Hubungan antara status identitas kategori Identity Achievement dengan komitmen organisasi

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA STATUS IDENTITAS KATEGORI IDENTITY

ACHIEVEMENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Natanael Nugroho

NIM: 109114138

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

iv

Like stars across the sky We were born to shine E per avvincere dovrai vincere E allora vincerai


(5)

v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 November 2014


(6)

vi

HUBUNGAN ANTARA STATUS IDENTITAS KATEGORI IDENTITY

ACHIEVEMENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI

Natanael Nugroho

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara status identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 48 orang yang merupakan karyawan DLBS (Dexa Laboratories of Biomolecular Science) dan dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu hanya subjek dengan status identitas identity achievement. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner untuk kedua variabel yang akan diuji hubungannya, yaitu status identitas kategori identity achievement (koefisien reliabilitas Alpha (α) Cronbach 0,811) dan komitmen organisasi (koefisien reliabilitas Alpha (α) Cronbach=0,878). Karena hasil data penelitian menunjukkan hubungan yang tidak linear, maka metode analisa yang digunakan adalah Teknik Korelasi Spearman dengan bantuan software SPSS (Statistical Packages for Social Sciences) 16.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif antara status identitas kategori identity achievement (X= 20,5) dengan komitmen organisasi (X= 69,85). Hal ini dibuktikan dengan hasil analisa korelasi antar variabel, nilai korelasi yang diperoleh sebesar r=0,065 dengan nilai signifikansi sebesar p=0,663 (p>0,01). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perubahan di era organisasi modern dalam rangka mengatasi lingkungan yang kompleks dan bergolak. Perubahan tersebut menyebabkan definisi terkait identifikasi seseorang terhadap organisasinya, yang merupakan faktor penentu komitmen seseorang pada organisasi, juga berubah. Hasil penelitian ini menyarankan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terkait status identitas menggunakan metode pengumpulan data wawancara terstruktur untuk mendapatkan hasil status identitas yang lebih tepat. Selain metode pengambilan data, perbaikan juga dapat dilakukan dengan menambah jumlah subjek dari organisasi yang beragam. Peneliti menggunakan korelasi aitem total untuk memilih 7 aspek identitas yang dipakai sebagai item-item kuesioner. Penggunaan metode pemilihan lainnya, seperti analisis faktor, lebih direkomendasikan.


(7)

vii

CORRELATION BETWEEN IDENTITY ACHIEVEMENT CATEGORY OF IDENTITY STATUS AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT

Natanael Nugroho ABSTRACT

This study aimed to determine a positive correlation between identity achievement category of identity status and organizational commitment. Subject of this study were included 48 employees of DLBS (Dexa Laboratories of Biomolecular Science) and had been chosen by purposive sampling method, that are subject with identity achievement identity status. Data collection tools used in this study were questionnaire of the two variables which will be examine their correlation, that are identity achievement identity status (reliability coefficient of Alpha (α) Cronbach=0,878) and organizational commitment (reliability coefficient of Alpha (α) Cronbach=0,811). Because the result showed non-linear correlation, analysis method used in this study was Spearman Correlational Technique through SPSS (Statistical Packages for Social Sciences) 16.0 software. The result of this study showed that there is no positive cor relation between identity achievement category of identity status (X= 20,5) and organizational commitment (X= 69,85). It was proved by the result of correlation analysis, which scored r= 0,065 with significance level of p= 0,663 (p> 0,01). It may caused by the changes in modern organizational era in order to deal with complex and turbulent

environments. The changes makes the definition of individual’s identification with his/her

organization, which is a key factor of individual’s commitment to his/her organization, has also changed. The result of this study suggest the next researchers to make study of identity status using structured-interview as the data collecton tools to reach a more precise result of identity status. Besides the data collection tools, improvement can be done with adding the amount of subjects from various organization. Researcher used total item correlation to select the 7 aspects of identity as item in the questionnaire. Using of another method, suc as factor analysis, is more recommended.


(8)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Natanael Nugroho

Nomor Induk Mahasiswa : 109114138

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“HUBUNGAN ANTARA STATUS IDENTITAS KATEGORI IDENTITY

ACHIEVEMENTDENGAN KOMITMEN ORGANISASI”

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta,

Pada tanggal: 21 November 2014

Yang menyatakan


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas bimbingan, karunia, dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari juga skripsi ini dapat selesai oleh karena bantuan banyak pihak, dan penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus pada:

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Dosen pembimbing Akademik yang mengarahkan dan membantu penulis untuk menyelesaikan studi dengan baik.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti M. Si, selaku Kaprodi Psikologi yang membantu penulis terutama dalam memberikan dukungan untuk ujian skripsi.

3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni M. Psi, selaku dosen pembimbing skripsi yang membimbing dengan sangat mendidik dan memotivasi.

4. Bapak R. Landung Eko Prihatmoko, M. Psi dan TM. Radityo Hernawa, M. Psi yang memberikan banyak masukan baik secara teknis teoritis maupun memberikan value sehingga penelitian menjadi lebih bermanfaat.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan banyak ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi.


(10)

x

6. Orang tua, Papa dan Mama yang dengan tulus selalu mengingatkan, memberi dukungan semangat dan juga material dalam pengerjaan skripsi.

7. Seluruh keluarga besar yang telah membantu dalam rangka diskusi tema penelitian dan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengerjakan skripsi.

8. Keysa Laodia Yesefin yang telah membantu penulis memikirkan judul terbaik, memberikan semangat, dorongan, dan dukungan, termasuk

menjadi “kompetitor” dalam mengerjakan skripsi.

9. Bapak Raymond R. Tjandrawinata yang telah memberikan izin penelitian di DLBS dan juga sebagai pembimbing skripsi saat pengambilan data di DLBS.

10. Ibu Jane Erica Armanto yang telah membuka peluang untuk penulis melakukan penelitian di DLBS, termasuk memberikan dukungan terus menerus selama pengambilan data.

11. Ibu Firmina Novita Puspasari yang menjadi mentor ketika penulis melakukan proses magang termasuk memberikan keleluasaan bagi penulis untuk mengerjakan skripsi.

12. Seluruh DLBSers yang telah berkenan membantu sebagai subjek penelitian termasuk subjek uji coba alat.

13. Semua orang yang tergabung dalam tim sekretariat fakultas Psikologi, terima kasih atas jasa dan pelayanan yang diberikan sehingga membantu penulis menyelesaikan studi.


(11)

xi

14. Mas Muji dan Mas Doni yang telah memfasilitasi penulis dalam menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi termasuk memberikan kesempatan penulis untuk menjadi asisten dosen.

15. Teman-teman yang paling sering membantu dalam proses pengerjaan skripsi termasuk diskusi, Silvia, Tyas, Tirsa, Irma, Nova, Nani, Gerry, Wendy, dan Muh. Bayu, semoga kesuksesan selalu beserta kita

16. Teman-teman mahasiswa angkatan berapapun yang mendukung penulis, terutama teman-teman kelas D yang menerima penulis sebagai anggota kelompok kalian dan memberikan kesempatan penulis berkembang sebagai individu.

Penulis yakin bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi kebaikan dan dimotivasi oleh niat baik akan menghasilkan hasil yang baik dan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Termasuk semua bantuan yang telah dilakukan demi kebaikan dan dimotivasi oleh niat baik akan diganjar oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kebaikan dan anugerah-Nya. Menyadari keterbatasan penelitian yang telah dilakukan, penulis dengan senang hati membuka diri terhadap segala kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian yang dilandasi dengan niat baik ini dapat berguna bagi banyak orang.

Yogyakarta, 5 November 2014 Penulis


(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i.

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii.

HALAMAN PENGESAHAN... iii.

HALAMAN MOTTO ... iv.

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v.

ABSTRAK... vi.

ABSTRACT... vii.

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii.

KATA PENGANTAR... ix.

DAFTAR ISI... xii.

DAFTAR TABEL... xvi.

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii.

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 12

1. Manfaat Teoretis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Status Identitas Identity Achievement ... 14


(13)

xiii

1. Pengertian Identitas Diri... 14

2. Aspek Identitas... 15

3. Proses Pembentukan Identitas... 18

4. Status Identitas ... 21

5. Hubungan Status Identitas dengan Trait ... 25

B. Komitmen Organisasi... 28

1. Pengertian Komitmen Organisasi... 28

2. Aspek Komitmen Organisasi... 29

3. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi... 31

4. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi... 33

5. Dampak Komitmen Organisasi... 35

C. Hubungan Status Identitas Identity Achievement dengan Komitmen Organisasi... 37

D. Kerangka Berpikir... 42

E. Hipotesis... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian... 44

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 44

C. Definisi Operasional... 44

1. Status identitas Pencapaian Identitas... 44

2. Komitmen Organisasi... 45

D. Subjek Penelitian... 46


(14)

xiv

a. Usia... 46

b. Status Identitas... 46

2. Metode pengambilan sampel... 47

E. Prosedur Penelitian... ... 48

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data... 48

1. Skala Status Identitas... 49

2. Skala Komitmen Organisasi... 52

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 55

1. Validitas... 55

2. Seleksi Aitem... 55

a. Skala Status Identitas... 56

b. Skala Komitmen Organisasi... 61

3. Reliabilitas... 65

H. Metode Analisis Data... 66

1. Uji Asumsi... 66

a. Uji Normalitas... 66

b. Uji Linearitas... 66

2. Uji Hipotesis... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 68

A. Pelaksanaan Penelitian... 68

B. Deskripsi Subjek Penelitian... 69

C. Deskripsi Data Penelitian... 71


(15)

xv

2. Mean Empirik dan Teoritik... 71

3. Uji Asumsi... ... 71

a. Uji Normalitas... 72

b. Uji Linearitas... 74

4. Uji Hipotesis... 75

D. Pembahasan... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 85

A. Kesimpulan... 85

B. Saran... 85

1. Bagi Perusahaan Tempat Pengambilan Data, DLBS... 85

2. Bagi Subjek Penelitian... 86

3. Bagi Peneliti Selanjutnya... 87


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Status Identitas ... 24

Tabel 2. Tabel Blue Print Skala Status Identitas ...51

Tabel 3. Tabel Blue Print Skala Komitmen Organisasi ...53

Tabel 4. Tabel Blue Print Skala Status Identitas Hasil Uji Coba ...57

Tabel 5. Tabel Blue Print Skala Status Identitas (Penelitian) ...58

Tabel 6. Blue Print Skala Status Identitas (seleksi aitem per kategori Status Identitas) ... 60

