Hubungan antara status identitas kategori Identity Achievement dengan komitmen organisasi.
vi
HUBUNGAN ANTARA STATUS IDENTITAS KATEGORI IDENTITY
ACHIEVEMENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI Natanael Nugroho
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara status identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 48 orang yang merupakan karyawan DLBS (Dexa Laboratories of
Biomolecular Science) dan dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu hanya subjek
dengan status identitas identity achievement. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner untuk kedua variabel yang akan diuji hubungannya, yaitu status identitas kategori identity achievement (koefisien reliabilitas Alpha (α) Cronbach 0,811)
dan komitmen organisasi (koefisien reliabilitas Alpha (α) Cronbach=0,878). Karena hasil
data penelitian menunjukkan hubungan yang tidak linear, maka metode analisa yang digunakan adalah Teknik Korelasi Spearman dengan bantuan software SPSS (Statistical
Packages for Social Sciences) 16.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan positif antara status identitas kategori identity achievement (X = 20,5; SD=1.71353) dengan komitmen organisasi (X = 69,85; SD=6.38812). Hal ini dibuktikan dengan hasil analisa korelasi antar variabel, nilai korelasi yang diperoleh sebesar r=0,065 dengan nilai signifikansi sebesar p=0,663 (p>0,01). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perubahan di era organisasi modern dalam rangka mengatasi lingkungan yang kompleks dan bergolak. Perubahan tersebut menyebabkan definisi terkait identifikasi seseorang terhadap organisasinya, yang merupakan faktor penentu komitmen seseorang pada organisasi, juga berubah. Hasil penelitian ini menyarankan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terkait status identitas menggunakan metode pengumpulan data wawancara terstruktur untuk mendapatkan hasil status identitas yang lebih tepat. Selain metode pengambilan data, perbaikan juga dapat dilakukan dengan menambah jumlah subjek dari organisasi yang beragam. Peneliti menggunakan korelasi aitem total untuk memilih 7 aspek identitas yang dipakai sebagai item-item kuesioner. Penggunaan metode pemilihan lainnya, seperti analisis faktor, lebih direkomendasikan.
(2)
vii
CORRELATION BETWEEN IDENTITY ACHIEVEMENT CATEGORY OF IDENTITY STATUS AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT
Natanael Nugroho ABSTRACT
This study aimed to determine a positive correlation between identity achievement category of identity status and organizational commitment. Subject of this study were included 48 employees of DLBS (Dexa Laboratories of Biomolecular Science) and had been chosen by purposive sampling method, that are subject with identity achievement identity status. Data collection tools used in this study were questionnaire of the two variables which will be examine their correlation, that are identity achievement identity status (reliability coefficient of Alpha (α) Cronbach=0,878) and organizational commitment (reliability coefficient of Alpha (α) Cronbach=0,811). Because the result showed non-linear correlation, analysis method used in this study was Spearman Correlational Technique through SPSS (Statistical Packages for Social Sciences) 16.0 software. The result of this study showed that there is no positive correlation between identity achievement category of identity status (X = 20,5; SD=1.71353) and
organizational commitment (X = 69,85; SD=6.38812). It was proved by the result of
correlation analysis, which scored r=0,065 with significance level of p=0,663 (p>0,01). It may caused by the changes in modern organizational era in order to deal with complex and turbulent environments. The changes makes the definition of individual’s
identification with his/her organization, which is a key factor of individual’s commitment
to his/her organization, has also changed. The result of this study suggest the next researchers to make study of identity status using structured-interview as the data collecton tools to reach a more precise result of identity status. Besides the data collection tools, improvement can be done with adding the amount of subjects from various organization. Researcher used total item correlation to select the 7 aspects of identity as item in the questionnaire. Using of another method, suc as factor analysis, is more recommended.
(3)
i
HUBUNGAN ANTARA STATUS IDENTITAS KATEGORI IDENTITY
ACHIEVEMENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Natanael Nugroho
NIM: 109114138
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2014
(4)
(5)
(6)
iv
Like stars across the sky We were born to shine E per avvincere dovrai vincere E allora vincerai
(7)
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 21 November 2014
(8)
vi
HUBUNGAN ANTARA STATUS IDENTITAS KATEGORI IDENTITY
ACHIEVEMENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI Natanael Nugroho
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara status identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 48 orang yang merupakan karyawan DLBS (Dexa Laboratories of
Biomolecular Science) dan dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu hanya subjek
dengan status identitas identity achievement. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner untuk kedua variabel yang akan diuji hubungannya, yaitu status identitas kategori identity achievement (koefisien reliabilitas Alpha (α) Cronbach 0,811)
dan komitmen organisasi (koefisien reliabilitas Alpha (α) Cronbach=0,878). Karena hasil
data penelitian menunjukkan hubungan yang tidak linear, maka metode analisa yang digunakan adalah Teknik Korelasi Spearman dengan bantuan software SPSS (Statistical
Packages for Social Sciences) 16.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan positif antara status identitas kategori identity achievement (X = 20,5) dengan
komitmen organisasi (X = 69,85). Hal ini dibuktikan dengan hasil analisa korelasi antar
variabel, nilai korelasi yang diperoleh sebesar r=0,065 dengan nilai signifikansi sebesar p=0,663 (p>0,01). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perubahan di era organisasi modern dalam rangka mengatasi lingkungan yang kompleks dan bergolak. Perubahan tersebut menyebabkan definisi terkait identifikasi seseorang terhadap organisasinya, yang merupakan faktor penentu komitmen seseorang pada organisasi, juga berubah. Hasil penelitian ini menyarankan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terkait status identitas menggunakan metode pengumpulan data wawancara terstruktur untuk mendapatkan hasil status identitas yang lebih tepat. Selain metode pengambilan data, perbaikan juga dapat dilakukan dengan menambah jumlah subjek dari organisasi yang beragam. Peneliti menggunakan korelasi aitem total untuk memilih 7 aspek identitas yang dipakai sebagai item-item kuesioner. Penggunaan metode pemilihan lainnya, seperti analisis faktor, lebih direkomendasikan.
(9)
vii
CORRELATION BETWEEN IDENTITY ACHIEVEMENT CATEGORY OF IDENTITY STATUS AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT
Natanael Nugroho ABSTRACT
This study aimed to determine a positive correlation between identity achievement category of identity status and organizational commitment. Subject of this study were included 48 employees of DLBS (Dexa Laboratories of Biomolecular Science) and had been chosen by purposive sampling method, that are subject with identity achievement identity status. Data collection tools used in this study were questionnaire of the two variables which will be examine their correlation, that are identity achievement identity status (reliability coefficient of Alpha (α) Cronbach=0,878) and organizational commitment (reliability coefficient of Alpha (α) Cronbach=0,811). Because the result showed non-linear correlation, analysis method used in this study was Spearman Correlational Technique through SPSS (Statistical Packages for Social Sciences) 16.0 software. The result of this study showed that there is no positive correlation between identity achievement category of identity status (X = 20,5) and organizational commitment (X = 69,85). It was proved by the result of correlation analysis, which scored r=0,065 with significance level of p=0,663 (p>0,01). It may caused by the changes in modern organizational era in order to deal with complex and turbulent
environments. The changes makes the definition of individual’s identification with his/her
organization, which is a key factor of individual’s commitment to his/her organization, has also changed. The result of this study suggest the next researchers to make study of identity status using structured-interview as the data collecton tools to reach a more precise result of identity status. Besides the data collection tools, improvement can be done with adding the amount of subjects from various organization. Researcher used total item correlation to select the 7 aspects of identity as item in the questionnaire. Using of another method, suc as factor analysis, is more recommended.
(10)
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Natanael Nugroho
Nomor Induk Mahasiswa : 109114138
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“HUBUNGAN ANTARA STATUS IDENTITAS KATEGORI IDENTITY
ACHIEVEMENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI”
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal: 21 November 2014
Yang menyatakan
(11)
ix
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas bimbingan, karunia,
dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis menyadari juga skripsi ini dapat selesai oleh karena bantuan banyak
pihak, dan penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus pada:
1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas
Psikologi dan Dosen pembimbing Akademik yang mengarahkan dan
membantu penulis untuk menyelesaikan studi dengan baik.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti M. Si, selaku Kaprodi Psikologi yang
membantu penulis terutama dalam memberikan dukungan untuk ujian
skripsi.
3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni M. Psi, selaku dosen pembimbing skripsi
yang membimbing dengan sangat mendidik dan memotivasi.
4. Bapak R. Landung Eko Prihatmoko, M. Psi dan TM. Radityo
Hernawa, M. Psi yang memberikan banyak masukan baik secara
teknis teoritis maupun memberikan value sehingga penelitian menjadi
lebih bermanfaat.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan banyak
ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
(12)
x
6. Orang tua, Papa dan Mama yang dengan tulus selalu mengingatkan,
memberi dukungan semangat dan juga material dalam pengerjaan
skripsi.
7. Seluruh keluarga besar yang telah membantu dalam rangka diskusi
tema penelitian dan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
mengerjakan skripsi.
8. Keysa Laodia Yesefin yang telah membantu penulis memikirkan judul
terbaik, memberikan semangat, dorongan, dan dukungan, termasuk
menjadi “kompetitor” dalam mengerjakan skripsi.
9. Bapak Raymond R. Tjandrawinata yang telah memberikan izin
penelitian di DLBS dan juga sebagai pembimbing skripsi saat
pengambilan data di DLBS.
10.Ibu Jane Erica Armanto yang telah membuka peluang untuk penulis
melakukan penelitian di DLBS, termasuk memberikan dukungan terus
menerus selama pengambilan data.
