemrograman dihasilkan melalui
proses sistematis mengumpulkan, mendokumentasikan, dan menghubungkan
berbagai kriteria kinerja yang diharapkan pada suatu bangunan. Teknik untuk
melakukan tahap pemrograman ini dibedakan dalam 3 (tiga) bentuk, yakni:
1. Tujuan/objektif; melakukan pengamatan langsung terhadap bangunan,
apakah sudah sesuai dengan standar dan harapan atau tidak.
2. Subjektif; melalui interview dan kuisioner terhadap pengguna bangunan,
serta observasi untuk memperoleh informasi tentang bagaimana mereka
menggunakan bangunan, apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan mereka
pada bangunan,
3. Kolaboratif.

2.2.3 Desain (design)
Tahapan desain adalah fase ketika pengguna dan pembuat keputusan mulai
melihat apa jenis solusi spasial dan fisik yang sesuai, dan menanggapi prioritas pada

42


2 (dua) tahap sebelumnya. Solusi desain fisik itu berupa bentuk ruang, hubungan
antara ruang, ukuran, kualitas ruang, pemilihan material dan warna dan sebagainya.

2.2.4 Construction-commissioning
Commissioning adalah proses pengetahuan intensif yang melibatkan banyak

ahli dari setiap aspek desain bangunan, seperti: konstruksi, operasional, dan
pemeliharaan bangunan.

2.2.5 Hunian (occupancy)
Pada tahap ini, BPE diaktifkan dalam bentuk POE (Evaluasi Pascahuni) yang
memberikan umpan balik dari pengguna terhadap suatu bangunan/fasilitas dan
perbaikan apa yang perlu dilakukan. POE juga digunakan untuk menguji beberapa
hipotesis di balik keputusan kunci yang dibuat dalam tahap pemrograman dan desain.
Atau, hasil POE dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah kinerja bangunan
setelah diihuni, dan mengidentifikasi cara untuk mengatasi masalah tersebut.

2.2.6 Daur ulang (adaptif reuse)
Tahap ini merupakan pendekatan secara komprehensif di dalam melakukan

Evaluasi Kinerja Bangunan (BPE).

43

2.3 Tujuan Evaluasi Kinerja Bangunan (BPE)
Hasil dari Evaluasi Kinerja Bangunan bervariasi sesuai dengan tujuan melakukan
evaluasi tersebut. Adapun tujuan BPE terdiri dari (Gambar 2.2; Preiser & Vischer,
2005):
1. Tujuan jangka pendek (short term), termasuk umpan balik pengguna
dalam sub fase/tahapan BPE, dan mengidentifikasi solusi/penyelesaian
masalah.
2. Tujuan jangka menengah (medium term); dimana hasil jangka menengah
adalah memberikan masukan/informasi pada setiap tahap BPE.
3. Tujuan jangka panjang (long term); dimana hasil jangka panjang adalah
menciptakan database atau kriteria/standar desain baru untuk jenis bangunan
tertentu.
Banyak teknik yang dapat dilakukan dalam proses Evaluasi Kinerja Bangunan
(BPE). Evaluator dapat menggunakan berbagai teknik pengumpulan data sesuai
dengan informasi yang ingin diperoleh dari pengguna. Hasil evaluasi akan
dipengaruhi oleh tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan evaluasi. Oleh sebab itu

sebelum melakukan tahapan-tahapan dalam BPE, evaluator harus menetapkan tujuan
evaluasi.

44

Gambar 2.2 Diagram Proses dan Tujuan Evaluasi Kinerja Bangunan
Sumber: Architectural Research Consultants, Albuquerque, NM.; Preiser & Vischer,
2005

2.4 Variabel Evaluasi Kinerja Bangunan (BPE)
Jika dilihat dari Gambar 2.1, Evaluasi Kinerja Bangunan (BPE) merupakan
proses perbandingan antara 3 (tiga) variabel yakni ekspektasi/harapan/kriteria dari
pengguna (performance criteria), standar kinerja bangunan (performance standart),

45

objek yang akan dievaluasi (object of evaluation) untuk menghasilkan solusi desain
sesuai dengan hasil/tujuan evaluasi yang diharapkan (evaluation outcomes).