Tabel 7. Tabel Blue Print Skala Komitmen Organisasi Hasil Uji Coba ...62

Tabel 8. Tabel Blue Print Skala Komitmen Organisasi (Penelitian) ...64

Tabel 9. Tabel Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Posisi ...69

Tabel 10. Tabel Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ...70

Tabel 11. Tabel Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ...70

Tabel 12. Tabel Deskripsi Data Penelitian ...71

Tabel 13. Tabel Hasil Pengujian Normalitas Skala Status Identitas ...73

Tabel 14. Tabel Hasil Pengujian Normalitas Skala Komitmen Organisasi ...73

Tabel 15. Tabel Hasil Pengujian Linearitas ...74


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Seleksi Aitem Skala Status Identitas ... 99

Lampiran 2 Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi ... 101

Lampiran 3 Seleksi Aitem Skala Status Identitas (Uji Coba) ... 103

Lampiran 4 Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi (Uji Coba) ... 105

Lampiran 5 Seleksi Aitem Skala Status Identitas (Per Kategori Status Identitas) ... 107

Lampiran 6 Blue Print dan Seleksi Aitem Status Identitas (80 aitem) ... 110

Lampiran 7 Skala Penelitian Sebelum Uji Coba... 114


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Resource Based View (RBV), terdapat 3 jenis sumber daya (resource) yang menjadi pilar utama sebuah organisasi. Ketiga sumber daya tersebut adalah organisasi (organizational capital), manusia (human capital), dan fisik (physical capital) (Anis dkk., 2011). Resource Based View (RBV) merupakan konsep penting bagi sebuah organisasi di masa ini (Barney dan Wright 1998; Holland, Sheehan, dan Cieri, 2007). Keberadaan SDM dalam sebuah organisasi sangat penting karena SDM yang memprakarsai terbentuknya organisasi, berperan membuat keputusan untuk semua fungsi, dan juga berperan dalam menentukan kelangsungan hidup organisasi itu (Panggabean, 2004). Sumber daya manusia menjadi semakin penting karena dapat membuat organisasi semakin kompetitif berdasarkan keunikan yang dimilikinya (Anis dkk., 2011). Karyawan dapat menjadi aset paling penting dan berdampak langsung pada kemampuan organisasi untuk berkompetisi.

Dewasa ini organisasi bahkan memandang sumber daya manusia yang mereka miliki sebagai aset paling berharga dan sebagai satu-satunya faktor penentu kemampuan perusahaan untuk berkompetisi (Robbins dan Coulter, 2007). Saat ini banyak perusahaan harus menghadapi persaingan yang ketat dengan perusahaan lain. Sebuah perusahaan harus memiliki


(19)

2

keunggulan kompetitif dalam menerapkan strategi bersaing agar dapat bertahan. Sumber daya manusia menjadi begitu penting bagi sebuah perusahaan karena dapat juga menentukan sejauh mana perusahaan dapat berkompetisi. Perusahaan yang dapat berkompetisi inilah yang dapat bertahan (Sutarto,1979). Berdasarkan uraian di atas, sumber daya manusia akan berdampak pula pada kompetitifnya sebuah perusahaan dan dengan demikian menentukan kemampuan perusahaan dalam bertahan. Sumber daya manusia sangat penting bagi perusahaan sehingga usaha untuk menarik dan mempertahankan sumber daya manusia juga menjadi penting (Holland, Sheehan dan Cieri, 2007)

Pada tahun 2007-2008 Tower Watson, sebuah perusahaan konsultan manajemen dengan 14.000 rekanan di seluruh dunia, melakukan survei

Global Strategic Rewards 2007/2008 di beberapa negara di Asia. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia menghadapi masalah dalam mempertahankan karyawan berprestasi baik ( top-performing employees). Hampir 72% karyawan yang melakukan turnover

di Indonesia adalah karyawan berprestasi baik (http://www.towerwatson.com). Masalah ini bahkan lebih tinggi dibanding kebanyakan negara Asia Pasifik lainnya yang ikut dalam survei. Jika melihat prosentase jumlah karyawan berprestasi baik dari jumlah turnover

total, maka Indonesia berada di peringkat pertama. Menurut Haris (dalam Duangthong, 2012), jika tingkat turnover mencapai lebih dari 10% per tahun dinilai terlalu tinggi. Kehilangan karyawan, terutama yang


(20)

3

berperforma baik, membuat perusahaan mengeluarkan uang lebih, karena akan berdampak pada menurunnya produktivitas dan meningkatnya biaya terkait perekrutan dan pelatihan karyawan penggantinya (Riggio, 2008). Berdasarkan uraian di atas, berarti turnover adalah hal yang menghambat usaha perusahaan dalam berkompetisi dan bertahan karena perusahaan kehilangan sumber daya manusia yang dikatakan sangat penting bagi perusahaan. Bahkan adanya turnover membuat perusahaan merugi dengan keluarnya biaya tambahan dan membuat perusahaan tidak dapat berkompetisi (Riggio, 2008).

Schultz (2010) menyebutkan turnover terkait erat dengan banyak faktor di antaranya: kepuasan kerja, komitmen organisasi, persepsi terhadap kondisi ekonomi, dan kesempatan kerja. Zimmerman (dalam Schultz, 2010) menambahkan bahwa stabilitas emosional yang rendah pada faktor Big Five seseorang akan meningkatkan intensi seseorang untuk melakukan turnover. Meskipun terkait dengan banyak faktor lain, menurut banyak penelitian turnover memiliki keterkaitan yang langsung dan lebih erat dengan komitmen organisasi dibanding dengan faktor lain. Misalnya penelitian Shore dan Martin (1989) yang menemukan bahwa komitmen organisasi lebih terkait erat dengan intensi turnover

dibandingkan kepuasan kerja. Landy (2004), juga mengatakan bahwa kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi, dan komitmen organisasi mempengaruhi beberapa perilaku kontraproduktif, salah satunya adalah turnover.


(21)

4

Kepuasan kerja memang terkait dengan turnover, namun secara tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari sebuah meta-analisis yang menunjukkan bahwa tingkat komitmen organisasi yang lebih rendah terkait dengan tingkat turnover yang lebih tinggi (Griffeth, Hom, dan Gaertner dalam Riggio 2008). Komitmen organisasi memiliki peran penting dalam penelitian karena dapat memprediksi beberapa perilaku penting, seperti turnover karyawan, kepatuhan karyawan terhadap nilai-nilai organisasi, dan kemauan karyawan untuk melakukan tanggung jawab yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab mereka (Haslam, 2004). Riggio (2008) juga menambahkan bahwa turnover mungkin dipengaruhi oleh kurangnya kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Dengan demikian telah terbukti bahwa turnover sangat terkait dengan komitmen organisasi.

Komitmen organisasi adalah perasaan dan sikap pekerja terhadap organisasi kerja secara keseluruhan (Riggio, 2008). Robbins (2010) juga mengatakan komitmen organisasi sebagai tingkat identifikasi yang dilakukan oleh karyawan terhadap organisasi beserta tujuannya, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Komitmen organisasi terkait dengan: (1) karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi, (2) kesediaan untuk berusaha demi organisasi, dan (3) keinginan untuk bertahan di dalam organisasi (Mowday, Steers, Porter, 1974). Menurut Meyer, Allen, dan Smith (1993), komitmen organisasi adalah perpaduan dari tiga aspek komitmen: yang merupakan sebuah kondisi psikologis yang


(22)

5

mencirikan relasi karyawan dengan organisasi atau juga dampaknya terhadap karyawan apakah tetap melanjutkan proses dengan organisasi atau tidak.

Menurut Meyer, Allen, dan Smith (1993), terdapat tiga aspek komitmen organisasi. Ketiga aspek komitmen organisasi tersebut adalah:

affective commitment (like the job), continuance commitment (need the

job), dan normative commitment (feel obligated to stay on the job).Aspek pertama, affective commitment (like the job), merupakan kelekatan emosional karyawan terhadap organisasi dan afeksi positif yang dialami karyawan. Ini adalah aspek tertinggi di mana karyawan yang telah mencapai aspek ini akan lebih merasakan kepuasan kerja, termotivasi, dan bersemangat. Aspek kedua, continuance commitment (need the job), merupakan komitmen untuk terus bersama organisasi karena akan berdampak ke finansial karyawan jika karyawan keluar. Komitmen aspek

continuance commitment terjadi ketika karyawan mendapat fasilitas dan keuntungan dari organisasi, dan tidak tersedianya pekerjaan lain di luar organisasi. Aspek ketiga, normative commitment (feel obligated to stay on the job), terjadi ketika karyawan merasa harus bertahan dalam organisasi. Komitmen aspek ini terjadi ketika karyawan memiliki nilai-nilai personal yang sama dengan organisasi dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap organisasi meskipun belum tentu karyawan menyukai dan membutuhkan pekerjaan ini.


