PEMBERIAN L-ARGININE ORAL MENCEGAH PENURUNAN NITRIC OXIDE (NO) DAN JUMLAH ENDOTEL AORTA PADA TIKUS (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIPAPAR ASAP ROKOK.

(1)

TESIS

PEMBERIAN

L-ARGININE

ORAL

MENCEGAH

PENURUNAN

NITRIC OXIDE

(NO) DAN JUMLAH

ENDOTEL AORTA PADA TIKUS (

Rattus norvegicus

)

JANTAN YANG DIPAPAR ASAP ROKOK

JURIAH

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

PEMBERIAN

L-ARGININE

ORAL

MENCEGAH

PENURUNAN

NITRIC OXIDE

(NO) DAN JUMLAH

ENDOTEL AORTA PADA TIKUS (

Rattus norvegicus

)

JANTAN YANG DIPAPAR ASAP ROKOK

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

JURIAH

1490761027

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 Juli 2016

Pembimbing I,

Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK NIP. 194606191976021001

Pembimbing II,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK NIP. 195805211985031002

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001


(4)

iv

PENETAPAN PENGUJI

Tesis ini telah diuji pada Tanggal 20 Juli 2016

Penguji tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 841//UN14.4/HK/2016, Tanggal 7 Juni 2016

Ketua : Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK

Sekretaris : Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, SpGK Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS

2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And 3. Dr. dr. Desak MadeWihandani, M. Kes


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : dr. Juriah NIM : 1490761027

PROGRAM STUDI : ILMU BIOMEDIK

JUDUL TESIS : PEMBERIAN L-ARGININE ORAL MENCEGAH PENURUNAN NITRIC OXIDE (NO) DAN JUMLAH

ENDOTEL AORTA PADA TIKUS (Rattus

norvegicus) JANTAN YANG DIPAPAR ASAP ROKOK

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Mei 2016


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, karunia serta petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

yang berjudul “Pemberian L-Arginine Oral Mencegah Penurunan Nitric oxide

(NO) dan jumlah Endotel Aorta pada Tikus (ratus norvegicus) Jantan yang di

Papar Asap Rokok” dalam rangka memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik, kekhususan Anti Aging Medicine, di Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali-Indonesia.

Selama penelitian ini, penulis mendapat banyak pengalaman berharga yang memperkaya wawasan, serta sebagai proses pembelajaran hidup penulis baik dari segi ilmiah maupun aspek nilai sosial. Semua ini tidak lepas dari peran serta orang-orang disekeliling penulis yang senantiasa mendukung dengan tulus dan ikhlas. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat, penghargaan, dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK, selaku Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan kepada Penulis selama penyusunan tesis ini mulai dari awal hingga selesai.

2. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, SpGK selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan kepada Penulis selama penyusunan tesis ini mulai dari awal hingga selesai.

3. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS, selaku Penguji I, yang telah memberikan masukan, saran, serta koreksi yang sangat berharga


(7)

vii

dalam penyusunan tesis ini. Serta selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Biomedik, Universitas Udayana-Bali.

4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And, selaku Penguji II, yang telah memberikan masukan, saran, serta koreksi yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.

5. DR.dr. Desak Made Wihandani, M.Kes selaku Penguji III, yang telah memberikan masukan, saran, serta koreksi yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.

6. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana, Bali.

7. Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menjadi mahasiswi pada Program Magister Ilmu Biomedik, Universitas Udayana, Bali.

8. I Gede Wiranatha, S.Si, selaku staf di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana-Bali. Yang telah banyak membantu secara teknis proses penelitian ini.

9. Ayahanda tercinta (Alm. H. Jamhari) dan Ibunda tercinta (Hj. Nawati), atas iringan doa, dukungan, perhatian dan kasih sayang yang tulus dan tidak terhingga kepada Penulis, sehingga Penulis mampu menyelesaikan tesis ini.


(8)

viii

10.Suami dan Anak-anakku tersayang (Teddy Junaidi Sofyan, Naila putri, Raffasyah), atas doa, dukungan dan pengertian selama Penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.

11.Seluruh Dosen Ilmu Biomedik Pasca Sarjana Universitas Udayana, Bali. Yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat.

12.Para staf Ilmu Biomedik Pasca Sarjana Universitas Udayana, Bali. Yang telah memberikan informasi dan bantuan kepada Penulis mulai dari awal sampai akhir menuntut ilmu di Bagian Biomedik.

13.Teman-teman angkatan 9, tahun 2014 Anti Aging Medicine, terutama dr.Herti E. Silalahi, MARS. PhD, dr. Fransisca Mochtar, SpOG., dr syska martala dewi, dr. Widya chistine manus, dr. Iftitah yang telah memberikan semangat selama penyusunan tesis ini berlangsung.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata Penulis ucapkan, Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Denpasar, Mei 2016

Penulis, Juriah


(9)

ix

ABSTRAK

PEMBERIAN L-ARGININE MENCEGAH PENURUNAN NITRIC OXIDE (NO) DAN JUMLAH ENDOTEL AORTA PADA TIKUS (Rattus

norvegicus) JANTAN YANG DIPAPAR ASAP ROKOK

Perilaku merokok merupakan salah satu pola hidup yang tidak sehat yang hingga saat ini masih merupakan perilaku yang umum dapat diamati baik pada orang dewasa maupun remaja. Merokok dapat menurunkan aktivitas NO secara langsung dan tak langsung, dan asap rokok mengandung senyawa kimia yang menyebabkan kerusakan endotel. Nitric oxide dibentuk dari oksidasi L-Arginin

bersama kofaktor NADPH dan oksigen dengan katalisis enzim NO synthase

(NOS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan pemberian L-Arginin dapat mencegah penurunan Nitric Oxide (NO) dan kerusakan endotelium pada tikus jantan yang dipapar asap rokok.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan

completely randomized post test only control group design yang menggunakan 36 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, dewasa (berumur 2,5-3 bulan) sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol P0 (paparan asap rokok + aquabides) dan kelompok perlakuan P1 (paparan asap rokok + L-Arginine dosis 9 mmol/kgBB). Hasil penelitian ini kemudian dianalisis dan disajikan menggunakan analisis deskriptif, normalitas data, homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide kelompok yang diberi aquades (P0) adalah 882,46±119,47 µM, berbeda Bermakna jika dibandingkan dengan kelompok yang diberi L-Arginine dosis 9 mmol/kgBB (P1) yaitu 1233,03±128,02 µM (p<0,01). Rerata jumlah sel endotel P0 adalah 3,3889±1,57675 sel dan berbeda nyata dengan kelompok P1 adalah 8,8506±1,16810 sel (p<0,01).