2.4.1 Kriteria/harapan pengguna

Kriteria/harapan pengguna adalah kinerja yang diharapkan oleh pengguna
terhadap bangunan yang akan dihuni (Preiser & Vischer, 2005). Tingkat kinerja ini
dipengaruhi oleh kebutuhan pengguna, sebagai salah satu indikator penilaian. Jika
dilihat kembali latar belakang penelitian, yakni karena munculnya rasa ketidakpuasan
pengguna terkait kegiatan belajar dan bermain anak di sekolah, maka indikator
penilaian kinerja bangunan yang mempengaruhi kebutuhan anak adalah kegiatan
belajar dan bermain itu sendiri yang harus sesuai dengan sistem pendidikan sekolah
(Caples, 1996; Inan, 2009). Oleh sebab itu selain kebutuhan pengguna; karakteristik
sistem pendidikan sekolah alam juga merupakan bagian dari indikator penilaian.

2.4.2 Objek yang dievaluasi
Objek/bangunan yang dievaluasi terkait dengan kondisi kinerja aktual dari
bangunan, yang dibandingkan dengan standar yang telah ada dan penilaian sejauh
mana bangunan tersebut telah memenuhi tujuan dan harapan pengguna bangunan
(Preiser & Vischer, 2005).

46

2.4.3 Standar kinerja bangunan
Standar kinerja bangunan didefinisikan sebagai variabel terukur yang

digunakan sebagai dasar/acuan/standar dalam mengevaluasi kinerja suatu bangunan.
Standar yang akan dipakai disesuaikan dengan faktor-faktor desain fisik yang
mempengaruhi kinerja bangunan tertentu (dalam hal ini, standar untuk mengevaluasi
sekolah alam Star International Medan terdiri dari standar layout, furniture, dimensi
ruang, bentuk bangunan, material dan warna) (Caples, 1996 dan Kusumawardhani,
2010). Setiap aspek-aspek desain tersebut diukur dengan variabel-variabel tertentu
(Perkins, 2001 dan Subiyantoro, 2012), yang tetap mengacu pada indikator penilaian
(tingkat kepuasan pengguna dan karakteristik sekolah alam).
Jika dilihat dari sudut pandang sekolah alam, bangunan hanya berupa shelter
atau bagian dari di lingkungan alam, dan tidak ada desain standar untuk sebuah ruang
belajar bermain indoor pada sekolah alam. Intinya hanyalah bagaimana desain ruang
belajar itu dapat memenuhi kebutuhan anak dalam belajar dan bermain, dimana anak
harus dapat belajar dan bermain dimanapun, kapanpun dan dengan cara apapun sesuai
keinginan mereka (FSC, 2014). Kajian teoritis yang dilakukan hanya sebatas
memberikan pertimbangan-pertimbangan untuk setiap aspek desain (dan hal itu tidak
dapat dijadikan sebagai sebuah standar yang pasti/tetap).

47

2.4.3.1 Layout

Layout atau organisasi ruang yang dimaksud adalah untuk menunjukkan

hubungan antara zona-zona kegiatan pembelajaran yang berlangsung, serta hubungan
antara ruang-ruang di sekolah. Aspek layout diukur berdasarkan variabel: sirkulasi
(orientasi, pergerakan anak terkait penataan perabot, dan hubungan antar ruang),
fleksibilitas ruang (sejauh mana ruang dapat mengakomodasi berbagai kegiatan/multi
use dan tingkat privasi ruang (dipakai secara individual atau berkelompok)).
Adapun beberapa pertimbangan dalam desain layout adalah:
1. Ruangan harus dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan alam;
aksesibilitas yang mudah bagi anak;
2. Penyediaan tempat-tempat rahasia bagi anak yang dapat digunakan anak
untuk bersembunyi serta meningkatkan imaginasi, eksplorasi, dan
kreativitas (O’Brien & Murray, 2006);
3. Layout ruang yang dapat meningkatkan rasa kepemilikan anak terhadap
ruang sehingga dapat memastikan bahwa seluruh ruangan bersifat
fungsional bagi anak;
4. Kelas yang tidak dirasakan sebagai suatu ruangan dengan dinding
pembatas;
5. Adanya variasi setting pada ruang yang bersifat open ended (FSC, 2014);
6. Layout ruang yang fleksibel sesuai dengan keinginan anak (ruangan yang

mereka ciptakan sendiri) (MacEachren, 2013).

48

2.4.3.2 Furniture
Furniture merupakan fasilitas yang mengakomodasi suatu kegiatan. Aspek
furniture diukur berdasarkan variabel: jumlah dan jenis furniture untuk mendukung

kegiatan belajar dan bermain anak.
Adapun beberapa pertimbangan dalam desain furniture adalah:
1. Penyediaan fasilitas permainan yang ditemukan di alam dan bukan
permainan komersial, sesuai dengan imajinasi anak, dapat mengasah indera
anak (FSC, 2014);
2. Sesuai dengan apa yang sering dilihat dan digunakan sehari-hari oleh anak
(MacEachren, 2013).