(23)

6

Perusahaan sebenarnya tidak tinggal diam dalam usahanya mempertahankan karyawan. Hal ini terlihat dari banyaknya program yang dirancang oleh perusahaan untuk mempertahankan karyawan (employee retention program). Misalnya, “Southwest Airline” melakukan masa

orientasi pada karyawan baru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Robert Half International, program orientasi ini efektif untuk membuat karyawan bertahan dan termotivasi di dalam perusahaan (Snell dan Bohlander, 2010). Berbeda dengan pelatihan (tra ining), program orientasi menekankan pada alasan karyawan berada di organisasi tersebut. Selain itu, pada program orientasi diberikan juga filosofi di balik peraturan organisasi dan menyediakan pola pikir untuk tugas yang terkait dengan pekerjaan. Dengan demikian karyawan akan merasa dihargai oleh perusahaan (Snell dan Bohlander, 2010). Selain itu di beberapa jurnal, buku, dan juga di internet banyak ditulis tentang employee retention program yang efektif. Salah satunya adalah jurnal “Losing Your Best Talent: Employee Retention the Dilemma of Textile Industry” (Sohail dkk,

2011). Temuan jurnal tersebut mengatakan bahwa jenjang karir (career path) menjadi faktor terpenting yang dicari oleh karyawan dan membuat karyawan mau bertahan di perusahaan tersebut. Lagunas (2011) juga mengungkapkan 5 cara untuk mempertahankan karyawan, yakni: merekrut karyawan yang memang bisa dipertahankan, mengubah cara pandang bahwa merekrut adalah merencanakan karir seseorang dan bukan mengisi posisi yang kosong, mengetahui alasan pribadi karyawan keluar, memulai


(24)

7

memperhatikan karyawan yang berperforma buruk, dan bekerja bersama para manager untuk mempertahankan karyawan masing-masing.

Di sisi lain, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia minimal pekerja adalah 18 tahun (Undang-undang ketenagakerjaaan, 2003). International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) juga menyatakan bahwa usia minimum yang diperbolehkan bekerja adalah 18 tahun (Konvensi Usia Minimum, 1973). ILO adalah badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, dan bermartabat. Selain itu, menurut Pusdatinaker (Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan) tahun 2013, dari total 260 juta pekerja di Indonesia, sebanyak 209 juta di antaranya berusia lebih dari 20 tahun. Berdasarkan ketentuan Undang-undang ketenagakerjaan, Konvensi Usia Minimum ILO, dan data Pusdatinaker, berarti sebagian besar pekerja atau karyawan berada di usia lebih dari 18 tahun.

Individu yang berusia 18 tahun merupakan individu yang berada pada fase perkembangan remaja. Hal ini berarti sebagian besar pekerja atau karyawan merupakan individu yang sedang berada pada atau telah melewati fase perkembangan remaja. Menurut Elizabeth Hurlock (dalam Santrock, 2007), batasan usia kronologis masa remaja yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Thornburgh (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa batasan usia kronologis Hurlock adalah batasan tradisional. Menurutnya,


(25)

8

batasan usia kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun. Erikson (dalam Santrock, 2007) menyebutkan masa remaja terjadi pada usia 10-20 tahun. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka individu yang dimaksud sebagai remaja berada pada kisaran usia 10-20 tahun. Tugas dalam tahap perkembangan individu di fase ini adalah mencari identitas, atau jika gagal maka individu akan terjebak pada kebingungan identitas. Pada masa remaja individu dihadapkan pada kemampuan memahami diri, masa depan, dan cita-cita mereka (Santrock, 2011). Identitas inilah yang menuntun remaja untuk menentukan siapa dirinya dan bukan dirinya, mengerti karakteristiknya adalah berbeda dengan orang lain (Feist dan Feist, 2010).

James Marcia (dalam Cloninger, 2004) melakukan riset pula terkait pembentukan identitas dan mengidentifikasi empat status individu dalam proses ini. James Marcia yakin bahwa perkembangan identitas yang sempurna terjadi jika individu telah mengalami sebuah krisis dan telah melewati krisis dengan komitmen yang kuat terhadap pekerjaan dan/atau ideologi. Identity achievement adalah status ketika individu membangun pemahaman identitas setelah melakukan eksplorasi. Identity moratorium

adalah status ketika individu berada di tengah-tengah krisis identitas. Mereka masih bergulat dengan pertanyaan siapakah diri mereka dan apa jati dirinya, dan kurang siap untuk membuat komitmen dibandingkan mereka yang sudah mendapatkan identitas. Identity foreclosure adalah status ketika individu mencapai pemahaman identitas tanpa melalui proses


(26)

9

eksplorasi. Terakhir, identity difussion adalah status ketika individu tidak memiliki pemahaman identitas atau komitmen (Pervin dkk., 2005). Perbedaan keempat kategori ini terletak pada ada dan tiadanya krisis (periode pengambilan keputusan yang disadari, yang berkaitan dengan pembentukan identitas) dan komitmen (investasi personal dalam pekerjaan atau sistem kepercayaan), dua elemen yang dipandang krusial oleh Erikson guna membentuk identitas (Papalia dkk., 2008).

Identitas terbentuk oleh adanya krisis dan komitmen. Ketika pubertas, remaja mencari peran baru untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan mereka (Feist dan Feist, 2010). Menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan merupakan masalah yang harus dipecahkan sebelum remaja berhasil membentuk identitasnya (Papalia dkk., 2008). Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa identitas dapat terbentuk ketika ketiga masalah tadi terpecahkan. Di sisi lain, dapat diartikan bahwa ketika salah satu masalah tersebut belum selesai, identitas belum sepenuhnya terbentuk. Papalia menambahkan, salah satu masalah yang disebutkan adalah terkait pekerjaan. Individu yang belum berhasil menyelesaikan masalah terkait pekerjaan ini belum pernah mengalami krisis dan belum memiliki komitmen tentang pekerjaan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Santrock bahwa salah satu dimensi eksplorasi (krisis) yang penting ialah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan hal penting (Santrock, 2011). Penjajakan karir, sebagaimana masalah menemukan identitas seksual dan


(27)

10

ideologis, dianggap penting oleh Erikson agar tidak terjadi kecenderungan distonik (Feist dan Feist, 2010). Menurut Erikson (dalam Feist dan Feist, 2010), di dalam tiap tahapan kehidupan terdapat interkasi berlawanan yang merupakan konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan distonik (kacau). Elemen distonik merupakan keadaan ketika seseorang gagal menyelesaikan tugas perkembangan. Pekerjaan/karir sering menjadi poin penting dalam identitas. Studi tentang pentingnya penjajakan karir sebagai proses untuk mencapai identitas kebanyakan dilakukan dengan populasi Sekolah Menengah Atas dan Universitas (Friedman dan Schustack, 2008). Hasilnya menunjukkan bahwa mengeksplorasi kemungkinan karir yang berbeda-beda merupakan bagian dari proses untuk mencapai identitas.

Selama masa psychosocial moratorium – istilah Erikson untuk

periode “time out” yang diberikan masa remaja – banyak anak muda mencari komitmen yang dapat mereka jadikan pegangan. Komitmen usia muda ini dapat membentuk kehidupan seseorang beberapa tahun kemudian. Kemampuan anak muda memecahkan krisis identitas dipengaruhi oleh tingkat keteguhan mereka dalam memegang komitmen. Remaja yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan akan mengembangkan apa yang disebut dengan kesetiaan sebagai kekuatan utama (Papalia dkk., 2008; Feist dan Feist, 2010).

Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengenai hubungan antara status identitas individu dengan komitmen organisasi individu. Dalam mencari identitas dan menghindari kebingungan identitas diperlukan


(28)

11

komitmen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, termasuk di dalamnya komitmen terhadap pekerjaan. Anak-anak muda harus mengalami sedikit keraguan dan kebingungan akan diri mereka sebelum dapat mengembangkan identitas yang tetap (Feist dan Feist, 2010). Identitas berbicara pula tentang nilai dan tujuan hidup individu (Boeree, 2008). Terkait dengan hal ini, nilai dan tujuan hidup individu juga terkait dengan komitmen organisasi. Teori perkembangan karir Donald Super mengatakan pula bahwa eksplorasi karir pada masa remaja adalah unsur kunci dari konsep diri tentang karir pada remaja (Super dalam Santrock, 2011). Ketika remaja melakukan eksplorasi berarti mereka mengalami pula krisis karena beberapa ahli juga menggunakan istilah penjajakan/eksplorasi untuk menggantikan istilah krisis (Santrock, 2011). Komitmen dan krisis yang diperlukan dalam rangka membentuk identitas ternyata diperlukan pula terkait tugas terkait pekerjaan yang merupakan salah satu dari tiga tugas penting individu untuk menemukan identitas.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melihat hubungan antara keberhasilan individu mencapai identitas (status identitas kategori

identity achievement) dengan komitmen organisasi. Peneliti berasumsi bahwa individu yang telah berhasil mencapai identitas (identity achievement) akan memiliki komitmen organisasi yang tinggi.


(29)

12 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara status identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara status identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan teori identitas di ranah psikologi perkembangan terutama terkait hubungan identitas dengan komitmen organisasi, karena kebanyakan teori identitas dikaitkan dengan intimasi.

b. Penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan teori komitmen organisasi di ranah psikologi Industri dan Organisasi terutama terkait hubungan komitmen organisasi dengan isu lain di bidang psikologi perkembangan.


(30)

13 2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat berguna bagi subjek penelitian untuk mengetahui status identitas subjek dan dapat menjadi salah satu cara subjek mengenal lebih dalam tentang dirinya. Selain itu, dengan mengetahui bahwa subjek telah mencapai identitas maka dapat mendorong subjek untuk semakin berkomitmen terhadap organisasi.

b. Bagi perusahaan tempat pengambilan data, penelitian ini dapat berguna dalam proses rekrutmen dan seleksi karyawan terutama untuk memprediksi komitmen organisasi yang dimiliki oleh calon karyawan dilihat dari status identitas seseorang.

c. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dikembangkan terutama bagi peneliti di bidang psikologi industri dan organisasi menemukan keterkaitan identitas dengan isu lain di dunia industri.