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian L-Arginin dapat mencegah penurunan Nitric Oxide (NO) dan mencegah penurunan jumlah endotel aorta pada tikus jantan yang dipapar asap rokok.


(10)

x

ABSTRACT

L-ARGININE PREVENTED THE DECREASE OF NITRIC OXIDE (NO)

AND THE NUMBER OF ENDOTELIAL CELL AORTA DAMAGE IN CIGARETTE SMOKE-INDUCED MALE WISTAR RATS (Rattus

norvegicus)

Smoking is an unhealthy lifestyle which is still a common behavior observed in both adults and adolescents. Smoking can decrease the activity of NO directly and indirectly. Besides cigarette smoke contains chemical compounds that cause endothelial damage. Nitric oxide is formed from the oxidation of L-Arginine along cofactor NADPH and oxygen with enzyme catalysis NO synthase (NOS). The purpose of this study is to prove the administration of L-Arginine to prevent the decline of Nitric Oxide (NO) and endothelial damage in male rats exposed by cigarette smoke.

This study was an experimental research using a completely randomized post-test only control group design with 36 male albino rats (Rattus norvegicus) as a sample, adult (aged 2.5-3 months), which is divided into two (2) groups respectively amounted to 18 mice, the negative control group P0 was given cigarette smoke exposure and aquabidest, while the treatment group called treatment group P1 was given cigarette smoke exposure and L-Arginine dose of 9 mmol/kg body weight. The results of this research were then analyzed and presented using descriptive analysis, data normality, homogeneity of data, and comparability test to determine effects of treatment.

The results showed average levels of Nitric Oxide in kontrol group given

distilled water (P0) was 882.46 ± 119.47 μM significantly lower when compared

with the group given L-Arginine dose of 9 mmol / kg body weight (P1) which was

1233.03 ± 128 , 02 μM (p <0.01). The mean number of endothelial cells was

3.3889 ± 1.57675 cells in P0 group and significantly lower compared to the group P1 which was 8.8506 ± 1.16810 cells (p <0.01).

Based on these results it can be concluded that the administration of L-Arginine prevented the decrease of Nitric Oxide (NO) and the number of endotelial cell aorta damage in male rats exposed by cigarette smoke.


(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 10

2.1 Proses Penuaan ... 10

2.2 Radikal Bebas ... 15

2.2.1 Tahapan terbentuknya Radikal Bebas ... 17

2.2.2 Peranan radikal bebas dalam proses penuaan ... 18

2.3 Endotelium ... 20


(12)

xii

2.4.1 Peran NO dalam pembuluh darah ... 24

2.4.2 Patologi kelainan pembuluh darah diperantarai NO akibat stress oksidatif yang dipicu radikal bebas ... 27

2.5 Rokok ... 29

2.5.1 Definisi rokok ... 29

2.5.2 Radikal bebas dalam rokok ... 30

2.5.3 Hubungan antara rokok dan kadar NO ... 37

2.6 L-Arginine ... 40

2.7 Hewan Coba Tikus ... ... 43

2.7.1 Penggunaan tikus ... 43

2.7.2 Pemberian makanan dan minuman ... ... 44

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 46

3.1 Kerangka Berpikir ... 46

3.2 Kerangka Konsep ... 48

3.3 Hipotesis Penelitian ... 49

BAB IV METODE PENELITIAN ... 50

4.1 Rancangan Penelitian ... 50

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

4.3 Populasi dan Sampel ... 51

4.3.1 Populasi ... 51

4.3.2 Kriteria sampel ... 51

4.3.3 Besar sampel ... 52

4.3.4 Teknik pengambilan sampel ... 53

4.4 Variabel ... 53


(13)

xiii

4.4.2 Definisi operasional variabel ... 54

4.5 Bahan Penelitian dan Hewan Coba ... 55

4.5.1 Bahan penelitian... 55

4.5.2 Hewan percobaan ... ... 55

4.6 Instrumen Penelitian ... 56

4.7 Prosedur Penelitian ... 56

4.7.1. Pemilihan dan pemeliharaan hewan uji... ... 56

4.7.2 Prosedur perlakuan ... ... 57

4.7.3. Prosedur pengambilan darah .. ... 57

4.7.4. Prosedur pemeriksaan kadar NO.. ... 58

4.8 Analisis Data ... ... 59

4.9 Alur Penelitian ... ... 61

BAB V HASIL PENELITIAN ... 62

5.1 Analisis Deskriptif ... 62

5.2 Uji Normalitas Data ... 63

5.3 Uji Homogenitas Data antar Kelompok ... 64

5.4 Uji Komparabilitas ... 65

5.4.1 Uji Komparabilitas Kadar Nitric Oxide ... 65

5.4.2 Uji Komparabilitas Jumlah Sel Endotel ... 66

5.4.2 Hasil Histologi Endotel Aorta ... 67

BAB VI PEMBAHASAN ... 68

6.1 Subyek Penelitian ... 68

6.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ... 68

6.3 Paparan Asap Rokok Menurunkan Kadar Nitric Oxide dan Jumlah Sel Endotel ... 69


(14)

xiv

6.4 Pengaruh Pemberian L-Arginin Terhadap Kadar Nitric

Oxide dan Jumlah Sel Endotel ... 72

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 75

7.1 Simpulan ... 75

7.2 Saran ... 75


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Molekul Nitric oxide (NO) ... 22