11.Ibu Firmina Novita Puspasari yang menjadi mentor ketika penulis
melakukan proses magang termasuk memberikan keleluasaan bagi
penulis untuk mengerjakan skripsi.
12.Seluruh DLBSers yang telah berkenan membantu sebagai subjek
penelitian termasuk subjek uji coba alat.
13.Semua orang yang tergabung dalam tim sekretariat fakultas Psikologi,
terima kasih atas jasa dan pelayanan yang diberikan sehingga
(13)
xi
14.Mas Muji dan Mas Doni yang telah memfasilitasi penulis dalam
menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi termasuk memberikan
kesempatan penulis untuk menjadi asisten dosen.
15.Teman-teman yang paling sering membantu dalam proses pengerjaan
skripsi termasuk diskusi, Silvia, Tyas, Tirsa, Irma, Nova, Nani, Gerry,
Wendy, dan Muh. Bayu, semoga kesuksesan selalu beserta kita
16.Teman-teman mahasiswa angkatan berapapun yang mendukung
penulis, terutama teman-teman kelas D yang menerima penulis
sebagai anggota kelompok kalian dan memberikan kesempatan
penulis berkembang sebagai individu.
Penulis yakin bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi kebaikan dan
dimotivasi oleh niat baik akan menghasilkan hasil yang baik dan mendatangkan
kebaikan bagi semua pihak. Termasuk semua bantuan yang telah dilakukan demi
kebaikan dan dimotivasi oleh niat baik akan diganjar oleh Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala kebaikan dan anugerah-Nya. Menyadari keterbatasan penelitian
yang telah dilakukan, penulis dengan senang hati membuka diri terhadap segala
kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian yang dilandasi
dengan niat baik ini dapat berguna bagi banyak orang.
Yogyakarta, 5 November 2014
Penulis
(14)
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i.
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii.
HALAMAN PENGESAHAN... iii.
HALAMAN MOTTO ... iv.
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v.
ABSTRAK... vi.
ABSTRACT... vii.
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii.
KATA PENGANTAR... ix.
DAFTAR ISI... xii.
DAFTAR TABEL... xvi.
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii.
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 12
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Manfaat Penelitian... 12
1. Manfaat Teoretis ... 12
2. Manfaat Praktis ... 13
BAB II LANDASAN TEORI A. Status Identitas Identity Achievement ... 14
(15)
xiii
1. Pengertian Identitas Diri... 14
2. Aspek Identitas... 15
3. Proses Pembentukan Identitas... 18
4. Status Identitas ... 21
5. Hubungan Status Identitas dengan Trait ... 25
B. Komitmen Organisasi... 28
1. Pengertian Komitmen Organisasi... 28
2. Aspek Komitmen Organisasi... 29
3. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi... 31
4. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi... 33
5. Dampak Komitmen Organisasi... 35
C. Hubungan Status Identitas Identity Achievement dengan Komitmen Organisasi... 37
D. Kerangka Berpikir... 42
E. Hipotesis... 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44
A. Jenis Penelitian... 44
B. Identifikasi Variabel Penelitian... 44
C. Definisi Operasional... 44
1. Status identitas Pencapaian Identitas... 44
2. Komitmen Organisasi... 45
D. Subjek Penelitian... 46
(16)
xiv
a. Usia... 46
b. Status Identitas... 46
2. Metode pengambilan sampel... 47
E. Prosedur Penelitian... ... 48
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data... 48
1. Skala Status Identitas... 49
2. Skala Komitmen Organisasi... 52
G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 55
1. Validitas... 55
2. Seleksi Aitem... 55
a. Skala Status Identitas... 56
b. Skala Komitmen Organisasi... 61
3. Reliabilitas... 65
H. Metode Analisis Data... 66
1. Uji Asumsi... 66
a. Uji Normalitas... 66
b. Uji Linearitas... 66
2. Uji Hipotesis... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 68
A. Pelaksanaan Penelitian... 68
B. Deskripsi Subjek Penelitian... 69
C. Deskripsi Data Penelitian... 71
(17)
xv
2. Mean Empirik dan Teoritik... 71
3. Uji Asumsi... ... 71
a. Uji Normalitas... 72
b. Uji Linearitas... 74
4. Uji Hipotesis... 75
D. Pembahasan... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 85
A. Kesimpulan... 85
B. Saran... 85
1. Bagi Perusahaan Tempat Pengambilan Data, DLBS... 85
2. Bagi Subjek Penelitian... 86
3. Bagi Peneliti Selanjutnya... 87
(18)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Status Identitas ... 24
Tabel 2. Tabel Blue Print Skala Status Identitas ...51
Tabel 3. Tabel Blue Print Skala Komitmen Organisasi ...53
Tabel 4. Tabel Blue Print Skala Status Identitas Hasil Uji Coba ...57
Tabel 5. Tabel Blue Print Skala Status Identitas (Penelitian) ...58
Tabel 6. Blue Print Skala Status Identitas (seleksi aitem per kategori Status Identitas) ... 60
Tabel 7. Tabel Blue Print Skala Komitmen Organisasi Hasil Uji Coba ...62
Tabel 8. Tabel Blue Print Skala Komitmen Organisasi (Penelitian) ...64
Tabel 9. Tabel Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Posisi ...69
Tabel 10. Tabel Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ...70
Tabel 11. Tabel Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ...70
Tabel 12. Tabel Deskripsi Data Penelitian ...71
Tabel 13. Tabel Hasil Pengujian Normalitas Skala Status Identitas ...73
Tabel 14. Tabel Hasil Pengujian Normalitas Skala Komitmen Organisasi ...73
Tabel 15. Tabel Hasil Pengujian Linearitas ...74
(19)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Seleksi Aitem Skala Status Identitas ... 99
Lampiran 2 Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi ... 101
Lampiran 3 Seleksi Aitem Skala Status Identitas (Uji Coba) ... 103
Lampiran 4 Seleksi Aitem Skala Komitmen Organisasi (Uji Coba) ... 105
Lampiran 5 Seleksi Aitem Skala Status Identitas (Per Kategori Status Identitas) ... 107
Lampiran 6 Blue Print dan Seleksi Aitem Status Identitas (80 aitem) ... 110
Lampiran 7 Skala Penelitian Sebelum Uji Coba... 114
(20)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Resource Based View (RBV), terdapat 3 jenis sumber daya
(resource) yang menjadi pilar utama sebuah organisasi. Ketiga sumber
daya tersebut adalah organisasi (organizational capital), manusia (human
capital), dan fisik (physical capital) (Anis dkk., 2011). Resource Based View (RBV) merupakan konsep penting bagi sebuah organisasi di masa ini (Barney dan Wright 1998; Holland, Sheehan, dan Cieri, 2007).
Keberadaan SDM dalam sebuah organisasi sangat penting karena SDM
yang memprakarsai terbentuknya organisasi, berperan membuat keputusan
untuk semua fungsi, dan juga berperan dalam menentukan kelangsungan
hidup organisasi itu (Panggabean, 2004). Sumber daya manusia menjadi
semakin penting karena dapat membuat organisasi semakin kompetitif
berdasarkan keunikan yang dimilikinya (Anis dkk., 2011). Karyawan
dapat menjadi aset paling penting dan berdampak langsung pada
kemampuan organisasi untuk berkompetisi.
Dewasa ini organisasi bahkan memandang sumber daya manusia
yang mereka miliki sebagai aset paling berharga dan sebagai satu-satunya
faktor penentu kemampuan perusahaan untuk berkompetisi (Robbins dan
Coulter, 2007). Saat ini banyak perusahaan harus menghadapi persaingan
(21)
2
keunggulan kompetitif dalam menerapkan strategi bersaing agar dapat
bertahan. Sumber daya manusia menjadi begitu penting bagi sebuah
perusahaan karena dapat juga menentukan sejauh mana perusahaan dapat
berkompetisi. Perusahaan yang dapat berkompetisi inilah yang dapat
bertahan (Sutarto,1979). Berdasarkan uraian di atas, sumber daya manusia
akan berdampak pula pada kompetitifnya sebuah perusahaan dan dengan
demikian menentukan kemampuan perusahaan dalam bertahan. Sumber
daya manusia sangat penting bagi perusahaan sehingga usaha untuk
menarik dan mempertahankan sumber daya manusia juga menjadi penting
(Holland, Sheehan dan Cieri, 2007)
Pada tahun 2007-2008 Tower Watson, sebuah perusahaan konsultan
manajemen dengan 14.000 rekanan di seluruh dunia, melakukan survei
Global Strategic Rewards 2007/2008 di beberapa negara di Asia. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia menghadapi
masalah dalam mempertahankan karyawan berprestasi baik
(top-performing employees). Hampir 72% karyawan yang melakukan turnover
di Indonesia adalah karyawan berprestasi baik
(http://www.towerwatson.com). Masalah ini bahkan lebih tinggi dibanding
kebanyakan negara Asia Pasifik lainnya yang ikut dalam survei. Jika
melihat prosentase jumlah karyawan berprestasi baik dari jumlah turnover
total, maka Indonesia berada di peringkat pertama. Menurut Haris (dalam
Duangthong, 2012), jika tingkat turnover mencapai lebih dari 10% per
(22)
3
berperforma baik, membuat perusahaan mengeluarkan uang lebih, karena
akan berdampak pada menurunnya produktivitas dan meningkatnya biaya
terkait perekrutan dan pelatihan karyawan penggantinya (Riggio, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, berarti turnover adalah hal yang menghambat
usaha perusahaan dalam berkompetisi dan bertahan karena perusahaan
kehilangan sumber daya manusia yang dikatakan sangat penting bagi
perusahaan. Bahkan adanya turnover membuat perusahaan merugi dengan
keluarnya biaya tambahan dan membuat perusahaan tidak dapat
berkompetisi (Riggio, 2008).