(31)

14 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Status Identitas Identity Achievement

1. Pengertian Identitas Diri

Erikson (dalam Cloninger, 2004) mengatakan identitas sebagai kesadaran akan kenyataan bahwa terdapat kesamaan diri dan kontinuitas cara ego melakukan fungsi sintetis, atau disebut gaya individualitas seseorang. Gaya individualitas ini sesuai dengan kesamaan dan kontinuitas pemahaman seseorang terhadap significant others yang ada di komunitas sekitarnya.

Erikson (dalam Hergenhahn dan Olson, 2007) mengatakan identitas sebagai perasaan nyaman yang dialami seseorang, rasa mengetahui hal yang akan dilakukan, dan suatu kepastian dari dalam diri seseorang akan pengakuan yang telah diperkirakan sebelumnya dari orang lain di sekitar.

Marcia (1993) menyatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang


(32)

15

maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa identitas diri merupakan kemampuan individu yang terus berkembang untuk memahami (mengidentifikasi) serta mengevaluasi diri sendiri dan orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan dan kelemahan, gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal yang akan dilakukan.

2. Aspek Identitas

James Marcia (dalam Santrock, 2003) meyakini bahwa teori perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas, atau cara-cara untuk mengatasi krisis identitas. Hal-hal yang ada pada krisis dan komitmen remaja digunakan untuk mengklasifikasikan seseorang individu berdasarkan salah satu dari empat status identitas. Aspek lain dari identitas menurut Marcia (dalam Purwadi, 2004) adalah krisis (eksplorasi) dan komitmen. Dalam rangka membentuk identitas, terdapat tiga masalah yang harus dipecahkan sebelum individu berhasil membentuk identitas. Ketiga masalah tersebut adalah menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan (Marcia, dalam Santrock, 2003).

Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggali dan mencari informasi atau alternatif sebanyak-banyaknya


(33)

16

dan mempunyai hubungan dengan kepentingan di masa depan. Berbagai informasi dan alternatif tersebut selanjutnya dibandingkan antara satu dengan yang lain, selanjutnya akan dipilih alternatif yang dipandang paling memberikan keuntungan dan jaminan masa depan yang lebih baik. Pencarian informasi tersebut dapat dilakukan dengan membaca berbagai sumber (buku, koran, majalah, media massa lain), melakukan pengamatan terhadap aktivitas kehidupan yang berhubungan dengannya; seperti orang tua, guru, orang yang dianggap penting, dan sebagainya. Aktivitas eksplorasi dapat pula dilakukan dengan menanyakan kepada orang yang telah aktif secara langsung dalam suatu jenis domain kehidupan tertentu.

Keseluruhan kriteria eksplorasi yang sinkron antara satu dengan yang lain dan bernilai tinggi akan menunjukan bahwa individu yang bersangkutan memiliki kemampuan eksplorasi yang tinggi. Semakin tinggi skor masing-masing elemen tersebut, berarti semakin tinggi tingkat eksplorasi yang dilaksanakan oleh individu yang bersangkutan. Komitmen didefinisikan sebagai sesuatu sikap yang cenderung menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depan. Komitmen adalah kondisi psikologis yang mengindikasikan adanya pemberian perhatian secara serius terhadap alternatif pilihan kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam rangka proses pembentukan identitas diri.


(34)

17

Santrock (2011) menambahkan, identitas adalah potret diri yang tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup:

i. Identitas pekerjaan/karier: jejak karier dan pekerjaan yang ingin dirintis seseorang,

ii. Identitas politik: konservatif, liberal, atau berada di antara keduanya,

iii. Identitas religius: keyakinan spiritual seseorang, iv. Identitas relasi: lajang, menikah, bercerai,

v. Identitas prestasi, intelektual: sejauh mana seseorang termotivasi untuk berprestasi dan intelektualitasnya,

vi. Identitas seksual: heteroseksual, homoseksual, atau biseksual,

vii. Identitas budaya/etnis: latar belakang negara seseorang dan kekuatan identifikasi seseorang dengan budayanya,

viii. Minat: hal-hal yang senang seseorang lakukan, ix. Kepribadian: karakteristik kepribadian individual,

x. Identitas fisik: citra tubuh individu.

Berdasarkan uraian di atas, aspek identitas terdiri dari: identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan. Untuk mengklasifikasikan seorang individu maka akan dilihat sejauh mana krisis dan komitmen yang telah dialami. Krisis dan komitmen seseorang akan aspek-aspek identitas inilah yang akan dipergunakan dalam penelitian ini untuk mengklasifikasikan subjek penelitian. Subjek yang termasuk dalam


(35)

18

kategori “pencapaian identitas (identity achievement)” saja yang akan

digunakan dalam penelitian.

3. Proses Pembentukan Identitas

Freud (dalam Friedman dkk, 2008) menyebutkan pada umur enam tahun sebagian besar anak mempunyai identitas gender yang cukup mantap. Teori Freud mengenai krisis oedipal (oedipus-complex)

mengatakan bahwa dalam rangka “memperoleh ibunya” anak laki-laki akan mengidentifikasikan dirinya dengan ayahnya, mengambil karakteristik maskulin, dan mencoba menjadi seperti ayah. Setelah tahap krisis oedipal Freud yakin bahwa identitas diri yang dimiliki seseorang tidak berubah secara signifikan tetapi tetap mungkin untuk berbuah (Schwartz, 2001).

Berbeda dengan Freud, Erikson (dalam Friedman dkk, 2008) yakin pembentukan identitas merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Individu dapat dan memang mengalami perubahan signifikan. Erikson (dalam Santrock, 2003) menyebut bahwa tahap perkembangan individu yang kelima terjadi saat individu berada pada masa remaja. Pada tahap ini remaja berusaha menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada di dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Ketika remaja mengeksplorasi dan mencari identitas budayanya, remaja seringkali bereksperimen dengan peran-peran yang berbeda. Remaja yang berhasil menghadapi dengan


(36)

19

identitas-identitas yang saling bertentangan akan mendapatkan pemikiran yang baru dan dapat diterima mengenai dirinya. Walaupun ego identitas tidak dimulai maupun diakhiri selama remaja, krisis antara identitas dan kebingungan identitas mencapai puncaknya selama tahapan ini (Feist dan Feist, 2010).

Menurut Erikson (dalam Feist dan Feist, 2010) identitas muncul dari dua sumber, yaitu: penegasan atau penyangkalan remaja akan identifikasi masa kanak-kanak, dan konteks sosial serta sejarah mereka, yang mendukung konformitas pada standar tertentu. Anak muda sering kali menyangkal standar tetua mereka, memilih nilai-nilai teman kelompok, atau sekawan. Bagaimanapun masyarakat di tempat mereka hidup memainkan peran penting dalam membentuk identitas mereka.

Cote (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa mensintesiskan komponen-komponen identitas dapat menjadi sebuah proses yang panjang dan berlarut-larut, yang disertai dengan banyak negasi dan afirmasi sehubungan dengan berbagai peran dan wajah yang hendak disandang. Keputusan tidak cukup hanya dibuat sekali yang kemudian berlangsung selamanya, namun harus dibuat dan dibuat kembali. Perkembangan identitas tidak terjadi secara rapi dan tidak sekaligus menyangkut perubahan yang besar.

Nurmi, Poole, dan Kalakoski (dalam Kail dan Cavanaugh, 2010) mengungkapkan cara remaja mencapai dan membentuk identitas.


(37)

20

Remaja menggunakan kemampuan menalar logis (dengan hipotesis) yang ada pada tahap operasi formal tentang diri yang berbeda-beda untuk mempelajari kemungkinan identitas lain yang lebih banyak lagi.

James Marcia (dalam Santrock, 2003) meyakini bahwa teori perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas, atau cara-cara untuk mengatasi krisis identitas dan secara tidak langsung membentuk identitas individu. Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggali dan mencari informasi atau alternatif sebanyak-banyaknya dan mempunyai hubungan dengan kepentingan di masa depan. Berbagai informasi dan alternatif tersebut selanjutnya dibandingkan antara satu dengan yang lain, selanjutnya akan dipilih alternatif yang dipandang paling memberikan keuntungan dan jaminan masa depan yang lebih baik. Pencarian informasi tersebut dapat dilakukan dengan membaca berbagai sumber (buku, koran, majalah, media masa lain), melakukan pengamatan terhadap aktivitas kehidupan yang berhubungan dengannya; seperti orang tua, guru, orang yang dianggap penting, dan sebagainya. Aktivitas eksplorasi dapat pula dilakukan dengan menanyakan kepada orang yang telah aktif secara langsung dalam suatu jenis domain kehidupan tertentu. Sedangkan komitmen didefinisikan sebagai sesuatu sikap yang cenderung menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depan. Komitmen adalah kondisi psikologis yang


(38)

21

mengindikasikan adanya pemberian perhatian secara serius terhadap alternatif pilihan kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam rangka proses pembentukan identitas diri.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembentukan identitas, individu akan mengalami krisis (eksplorasi) sehingga menemukan dan menghadapi identitas yang bertentangan dan juga komitmen sehingga mendapatkan pemikiran baru dan dapat diterima. Proses ini melibatkan proses kognisi, dipengaruhi oleh lingkungan sosial, dan berlangsung sebagai sebuah proses yang panjang dan berlarut-larut.