2.4.3.3 Dimensi ruang
Standar dimensi ruang dipengaruhi oleh proporsi dan skala. Jika skala
menyiratkan tentang ukuran sesuatu dibanding dengan sebuah standar referensi
ataupun ukuran sesuatu yang lain, maka proporsi merujuk pada kepantasan dan
hubungan harmonis satu bagian dengan bagian lainnya atau dengan bagian
keseluruhan. Dimensi ruang ditentukan oleh jumlah anak/pengguna ruang dan
ketersediaan perabot/furniture. Aspek dimensi ruang diukur berdasarkan variabel:
luasan ruang berdasarkan jumlah pengguna (sesuai jadwal penggunaan ruang dan
jenis kegiatan yang dilakukan anak).
Adapun beberapa pertimbangan dalam desain dimensi ruang adalah:

49

1. Jumlah pengguna yang optimal terjadi pada kelompok-kelompok kecil,
dengan perbandingan antara guru dan murid yang kecil (O’Brien &
Murray, 2006) dan dengan skala penggunaan ruang yang tidak terlalu besar
dengan area yang digunakan (FSC, 2014);
2. Ruangan yang memungkinkan anak untuk dapat leluasa bereksplorasi
(FSC, 2014).

2.4.3.4 Bentuk bangunan
Bentuk cenderung mendominasi persepsi manusia, karena dengan bentuk
manusia dapat lebih memahami rasa ruang. Bentuk-bentuk yang lebih mudah
dipahami adalah bentuk-bentuk tetap dengan jumlah susunan yang tidak terlalu
banyak. Aspek bentuk bangunan diukur berdasarkan variabel: image, proporsi/skala
bangunan.
Adapun beberapa pertimbangan dalam desain bentuk bangunan adalah:
1. Bentuk bangunan yang sesuai dengan imajinasi anak dan dapat mengasah
indera anak (FSC, 2014);
2. Bentuk bangunan yang selaras dengan lingkungan alam (sealami mungkin)
yang dapat mendukung kegiatan anak (O’Brien & Murray, 2006).

2.4.3.5 Tekstur/material
Tekstur diperoleh dari penggunaan beragam material pada bangunan kelas.
Tekstur sangat penting dalam perkembangan anak-anak; karena mereka sering

50

menggunakan tangan mereka untuk belajar dan mengeksplorasi lingkungan fisik
sehingga pemilihan material yang tepat, dapat menstimulasi anak (Chatterjee, 2005).
Bahan atau material pada karya arsitektur selain dipilih sebagai bahan
pendukung teknikal bangunan, juga digunakan untuk mengusung makna. Tidak
hanya karakter visual dari material saja yang mengandung asosiasi; namun juga suara
yang dihasilkan yang berakibat padanya, kesan ketika menyentuhnya, bahkan
terkadang kesan dari bau yang dihasilkan oleh bahan tersebut. Aspek material
bangunan diukur berdasarkan variabel: tekstur yang dihasilkan dari material, faktor
keamanan dan tahan lama/durability.
Adapun bebrapa pertimbangan dalam penggunaan material bangunan adalah:
1. Penggunaan material alami yang memiliki perbedaan tekstur (O’Brien &
Murray, 2006);
2. Sesuai dengan topik pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
indera anak (FSC, 2014).

2.4.3.6 Warna
Penggunaan warna yang tepat pada ruang kelas dapat meningkatkan proses
pembelajaran siswa. Hal ini disebabkan karena warna menimbulkan kesan-kesan
tertentu dalam menciptakan suasana ruang dan warna dapat menimbulkan pengaruh
terhadap jiwa anak-anak; baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya
perasaan gelisah, nyaman, panas, dan sebagainya (Sriti, 2004). Aspek warna diukur
berdasarkan variabel: efek psikologis yang ingin dicapai.

51

Adapun

pertimbangan

dalam

penggunaan

warna

bangunan

adalah

penggunaan warna sesuai kegiatan yang tentu saja harus dapat meningkatkan
kemampuan indera anak (FSC, 2014).