Schultz (2010) menyebutkan turnover terkait erat dengan banyak
faktor di antaranya: kepuasan kerja, komitmen organisasi, persepsi
terhadap kondisi ekonomi, dan kesempatan kerja. Zimmerman (dalam
Schultz, 2010) menambahkan bahwa stabilitas emosional yang rendah
pada faktor Big Five seseorang akan meningkatkan intensi seseorang
untuk melakukan turnover. Meskipun terkait dengan banyak faktor lain,
menurut banyak penelitian turnover memiliki keterkaitan yang langsung
dan lebih erat dengan komitmen organisasi dibanding dengan faktor lain.
Misalnya penelitian Shore dan Martin (1989) yang menemukan bahwa
komitmen organisasi lebih terkait erat dengan intensi turnover
dibandingkan kepuasan kerja. Landy (2004), juga mengatakan bahwa
kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi, dan komitmen
organisasi mempengaruhi beberapa perilaku kontraproduktif, salah
(23)
4
Kepuasan kerja memang terkait dengan turnover, namun secara
tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari sebuah meta-analisis yang
menunjukkan bahwa tingkat komitmen organisasi yang lebih rendah
terkait dengan tingkat turnover yang lebih tinggi (Griffeth, Hom, dan
Gaertner dalam Riggio 2008). Komitmen organisasi memiliki peran
penting dalam penelitian karena dapat memprediksi beberapa perilaku
penting, seperti turnover karyawan, kepatuhan karyawan terhadap
nilai-nilai organisasi, dan kemauan karyawan untuk melakukan tanggung jawab
yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab mereka (Haslam, 2004).
Riggio (2008) juga menambahkan bahwa turnover mungkin dipengaruhi
oleh kurangnya kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Dengan
demikian telah terbukti bahwa turnover sangat terkait dengan komitmen
organisasi.
Komitmen organisasi adalah perasaan dan sikap pekerja terhadap
organisasi kerja secara keseluruhan (Riggio, 2008). Robbins (2010) juga
mengatakan komitmen organisasi sebagai tingkat identifikasi yang
dilakukan oleh karyawan terhadap organisasi beserta tujuannya, dan
keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Komitmen organisasi
terkait dengan: (1) karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi, (2)
kesediaan untuk berusaha demi organisasi, dan (3) keinginan untuk
bertahan di dalam organisasi (Mowday, Steers, Porter, 1974). Menurut
Meyer, Allen, dan Smith (1993), komitmen organisasi adalah perpaduan
(24)
5
mencirikan relasi karyawan dengan organisasi atau juga dampaknya
terhadap karyawan apakah tetap melanjutkan proses dengan organisasi
atau tidak.
Menurut Meyer, Allen, dan Smith (1993), terdapat tiga aspek
komitmen organisasi. Ketiga aspek komitmen organisasi tersebut adalah:
affective commitment (like the job), continuance commitment (need the job), dan normative commitment (feel obligated to stay on the job). Aspek pertama, affective commitment (like the job), merupakan kelekatan
emosional karyawan terhadap organisasi dan afeksi positif yang dialami
karyawan. Ini adalah aspek tertinggi di mana karyawan yang telah
mencapai aspek ini akan lebih merasakan kepuasan kerja, termotivasi, dan
bersemangat. Aspek kedua, continuance commitment (need the job),
merupakan komitmen untuk terus bersama organisasi karena akan
berdampak ke finansial karyawan jika karyawan keluar. Komitmen aspek
continuance commitment terjadi ketika karyawan mendapat fasilitas dan keuntungan dari organisasi, dan tidak tersedianya pekerjaan lain di luar
organisasi. Aspek ketiga, normative commitment (feel obligated to stay on
the job), terjadi ketika karyawan merasa harus bertahan dalam organisasi. Komitmen aspek ini terjadi ketika karyawan memiliki nilai-nilai personal
yang sama dengan organisasi dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap
organisasi meskipun belum tentu karyawan menyukai dan membutuhkan
(25)
6
Perusahaan sebenarnya tidak tinggal diam dalam usahanya
mempertahankan karyawan. Hal ini terlihat dari banyaknya program yang
dirancang oleh perusahaan untuk mempertahankan karyawan (employee
retention program). Misalnya, “Southwest Airline” melakukan masa orientasi pada karyawan baru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Robert Half International, program orientasi ini efektif untuk membuat karyawan bertahan dan termotivasi di dalam perusahaan (Snell dan
Bohlander, 2010). Berbeda dengan pelatihan (training), program orientasi
menekankan pada alasan karyawan berada di organisasi tersebut. Selain
itu, pada program orientasi diberikan juga filosofi di balik peraturan
organisasi dan menyediakan pola pikir untuk tugas yang terkait dengan
pekerjaan. Dengan demikian karyawan akan merasa dihargai oleh
perusahaan (Snell dan Bohlander, 2010). Selain itu di beberapa jurnal,
buku, dan juga di internet banyak ditulis tentang employee retention
program yang efektif. Salah satunya adalah jurnal “Losing Your Best Talent: Employee Retention the Dilemma of Textile Industry” (Sohail dkk, 2011). Temuan jurnal tersebut mengatakan bahwa jenjang karir (career
path) menjadi faktor terpenting yang dicari oleh karyawan dan membuat karyawan mau bertahan di perusahaan tersebut. Lagunas (2011) juga
mengungkapkan 5 cara untuk mempertahankan karyawan, yakni: merekrut
karyawan yang memang bisa dipertahankan, mengubah cara pandang
bahwa merekrut adalah merencanakan karir seseorang dan bukan mengisi
(26)
7
memperhatikan karyawan yang berperforma buruk, dan bekerja bersama
para manager untuk mempertahankan karyawan masing-masing.
Di sisi lain, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia no 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia minimal pekerja adalah 18 tahun
(Undang-undang ketenagakerjaaan, 2003). International Labour
Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) juga menyatakan bahwa usia minimum yang diperbolehkan bekerja adalah 18 tahun
(Konvensi Usia Minimum, 1973). ILO adalah badan PBB yang bertugas
memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara,
aman, dan bermartabat. Selain itu, menurut Pusdatinaker (Pusat Data dan
Informasi Ketenagakerjaan) tahun 2013, dari total 260 juta pekerja di
Indonesia, sebanyak 209 juta di antaranya berusia lebih dari 20 tahun.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang ketenagakerjaan, Konvensi Usia
Minimum ILO, dan data Pusdatinaker, berarti sebagian besar pekerja atau
karyawan berada di usia lebih dari 18 tahun.
Individu yang berusia 18 tahun merupakan individu yang berada
pada fase perkembangan remaja. Hal ini berarti sebagian besar pekerja
atau karyawan merupakan individu yang sedang berada pada atau telah
melewati fase perkembangan remaja. Menurut Elizabeth Hurlock (dalam
Santrock, 2007), batasan usia kronologis masa remaja yaitu antara 13
hingga 18 tahun. Thornburgh (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa
(27)
8
batasan usia kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22
tahun. Erikson (dalam Santrock, 2007) menyebutkan masa remaja terjadi
pada usia 10-20 tahun. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka
individu yang dimaksud sebagai remaja berada pada kisaran usia 10-20
tahun. Tugas dalam tahap perkembangan individu di fase ini adalah
mencari identitas, atau jika gagal maka individu akan terjebak pada
kebingungan identitas. Pada masa remaja individu dihadapkan pada
kemampuan memahami diri, masa depan, dan cita-cita mereka (Santrock,
2011). Identitas inilah yang menuntun remaja untuk menentukan siapa
dirinya dan bukan dirinya, mengerti karakteristiknya adalah berbeda
dengan orang lain (Feist dan Feist, 2010).
James Marcia (dalam Cloninger, 2004) melakukan riset pula terkait
pembentukan identitas dan mengidentifikasi empat status individu dalam
proses ini. James Marcia yakin bahwa perkembangan identitas yang
sempurna terjadi jika individu telah mengalami sebuah krisis dan telah
melewati krisis dengan komitmen yang kuat terhadap pekerjaan dan/atau
ideologi. Identity achievement adalah status ketika individu membangun
pemahaman identitas setelah melakukan eksplorasi. Identity moratorium
adalah status ketika individu berada di tengah-tengah krisis identitas.
Mereka masih bergulat dengan pertanyaan siapakah diri mereka dan apa
jati dirinya, dan kurang siap untuk membuat komitmen dibandingkan
mereka yang sudah mendapatkan identitas. Identity foreclosure adalah
(28)
9
eksplorasi. Terakhir, identity difussion adalah status ketika individu tidak
memiliki pemahaman identitas atau komitmen (Pervin dkk., 2005).
Perbedaan keempat kategori ini terletak pada ada dan tiadanya krisis
(periode pengambilan keputusan yang disadari, yang berkaitan dengan
pembentukan identitas) dan komitmen (investasi personal dalam pekerjaan
atau sistem kepercayaan), dua elemen yang dipandang krusial oleh Erikson
guna membentuk identitas (Papalia dkk., 2008).
Identitas terbentuk oleh adanya krisis dan komitmen. Ketika
pubertas, remaja mencari peran baru untuk membantu mereka menemukan
identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan mereka (Feist dan Feist, 2010).
Menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan merupakan
masalah yang harus dipecahkan sebelum remaja berhasil membentuk
identitasnya (Papalia dkk., 2008). Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa
identitas dapat terbentuk ketika ketiga masalah tadi terpecahkan. Di sisi
lain, dapat diartikan bahwa ketika salah satu masalah tersebut belum
selesai, identitas belum sepenuhnya terbentuk. Papalia menambahkan,
salah satu masalah yang disebutkan adalah terkait pekerjaan. Individu yang
belum berhasil menyelesaikan masalah terkait pekerjaan ini belum pernah
mengalami krisis dan belum memiliki komitmen tentang pekerjaan. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Santrock bahwa salah satu dimensi eksplorasi
(krisis) yang penting ialah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap
peran. Penjajakan karir merupakan hal penting (Santrock, 2011).
(29)
10
ideologis, dianggap penting oleh Erikson agar tidak terjadi kecenderungan
distonik (Feist dan Feist, 2010). Menurut Erikson (dalam Feist dan Feist,
2010), di dalam tiap tahapan kehidupan terdapat interkasi berlawanan yang
merupakan konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan distonik
(kacau). Elemen distonik merupakan keadaan ketika seseorang gagal
menyelesaikan tugas perkembangan. Pekerjaan/karir sering menjadi poin
penting dalam identitas. Studi tentang pentingnya penjajakan karir sebagai
proses untuk mencapai identitas kebanyakan dilakukan dengan populasi
Sekolah Menengah Atas dan Universitas (Friedman dan Schustack, 2008).
Hasilnya menunjukkan bahwa mengeksplorasi kemungkinan karir yang
berbeda-beda merupakan bagian dari proses untuk mencapai identitas.
Selama masa psychosocial moratorium – istilah Erikson untuk
periode “time out” yang diberikan masa remaja – banyak anak muda mencari komitmen yang dapat mereka jadikan pegangan. Komitmen usia
muda ini dapat membentuk kehidupan seseorang beberapa tahun
kemudian. Kemampuan anak muda memecahkan krisis identitas
dipengaruhi oleh tingkat keteguhan mereka dalam memegang komitmen.
Remaja yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan akan
mengembangkan apa yang disebut dengan kesetiaan sebagai kekuatan
utama (Papalia dkk., 2008; Feist dan Feist, 2010).
Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengenai hubungan antara
status identitas individu dengan komitmen organisasi individu. Dalam
(30)
11
komitmen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, termasuk di dalamnya
komitmen terhadap pekerjaan. Anak-anak muda harus mengalami sedikit
keraguan dan kebingungan akan diri mereka sebelum dapat
mengembangkan identitas yang tetap (Feist dan Feist, 2010). Identitas
berbicara pula tentang nilai dan tujuan hidup individu (Boeree, 2008).
Terkait dengan hal ini, nilai dan tujuan hidup individu juga terkait dengan
komitmen organisasi. Teori perkembangan karir Donald Super
mengatakan pula bahwa eksplorasi karir pada masa remaja adalah unsur
kunci dari konsep diri tentang karir pada remaja (Super dalam Santrock,
2011). Ketika remaja melakukan eksplorasi berarti mereka mengalami
pula krisis karena beberapa ahli juga menggunakan istilah
penjajakan/eksplorasi untuk menggantikan istilah krisis (Santrock, 2011).
Komitmen dan krisis yang diperlukan dalam rangka membentuk identitas
ternyata diperlukan pula terkait tugas terkait pekerjaan yang merupakan
salah satu dari tiga tugas penting individu untuk menemukan identitas.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melihat hubungan
antara keberhasilan individu mencapai identitas (status identitas kategori
identity achievement) dengan komitmen organisasi. Peneliti berasumsi bahwa individu yang telah berhasil mencapai identitas (identity
(31)
12 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara status
identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan
antara status identitas kategori identity achievement dengan komitmen
organisasi.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan teori identitas
di ranah psikologi perkembangan terutama terkait hubungan
identitas dengan komitmen organisasi, karena kebanyakan teori
identitas dikaitkan dengan intimasi.
b. Penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan teori
komitmen organisasi di ranah psikologi Industri dan Organisasi
terutama terkait hubungan komitmen organisasi dengan isu lain
(32)
13 2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat berguna bagi subjek penelitian untuk
mengetahui status identitas subjek dan dapat menjadi salah satu
cara subjek mengenal lebih dalam tentang dirinya. Selain itu,
dengan mengetahui bahwa subjek telah mencapai identitas maka
dapat mendorong subjek untuk semakin berkomitmen terhadap
organisasi.
b. Bagi perusahaan tempat pengambilan data, penelitian ini dapat
berguna dalam proses rekrutmen dan seleksi karyawan terutama
untuk memprediksi komitmen organisasi yang dimiliki oleh
calon karyawan dilihat dari status identitas seseorang.
c. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dikembangkan
terutama bagi peneliti di bidang psikologi industri dan
organisasi menemukan keterkaitan identitas dengan isu lain di
(33)
14 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Status Identitas Identity Achievement
1. Pengertian Identitas Diri
Erikson (dalam Cloninger, 2004) mengatakan identitas sebagai
kesadaran akan kenyataan bahwa terdapat kesamaan diri dan
kontinuitas cara ego melakukan fungsi sintetis, atau disebut gaya
individualitas seseorang. Gaya individualitas ini sesuai dengan
kesamaan dan kontinuitas pemahaman seseorang terhadap significant
others yang ada di komunitas sekitarnya.
Erikson (dalam Hergenhahn dan Olson, 2007) mengatakan
identitas sebagai perasaan nyaman yang dialami seseorang, rasa
mengetahui hal yang akan dilakukan, dan suatu kepastian dari dalam
diri seseorang akan pengakuan yang telah diperkirakan sebelumnya
dari orang lain di sekitar.
Marcia (1993) menyatakan bahwa identitas diri merupakan
komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu.
Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang,
semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang
lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu
(34)
15
maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal
untuk evaluasi diri.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa identitas diri merupakan kemampuan individu yang terus
berkembang untuk memahami (mengidentifikasi) serta mengevaluasi
diri sendiri dan orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan
dan kelemahan, gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal
yang akan dilakukan.
2. Aspek Identitas
James Marcia (dalam Santrock, 2003) meyakini bahwa teori
perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas,
atau cara-cara untuk mengatasi krisis identitas. Hal-hal yang ada pada
krisis dan komitmen remaja digunakan untuk mengklasifikasikan
seseorang individu berdasarkan salah satu dari empat status identitas.
Aspek lain dari identitas menurut Marcia (dalam Purwadi, 2004)
adalah krisis (eksplorasi) dan komitmen. Dalam rangka membentuk
identitas, terdapat tiga masalah yang harus dipecahkan sebelum
individu berhasil membentuk identitas. Ketiga masalah tersebut adalah
menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan (Marcia, dalam
Santrock, 2003).
Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk
(35)
16
dan mempunyai hubungan dengan kepentingan di masa depan.
Berbagai informasi dan alternatif tersebut selanjutnya dibandingkan
antara satu dengan yang lain, selanjutnya akan dipilih alternatif yang
dipandang paling memberikan keuntungan dan jaminan masa depan
yang lebih baik. Pencarian informasi tersebut dapat dilakukan dengan
membaca berbagai sumber (buku, koran, majalah, media massa lain),
melakukan pengamatan terhadap aktivitas kehidupan yang
berhubungan dengannya; seperti orang tua, guru, orang yang dianggap
penting, dan sebagainya. Aktivitas eksplorasi dapat pula dilakukan
dengan menanyakan kepada orang yang telah aktif secara langsung
dalam suatu jenis domain kehidupan tertentu.
Keseluruhan kriteria eksplorasi yang sinkron antara satu dengan
yang lain dan bernilai tinggi akan menunjukan bahwa individu yang
bersangkutan memiliki kemampuan eksplorasi yang tinggi. Semakin
tinggi skor masing-masing elemen tersebut, berarti semakin tinggi
tingkat eksplorasi yang dilaksanakan oleh individu yang bersangkutan.
Komitmen didefinisikan sebagai sesuatu sikap yang cenderung
menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah
dipilih dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depan.
Komitmen adalah kondisi psikologis yang mengindikasikan adanya
pemberian perhatian secara serius terhadap alternatif pilihan kriteria
yang digunakan untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam
(36)
17
Santrock (2011) menambahkan, identitas adalah potret diri yang
tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup:
i. Identitas pekerjaan/karier: jejak karier dan pekerjaan yang
ingin dirintis seseorang,
ii. Identitas politik: konservatif, liberal, atau berada di antara
keduanya,
iii. Identitas religius: keyakinan spiritual seseorang,
iv. Identitas relasi: lajang, menikah, bercerai,
v. Identitas prestasi, intelektual: sejauh mana seseorang
termotivasi untuk berprestasi dan intelektualitasnya,
vi. Identitas seksual: heteroseksual, homoseksual, atau
biseksual,
vii. Identitas budaya/etnis: latar belakang negara seseorang dan
kekuatan identifikasi seseorang dengan budayanya,
viii. Minat: hal-hal yang senang seseorang lakukan,
ix. Kepribadian: karakteristik kepribadian individual,
x. Identitas fisik: citra tubuh individu.
Berdasarkan uraian di atas, aspek identitas terdiri dari: identitas
seksual, ideologis, dan pekerjaan. Untuk mengklasifikasikan seorang
individu maka akan dilihat sejauh mana krisis dan komitmen yang
telah dialami. Krisis dan komitmen seseorang akan aspek-aspek
identitas inilah yang akan dipergunakan dalam penelitian ini untuk
(37)
18
kategori “pencapaian identitas (identity achievement)” saja yang akan digunakan dalam penelitian.