2.2. Skema Proses Sintesis Nitric oxide (NO) ... 23

2.3. Mekanisme Vasodilatasi NO di dalam Pembuluh Darah ... 26

2.4. Interaksi antara Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitric Oxide ... 38

2.5. Struktur Kimia L-Arginine ... 40

2.6. Metabolisme L-Arginine ... 41

3.1. Konsep Penelitian... 48

4.1. Rancangan Penelitian ... 50

4.2. Hubungan antar variabel ... ... 54

4.3. Alur Penelitian ... 61

5.1 Aquabides + Rokok ... 67


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Waktu Paruh NO dan Produknya ... 24

2.2 Data Biologi Tikus…….. ... 44

5.1 Hasil Analisis Deskriptif Data Nitric Oxide ... 62

5.2 Hasil Analisis Deskriptif Data Jumlah Sel Endotel ... 63

5.3 Hasil Uji Normalitas Data Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok ... 63

5.4 Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Sel Endotel Antar Kelompok ... 64

5.5 Hasil Uji Homogenitas Variabel Penelitian Antar Kelompok ... 64

5.6 Rerata Kadar Nitric Oxide antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan ... 65

5.7 Rerata Kadar Nitric Oxide antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan ... 66


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

ADMA : Asymmetric dimethyl arginine

cGMP : Cyclic Guanosine Mosophosphate

cNOS : Constitutive NO synthase

DHEA : dehydroepidanrosterone

eNOS : Endothelial NO synthase

FSH : Follicle Stimulating Hormone

GH : Growth Hormone

HB4 : Tetrahydrobiopterin

IGF-1 : Insulin Growth Factor-1 iNOS : Inducible NO synthase

LH : Luteinizing Hormone

LNMA : L-mono methyl arginine

MDA : Malondyaldehide

NANC : Nnonadrenergic-Noncholinergic

nNOS : Neuronal NO synthase

NO : Nitric Oxide

ROS : Reactive Oxygen Species

sGC : Soluble guanylate cyclase


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu Anti-Aging Medicine telah membawa harapan baru untuk memperpanjang umur manusia dengan memperlambat proses penuaan dan menjaga fungsi tubuh tetap optimal. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh para dokter klinisi maupun peneliti untuk mengidentifikasi dan mencegah penyebab-penyebab penuaan. Diharapkan proses penuaan dapat dicegah, diperlambat atau bahkan dihentikan sama sekali dengan upaya-upaya mencegah faktor penyebab terjadinya penuaan tersebut, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.

Salah satu cara untuk mencegah penuaan ialah dengan menjalankan pola hidup sehat, tetapi fakta di masyarakat menunjukkan bahwa 64% penyebab kematian disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat (Sharkey, 2011). Perilaku merokok merupakan salah satu pola hidup yang tidak sehat yang hingga saat ini masih merupakan perilaku yang umum dapat diamati baik pada orang dewasa maupun remaja. Bahkan belakangan ini merokok sudah menjangkau anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada tahun 2007, prevalensi merokok usia 15 tahun ke atas adalah sebesar 34,2% yakni lebih dari 50 juta orang dewasa, meningkat dari 31,5 % pada tahun 2001. Pada tahun 2002, masyarakat Indonesia mengkonsumsi 182 milyar batang rokok, menduduki peringkat ke 5 konsumsi rokok terbesar di dunia. Selain itu, berdasarkan jumlah


(19)

perokok, Indonesia adalah negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India (WHO, 2008).

Asap rokok mengandung berbagai jenis bahan kimia, sebagian besar diantaranya bersifat toksik seperti nikotin, karbonmonoksida dan tar (Martin, 2008). Asap rokok ini mengandung lebih dari 1017 radikal bebas per gram dan lebih dari 1015 radikal bebas di setiap hisapannya (Valavanidis dkk., 2009). Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok antara lain aldehida, epoxida, peroxida, radikal peroksil, dan radikal lain dengan kandungan karbon dalam fase gas (Arief, 2007). Selain itu rokok juga mengandung bahan-bahan yang bersifat karsinogen dan mutagen seperti polonium, benzo-α-pyrene, dan dimethyl

benzo(α)anthracene. Senyawa toksik dalam rokok juga akan berinterkasi dengan oksigen membentuk gas-gas beracun seperti NOx, CO dan SOx (Bindar, 2000).

Teori radikal bebas mengenai proses penuaan menjelaskan bahwa radikal bebas merusak sel-sel tubuh manusia (Goldman dan Klatz, 2007). Radikal bebas adalah senyawa atau atom yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya sehingga bersifat amat reaktif terhadap sel atau komponen sel sekitarnya. Pembentukan radikal bebas berlangsung terus menerus di dalam sel sebagai konsekuensi dari reaksi enzimatik dan non enzimatik (Droge, 2002). Selain itu radikal bebas dapat pula berasal dari luar tubuh seperti sinar UVB, asap kendaraan dan asap rokok. Bila produk radikal bebas melebihi kemampuan adaptasi dari enzim antioksidan, maka terjadi suatu keadaan yang dikenal dengan stres oksidatif (oxidative stress).


(20)

Dengan menghirup asap rokok yang merupakan sumber radikal bebas, akan terjadi kerusakan oksidatif yang berujung pada kerusakan berbagai makromolekul dalam sel yang berperan dalam pathogenesis penyakit degeneratif (Winarsi, 2007). Reaksi peroksidasi lipid yang dipicu oleh radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan membran sel yang mengakibatkan munculnya berbagai kondisi patologis (Woolf dkk., 2005). Akibat akhir dari reaksi peroksidasi lipid tersebut yaitu terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel, antara lain berbagai aldehida seperti malondialdehid dan bermacam-macam hidrokarbon (Ayala dkk., 2014).

Salah satu radikal bebas dalam asap rokok adalah Reactive Oxygen Species

(ROS). ROS merupakan salah satu radikal bebas yang paling umum ditemukan dalam tubuh manusia. ROS sebagian berbentuk radikal seperti radikal hidroksil (۰OH), radikal peroksil (۰OOH) dan ion superoksida (O2-). Di antara senyawa

radikal yang paling reaktif adalah senyawa hidroksil, sehingga paling berbahaya. Tingginya ROS intraseluler dapat mengakibatkan kerusakan fungsi selular melalui terjadinya mutasi DNA, cleavage of DNA dan agregasi biomolekul melalui cross-linking reaction.

Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga target tersebut, yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh (Lobo dkk., 2010). Sebuah radikal bebas mengambil elektron dari membran lipid sel, memulai serangan radikal bebas pada sel yang dikenal sebagai peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang diinisiasi oleh serangan


(21)

radikal bebas pada fosfolipid dan polyunsaturated fatty acid. Serangan ini dimulai dari membran sel yang menghasilkan aldehid, keton dan hasil polimerasi yang bereaksi dan merusak biomolekul, enzim dan asam nukleat yang dapat menyebabkan penuaan (aging). Salah satu konversi oksidatif dari

polyunsaturated fatty acid adalah malondialdehid (MDA) atau lipid peroksida (Gawel dkk., 2004). MDA juga ditemukan pada manusia sehat, yang mengindikasikan bahwa radikal bebas juga diproduksi dalam metabolisme tubuh normal (Pasupathi, 2009).

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perokok kronis memiliki peningkatan risiko untuk penyakit arteri serebral dan koroner. Hal ini karena pada perokok kronis terjadi stress oksidatif yang diakibatkan oleh superoksida dan sejumlah besar spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) yang berujung pada akumulasi kerusakan oksidatif pada berbagai macam sel dalam tubuh salah satunya adalah sel endotel (Tsuchiya dkk., 2002). Telah banyak diketahui hubungan antara merokok dan penyakit pembuluh darah, dan telah diketahui secara umum pula bahwa rokok akan merusak sel-sel endotel vaskular. Integritas endotel sangat penting untuk fungsi homeostatis pembuluh darah dan untuk menjaga keadaan nontrombotik dan nonatherogenic (Guo dkk., 2006).

Sel endotel arteri pada tikus yang terpapar asap rokok mensekresi lebih banyak plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang mempermudah munculnya trombosis. Disamping itu, pada arteri hewan yang terpapar asap rokok ini terjadi peningkatan dari endotelin dan vasoconstructing growth factors yang diproduksi oleh sel endotel, antara lain Angiotensin II. Sebaliknya faktor


(22)

vasodilatasi, seperti NO, prostacyclin dan endothelium hyperpolarising factor

menurun. Perubahan yang terjadi di pembuluh darah karena penuaan ini memberikan suasana aktif baik secara enzimatis maupun metabolik terhadap terjadinya penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis (Najjar dkk., 2005)

Nitric Oxide (NO), sebuah molekul kecil reaktif, merupakan bioregulator

penting dalam tubuh mamalia. NO telah dikenal sebagai biomessenger yang ada di berbagai macam jenis organisme. NO diketahui merupakan regulator utama otot polos. NO adalah salah satu faktor relaksasi tergantung endotel yang berperan dalam relaksasi sel otot polos pembuluh darah. Penurunan bioavailabilitas NO diakibatkan oleh disfungsi endotel pada pembuluh darah (Tousoulis dkk., 2012). NO ternyata memiliki berbagai peran fisiologis yang melibatkan hampir semua jaringan tubuh. Sebagai ringkasan, penelitian beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa NO memiliki peran yang penting dalam proses fisiologis dan patologis (Bescósdkk., 2012).

Pada manusia, NO digunakan untuk beberapa fungsi sinyal interseluler dan intraseluler, seperti transmisi sinyal neuron, sitotoksik terhadap patogen dan tumor, koordinasi irama jantung, dan pengaturan aktivitas respirasi seluler (Grove dan Wang, 2000). NO dalam hubungannya dengan pembuluh darah dapat menyebabkan relaksasi otot polos, sehingga berfungsi sebagai regulator aliran dan tekanan darah dan mencegah agregasi dan adhesi platelet. NO juga membantu transpor oksigen dengan melebarkan dinding pembuluh darah sehingga mempermudah perpindahan gas ke jaringan dan sebaliknya (Idhayu, 2006)


(23)

Sel-sel endotel merupakan sel yang secara konstitutif mensintesis nitrit oxide (NO) dari L-arginin oleh enzim endogen, NO synthase, untuk meregulasi pembuluh darah, aliran darah lokal, dan perfusi jaringan. Konsentrasi NO yang rendah dalam plasma merupakan gejala terjadinya disfungsi endotel dan sangat terkait dengan kebiasaan merokok jangka panjang (Tsuchiya dkk., 2002). Kondisi ini bisa mempercepat insufisiensi arteri koroner dan vasokonstriksi di banyak jaringan yang berbeda.

NO merupakan vasodilator kuat yang menghambat perputaran matriks ekstraselular dan dengan demikian dapat memodifikasi sifat mekanik dinding arteri (Van Hove dkk., 2009). Penelitian melaporkan bahwa sekresi NO pada vena saphena pada manusia yang tidak merokok secara signifikan lebih tinggi daripada yang dari vena perokok berat (Rahman dan Laher, 2007). Dengan menggunakan antagonis NO, NG-monomethyl-l-arginin, beberapa peneliti telah menemukan penurunan kemampuan vasodilatasi pembuluh darah pada perokok (Vleeming dkk., 2002). Dalam penelitian lain, pengukuran nitrit dari arteri femoral dan karotis setelah paparan asap rokok jangka pendek dan jangka panjang memberikan bukti bahwa rokok mengurangi bioavaibility NO. Selanjutnya, kadar NO kembali normal setelah 3 minggu pasca penghentian paparan asap rokok (Guo dkk., 2006).

Gangguan sekresi NO diduga terkait dengan berkurangnya sintesis atau aktivitas endothelial NO synthase (eNOS) (Burnett, 2004). Belakangan diketahui, baik peningkatan dan penurunan ekspresi mRNA eNOS telah dilaporkan berhubungan dengan paparan asap rokok dalam berbagai model eksperimental.


(24)

Asap rokok telah terbukti menghambat kerja eNOS pada arteri pulmonalis (Wagner dkk., 2007) dan pada penelitian lain menekan eNOS sebesar 52% pada kultur sel endotel (Wang dkk., 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa penghentian paparan asap rokok akan mengembalikan ekspresi eNOS menjadi normal setelah 16 minggu (Guo dkk., 2006). Telah dilaporkan bahwa asap rokok mengandung banyak sekali radikal bebas seperti nitrogen oksida, hidrogen peroksida, hidrogen sianida, dan akrolein yang secara langsung mempengaruhi ekspresi eNOS (Bindar, 2000; Guo dkk., 2006; Arief, 2007).