4. Status Identitas

James Marcia (dalam Santrock, 2002) menganalisa teori perkembangan identitas Erikson dan menyimpulkan bahwa teori perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas. Tingkat komitmen dan krisis seseorang remaja digunakan untuk mengklasifikasikan individu menurut salah satu dari empat status identitas. Krisis (atau kebanyakan peneliti sekarang menyebutnya sebagai penjajakan/eksplorasi), didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan identitas selama masa remaja memilih di antara pilihan-pilihan yang bermakna. Sedangkan komitmen didefinisikan sebagai bagian dari perkembangan identitas ketika remaja


(39)

22

memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang akan mereka lakukan. Keempat status identitas yang disebutkan James Marcia (dalam Santrock, 2011) adalah: penyebaran identitas (identity diffusion), pencabutan identitas (identity foreclosure), penundaan identitas (identity moratorium), dan pencapaian identitas (identity achievement).

i. Penyebaran identitas (identity diffusion): status individu yang belum pernah mengalami krisis (sehingga mereka belum pernah mengeksplorasi adanya alternatif-alternatif yang berarti) ataupun membuat komitmen apapun. Mereka tidak hanya tidak membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam itu. Individu di status ini dibanjiri oleh tugas untuk mencapai identitas dan sangat sedikit tugas yang bisa diselesaikan.

ii. Pencabutan identitas (identity foreclosure): status individu yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis. Status identitas ini sering kali terjadi jika orang tua mewariskan komitmen pada anak remajanya, biasanya secara otoriter, sebelum remaja tersebut memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologis, dan pekerjaannya


(40)

23

dengan cara mereka sendiri. Individu memiliki status yang lebih ditentukan oleh orang dewasa daripada oleh ekplorasi pribadinya.

iii. Penundaan identitas (identity moratorium): status individu yang berada di pertengahan krisis namun yang komitmennya tidak ada atau hanya didefinisikan secara kabur. Individu mengetahui alternatif berbeda namun belum menemukan kepuasan alternatif tersebut.

iv. Pencapaian identitas (identity achievement): status individu yang telah mengalami krisis dan membuat komitmen. Individu mengeksplorasi dan telah dengan sadar memilih identitas tertentu.

Keempat fase/status ini tidak harus terjadi secara berurutan (Kail dan Cavanaugh, 2010). Remaja tidak mencapai status pencapaian identitas untuk semua aspek identitas di waktu yang bersamaan (Dellas dalam Kroger dan Green, 1996). Beberapa orang dewasa mungkin mencapai status pencapaian tentang pekerjaan sebelum mencapai status agama dan politik.

Ketika pencapaian identitas telah tercapai, masa percobaan dan eksplorasi telah selesai dan individu telah memiliki sense of self yang diartikan dengan baik. Bagaimanapun, selama masa dewasa identitas individu terkadang kembali merespon tantangan dan pengalaman hidup yang baru. Oleh karena itu individu mungkin saja kembali pada


(41)

24

tahap moratorium untuk jangka waktu tertentu, dan akan kembali memunculkan identitas yang baru. Faktanya, orang dewasa melalui

perubahan ini beberapa kali dan membuat siklus “M-A-M-A” yang terjadi ketika terjadi status penundaan (moratorium) dan pencapaian (achievement) secara bergantian (Marcia, dalam Kail 2010).

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan status identitas merupakan cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas. Terdapat 4 status identitas, yaitu: penyebaran identitas (identity diffusion), pencabutan identitas (identity foreclosure), penundaan identitas (identity moratorium), dan pencapaian identitas (identity achievement).

Tabel 1

Tabel Status Identitas

Penundaan identitas

Pencabutan identitas

Penyebaran identitas

Pencapaian identitas Krisis Ada Tidak ada Tidak ada Ada Komitmen Tidak ada Ada Tidak ada Ada

Dalam penelitian ini status identitas pencapaian identitas (identity achievement) akan dipakai dan dilihat lebih jauh sebagai variabel bebas. Marcia (dalam Semiun, 2013) mengembangkan pengukuran tentang status identitas yang banyak digunakan dengan


(42)

25

menggunakan metode wawancara terstruktur, yaitu Identity Status Interivew. Selain itu terdapat juga OMEIS (Objective Measure of Ego Identity Status) yang merupakan kuesioner untuk mengukur status identitas. Dalam penelitian ini status identitas pencapaian identitas (identity achievement) akan diukur dengan sebuah skala yang disusun dan diturunkan dari aspek status identitas pencapaian identitas

(identity achievement).

5. Hubungan Status Identitas dengan Trait

Steinberg (2002), mengatakan terdapat pola hubungan antara berbagai trait dengan status identitas. Pola ini sesuai dengan prediksi model Erikson. Individu dengan status identitas pencapaian identitas (identity achievement) lebih sehat secara psikologis dibanding individu lain dilihat berdasarkan berbagai alat ukur. Individu dengan status identitas pencapaian identitas (identity achievement) memiliki skor tertinggi dalam hal motivasi untuk berprestasi, penalaran moral (moral reasoning), intimasi dengan pasangan, kemampuan berefleksi, dan kematangan karir. Individu yang telah mencapai identitas atau sedang mengeksplorasi memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi, merasa lebih bisa mengendalikan hidup mereka sendiri, lebih cenderung melihat sekolah dan pekerjaan sebagai jalan tepat untuk mewujudkan keinginan mereka, dan lebih maju dalam penalaran


(43)

26

moral (Adams dan Marshall; Kroger; Serafini dan Adams, dalam Berk 2012).

Individu dengan status identitas penundaan identitas (identity moratorium) memiliki skor tertinggi dalam hal kecemasan dan konflik karena masalah dengan atasan. Mereka juga paling tidak tegar dan tidak otoriter (Steinberg, 2002). Remaja dalam status moratorium mirip dengan individu yang telah mencapai identitas dalam hal penggunaan gaya kognitif pengumpulan informasi ( information-gathering cognitive style) aktif ketika mengambil keputusan pribadi dan memecahkan masalah. Mereka mencari informasi yang relevan, mengevaluasinya dengan hati-hati, merenungkan dengan kritis, dan mengubah pandangan mereka (Berzonsky dan Kuk, dalam Berk 2012).

Individu dengan status identitas pencabutan identitas (identity foreclosure) menunjukkan sifat paling otoriter, berprasangka, serta memiliki kebutuhan tertinggi untuk mendapatkan persetujuan sosial. Mereka memiliki skor terendah dalam hal kemandirian dan memiliki tingkat kedekatan dengan orang tua yang paling tinggi dibanding dibanding individu dengan status identitas lainnya (Steinberg, 2002). Individu dengan status identitas pencabutan identitas memperlihatkan gaya kognitif dogmatis dan tidak fleksibel, melakukan internalisasi nilai dan keyakinan orangtua dan orang lain tanpa secara sengaja mengevaluasi dan menolak informasi yang mengancam posisi mereka


(44)

27

(Berzonsky dan Kuk, dalam Berk 2012). Kebanyakan mereka takut ditolak oleh orang-orang yang menjadi sandaran mereka dalam memperoleh kasih sayang dan penghargaan diri (Berk, 2012).

Individu dengan status identitas penyebaran identitas (identity diffusion) adalah individu yang paling tidak matang dalam perkembangan identitas (Berk, 2012). Mereka menunjukkan skor tertinggi dalam hal masalah psikologis dan interpersonal. Mereka menarik diri dari kehidupan sosial dan menunjukkan tingkat intimasi dengan pasangan yang paling rendah dibanding individu dengan status identitas lainnya (Steinberg, 2002). Berzonsky dan Kuk menyatakan Individu dengan status identitas ini menggunakan gaya kognitif menghindar-terdifusi (diffuse-avoidant cognitive style) yang membuat mereka lari dari keputusan dan masalah pribadi dan malah membiarkan tekanan situasional saat ini mendikte reaksi mereka (dalam Berk, 2012). Oleh karena mengambil sikap tidak peduli, mereka hanya mengandalkan keberuntungan atau nasib dan cenderung tidak memiliki pendirian.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap status identitas memiliki hubungan yang berbeda dengan beberapa trait terutama kesehatan psikologis, hubungan interpersonal, dan juga karir.


(45)

28 B. Komitmen Organisasi

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kondisi psikologis yang mencirikan hubungan karyawan dengan organisasi dan berdampak terhadap keputusan karyawan akan keberlanjutan keanggotaan di dalam organisasi. Selain itu komitmen organisasi didefinisikan sebagai perasaan dan sikap pekerja terhadap pekerjaan dalam organisasi secara keseluruhan (Mowday, Steers, dan Ungson, 1985). Staro (dalam Mowday, Steers, dan Ungson, 1985) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai proses yang terjadi ketika seorang individu mengidentifikasi dirinya dengan organisasi, yang tercermin dari penerimaan tujuan organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan organisasi, serta semangat dan pengabdian terhadap organisasi.

Riggio (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai perasaan dan sikap yang dimiliki oleh pekerja terhadap organisasi secara keseluruhan. O’Reilly dan Chatman (dalam Meyer dan Allen, 2007) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identifikasi dan tingkat keterlibatan anggota dengan organisasi tertentu. Spector (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kelekatan yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya. Cascio (1995) mengartikan komitmen organisasi sebagai derajat identifikasi individu terhadap organisasi dan keinginan untuk melanjutkan partisipasi aktifnya di


(46)

29

dalam organisasi. Sheldon (dalam Rhoades, 2001) menyatakan komitmen organisasi adalah sikap atau orientasi terhadap organisasi yang mengaitkan identitas pribadi orang tersebut terhadap organisasi.

Berdasarkan definisi di atas, maka komitmen organisasi didefinisikan sebagai kondisi psikologis termasuk perasaan, sikap, dan identifikasi pribadi terhadap organisasi yang mencirikan hubungan karyawan dengan organisasi dan berdampak terhadap keputusan karyawan akan keberlanjutan keanggotaan dan partisipasi aktif di dalam organisasi.