3. Proses Pembentukan Identitas
Freud (dalam Friedman dkk, 2008) menyebutkan pada umur
enam tahun sebagian besar anak mempunyai identitas gender yang
cukup mantap. Teori Freud mengenai krisis oedipal (oedipus-complex)
mengatakan bahwa dalam rangka “memperoleh ibunya” anak laki-laki akan mengidentifikasikan dirinya dengan ayahnya, mengambil
karakteristik maskulin, dan mencoba menjadi seperti ayah. Setelah
tahap krisis oedipal Freud yakin bahwa identitas diri yang dimiliki
seseorang tidak berubah secara signifikan tetapi tetap mungkin untuk
berbuah (Schwartz, 2001).
Berbeda dengan Freud, Erikson (dalam Friedman dkk, 2008)
yakin pembentukan identitas merupakan proses yang berlangsung
seumur hidup. Individu dapat dan memang mengalami perubahan
signifikan. Erikson (dalam Santrock, 2003) menyebut bahwa tahap
perkembangan individu yang kelima terjadi saat individu berada pada
masa remaja. Pada tahap ini remaja berusaha menemukan siapakah
mereka sebenarnya, apa saja yang ada di dalam diri mereka, dan arah
mereka dalam menjalani hidup. Ketika remaja mengeksplorasi dan
mencari identitas budayanya, remaja seringkali bereksperimen dengan
(38)
19
identitas-identitas yang saling bertentangan akan mendapatkan
pemikiran yang baru dan dapat diterima mengenai dirinya. Walaupun
ego identitas tidak dimulai maupun diakhiri selama remaja, krisis
antara identitas dan kebingungan identitas mencapai puncaknya
selama tahapan ini (Feist dan Feist, 2010).
Menurut Erikson (dalam Feist dan Feist, 2010) identitas muncul
dari dua sumber, yaitu: penegasan atau penyangkalan remaja akan
identifikasi masa kanak-kanak, dan konteks sosial serta sejarah
mereka, yang mendukung konformitas pada standar tertentu. Anak
muda sering kali menyangkal standar tetua mereka, memilih nilai-nilai
teman kelompok, atau sekawan. Bagaimanapun masyarakat di tempat
mereka hidup memainkan peran penting dalam membentuk identitas
mereka.
Cote (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa mensintesiskan
komponen-komponen identitas dapat menjadi sebuah proses yang
panjang dan berlarut-larut, yang disertai dengan banyak negasi dan
afirmasi sehubungan dengan berbagai peran dan wajah yang hendak
disandang. Keputusan tidak cukup hanya dibuat sekali yang kemudian
berlangsung selamanya, namun harus dibuat dan dibuat kembali.
Perkembangan identitas tidak terjadi secara rapi dan tidak sekaligus
menyangkut perubahan yang besar.
Nurmi, Poole, dan Kalakoski (dalam Kail dan Cavanaugh, 2010)
(39)
20
Remaja menggunakan kemampuan menalar logis (dengan hipotesis)
yang ada pada tahap operasi formal tentang diri yang berbeda-beda
untuk mempelajari kemungkinan identitas lain yang lebih banyak lagi.
James Marcia (dalam Santrock, 2003) meyakini bahwa teori
perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas,
atau cara-cara untuk mengatasi krisis identitas dan secara tidak
langsung membentuk identitas individu. Eksplorasi merupakan suatu
aktivitas yang dilakukan untuk menggali dan mencari informasi atau
alternatif sebanyak-banyaknya dan mempunyai hubungan dengan
kepentingan di masa depan. Berbagai informasi dan alternatif tersebut
selanjutnya dibandingkan antara satu dengan yang lain, selanjutnya
akan dipilih alternatif yang dipandang paling memberikan keuntungan
dan jaminan masa depan yang lebih baik. Pencarian informasi tersebut
dapat dilakukan dengan membaca berbagai sumber (buku, koran,
majalah, media masa lain), melakukan pengamatan terhadap aktivitas
kehidupan yang berhubungan dengannya; seperti orang tua, guru,
orang yang dianggap penting, dan sebagainya. Aktivitas eksplorasi
dapat pula dilakukan dengan menanyakan kepada orang yang telah
aktif secara langsung dalam suatu jenis domain kehidupan tertentu.
Sedangkan komitmen didefinisikan sebagai sesuatu sikap yang
cenderung menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif
yang telah dipilih dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi
(40)
21
mengindikasikan adanya pemberian perhatian secara serius terhadap
alternatif pilihan kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat
komitmen remaja dalam rangka proses pembentukan identitas diri.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
proses pembentukan identitas, individu akan mengalami krisis
(eksplorasi) sehingga menemukan dan menghadapi identitas yang
bertentangan dan juga komitmen sehingga mendapatkan pemikiran
baru dan dapat diterima. Proses ini melibatkan proses kognisi,
dipengaruhi oleh lingkungan sosial, dan berlangsung sebagai sebuah
proses yang panjang dan berlarut-larut.
4. Status Identitas
James Marcia (dalam Santrock, 2002) menganalisa teori
perkembangan identitas Erikson dan menyimpulkan bahwa teori
perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas,
atau cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas.
Tingkat komitmen dan krisis seseorang remaja digunakan untuk
mengklasifikasikan individu menurut salah satu dari empat status
identitas. Krisis (atau kebanyakan peneliti sekarang menyebutnya
sebagai penjajakan/eksplorasi), didefinisikan sebagai suatu periode
perkembangan identitas selama masa remaja memilih di antara
pilihan-pilihan yang bermakna. Sedangkan komitmen didefinisikan
(41)
22
memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang akan
mereka lakukan. Keempat status identitas yang disebutkan James
Marcia (dalam Santrock, 2011) adalah: penyebaran identitas (identity
diffusion), pencabutan identitas (identity foreclosure), penundaan identitas (identity moratorium), dan pencapaian identitas (identity
achievement).
i. Penyebaran identitas (identity diffusion): status individu
yang belum pernah mengalami krisis (sehingga mereka
belum pernah mengeksplorasi adanya alternatif-alternatif
yang berarti) ataupun membuat komitmen apapun.
Mereka tidak hanya tidak membuat keputusan yang
menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga
cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam
itu. Individu di status ini dibanjiri oleh tugas untuk
mencapai identitas dan sangat sedikit tugas yang bisa
diselesaikan.
ii. Pencabutan identitas (identity foreclosure): status
individu yang telah membuat komitmen namun tidak
pernah mengalami krisis. Status identitas ini sering kali
terjadi jika orang tua mewariskan komitmen pada anak
remajanya, biasanya secara otoriter, sebelum remaja
tersebut memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi
(42)
23
dengan cara mereka sendiri. Individu memiliki status
yang lebih ditentukan oleh orang dewasa daripada oleh
ekplorasi pribadinya.
iii. Penundaan identitas (identity moratorium): status
individu yang berada di pertengahan krisis namun yang
komitmennya tidak ada atau hanya didefinisikan secara
kabur. Individu mengetahui alternatif berbeda namun
belum menemukan kepuasan alternatif tersebut.
iv. Pencapaian identitas (identity achievement): status
individu yang telah mengalami krisis dan membuat
komitmen. Individu mengeksplorasi dan telah dengan
sadar memilih identitas tertentu.
Keempat fase/status ini tidak harus terjadi secara berurutan (Kail
dan Cavanaugh, 2010). Remaja tidak mencapai status pencapaian
identitas untuk semua aspek identitas di waktu yang bersamaan
(Dellas dalam Kroger dan Green, 1996). Beberapa orang dewasa
mungkin mencapai status pencapaian tentang pekerjaan sebelum
mencapai status agama dan politik.
Ketika pencapaian identitas telah tercapai, masa percobaan dan
eksplorasi telah selesai dan individu telah memiliki sense of self yang
diartikan dengan baik. Bagaimanapun, selama masa dewasa identitas
individu terkadang kembali merespon tantangan dan pengalaman
(43)
24
tahap moratorium untuk jangka waktu tertentu, dan akan kembali
memunculkan identitas yang baru. Faktanya, orang dewasa melalui
perubahan ini beberapa kali dan membuat siklus “M-A-M-A” yang terjadi ketika terjadi status penundaan (moratorium) dan pencapaian
(achievement) secara bergantian (Marcia, dalam Kail 2010).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan status identitas
merupakan cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas.
Terdapat 4 status identitas, yaitu: penyebaran identitas (identity
diffusion), pencabutan identitas (identity foreclosure), penundaan identitas (identity moratorium), dan pencapaian identitas (identity
achievement).
Tabel 1
Tabel Status Identitas
Penundaan identitas
Pencabutan identitas
Penyebaran identitas
Pencapaian identitas
Krisis Ada Tidak ada Tidak ada Ada
Komitmen Tidak ada Ada Tidak ada Ada
Dalam penelitian ini status identitas pencapaian identitas
(identity achievement) akan dipakai dan dilihat lebih jauh sebagai
variabel bebas. Marcia (dalam Semiun, 2013) mengembangkan
(44)
25
menggunakan metode wawancara terstruktur, yaitu Identity Status
Interivew. Selain itu terdapat juga OMEIS (Objective Measure of Ego Identity Status) yang merupakan kuesioner untuk mengukur status identitas. Dalam penelitian ini status identitas pencapaian identitas
(identity achievement) akan diukur dengan sebuah skala yang disusun
dan diturunkan dari aspek status identitas pencapaian identitas
(identity achievement).