Nitric oxide dibentuk dari oksidasi L-Arginin bersama kofaktor NADPH dan oksigen dengan katalisis enzim NOS. Konsentrasi fisiologis L-Arginine pada orang sehat yang cukup untuk membentuk endotel NOS, yaitu sekitar 3 μmol/L. Oleh karena itu, L-Arginin disebut sebagai asam amino semi esensial karena tubuh bisa memproduksi asam amino ini dalam jumlah yang mencukupi (Appleton, 2002). Beberapa penelitian menjelaskan efek biologis terkait suplementasi L-Arginine terhadap peningkatan kadar NO (Bode-Böger dkk., 2007)

Proses penuaan dapat disebabkan oleh Pola hidup yang tidak sehat salah satunya merokok, asap rokok dan berbagai zat kimia radikal bebas yang terkandung dalam rokok masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan stress oksidatif sehingga dapat menyebabkan berbagai kerusakan sel terutama dalam penuruna jumlah endotel pembuluh darah, penurunan kadar nitric oxide dan menyebabkan penyakit degeneratif lain yang dapat mempercepat proses penuaan.


(25)

Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi L-Arginine dapat membantu mengobati orang dengan faktor risiko aterosklerosis, seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, kondisi penuaan yang semuanya berkaitan dengan penurunan biosintesis NO (Loscalzo, 2003; Gokce, 2004; Stapleton dkk., 2010). Namun, meskipun teori mengenai suplementasi L-Arginine yang dapat meningkatkan vasodilatasi pembuluh darah akibat peningkatan produksi NO telah diterima secara luas, mekanisme yang mendasari peningkatan produksi NO ini belum banyak diketahui (Alvares dkk., 2011). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh (Alvares dkk. 2012) membuktikan bahwa suplementasi L-Arginine akut tidak meningkatkan kadar NO pada orang sehat. Berdasarkan latar belakang di atas, dilakukan penelitian untuk melihat dampak pemberian L-Arginine oral terhadap kadar NO serum dan jumlah endotel pada tikus yang diberi paparan asap rokok.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagi berikut.

1. Apakah pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan kadar

Nitric Oxide (NO) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang dipapar asap rokok?

2. Apakah pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan jumlah endotel aorta pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang dipapar asap rokok.


(26)

1.3.1 Tujuan umum

Untuk membuktikan efek proteksi dari L-Arginine terhadap stressoksidatif

yang diinduksi paparan asap rokok dimana hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dan menurunkan kadar NO.

1.3.2 Tujuan Khusus

1 Untuk membuktikan bahwa pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan kadar Nitric Oxide (NO) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang dipapar asap rokok.

2 Untuk membuktikan bahwa pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan jumlah endotel aorta pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang dipapar asap rokok.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan terkait penyakit pembuluh darah dan pengobatan yang diakibatkan oleh paparan asap rokok khususnya dengan menggunakan L-Arginine.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai acuan bagi masyarakat untuk memahami manfaat L-Arginine bagi pencegahan dan pengobatan terkait penyakit pembuluh darah terutama yang di sebabkan oleh asap rokok.


(27)

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Pangkahila, 20011).

Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungdanengan aging

yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Goldman dan Klatz, 2003).

Sebenarnya banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear dan tear dan teori program. Teori wear dan tear

meliputi kerusakan DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan

neuroendocrine theory (Pangkahila, 20011).

Menurut Goldman dan Klatz 2003 ada 4 teori pokok dari aging, yaitu: 1. Teori “wear dan tear

Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse dan abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan


(28)

2

lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

3. Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup.

4. Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut


(29)

3

sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein. Usia yang bertambahnya menyebabkan akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman and Klatz, 2003).

Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003), adalah sebagai berikut:

a. Faktor lingkungan seperti pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga, serta pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai jaringan tubuh. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan kekebalan. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit, hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit (Pangkahila, 20011).


(30)

4

b. Faktor diet / makanan. Jumlah nutrisi yang tidak optimal, jenis, dan kualitas makanan yang banyak menggunakan pengawet, pewarna, perasa dari bahan kimia terlarang. Zat beracun dalam makanan dapat menimbulkan kerusakan berbagai organ tubuh, antara lain organ hati. c. Faktor genetik seseorang sangat ditentukan oleh genetik orang tuanya,

tetapi faktor genetik ternyata dapat berubah karena infeksi virus, radiasi, dan zat racun dalam makanan / minuman / kulit yang diserap oleh tubuh. d. Faktor psikis berupa stres ternyata mampu memacu proses apoptosis di

berbagai organ/jaringan tubuh.

e. Faktor organik secara umum meliputi: rendahnya kebugaran / fitness, pola makan kurang sehat, penurunan GH (Growth Hormone) dan IGF-1 (Insulin Growth Factor-1), penurunan testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah usia 30 tahun dan menyebabkan gangguan

circadian clock (ritme harian), selanjutnya kulit dan rambut akan berkurang pigmentasinya dan terjadi pula gangguan tidur, peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan emosi dan stres, perubahan

Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Pangkahila, 2007).

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu:

1. Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun


(31)

5

dan sakit tulang.

2. Tanda psikis antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi.

Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas.

Menurut Pangkahila (20011), proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut:

1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun):

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.

2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun):

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas


(32)

6

mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner, dan diabetes.

3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas):

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepidanrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan juga hormon tiroid. Kemampuan penyerapan bahan makanan juga terjadi penurunan bahkan sampai menghilang. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun sehingga mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan.

Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Lebih jauh lagi, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 20011).

2.2 Radikal Bebas

Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital


(33)

7

luarnya. Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural (Winarsi, 2007). Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan adalah kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan non radikal.

Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron dan dapat mengubah suatu melokul menjadi suatu radikal. Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas tersebut mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila radikal baru bertemu molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Bila elektron yang berikatan dengan radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan bersama–sama pada orbital luarnya. Umumnya senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar seperti lipid, protein dan DNA. Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi (Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2007).