2. Aspek Komitmen Organisasi

Meyer dan Allen (1997) mengidentifikasi tiga tipe komitmen organisasi, yaitu: affective commitment, continuance commitment, dan

normative commitment.

Affective commitment didefinisikan sebagai kelekatan emosional dengan organisasi, identifikasi terhadap organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam organisasi (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan dengan affective commitment yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena mereka ingin untuk bertahan. Dalam affective commitment karyawan mengidentifikasi organisasinya,

menginternalisasi nilai dan sikapnya, dan menaati tuntutan organisasi (Schultz, 2010). Porter (dalam Schultz, 2010) lebih jauh membagi


(47)

30

tujuan dan nilai organisasi, (2) kemauan untuk memfokuskan usaha dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya, dan (3) keinginan untuk bertahan menjadi anggota organisasi.

Continuance commitment merupakan kemauan untuk bertahan dalam organisasi karena investasi yang dimiliki karyawan merupakan investasi yang tidak akan diterima lagi ketika karyawan keluar dari organisasi, seperti pangkat yang lebih tinggi, relasi dengan karyawan lain, atau hal yang spesial dari organisasi. Karyawan yang terkait dengan organisasi berdasarkan continuance commitment akan bertahan karena mereka perlu untuk bertahan. Continuance commitment ada berdasarkan hal-hal yang mewakili upah yang diterima saat meninggalkan organisasi (Landy dan Conte, 2004). Tidak ada identifikasi personal dengan tujuan dan nilai organisasi.

Normative commitment merupakan perasaan harus atau wajib bertahan dalam organisasi (Riggio, 2008). Normative commitment

dapat dijelaskan oleh komitmen lainnya misalnya dalam hal

pernikahan, keluarga, agama. Oleh karena itu, ketika dibawa dalam konteks organisasi dan tempat kerja, individu sering merasa seperti memiliki tanggung jawab moral terhadap organisasi (Wiener, dalam Schultz, 2010). Perasaan tersebut muncul ketika karyawan menerima

benefit seperti biaya pendidikan atau pelatihan (training) terkait kemampuan tertentu. Normative commitment terkait erat dengan kontrak psikologis antara karyawan dan organisasi. Kontrak


(48)

31

psikologis memuat keyakinan pihak-pihak yang tergabung dalam hubungan pertukaran mengenai kewajiban timbal-balik mereka.

Luthans (dalam Tella, Ayeni, dan Popoola, 2007)

mengemukakan aspek-aspek komitmen organisasi, yaitu: keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota dalam organisasinya, kerelaan untuk sungguh-sungguh berusaha demi kepentingan organisasi, dan

keyakinan yang kuat dan menerima nilai dan tujuan organisasi. Berdasarkan aspek komitmen organisasi yang dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi memiliki 3 aspek, yaitu: affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment.

3. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi

Mowday, Porter dan Steers (dalam Oktorita dkk, 2001) membagi tahap-tahap pembentukan komitmen perusahaan menjadi tiga tahap, yaitu:

i. Komitmen awal atau initial commitment :

Pada penjelasan ini tidak menyebutkan pembagian waktu dari setiap tahap, karena penggunaan waktu sebagai pedoman bekerja sangat bersifat relatif. Proses pembentukan komitmen awal terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara karakteristik personal dengan karakteristik pekerjaan. Interaksi akan membentuk harapan-harapan


(49)

32

karyawan tentang pekerjaannya. Tingkat komitmen karyawan terletak pada seberapa besar perbedaan antara karakteristik personal dengan karakteristik pekerjaan. Keseimbangan di antaranya merupakan prasyarat utama untuk membentuk komitmen.

ii. Komitmen selama bekerja atau commitment during early employment :

Merupakan proses kedua pembentukan komitmen terjadi setelah karyawan mulai bekerja. Selama bekerja, karyawan akan mempertimbangkan mengenai pekerjaan, pengawasan, upah, kelompok kerja, dan keadaan organisasi, sehingga akan menimbulkan perasaan bertanggung jawab pada diri karyawan.

iii. Komitmen selama perjalanan karir atau commitment during late career :

Proses pembentukan komitmen tahap ketiga terjadi dalam waktu yang relatif panjang sejak awal hingga menjelang akhir karir seseorang. Selama pengabdian pelaksanaan pekerjaan, menimbulkan banyak peristiwa, misalnya: investasi yang semakin besar, keterlibatan sosial semakin luas, mobilitas pekerjaan yang tinggi, dan adanya banyak pengorbanan. Peristiwa-peristiwa ini timbul bersamaan dengan meningkatnya jenjang karir, sehingga cukup kuat


(50)

33

alasan bagi karyawan untuk tetap tinggal bersama perusahaan. Keluar dari pekerjaan akan sangat merugikan karyawan.

Berdasarkan proses pembentukan komitmen organisasi yang dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan komitmen organisasi memiliki 3 tahapan, yaitu: komitmen awal atau

initial commitment, komitmen selama bekerja atau commitment during early employment, dankomitmen selama perjalanan karir atau

commitment during late career.

4. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Steers dan Porter (dalam Oktorita dkk, 2001) menjelaskan empat faktor yang dapat memengaruhi komitmen organisasi, yaitu:

i. Karakteristik personal:

Usia, masa jabatan, motivasi berprestasi, jenis kelamin, ras, dan faktor kepribadian. Faktor personal Karyawan yang lebih tua yang telah bekerja di suatu perusahaan selama lebih dari 2 tahun dan memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dicapai menunjukkan tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi. Sebuah meta-analisa terhadap 3.630 karyawan pada 27 penelitian yang berbeda menunjukkan semakin lama seseorang bekerja pada suatu


(51)

34

perusahaan, semakin kuat hubungan antara komitmen organisasi dan performansi kerja (Schultz,2010).

ii. Karakteristik pekerjaan:

Kejelasan serta kesesuaian peran, umpan balik (feedback), tantangan pekerjaan, otonomi, kesempatan berinteraksi, dan dimensi inti pekerjaan. (Hải, 2012)

iii. Karakteristik struktural:

Derajat formalisasi, ketergantungan fungsional, desentralisasi, tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan fungsi kontrol dalam perusahaan (Taheri dkk., 2013).

iv. Pengalaman kerja:

Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi yang penting dan mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan terhadap perusahaan. Schultz (2010) menyebutkan bahwa komitmen organisasi terkait erat dengan faktor personal dan organisasi.

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi yang dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa empat faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu: Karakteristik personal, karakteristik pekerjaan, karakteristik struktural, dan pengalaman kerja.


(52)

35 5. Dampak Komitmen Organisasi

McShane (2005) mengatakan komitmen organisasi dapat menjadi keuntungan kompetitif yang signifikan bagi perusahaan. Karyawan dengan tingkat affective commitment yang tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk meninggalkan organisasi dan absen dalam pekerjaan. Komitmen organisasi juga meningkatkan kepuasan konsumen karena karyawan dengan masa abdi yang lama dalam organisasi memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait praktek kerja, dan klien senang berbisnis dengan karyawan yang sama. Karyawan dengan tingkat affective commitment yang tinggi juga memiliki tingkat motivasi kerja, OCB (Organizational Citizenzhip Behavior), serta performansi kerja yang lebih tinggi.

Karyawan dapat juga memiliki tingkat affective commitment

yang terlalu tinggi. Di satu sisi komitmen organisasi dapat menekan tingkat turnover. Turnover akan membatasi kesempatan organisasi untuk merekrut karyawan baru dengan pengetahuan dan pemikiran yang baru. Komitmen organisasi juga mencipatkan konformitas yang dapat mengahalangi perkembangan kreatifitas dan perilaku etis.

Banyak perusahaan mengikat karyawannya dengan hal-hal finansial seperti pinjaman bunga ringan, stock options, atau bonus

ganda. Cara tersebut merupakan “borgol emas” yang biasanya mampu

menekan turnover, namun juga meningkatkan continuance commitment dan bukan affective commitment. Penelitian mengatakan


(53)

36

karyawan dengan tingkat continuance commitment yang tinggi memiliki performa kerja yang lebih rendah dan sangat sedikit terlibat dalam OCB (Organizational Citizenzhip Behavior). karyawan dengan tingkat continuance commitment yang tinggi cenderung mengajukan keluhan resmi, sedangkan karyawan dengan tingkat affective commitment yang tinggi akan menggunakan cara penyelesaian masalah yang lebih konstruktif ketika hubungan karyawan dan perusahaan sedang tidak baik.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi memiliki dampak positif dan negatif bagi perusahaan.


(54)

37

C. Hubungan Status Identitas Identity Achievement dengan Komitmen Organisasi

Erikson (dalam Hergenhahn dan Olson, 2007) dan Marcia (1993) mendefinisikan identitas diri sebagai kemampuan individu yang terus berkembang untuk memahami (mengidentifikasi) serta mengevaluasi diri sendiri dan orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan dan kelemahan, gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal yang akan dilakukan.

Krisis (eksplorasi) dan komitmen merupakan 2 faktor penting yang menentukan pencapaian identitas seseorang (Marcia, dalam Santrock, 2003). Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggali dan mencari informasi atau alternatif yang sebanyak-banyaknya dan mempunyai hubungan dengan kepentingan di masa depan. Berbagai informasi dan alternatif tersebut selanjutnya dibandingkan antara satu dengan yang lain, selanjutnya akan dipilih alternatif yang dipandang paling memberikan keuntungan dan jaminan masa depan yang lebih baik.

Komitmen didefinisikan sebagai sesuatu sikap yang cenderung menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depan. Komitmen adalah kondisi psikologis yang mengindikasikan adanya pemberian perhatian secara serius terhadap alternatif pilihan kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam rangka proses pembentukan identitas diri. Setelah mengalami krisis dan komitmen,


(55)

38

seseorang dianggap telah mencapai identitasnya (Marcia, dalam Santrock, 2003).