5. Hubungan Status Identitas dengan Trait
Steinberg (2002), mengatakan terdapat pola hubungan antara
berbagai trait dengan status identitas. Pola ini sesuai dengan prediksi
model Erikson. Individu dengan status identitas pencapaian identitas
(identity achievement) lebih sehat secara psikologis dibanding
individu lain dilihat berdasarkan berbagai alat ukur. Individu dengan
status identitas pencapaian identitas (identity achievement) memiliki
skor tertinggi dalam hal motivasi untuk berprestasi, penalaran moral
(moral reasoning), intimasi dengan pasangan, kemampuan berefleksi,
dan kematangan karir. Individu yang telah mencapai identitas atau
sedang mengeksplorasi memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi,
merasa lebih bisa mengendalikan hidup mereka sendiri, lebih
cenderung melihat sekolah dan pekerjaan sebagai jalan tepat untuk
(45)
26
moral (Adams dan Marshall; Kroger; Serafini dan Adams, dalam Berk
2012).
Individu dengan status identitas penundaan identitas (identity
moratorium) memiliki skor tertinggi dalam hal kecemasan dan konflik karena masalah dengan atasan. Mereka juga paling tidak tegar dan
tidak otoriter (Steinberg, 2002). Remaja dalam status moratorium
mirip dengan individu yang telah mencapai identitas dalam hal
penggunaan gaya kognitif pengumpulan informasi
(information-gathering cognitive style) aktif ketika mengambil keputusan pribadi dan memecahkan masalah. Mereka mencari informasi yang relevan,
mengevaluasinya dengan hati-hati, merenungkan dengan kritis, dan
mengubah pandangan mereka (Berzonsky dan Kuk, dalam Berk
2012).
Individu dengan status identitas pencabutan identitas (identity
foreclosure) menunjukkan sifat paling otoriter, berprasangka, serta memiliki kebutuhan tertinggi untuk mendapatkan persetujuan sosial.
Mereka memiliki skor terendah dalam hal kemandirian dan memiliki
tingkat kedekatan dengan orang tua yang paling tinggi dibanding
dibanding individu dengan status identitas lainnya (Steinberg, 2002).
Individu dengan status identitas pencabutan identitas memperlihatkan
gaya kognitif dogmatis dan tidak fleksibel, melakukan internalisasi
nilai dan keyakinan orangtua dan orang lain tanpa secara sengaja
(46)
27
(Berzonsky dan Kuk, dalam Berk 2012). Kebanyakan mereka takut
ditolak oleh orang-orang yang menjadi sandaran mereka dalam
memperoleh kasih sayang dan penghargaan diri (Berk, 2012).
Individu dengan status identitas penyebaran identitas (identity
diffusion) adalah individu yang paling tidak matang dalam perkembangan identitas (Berk, 2012). Mereka menunjukkan skor
tertinggi dalam hal masalah psikologis dan interpersonal. Mereka
menarik diri dari kehidupan sosial dan menunjukkan tingkat intimasi
dengan pasangan yang paling rendah dibanding individu dengan status
identitas lainnya (Steinberg, 2002). Berzonsky dan Kuk menyatakan
Individu dengan status identitas ini menggunakan gaya kognitif
menghindar-terdifusi (diffuse-avoidant cognitive style) yang membuat
mereka lari dari keputusan dan masalah pribadi dan malah
membiarkan tekanan situasional saat ini mendikte reaksi mereka
(dalam Berk, 2012). Oleh karena mengambil sikap tidak peduli,
mereka hanya mengandalkan keberuntungan atau nasib dan cenderung
tidak memiliki pendirian.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
setiap status identitas memiliki hubungan yang berbeda dengan
beberapa trait terutama kesehatan psikologis, hubungan interpersonal,
(47)
28 B. Komitmen Organisasi
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi
sebagai kondisi psikologis yang mencirikan hubungan karyawan
dengan organisasi dan berdampak terhadap keputusan karyawan akan
keberlanjutan keanggotaan di dalam organisasi. Selain itu komitmen
organisasi didefinisikan sebagai perasaan dan sikap pekerja terhadap
pekerjaan dalam organisasi secara keseluruhan (Mowday, Steers, dan
Ungson, 1985). Staro (dalam Mowday, Steers, dan Ungson, 1985)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai proses yang terjadi
ketika seorang individu mengidentifikasi dirinya dengan organisasi,
yang tercermin dari penerimaan tujuan organisasi, keterlibatan dalam
pekerjaan organisasi, serta semangat dan pengabdian terhadap
organisasi.
Riggio (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
perasaan dan sikap yang dimiliki oleh pekerja terhadap organisasi
secara keseluruhan. O’Reilly dan Chatman (dalam Meyer dan Allen, 2007) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identifikasi dan
tingkat keterlibatan anggota dengan organisasi tertentu. Spector
(2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kelekatan yang
dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya. Cascio (1995) mengartikan
komitmen organisasi sebagai derajat identifikasi individu terhadap
(48)
29
dalam organisasi. Sheldon (dalam Rhoades, 2001) menyatakan
komitmen organisasi adalah sikap atau orientasi terhadap organisasi
yang mengaitkan identitas pribadi orang tersebut terhadap organisasi.
Berdasarkan definisi di atas, maka komitmen organisasi
didefinisikan sebagai kondisi psikologis termasuk perasaan, sikap, dan
identifikasi pribadi terhadap organisasi yang mencirikan hubungan
karyawan dengan organisasi dan berdampak terhadap keputusan
karyawan akan keberlanjutan keanggotaan dan partisipasi aktif di
dalam organisasi.
2. Aspek Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (1997) mengidentifikasi tiga tipe komitmen
organisasi, yaitu: affective commitment, continuance commitment, dan
normative commitment.
Affective commitment didefinisikan sebagai kelekatan emosional dengan organisasi, identifikasi terhadap organisasi, dan keterlibatan
karyawan dalam organisasi (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan
dengan affective commitment yang kuat akan bertahan dalam
organisasi karena mereka ingin untuk bertahan. Dalam affective
commitment karyawan mengidentifikasi organisasinya,
menginternalisasi nilai dan sikapnya, dan menaati tuntutan organisasi
(Schultz, 2010). Porter (dalam Schultz, 2010) lebih jauh membagi
(49)
30
tujuan dan nilai organisasi, (2) kemauan untuk memfokuskan usaha
dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya, dan (3)
keinginan untuk bertahan menjadi anggota organisasi.
Continuance commitment merupakan kemauan untuk bertahan dalam organisasi karena investasi yang dimiliki karyawan merupakan
investasi yang tidak akan diterima lagi ketika karyawan keluar dari
organisasi, seperti pangkat yang lebih tinggi, relasi dengan karyawan
lain, atau hal yang spesial dari organisasi. Karyawan yang terkait
dengan organisasi berdasarkan continuance commitment akan
bertahan karena mereka perlu untuk bertahan. Continuance
commitment ada berdasarkan hal-hal yang mewakili upah yang diterima saat meninggalkan organisasi (Landy dan Conte, 2004).
Tidak ada identifikasi personal dengan tujuan dan nilai organisasi.
Normative commitment merupakan perasaan harus atau wajib bertahan dalam organisasi (Riggio, 2008). Normative commitment
dapat dijelaskan oleh komitmen lainnya misalnya dalam hal
pernikahan, keluarga, agama. Oleh karena itu, ketika dibawa dalam
konteks organisasi dan tempat kerja, individu sering merasa seperti
memiliki tanggung jawab moral terhadap organisasi (Wiener, dalam
Schultz, 2010). Perasaan tersebut muncul ketika karyawan menerima
benefit seperti biaya pendidikan atau pelatihan (training) terkait kemampuan tertentu. Normative commitment terkait erat dengan
(50)
31
psikologis memuat keyakinan pihak-pihak yang tergabung dalam
hubungan pertukaran mengenai kewajiban timbal-balik mereka.
Luthans (dalam Tella, Ayeni, dan Popoola, 2007)
mengemukakan aspek-aspek komitmen organisasi, yaitu: keinginan
kuat untuk tetap menjadi anggota dalam organisasinya, kerelaan untuk
sungguh-sungguh berusaha demi kepentingan organisasi, dan
keyakinan yang kuat dan menerima nilai dan tujuan organisasi.
Berdasarkan aspek komitmen organisasi yang dijabarkan, maka
dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi memiliki 3 aspek,
yaitu: affective commitment, continuance commitment, dan normative
commitment.
3. Proses Pembentukan Komitmen Organisasi
Mowday, Porter dan Steers (dalam Oktorita dkk, 2001)
membagi tahap-tahap pembentukan komitmen perusahaan menjadi
tiga tahap, yaitu:
i. Komitmen awal atau initial commitment :
Pada penjelasan ini tidak menyebutkan pembagian waktu
dari setiap tahap, karena penggunaan waktu sebagai
pedoman bekerja sangat bersifat relatif. Proses
pembentukan komitmen awal terjadi sebagai akibat adanya
interaksi antara karakteristik personal dengan karakteristik
(51)
32
karyawan tentang pekerjaannya. Tingkat komitmen
karyawan terletak pada seberapa besar perbedaan antara
karakteristik personal dengan karakteristik pekerjaan.
Keseimbangan di antaranya merupakan prasyarat utama
untuk membentuk komitmen.
ii. Komitmen selama bekerja atau commitment during early
employment :
Merupakan proses kedua pembentukan komitmen terjadi
setelah karyawan mulai bekerja. Selama bekerja, karyawan
akan mempertimbangkan mengenai pekerjaan, pengawasan,
upah, kelompok kerja, dan keadaan organisasi, sehingga
akan menimbulkan perasaan bertanggung jawab pada diri
karyawan.
iii. Komitmen selama perjalanan karir atau commitment during late
career :
Proses pembentukan komitmen tahap ketiga terjadi dalam
waktu yang relatif panjang sejak awal hingga menjelang
akhir karir seseorang. Selama pengabdian pelaksanaan
pekerjaan, menimbulkan banyak peristiwa, misalnya:
investasi yang semakin besar, keterlibatan sosial semakin
luas, mobilitas pekerjaan yang tinggi, dan adanya banyak
pengorbanan. Peristiwa-peristiwa ini timbul bersamaan
(52)
33
alasan bagi karyawan untuk tetap tinggal bersama
perusahaan. Keluar dari pekerjaan akan sangat merugikan
karyawan.