(34)

8

2.2.1 Tahapan terbentuknya Radikal Bebas

Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi (Winarsi, 2007) yaitu:

1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas. 2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.

3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah.

Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron transfer). Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang setiap tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Kendala yang mengharuskan oksigen hanya dapat menerima satu elektron setiap tahap menyebabkan terjadinya dua hal yaitu :

1. Kurangnya reaktif oksigen

2. Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O2 • ( ion peroksida), H2O2( hydrogen peroksida ) , • OOH ( radikal peroksil)

Reaksi–reaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawa- senyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat dapat sebagai berikut :

O2 + e- --- O2 - •

O2 + e- + H+ --- • OOH

O2 + 2e- + 2 H + --- H2O2

O2 + 3 e- + 3H + --- • OH + H2O


(35)

9

Dari reaksi–reaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen.

2.2.2 Peranan radikal bebas dalam proses penuaan

Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal bebas (Saxena and Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal di atas yang paling rentan adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak asam tak jenuh ganda pada membran sel, yang mengakibatnya sel menjadi rapuh (Pasupathi, 2009).

Berbagai kemungkinan bisa diakibatkan oleh kerja radikal bebas.radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi, sangat tidak stabil dan berumur singkat, sehingga keberadaannya sulit dideteksi. Dengan reaktivitasnya yang tinggi, radikal bebas akan segera menyerang komponen seluler yang berada di sekelilingnya, baik berupa senyawa lipid, lipoprotein, (protein, karbohidrat, RNA maupun DNA). Senyawa radikal bebas dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel, sehingga mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh. Senyawa ini juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem


(36)

10

informasi genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker, yang berkibat lebih jauh adalah terjadinya kerusakan struktur dan fungsi sel.

Akibat ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan inilah perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi dan menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak tak jenuh yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan protein (enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007).

Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging) dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007)

Radikal bebas menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan asam nukleat. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan senyawa oksigen reaktif menghasilkan stress oksidatif, penyebab kanker, penuaan, artherosclerosis, cedera iskemik, peradangan dan penyakit degeneratif (Parkinson dan Alzheimer) (Pangkahila,2007).


(37)

11

2.3 Endotelium

Lapisan terdalam dari tunika intima, terdiri dari selapis sel yang disebut sel

endotel. Sel ini berbentuk pipih, poligonal dengan ukuran sekitar 10 x 50 μm dan

tebalnya 1-3 μm, dengan sumbu panjang sel sejajar dengan aliran darah (Sandoo

et al., 2010). Sel ini berada disemua struktur pembuluh darah mulai dari jantung sampai dengan kepiler dan berhubungan langsung dengan aliran darah (Guyton dan Hall, 2012, Sandoo dkk., 2010).

Selain berfungsi sebagai pelindung selektif, endotel juga mempunyai aktivitas metabolik dan sekretori. Usia biologik endotel dalam keadaan normal sekitar 30 tahun dan setelah usia tersebut sel endotel akan terlepas dan menghilang melalui proses apoptosis. Selanjutnya dengan bantuan sel endotel di sekitarnya terjadilah regenerasi sel endotel baru (Wills dkk., 2002).

Sel endotel berfungsi untuk mengatur aliran darah yang dipompa oleh jantung menuju ke seluruh tubuh, begitu juga sebaliknya (Sandoo dkk., 2010), memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengadaptasikan dirinya, baik secara jumlah maupun kemampuan mengatur untuk tujuan memenuhi kebutuhan lokal (Pugsley dan Tabrizchi, 2000). Disamping itu sel ini, bilamana rusak akan mudah diganti oleh adanya Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), hanya saja diperlukan waktu untuk proses regenerasi tersebut (Arsic dkk., 2004). Kelebihan inilah yang memberikannya kemampuan untuk memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi metabolik organ yang diembannya masing-masing (Sandoo dkk, 2010). Secara umum sel endotel memiliki 3 (tiga) fungsi dasar, yaitu: Pertama, endotel berfungsi sebagai garis pertahanan utama (barrier)


(38)

12

terhadap hampir semua elemen asing yang mencoba invasi ke dalam suatu organ; kedua endotel berfungsi sebagai tempat metabolisme dan katabolisme senyawa-senyawa tertentu; dan ketiga, sel ini berfungsi sebagai tempat sintesis berbagai senyawa vasoaktif yang diperlukan dalam mempertahankan tonus pembuluh darah (Pugsley dan Tabrizchi, 2000), yaitu antara lain sintesis berbagai mediator inflamasi, mediator proliferasi sel-sel subendotel dan berbabagi faktor hemostasis lainnya (Guyton, 2012; Libby dkk., 2002 Najjar dkk., 2005; Sandoo dkk., 2010). Fungsi di atas disebabkan karena peran utama sel endotel adalah mengendalikan sifat-sifat arteri seperti tonus vaskuler, permeabilitas vaskuler, angiogenesis dan respon terhadap proses inflamasi (Najjar dkk., 2005)

Catharina (2001) mengemukakan bahwa endotel memegang peran penting dalam proses protrombotik dan antitrombotik. Sel endotel utuh mempunyai tugas utama mencegah perlekatan trombosit dan pembekuan darah, sedangkan aktivasi terhadap endotel menyebabkan proses protrombotik terpicu dan bermuara pada pembentukan molekul agregasi trombosit. Zat yang berperan dalam proses protrombotik adalah vWF dan PAF, sedangkan zat yang berperan dalam proses antitrombotik adalah PGI2, ADPase dan NO.

Sejalan dengan Miyata dkk. (2001), Wu dkk. (2003), dan Oppenheim (2003) mengemukakan bahwa berbagai sitokin yang beredar dalam aliran darah termasuk TNF-α, IL-1β, dan IL-6 merupakan zat yang dapat menyebabkan stres pada sel endotel pembuluh darah. Respon sel yang mengalami stres berlangsung dalam beberapa fase yaitu fase alarm, adaptation, dan exhaustion. Apabila fase


(39)

13

Namun, jika sel endotel tidak mampu beradaptasi, maka proses akan berlanjut menuju fase exhaustion yang bermuara pada kematian sel (Halstead, 2003).