Tingkat krisis dan komitmen yang dialami individu akan menggolongkan individu dalam salah satu dari empat status identitas (Marcia, dalam Santrock, 2003). Setiap status identitas memiliki hubungan yang berbeda dengan beberapa trait terutama kesehatan psikologis, hubungan interpersonal, dan juga karir. Banyak penelitian berusaha menemukan hubungan identitas dengan kesehatan psikologis maupun hubungan interpersonal. Beberapa tahun terakhir ini masalah karir atau pekerjaan juga banyak diteliti hubungannya dengan identitas (Steinberg, 2002). Penelitian tentang identitas tidak lagi hanya terkait hal-hal dalam psikologi perkembangan, seperti kesehatan psikologis atau hubungan interpersonal. Kini penelitian tentang identitas juga mulai terkait dengan psikologi industri dan masalah karir atau pekerjaan dibahas juga.

Dalam rangka membentuk identitas, terdapat tiga masalah yang harus dipecahkan sebelum individu berhasil membentuk identitas. Ketiga masalah tersebut adalah menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan (Marcia, dalam Santrock, 2003). Tahun 1960-1970an kebanyakan peneliti tentang identitas menemukan peersoalan-persoalan pekerjaan lebih sentral bagi identitas kaum laki-laki dan persoalan-persoalan afiliasi lebih sentral bagi identitas kaum perempuan (LaVoie, dalam Santrock 2002). Perubahan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Kaum perempuan mengembangkan minat-minat pekerjaan yang lebih kuat


(56)

39

(Waterman, dalam Santrock 2002). Masalah pekerjaan/karir menjadi semakin dianggap penting oleh remaja, baik laki-laki maupun perempuan, dalam menemukan identitasnya. Hal ini menarik untuk diteliti sebagai salah satu masalah yang harus dipecahkan dalam rangka membentuk identitas.

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), manusia berkembang dalam tahap psikososial yang terdiri dari delapan tahap perkembangan. Setiap tahap terdiri dari tugas perkembangan yang unik yang menghadapkan seseorang pada suatu krisis yang harus dipecahkan. Individu yang berusia 18 tahun merupakan individu yang berada pada fase perkembangan remaja. Pada masa ini, individu dihadapkan pada penemuan diri, tentang diri mereka sebenarnya, dan tujuan hidup mereka. Individu dihadapkan pada banyak peran baru dan status kedewasaan, pekerjaan, dan cinta. Erikson (dalam Santrock, 2007) mengatakan jika individu menjelajahi peran tersebut dengan cara baik dan sampai pada jalan positif untuk diikuti dalam hidup, maka identitas positif akan tercapai. Jika suatu identitas dipaksakan pada individu oleh orangtuanya, jika individu tidak cukup menjelajahi banyak peran, dan jika masa depan yang positif belum jelas, maka terjadilah kebingungan identitas. Hal ini diperkuat pula oleh Marcia bahwa krisis (eksplorasi) dan komitmen merupakan 2 faktor penting yang menentukan pencapaian identitas seseorang (Marcia, dalam Santrock, 2003).


(57)

40

Identitas merupakan kemampuan individu yang terus berkembang untuk memahami (mengidentifikasi) serta mengevaluasi diri sendiri dan orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan dan kelemahan, gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal yang akan dilakukan. Dalam ranah psikologi industri, kemampuan mengidentifikasi diri juga penting karena sebagai anggota organisasi, individu akan mengidentifikasi dirinya dan juga perusahaannya (Cascio, 1995). Hal inilah yang disebut dengan komitmen organisasi, yaitu kondisi psikologis termasuk perasaan, sikap, dan identifikasi pribadi terhadap organisasi yang mencirikan hubungan karyawan dengan organisasi.

Meyer dan Allen (1997) mengidentifikasi tiga tipe komitmen organisasi, yaitu: Affective commitment, Continuance commitment, dan

Normative commitment. Affective commitment didefinisikan sebagai kelekatan emosional dengan organisasi, identifikasi terhadap organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan dengan affective commitment yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena mereka ingin untuk bertahan. Dalam affective commitment karyawan mengidentifikasi organisasinya, menginternalisasi nilai dan sikapnya, dan menaati tuntutan organisasi (Schultz, 2010).

Continuance commitment merupakan kemauan untuk bertahan dalam organisasi karena investasi yang dimiliki karyawan merupakan investasi yang tidak akan diterima lagi ketika karyawan keluar dari organisasi, seperti pangkat yang lebih tinggi, relasi dengan karyawan lain,


(58)

41

atau hal khusus dari organisasi. Tidak ada identifikasi personal dengan tujuan dan nilai organisasi (Landy dan Conte, 2004).

Normative commitment merupakan perasaan harus atau wajib bertahan dalam organisasi (Riggio, 2008). Normative commitment dapat dijelaskan oleh komitmen lainnya misalnya dalam hal pernikahan, keluarga, agama. Oleh karena itu, ketika dibawa dalam konteks organisasi dan tempat kerja, individu sering merasa seperti memiliki tanggung jawab moral terhadap organisasi (Wiener, dalam Schultz, 2010).


(59)

42 D. Kerangka Berpikir

menghasilkan

memampukan

dalam konteks organisasi

Krisis Komitmen

Status identitas identity achievement

Mengidentifikasi diri sendiri dan lingkungan

Komitmen Organisasi Mengidentifikasi

diri sendiri dengan pekerjaan

dan organisasi

Perasaan terhadap pekerjaan dan

organisasi

Sikap terhadap pekerjaan dan


(60)

43 E. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah: ada hubungan positif antara status identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi.


(61)

44 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional karena peneliti ingin melihat kecenderungan pola dalam satu variabel berdasarkan kecenderungan pola dalam variabel yang lain (Santoso, 2010).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (X) : Status identitas Pencapaian Identitas (Identity Achievement) 2. Variabel tergantung (Y) : Komitmen organisasi

C. Definisi Operasional

1. Status identitas Pencapaian Identitas

Status identitas Identity Achievement (Pencapaian Identitas) didefinisikan sebagai sebuah status yang dapat dicapai oleh karyawan apabila telah melakukan aktivitas untuk menggali dan mencari informasi atau alternatif sebanyak-banyaknya yang mempunyai hubungan dengan kepentingan di masa depan karyawan terhadap identitas tertentu (eksplorasi), dan juga mengambil keputusan yang cenderung menetap dan setia terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini sebagai yang terbaik dan berguna


(62)

45

bagi masa depan terhadap identitas tertentu. Identitas yang dimaksud adalah identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan.

Penelitian ini akan menggunakan skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Marcia (1993) tentang eksplorasi dan komitmen dan mencakup aspek identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan. Individu dikatakan memiliki status identitas pencapaian identitas apabila memiliki skor tertinggi pada aitem-aitem pencapaian identitas.

2. Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi secara operasional didefinisikan sebagai perasaan, sikap, dan identifikasi positif yang dimiliki karyawan terhadap organisasi sehingga berdampak terhadap keputusan karyawan untuk tetap tinggal dan berpartisipasi aktif di dalam organisasi.

Penelitian ini akan menggunakan skala yang memuat tiga aspek komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen (1997), yaitu:

affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek maka dikatakan semakin tinggi komitmen organisasi yang dimiliki. Semakin rendah skor total yang diperoleh subjek maka dikatakan semakin rendah komitmen organisasi yang dimiliki.


(63)

46 D. Subjek Penelitian

1. Populasi

Subjek penelitian adalah karyawan PT Dexa Laboratories of Biomolecular Science (DLBS), di Cikarang. PT Dexa Laboratories of Biomolecular Science (DLBS) dipilih karena peneliti pernah mengikuti program magang dan melakukan preliminary study di PT tersebut. Kriteria subjek penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Usia : lebih dari 20 tahun.

Usia subjek harus lebih dari 20 tahun karena peneliti menilai subjek dengan usia lebih dari 20 tahun telah melewati masa remaja dan melewati tahap psikososial pencarian identitas. Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa ahli yang telah dijabarkan di bab sebelumnya, bahwa individu dengan usia lebih dari 20 tahun telah melewati masa remaja dan melewati tahap psikososial pencarian identitas.

b. Status identitas : Pencapaian Identitas (Identity Achievement) Peneliti akan memilih subjek dengan status identitas pencapaian identitas saja. Hal ini dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara status identitas identity achievement dengan komitmen organisasi. Peneliti akan membagikan skala status identitas kepada semua karyawan di PT Dexa Laboratories of Biomolecular Science (DLBS) namun hanya menggunakan


(64)

47

subjek yang memiliki status identitas pencapaian identitas (Identity Achievement) saja dan menggugurkan individu lain yang tidak termasuk dalam status identitas pencapaian identitas.

2. Metode pengambilan sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling atau disebut juga judgemental sampling

yang merupakan salah satu teknik non-probabilitas sampling. Peneliti memilih subjek penelitian berdasarkan penilaian peneliti sejauh mana sampel dapat mewakili populasi dilihat dari pengetahuan subjek dan tujuan penelitian. Purposive sampling tepat digunakan jika peneliti ingin melihat karakteristik khusus yang dapat memunculkan informasi tertentu (Babbie, 2010).

Kesesuaian status identitas subjek diperlukan karena penelitian ini akan melihat hubungan status identitas identity achievement

dengan komitmen organisasi. Hanya subjek dengan status identitas

identityachievement yang dapat dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian.


(65)

48 E. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini adalah:

1. Membuat skala status identitas dan skala komitmen organisasi untuk diujicobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik sama dengan kelompok subjek sesungguhnya.