2.5 Survey Tingkat Kepuasan Pengguna
Survey kepuasan pengguna merupakan pendekatan psikoanalitik dengan
pengguna terutama pada anak secara individual (Fisher 2002). Survey kepuasan
pengguna dilakukan dalam 2 (dua) tahap yakni:

2.5.1 Kuisioner
Metode kuisioner merupakan salah satu cara untuk membandingkkan antara
kepuasan pengguna dengan tingkat standar kinerja ruang. Vischer (Preiser & Vischer,
2005) telah mengusulkan teknik untuk mendekati pengguna melalui banyak
pertanyaan langsung tentang tingkat kenyamanan mereka dalam kaitannya dengan
berbagai sistem bangunan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperoleh data yang
lebih spesifik dan objektif.
Kuisioner yang digunakan adalah kuisioner BPE (Building Performance
Evaluation) yang merupakan survey standar kepada pengguna sekolah dan atau pihak
terkait untuk mengetahui hasil ukuran/tingkat kenyamanan pengguna (Preiser &
Vischer, 2005). Nilai pada tingkat kenyamanan (respon pengguna) tersebut dihitung
dan dibandingkan dengan standar desain sekolah. Dengan demikian, terjadi

52

penyimpangan dari perbandingan kedua aspek penilaian ini; baik penilaian puas atau
tidak puas; akan memberikan rating kuantitatif yang pada dasarnya adalah ukuran
kualitatif.

2.5.2 Behavior mapping
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat kepuasan
pengguna dipengaruhi oleh kondisi kinerja bangunan. Kondisi ini dapat digambarkan
dengan behavior mapping (pemetaan perilaku).

2.5.2.1 Pengertian behavior mapping
Pemetaan perilaku ini ditemukan bersama oleh Ittelson, Prohansky dan Rivlin
pada tahun 1976. Menutut Bell et al (1996; Wahyuni 2004). Pemetaan perilaku
merupakan suatu teknik desain yang secara akurat merekam tindakan orang-orang
disuatu tempat pada suatu waktu di atas suatu peta. Pemetaan perilaku dapat
dilakukan secara langsung pada saat dan tempat di mana dilakukan pengamatan, atau
dilakukan kemudian berdasarkan catatan-catatan yang telah dilakukan (Cahyono
et.al).

2.5.2.2 Tujuan behavior mapping
Behavior

mapping

dilakukan untuk menggambarkan perilaku dalam

peta/denah, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku, serta menunjukkan

53

kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik (Cahyono
et.al).

2.5.2.3 Prosedur dalam behavior mapping
Tahapan dalam melakukan behavior mapping adalah (Cahyono et.al):
1. Membuat sketsa dasar area/setting yang akan diobservasi.
2. Mendefinisikan dengan jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang akan
diamati, dihitung, digambarkan. Selanjutnya membuat pengkodean
perilaku (sistem coding) untuk lebih mengefisienkan pekerjaan.
3. Merencanakan waktu pengamatan yang jelas (sesuai tujuan dan relevan
dengan permasalahannya), serta membuat prosedur sistematis yang jelas.
Hal ini menunjukkan hubungan yang penting antara ruang dan waktu. Hasil
pengamatan dapat dilaporkan dalam bentuk lembar pengamatan ruang dan
dapat berupa peta yang menyajikan sejumlah perilaku yang diamati.

2.5.2.4 Jenis behavior mapping
Ada 2 (dua) jenis behavior mapping yaitu (Cahyono et.al):
1. Place-centered mapping:
bagaimana

manusia

teknik ini digunakan untuk mengetahui

(sekelompok

manusia)

memanfaatkan

atau

menggunakan ruang dalam situasi waktu dan tempat tertentu. Perhatian

54

utama adalah tempat yang spesifik. Langkah-langkah dalam menggunakan
teknik ini adalah:
a. Membuat sketsa tempat/setting, meliputi seluruh unsur fisik yang
diperkirakan akan mempengaruhi perilaku pengguna;
b. Membuat daftar perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol
atau tanda sketsa atas setiap perilaku;
c. Dalam selang waktu tertentu peneliti mencatat berbagai perilaku yang
terjadi dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang
telah disiapkan.
2. P er son-center ed ma pping : teknik ini menekankan pada pergerakan
manusia pada suatu periode tertentu. Dengan teknik ini akan melibatkan
tidak hanya satu tempat/lokasi, kemudian yang diamati adalah orang per
orang atau per kelompok orang (tidak semua orang/pemakai). Langkahlangkah dalam menggunakan teknik ini adalah:
a. Menentukan sampel orang atau kelompok orang yang akan diamati;
b. Mencatat pergerakan dan mencatat aktivitas apa yang dilakukan oleh
orang (sekelompok orang) yang diamati.