2.4 Nitric Oxide (NO)

Nitric oxide (NO) adalah molekul signaling fundamental yang berfungsi mengatur fungsi seluler, tetapi juga merupakan mediator kerusakan seluler dalam berbagai kondisi. Nitric Oxide terlibat dalam jalur anti – dan apoptotik bergantung dari kondisi dan tipe sel. Dalam konsentrasi tinggi NO menginduk sikematian sel saat cidera iskemi atau penyakit neurodegeneratif.fungsi sititoksis NO adalah dalam bentuk peroksinitrit (ONOO-) yang dihasilkan dari reaksi difusi antara NO dengan radikal bebas (Wiley,2007). Struktur kimia Nitric oxide (NO) digambarkan pada Gambar 2.1. Nitric oxide merupakan endothelium-derived relaxing factor (EDRF), untuk relaksasi otot polos pembuluh darah, mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008).


(40)

14

Nitric oxide disintesis oleh NOS yang mengubah L-Arginine menjadi

L-Citrulline dan NO. Tiga isoform mayor NOS yaitu neuronal NOS (nNOS),

endothelial NOS (eNOS), dan inducible NOS (iNOS). Endothelial NOS dan nNOS berperan penting pada kondisi normal. Kedua isoform ini terdapat didalam sel dan secara cepat diaktivasi oleh Ca2+ dan calmodulin intrasel dan menghasilkan NO dalam jumlah yang kecil. Di dalam jaringan, NO dibentuk oleh

L-arginine oleh enzim endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dengan kofaktor NADPH, oksigen (O2), dan tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L-citrulline

serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit antara (R&D Systems, 2000; Lundberg dan Weitzberg, 2005). NO yang tidak digunakan akan dioksidasi menjadi nitrit. Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam jaringan akan direduksi menjadi NO dikatalisis oleh enzim xanthine oxidase (XO) (Lundberg dan Weitzberg, 2005).

Neuronal NOS mempunyai fungsi pada neurotrasmiter, sedangkan eNOS berperan pada relaksasi otot polos pembuluh darah. Inducible NOS tidak diekspresikan pada kondisi normal tetapi diinduksi oleh sitokin dan atau endotoksin selama proses inflamasi dan menghasilkan jumlah NO yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama (Hala dkk., 2011; Zhang dkk., 2011).


(41)

15

Dalam serum, waktu paruh NO sangat singkat karena cepat dipakai oleh sel endotel pembuluh darah sebagai vasodilator. Waktu paruh nitrit lebih pendek daripada nitrat karena nitrat dapat direduksi menjadi nitrit kemudian cepat direduksi menjadi NO pada keadaan hipoksia. Kadar nitrat, nitrit dan NO dalam serum berbanding lurus dengan waktu paruhnya. NO yang disekresi oleh sel endotel dengan cepat dioksidasi membentuk nitrit, kemudian berikatan dengan hemoglobin membentuk nitrat. Kadar nitrat dan nitrit relatif stabil di dalam darah, sehingga total kadar nitrit dan nitrat serum (NOx) dipakai sebagai indikator sintesis NO tubuh (Lundberg dan Weitzberg, 2005).

Tabel 2.1

Waktu Paruh NO dan Produknya

(Lundberg dan Weitzberg, 2005)

Pemeriksaan kadar NO secara langsung sangat sulit dilakukan, karena senyawa NO berupa gas, bersifat polar, dan memiliki waktu paruh yang sangat singkat. Senyawa nitrat dan nitrit merupakan metabolit antara NO yang memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga relatif stabil. Beberapa metoda pemeriksaan kadar NO yang sering dilakukan antara lain metoda oksidasi hemoglobin, chemiluminescent, reaksi Griess, dan konversi arginin-sitrulin. Metoda pemeriksaan tersebut hanya menggambarkan bioavailabilitas NO tubuh,


(42)

16

sedangkan bioaktivitas NO dapat diketahui dari perubahan ekspresi gen enzim eNOS yang mengkatalisis arginin menjadi NO (Tarpey dan Fridovich, 2001).

2.4.1 Peran NO dalam pembuluh darah

Selama beberapa dekade , telah terbukti bahwa nitrat oksida tidak hanya berperan dalam mengontrol tonus vasomotor melainkan juga berperan dalam homeostasis pembuluh darah dan syaraf serta proses imunologik. Nitrat oksida endogen diproduksi melalui perubahan asam amino arginine menjadi L-citrulline oleh enzim NO-synthase (NOS). Saat ini beberapa isoform dari NOS telah berhasil dipurifikasi dan diklon sebagai : NOS-type I (yang diisolasi dari otak/neuronal NOS) dan NOS-type III (yang diisolasi dari sel endotel/endothelial NOS) yang disebut juga constitutive-NOS (cNOS). Kedua isoform ini diatur oleh Ca2+-calmodulin dan NADPH, flavin adenine dinucleotide/mononucleotide (FAD/FMN), serta tetrahydrobiopterin (HB4) sebagai kofaktor. Neuronal-NOS (NOS type I) berperan penting dalam proses transmisi syaraf, kontrol homeostasis pembuluh darah dan dalam proses pembelajaran dan memori (Aldámiz-Echevarría dan Andrade, 2012; Tousoulis dkk., 2012).

Didalam sistem syaraf tepi, NOS berhubungan dengan jalur syaraf nonadrenergic noncholinergic (NANC). Endothelial-NOS (NOS type III) berperan penting dalam mengontrol tonus pembuluh darah sebagai respons terhadap berbagai rangsangan, seperti rangsangan mekanik (shear stress), receptor dependent (asetil kholin) dan reseptor independen (calcium ionophore). Nitrat Oksida yang dihasilkan oleh NOS type III didalam endotel akan berdifusi kedalam


(43)

17

otot polos pembuluh darah yang akan mengaktifkan enzim guanylate cyclase. Bersamaan dengan peningkatan cyclic GMP, akan terjadi relaksasi dari otot polos pembuluh darah. Jadi hasil akhir dari peningkatan Nitrat Oksida akan terjadi vasodilatasi (Aldámiz-Echevarría dan Andrade, 2012; Tousoulis dkk., 2012).