Berdasarkan proses pembentukan komitmen organisasi yang
dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan
komitmen organisasi memiliki 3 tahapan, yaitu: komitmen awal atau
initial commitment, komitmen selama bekerja atau commitment during early employment, dan komitmen selama perjalanan karir atau
commitment during late career.
4. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Steers dan Porter (dalam Oktorita dkk, 2001) menjelaskan empat
faktor yang dapat memengaruhi komitmen organisasi, yaitu:
i. Karakteristik personal:
Usia, masa jabatan, motivasi berprestasi, jenis kelamin,
ras, dan faktor kepribadian. Faktor personal Karyawan
yang lebih tua yang telah bekerja di suatu perusahaan
selama lebih dari 2 tahun dan memiliki kebutuhan yang
tinggi untuk dicapai menunjukkan tingkat komitmen
organisasi yang lebih tinggi. Sebuah meta-analisa terhadap
3.630 karyawan pada 27 penelitian yang berbeda
(53)
34
perusahaan, semakin kuat hubungan antara komitmen
organisasi dan performansi kerja (Schultz,2010).
ii. Karakteristik pekerjaan:
Kejelasan serta kesesuaian peran, umpan balik (feedback),
tantangan pekerjaan, otonomi, kesempatan berinteraksi,
dan dimensi inti pekerjaan. (Hải, 2012) iii. Karakteristik struktural:
Derajat formalisasi, ketergantungan fungsional,
desentralisasi, tingkat partisipasi dalam pengambilan
keputusan, dan fungsi kontrol dalam perusahaan (Taheri
dkk., 2013).
iv. Pengalaman kerja:
Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi
yang penting dan mempengaruhi kelekatan psikologis
karyawan terhadap perusahaan. Schultz (2010)
menyebutkan bahwa komitmen organisasi terkait erat
dengan faktor personal dan organisasi.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
yang dijabarkan, maka dapat disimpulkan bahwa empat faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu: Karakteristik personal,
(54)
35
5. Dampak Komitmen Organisasi
McShane (2005) mengatakan komitmen organisasi dapat
menjadi keuntungan kompetitif yang signifikan bagi perusahaan.
Karyawan dengan tingkat affective commitment yang tinggi lebih kecil
kemungkinannya untuk meninggalkan organisasi dan absen dalam
pekerjaan. Komitmen organisasi juga meningkatkan kepuasan
konsumen karena karyawan dengan masa abdi yang lama dalam
organisasi memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait praktek kerja,
dan klien senang berbisnis dengan karyawan yang sama. Karyawan
dengan tingkat affective commitment yang tinggi juga memiliki tingkat
motivasi kerja, OCB (Organizational Citizenzhip Behavior), serta
performansi kerja yang lebih tinggi.
Karyawan dapat juga memiliki tingkat affective commitment
yang terlalu tinggi. Di satu sisi komitmen organisasi dapat menekan
tingkat turnover. Turnover akan membatasi kesempatan organisasi
untuk merekrut karyawan baru dengan pengetahuan dan pemikiran
yang baru. Komitmen organisasi juga mencipatkan konformitas yang
dapat mengahalangi perkembangan kreatifitas dan perilaku etis.
Banyak perusahaan mengikat karyawannya dengan hal-hal
finansial seperti pinjaman bunga ringan, stock options, atau bonus
ganda. Cara tersebut merupakan “borgol emas” yang biasanya mampu
menekan turnover, namun juga meningkatkan continuance
(55)
36
karyawan dengan tingkat continuance commitment yang tinggi
memiliki performa kerja yang lebih rendah dan sangat sedikit terlibat
dalam OCB (Organizational Citizenzhip Behavior). karyawan dengan
tingkat continuance commitment yang tinggi cenderung mengajukan
keluhan resmi, sedangkan karyawan dengan tingkat affective
commitment yang tinggi akan menggunakan cara penyelesaian masalah yang lebih konstruktif ketika hubungan karyawan dan
perusahaan sedang tidak baik.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasi memiliki dampak positif dan negatif bagi
(56)
37
C. Hubungan Status Identitas Identity Achievement dengan Komitmen Organisasi
Erikson (dalam Hergenhahn dan Olson, 2007) dan Marcia (1993)
mendefinisikan identitas diri sebagai kemampuan individu yang terus
berkembang untuk memahami (mengidentifikasi) serta mengevaluasi diri
sendiri dan orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan dan
kelemahan, gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal yang akan
dilakukan.
Krisis (eksplorasi) dan komitmen merupakan 2 faktor penting yang
menentukan pencapaian identitas seseorang (Marcia, dalam Santrock,
2003). Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk
menggali dan mencari informasi atau alternatif yang sebanyak-banyaknya
dan mempunyai hubungan dengan kepentingan di masa depan. Berbagai
informasi dan alternatif tersebut selanjutnya dibandingkan antara satu
dengan yang lain, selanjutnya akan dipilih alternatif yang dipandang
paling memberikan keuntungan dan jaminan masa depan yang lebih baik.
Komitmen didefinisikan sebagai sesuatu sikap yang cenderung
menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih
dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depan. Komitmen
adalah kondisi psikologis yang mengindikasikan adanya pemberian
perhatian secara serius terhadap alternatif pilihan kriteria yang digunakan
untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam rangka proses
(57)
38
seseorang dianggap telah mencapai identitasnya (Marcia, dalam Santrock,
2003).
Tingkat krisis dan komitmen yang dialami individu akan
menggolongkan individu dalam salah satu dari empat status identitas
(Marcia, dalam Santrock, 2003). Setiap status identitas memiliki hubungan
yang berbeda dengan beberapa trait terutama kesehatan psikologis,
hubungan interpersonal, dan juga karir. Banyak penelitian berusaha
menemukan hubungan identitas dengan kesehatan psikologis maupun
hubungan interpersonal. Beberapa tahun terakhir ini masalah karir atau
pekerjaan juga banyak diteliti hubungannya dengan identitas (Steinberg,
2002). Penelitian tentang identitas tidak lagi hanya terkait hal-hal dalam
psikologi perkembangan, seperti kesehatan psikologis atau hubungan
interpersonal. Kini penelitian tentang identitas juga mulai terkait dengan
psikologi industri dan masalah karir atau pekerjaan dibahas juga.
Dalam rangka membentuk identitas, terdapat tiga masalah yang
harus dipecahkan sebelum individu berhasil membentuk identitas. Ketiga
masalah tersebut adalah menemukan identitas seksual, ideologis, dan
pekerjaan (Marcia, dalam Santrock, 2003). Tahun 1960-1970an
kebanyakan peneliti tentang identitas menemukan peersoalan-persoalan
pekerjaan lebih sentral bagi identitas kaum laki-laki dan
persoalan-persoalan afiliasi lebih sentral bagi identitas kaum perempuan (LaVoie,
dalam Santrock 2002). Perubahan terjadi pada tahun-tahun berikutnya.
(58)
39
(Waterman, dalam Santrock 2002). Masalah pekerjaan/karir menjadi
semakin dianggap penting oleh remaja, baik laki-laki maupun perempuan,
dalam menemukan identitasnya. Hal ini menarik untuk diteliti sebagai
salah satu masalah yang harus dipecahkan dalam rangka membentuk
identitas.
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), manusia berkembang
dalam tahap psikososial yang terdiri dari delapan tahap perkembangan.
Setiap tahap terdiri dari tugas perkembangan yang unik yang
menghadapkan seseorang pada suatu krisis yang harus dipecahkan.
Individu yang berusia 18 tahun merupakan individu yang berada pada fase
perkembangan remaja. Pada masa ini, individu dihadapkan pada
penemuan diri, tentang diri mereka sebenarnya, dan tujuan hidup mereka.
Individu dihadapkan pada banyak peran baru dan status kedewasaan,
pekerjaan, dan cinta. Erikson (dalam Santrock, 2007) mengatakan jika
individu menjelajahi peran tersebut dengan cara baik dan sampai pada
jalan positif untuk diikuti dalam hidup, maka identitas positif akan
tercapai. Jika suatu identitas dipaksakan pada individu oleh orangtuanya,
jika individu tidak cukup menjelajahi banyak peran, dan jika masa depan
yang positif belum jelas, maka terjadilah kebingungan identitas. Hal ini
diperkuat pula oleh Marcia bahwa krisis (eksplorasi) dan komitmen
merupakan 2 faktor penting yang menentukan pencapaian identitas
(59)
40
Identitas merupakan kemampuan individu yang terus berkembang
untuk memahami (mengidentifikasi) serta mengevaluasi diri sendiri dan
orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan dan kelemahan,
gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal yang akan dilakukan.
Dalam ranah psikologi industri, kemampuan mengidentifikasi diri juga
penting karena sebagai anggota organisasi, individu akan mengidentifikasi
dirinya dan juga perusahaannya (Cascio, 1995). Hal inilah yang disebut
dengan komitmen organisasi, yaitu kondisi psikologis termasuk perasaan,
sikap, dan identifikasi pribadi terhadap organisasi yang mencirikan
hubungan karyawan dengan organisasi.