2. Menguji reliabilitas skala untuk mendapatkan skala yang reliabel 3. Mengukur status identitas subjek dengan meminta subjek mengisi

skala status identitas yang telah diujicobakan.

4. Mengukur komitmen organisasi subjek dengan meminta subjek mengisi skala komitmen organisasi yang telah diujicobakan.

5. Memilih skala komitmen organisasi dari subjek dengan skala yang menunjukkan status identitas identity achievement.

6. Mencari hubungan status identitas identity achievement dengan komitmen organisasi berdasarkan skala status identitas dan komitmen organisasi yang telah diisi oleh subjek.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan memberikan skala status identitas (skala A) dan skala komitmen organisasi (skala B) kepada semua karyawan PT DLBS untuk diisi.

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah skala, yaitu:


(1)

128

PETUNJUK PENGERJAAN SKALA A

Berikut ini terdapat pernyataan-pernyataan yang terkait dengan apa yang pernah atau sedang Anda rasakan dan alami. Anda diminta untuk memberikan persetujuan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Caranya dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom jawaban yang paling mewakili perasaan dan pengalaman Anda.

Terdapat empat pilihan jawaban, sebagai berikut: Kolom SS, jika Anda sangat setuju dengan pernyataan Kolom S, jika Anda setuju dengan pernyataan

Kolom TS, jika Anda tidak setuju dengan pernyataan

Kolom STS, jika Anda sangat tidak setuju dengan pernyataan

Masing-masing orang merasakan dan mengalami hal yang berbeda-beda. Oleh karena itu jawablah dengan sejujur-jujurnya karena tidak ada jawaban benar atau salah dalam skala ini.


(2)

129

No PERNYATAAN STS TS S SS

1 Kelompok masyarakat saya telah menetapkan prinsip politik tertentu, dan saya tinggal mengikuti saja.

2

Situasi politik di negara ini tidak stabil dan saya memilih untuk tidak ikut campur di dalamnya sampai saya tahu betul prinsip yang sesuai dengan diri saya.

3

Saya mengenali banyak jenis pekerjaan yang dapat saya lakukan dan masih terbuka terhadap berbagai jenis pekerjaan baru yang sesuai untuk saya.

4 Saya tidak pernah benar-benar terlibat dalam hal politik dan tidak tahu prinsip politik yang harus saya anut. 5

Agama adalah hal yang membingungkan untuk saya dan saya akan terus mengubah pandangan saya tentang hal yang benar dan salah.

6 Memiliki banyak sahabat membuat saya yakin karakteristik sahabat terbaik bagi saya.

7 Memikirkan hal yang menjadi minat utama saya hanya akan membuang-buang waktu saja.

8

Setiap agama memiliki ajaran yang berbeda dan perlu banyak waktu untuk saya memahami ajaran agama saya.

9

Masyarakat yang berasal dari suku yang sama dengan saya mengatakan bahwa nilai universal budaya kami adalah yang paling luhur.

10

Banyak berbincang dengan teman yang telah menikah membuat saya mengetahui hal yang menjadi tanggung jawab pria dan wanita dalam keluarga.

11

Tidak penting untuk saya memikirkan pekerjaan yang ingin saya tekuni, lebih baik mengerjakan pekerjaan yang bisa saya kerjakan sekarang.

12

Saya telah mencoba berbagai aktivitas yang dapat saya lakukan di waktu luang, dan sekarang saya memiliki aktivitas favorit untuk mengisi waktu luang.

13 Saya mempertimbangkan banyak hal sebelum berpartisipasi dalam Pemilu

14

Saya tidak pernah mencari tahu alasan saya mengerjakan pekerjaan ini selain hanya mengikuti saran teman saya yang saya anggap baik.

15

Saya mengetahui perbedaan setiap etnis namun saya belum mengetahui apa yang dapat dibanggakan dari kelompok etnis saya.

16 Saya hanya akan bersahabat dengan orang yang dianggap baik oleh masyarakat.

17

Ketika seseorang membicarakan agama, saya tidak menemukan hal yang menarik dan saya merasa tidak perlu membicarakannya.


(3)

130

PERNYATAAN STS TS S SS

18

Keluarga besar saya telah menetapkan tanggung jawab laki-laki/perempuan dalam keluarga, dan saya tidak perlu mengkajinya lagi.

19

Tanpa perlu mengeksplorasi minat yang saya miliki, saya dapat dengan mudah menentukan jurusan di universitas.

20 Saya tidak peduli dengan latar belakang rekan kerja yang bergaul dengan saya.

21

Saya mencari tahu peran suami dan istri dalam keluarga namun saya masih bingung apa yang sebenarnya harus saya lakukan.

22 Setiap agama adalah baik tanpa saya harus membuktikan dengan cara memahami ajaran setiap agama.

23

Saya sering tergabung dalam organisasi namun masih belum tahu pasti peran apa yang paling tepat untuk saya lakukan dalam organisasi.

24 Membicarakan budaya hanya membuang-buang waktu, maka saya memilih untuk melanjutkan pekerjaan saya. 25

Sebelum memutuskan untuk menekuni pekerjaan saya sekarang, saya mencari tahu banyak informasi tentang berbagai jenis pekerjaan lain.

26

Saya menyadari bahwa setiap individu unik namun saya masih mencari tahu karakteristik yang terbaik untuk saya jadikan sahabat.

27

Saya tidak tertarik dengan pembicaraan teman saya terkait peran suami dan istri dan itu bukan masalah untuk saya.

28

Dengan mencari tahu dan memahami beragam budaya etnis lain, saya dapat mengambil sisi positif setiap budaya.


(4)

131

PETUNJUK PENGERJAAN SKALA B

Berikut ini terdapat pernyataan-pernyataan yang terkait dengan apa yang Anda rasakan dan alami dalam lingkungan pekerjaan saat ini. Anda diminta untuk memberikan persetujuan teerhadap pernyataan-pernyataan tersebut dengan cara memberikan tanda centang

(√) pada kolom jawaban yang paling mewakili perasaan dan pengalaman Anda. Terdapat empat pilihan jawaban, sebagai berikut:

Kolom SS, jika Anda sangat setuju dengan pernyataan Kolom S, jika Anda setuju dengan pernyataan

Kolom TS, jika Anda tidak setuju dengan pernyataan

Kolom STS, jika Anda sangat tidak setuju dengan pernyataan

Masing-masing orang merasakan dan mengalami hal yang berbeda-beda. Oleh karena itu jawablah dengan sejujur-jujurnya karena tidak ada jawaban benar atau salah dalam skala ini.


(5)

132

No. PERNYATAAN STS TS S SS

1 Perusahaan ini adalah satu-satunya tempat saya bekerja dan memampukan saya memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2 Saya yakin bahwa saya harus memenuhi tuntutan perusahaan untuk terus menjadi anggota karyawan perusahaan ini.

3 Bagi saya, seorang karyawan memiliki kewajiban untuk bertahan dalam perusahaannya.

4 Saya merasa bahwa masalah dalam perusahaan ini adalah masalah saya juga.

5 Saya tidak akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar saya meskipun saya tidak berada di perusahaan ini.

6 Peluang promosi saya lebih terbuka ketika saya berada di perusahaan ini

7 Saya khawatir tidak dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman di perusahaan ini ketika saya meninggalkan perusahaan ini.

8 Saya pikir tidak ada salahnya seseorang meninggalkan perusahaan ini untuk kepentingan karirnya.

9 Saya ingin melakukan pekerjaan apapun untuk tetap berada di perusahaan ini

10 Saya merasa tidak memiliki kewajiban untuk bertahan dalam perusahaan ini.

11 Kewajiban dan tanggung jawab saya sebagai karyawan di perusahaan ini hanya tertuang dalam kontrak kerja yang tertulis

12 Daya tarik utama perusahaan ini bukan jenjang karir yang baik.

13 Terus menjadi karyawan di perusahaan ini adalah keinginan terbesar saya.

14 Saya menganggap perusahaan ini sekadar sebagai tempat kerja saja.

15 Saya akan tetap berada di perusahaan ini meskipun tujuan perusahaan tidak sesuai dengan tujuan hidup saya.

16 Saya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup saya jika meninggalkan organisasi ini.

17 Saya ingin bertahan di perusahaan ini karena tidak ada pilihan lain di luar sana.

18 Meninggalkan perusahaan ini akan membuat saya kehilangan status sosial di masyarakat.

19 Bagi saya daya tarik utama perusahaan ini adalah training yang sering diberikan bagi karyawannya.


(6)

133

No. PERNYATAAN STS TS S SS

20 Perusahaan ini hendaknya memberikan toleransi atas pelanggaran ringan yang dilakukan karyawan.

21 Jika saya meninggalkan perusahaan ini saya akan merasa bersalah kepada atasan dan rekan kerja saya.

22 Berpindah ke perusahaan lain bisa menjadi cara saya menemukan tantangan baru.

23 Saya akan tetap diterima oleh masyarakat meskipun saya berpindah-pindah tempat kerja.

24 Meninggalkan perusahaan ini adalah pilihan terbaik karena tujuan hidup saya tidak sesuai dengan tujuan perusahaan. 25 Kondisi finansial saya akan tetap stabil meskipun saya tidak

lagi berada di perusahaan ini.

26 Saya ingin fokus pada masalah saya lalu setelah itu membantu memikirkan masalah perusahaan ini.

27 Saya akan dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru meskipun saya bergabung dengan perusahaan lain. 28 Lebih baik saya bertahan dalam perusahaan daripada

masyarakat memberikan cap “kutu loncat” pada saya.

29 Bagi saya waktu di kantor untuk bekerja hanyalah yang sesuai dengan aturan jam kerja perusahaan.

30 Keputusan seseorang meninggalkan tempat kerjanya adalah keputusan pribadi, bukan masyarakat.