Meyer dan Allen (1997) mengidentifikasi tiga tipe komitmen
organisasi, yaitu: Affective commitment, Continuance commitment, dan
Normative commitment. Affective commitment didefinisikan sebagai kelekatan emosional dengan organisasi, identifikasi terhadap organisasi,
dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan dengan affective
commitment yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena mereka ingin untuk bertahan. Dalam affective commitment karyawan
mengidentifikasi organisasinya, menginternalisasi nilai dan sikapnya, dan
menaati tuntutan organisasi (Schultz, 2010).
Continuance commitment merupakan kemauan untuk bertahan dalam organisasi karena investasi yang dimiliki karyawan merupakan
investasi yang tidak akan diterima lagi ketika karyawan keluar dari
(1)
128
PETUNJUK PENGERJAAN SKALA A
Berikut ini terdapat pernyataan-pernyataan yang terkait dengan apa yang pernah atau sedang Anda rasakan dan alami. Anda diminta untuk memberikan persetujuan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Caranya dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom jawaban yang paling mewakili perasaan dan pengalaman Anda.
Terdapat empat pilihan jawaban, sebagai berikut: Kolom SS, jika Anda sangat setuju dengan pernyataan Kolom S, jika Anda setuju dengan pernyataan
Kolom TS, jika Anda tidak setuju dengan pernyataan
Kolom STS, jika Anda sangat tidak setuju dengan pernyataan
Masing-masing orang merasakan dan mengalami hal yang berbeda-beda. Oleh karena itu jawablah dengan sejujur-jujurnya karena tidak ada jawaban benar atau salah dalam skala ini.
(2)
129
No PERNYATAAN STS TS S SS
1 Kelompok masyarakat saya telah menetapkan prinsip politik tertentu, dan saya tinggal mengikuti saja.
2
Situasi politik di negara ini tidak stabil dan saya memilih untuk tidak ikut campur di dalamnya sampai saya tahu betul prinsip yang sesuai dengan diri saya.
3
Saya mengenali banyak jenis pekerjaan yang dapat saya lakukan dan masih terbuka terhadap berbagai jenis pekerjaan baru yang sesuai untuk saya.
4 Saya tidak pernah benar-benar terlibat dalam hal politik dan tidak tahu prinsip politik yang harus saya anut. 5
Agama adalah hal yang membingungkan untuk saya dan saya akan terus mengubah pandangan saya tentang hal yang benar dan salah.
6 Memiliki banyak sahabat membuat saya yakin karakteristik sahabat terbaik bagi saya.
7 Memikirkan hal yang menjadi minat utama saya hanya akan membuang-buang waktu saja.
8
Setiap agama memiliki ajaran yang berbeda dan perlu banyak waktu untuk saya memahami ajaran agama saya.
9
Masyarakat yang berasal dari suku yang sama dengan saya mengatakan bahwa nilai universal budaya kami adalah yang paling luhur.
10
Banyak berbincang dengan teman yang telah menikah membuat saya mengetahui hal yang menjadi tanggung jawab pria dan wanita dalam keluarga.
11
Tidak penting untuk saya memikirkan pekerjaan yang ingin saya tekuni, lebih baik mengerjakan pekerjaan yang bisa saya kerjakan sekarang.
12
Saya telah mencoba berbagai aktivitas yang dapat saya lakukan di waktu luang, dan sekarang saya memiliki aktivitas favorit untuk mengisi waktu luang.
13 Saya mempertimbangkan banyak hal sebelum berpartisipasi dalam Pemilu
14
Saya tidak pernah mencari tahu alasan saya mengerjakan pekerjaan ini selain hanya mengikuti saran teman saya yang saya anggap baik.
15
Saya mengetahui perbedaan setiap etnis namun saya belum mengetahui apa yang dapat dibanggakan dari kelompok etnis saya.
16 Saya hanya akan bersahabat dengan orang yang dianggap baik oleh masyarakat.
17
Ketika seseorang membicarakan agama, saya tidak menemukan hal yang menarik dan saya merasa tidak perlu membicarakannya.
(3)
130
PERNYATAAN STS TS S SS
18
Keluarga besar saya telah menetapkan tanggung jawab laki-laki/perempuan dalam keluarga, dan saya tidak perlu mengkajinya lagi.
19
Tanpa perlu mengeksplorasi minat yang saya miliki, saya dapat dengan mudah menentukan jurusan di universitas.
20 Saya tidak peduli dengan latar belakang rekan kerja yang bergaul dengan saya.
21
Saya mencari tahu peran suami dan istri dalam keluarga namun saya masih bingung apa yang sebenarnya harus saya lakukan.
22 Setiap agama adalah baik tanpa saya harus membuktikan dengan cara memahami ajaran setiap agama.
23
Saya sering tergabung dalam organisasi namun masih belum tahu pasti peran apa yang paling tepat untuk saya lakukan dalam organisasi.
24 Membicarakan budaya hanya membuang-buang waktu, maka saya memilih untuk melanjutkan pekerjaan saya. 25
Sebelum memutuskan untuk menekuni pekerjaan saya sekarang, saya mencari tahu banyak informasi tentang berbagai jenis pekerjaan lain.
26
Saya menyadari bahwa setiap individu unik namun saya masih mencari tahu karakteristik yang terbaik untuk saya jadikan sahabat.
27
Saya tidak tertarik dengan pembicaraan teman saya terkait peran suami dan istri dan itu bukan masalah untuk saya.
28
Dengan mencari tahu dan memahami beragam budaya etnis lain, saya dapat mengambil sisi positif setiap budaya.
(4)
131
PETUNJUK PENGERJAAN SKALA B
Berikut ini terdapat pernyataan-pernyataan yang terkait dengan apa yang Anda rasakan dan alami dalam lingkungan pekerjaan saat ini. Anda diminta untuk memberikan persetujuan teerhadap pernyataan-pernyataan tersebut dengan cara memberikan tanda centang
(√) pada kolom jawaban yang paling mewakili perasaan dan pengalaman Anda. Terdapat empat pilihan jawaban, sebagai berikut:
Kolom SS, jika Anda sangat setuju dengan pernyataan Kolom S, jika Anda setuju dengan pernyataan
Kolom TS, jika Anda tidak setuju dengan pernyataan
Kolom STS, jika Anda sangat tidak setuju dengan pernyataan
Masing-masing orang merasakan dan mengalami hal yang berbeda-beda. Oleh karena itu jawablah dengan sejujur-jujurnya karena tidak ada jawaban benar atau salah dalam skala ini.
(5)
132
No. PERNYATAAN STS TS S SS
1 Perusahaan ini adalah satu-satunya tempat saya bekerja dan memampukan saya memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2 Saya yakin bahwa saya harus memenuhi tuntutan perusahaan untuk terus menjadi anggota karyawan perusahaan ini.
3 Bagi saya, seorang karyawan memiliki kewajiban untuk bertahan dalam perusahaannya.
4 Saya merasa bahwa masalah dalam perusahaan ini adalah masalah saya juga.
5 Saya tidak akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar saya meskipun saya tidak berada di perusahaan ini.
6 Peluang promosi saya lebih terbuka ketika saya berada di perusahaan ini
7 Saya khawatir tidak dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman di perusahaan ini ketika saya meninggalkan perusahaan ini.
8 Saya pikir tidak ada salahnya seseorang meninggalkan perusahaan ini untuk kepentingan karirnya.
9 Saya ingin melakukan pekerjaan apapun untuk tetap berada di perusahaan ini
10 Saya merasa tidak memiliki kewajiban untuk bertahan dalam perusahaan ini.
11 Kewajiban dan tanggung jawab saya sebagai karyawan di perusahaan ini hanya tertuang dalam kontrak kerja yang tertulis
12 Daya tarik utama perusahaan ini bukan jenjang karir yang baik.
13 Terus menjadi karyawan di perusahaan ini adalah keinginan terbesar saya.
14 Saya menganggap perusahaan ini sekadar sebagai tempat kerja saja.
15 Saya akan tetap berada di perusahaan ini meskipun tujuan perusahaan tidak sesuai dengan tujuan hidup saya.
16 Saya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup saya jika meninggalkan organisasi ini.
17 Saya ingin bertahan di perusahaan ini karena tidak ada pilihan lain di luar sana.
18 Meninggalkan perusahaan ini akan membuat saya kehilangan status sosial di masyarakat.
19 Bagi saya daya tarik utama perusahaan ini adalah training yang sering diberikan bagi karyawannya.
(6)
133
No. PERNYATAAN STS TS S SS
20 Perusahaan ini hendaknya memberikan toleransi atas pelanggaran ringan yang dilakukan karyawan.
21 Jika saya meninggalkan perusahaan ini saya akan merasa bersalah kepada atasan dan rekan kerja saya.
22 Berpindah ke perusahaan lain bisa menjadi cara saya menemukan tantangan baru.
23 Saya akan tetap diterima oleh masyarakat meskipun saya berpindah-pindah tempat kerja.
24 Meninggalkan perusahaan ini adalah pilihan terbaik karena tujuan hidup saya tidak sesuai dengan tujuan perusahaan. 25 Kondisi finansial saya akan tetap stabil meskipun saya tidak
lagi berada di perusahaan ini.
26 Saya ingin fokus pada masalah saya lalu setelah itu membantu memikirkan masalah perusahaan ini.
27 Saya akan dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru meskipun saya bergabung dengan perusahaan lain. 28 Lebih baik saya bertahan dalam perusahaan daripada
masyarakat memberikan cap “kutu loncat” pada saya.
29 Bagi saya waktu di kantor untuk bekerja hanyalah yang sesuai dengan aturan jam kerja perusahaan.
30 Keputusan seseorang meninggalkan tempat kerjanya adalah keputusan pribadi, bukan masyarakat.