Gambar 2.3 Mekanisme Vasodilatasi NO di dalam Pembuluh Darah (Aldámiz-Echevarría dan Andrade, 2012)

Sel endotel memproduksi nitrat oksida (NO) yang akan berdiffusi kedalam sel-sel otot polos pembulah darah dan mengaktivasi enzim soluble guanylate cyclase (sGC) yang memproduksi cyclic GMP dari prekursornya GTP. Cyclic GMP akan merangsang relaksasi otot sehingga akan terjadi vasodilatasi. NOS type III juga berperan dalam pencegahan aggregasi platelet yang abnormal. NOS type II dan IV (yang diisolasi dari makrofag) bersifat independen terhadap Ca++ -calmodulin dan disebut juga "inducible-NOS", karena aktivasinya hanya terjadi pada saat makrofag menimbulkan efek sitotoksik sebagai respons terhadap sitokin


(44)

18

(misal dalam keadaan sepsis) (Aldámiz-Echevarría dan Andrade, 2012; Tousoulis dkk., 2012).

Setelah diketahui bahwa NO memiliki peran sebagai neurotransmitter non-adrenergik dan non-kolinergik (NANC) pada sistem saraf parasimpatis postganglionik, menginervasi berbagai otot polos termasuk corpus cavernosum

(CC) penis. Sarah ini disebut "nitrergic" atau "nitroxidergic". Meskipun sel endotel sinusoidal korpus kavernosum juga memproduksi dan mensekresikan NO dalam menanggapi rangsangan kimia dan fisik, NO neurogenik juga memiliki peran dalam ereksi penis. NO dari saraf dan mungkin endotel memainkan peran penting dalam memulai dan mempertahankan tekanan intracavernous, vasodilatasi penis, dan ereksi penis yang bergantung pada GMP siklik disintesis dengan aktivasi soluble guanylyl cyclase. Vasodilatasi pembuluh darah yang menyuplai corpus cavernosum berakibat pada meningkatnya aliran darah dan fungsi ereksi (Cartledge dkk., 2001; Toda dkk., 2005).

2.4.2 Patologi kelainan pembuluh darah diperantarai NO akibat stress

oksidatif yang dipicu radikal bebas

Apabila bioaktivitas NO dalam sel endotel pembuluh darah menurun akibat rendahnya bioavailabilitas NO, menimbulkan gangguan endothelium dependent vasorelaxation sebagai disfungsi endotel. Rendahnya bioavailabilitas NO disebabkan berkurangnya pembentukan enzim eNOS, XO dan oksigen serta rendahnya asupan nitrat anorganik. Walaupun sintesis NO normal, namun bioaktivitasnya dapat berkurang akibat tingginya oksidasi NO oleh radikal


(45)

19

superoksida yang berakibat menurunnya efek vasodilator endogen (Deanfield et al., 2007). Peningkatan jumlah radikal bebas dan penurunan bioavailabilitas NO memperberat disfungsi endotel. Selain itu, menurunnya pembentukan NO tubuh berhubungan dengan rendahnya asupan bahan makanan sumber NO. Bahan makanan sumber NO mengandung antioksidan yang dapat meredam efek radikal bebas, sehingga bioavailabilitas NO dapat dipertahankan (Lundberg dan Weitzberg, 2005).

Perubahan ekspresi eNOS dapat mengakibatkan gangguan sintesis NO. Aktivitas eNOS tergantung dari protein kinase Akt pada residu serin 1177 dan defosforilasi treonin 495. Beberapa inhibitor eNOS endogen, seperti asymmetric dimethyl arginine (ADMA), L-mono methyl arginine (LNMA) dan defisiensi kofaktor tetrahydrobiopterin (BH4) dapat mengubah aktivitas eNOS. Apabila tidak tersedia arginin atau BH4, eNOS dapat menjadi uncoupled dan menghasilkan radikal superoksida dan radikal hidrogen peroksida. Radikal superoksida bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit yang dapat mengoksidasi BH4 sehingga BH4 menurun. Dalam keadaan defisiensi BH4, eNOS dapat meningkatkan stres oksidatif dan disfungsi endotel (Endemann, 2004).

Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi disfungsi endotel, yang ditandai dengan penurunan kadar NO. Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara lain mengatur tekanan darah melalui pelepasan bahan vasokonstriktor dan vasodilator, mengatur fungsi antikoagulan, antiplatelet dan fibrinolisis (Granger dkk., 2001).


(46)

20

Beberapa mekanisme yang mungkin terjadi pada stres oksidatif menyebabkan disfungsi endotel yaitu menurunnya vasodilator NO akibat ROS, terbentuknya produk peroksidasi lipid yang berperan sebagai vasokonstriktor, berkurangnya BH4 yang merupakan kofaktor penting untuk sintesa NO, menyebabkan kerusakan sel endotel serta kerusakan pada sel otot polos pembuluh darah, peningkatan konsentrasi kalsium bebas dalam sel dan peningkatan permeabilitas endotel (Grossman, 2008). Penurunan bioavailabilitas BH4 mengakibatkan penurunan aktivitas eNOS yang memicu peningkatan pembentukan radikal peroksinitrit (Grassi dkk., 2005).

2.5 Rokok

2.5.1 Definisi rokok

Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bahan lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotina tabacum, Nicotina rustica

dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan (Tendra, 2003). Pendapat lainnya menyatakan bahwa Rokok adalah silinder dari kertas berukuran antara 70-120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun tembakau yang telah dicacah (Martin, 2008).

Rokok terdiri dari gabungan bahan kimia yang sangat kompleks yaitu bahan kimia non-spesifik dari pembakaran bahan-bahan organik dan bahan kimia yang spesifik dari pembakaran tembakau (Fowles dan Bates, 2000). Rokok dibentuk dari unsur karbon (C), hydrogen (H), Oksigen (O), nitrogen(N) dan


(47)

21

sulfur (S), sehingga jika diformulasikan secara kimia rokok yaitu sebagai CvHwOtNySz (Bindar, 2000).

Asap rokok yang diisap oleh perokok mengandung asap utama dan asap sampingan yaitu asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar dan diisap oleh orang yang ada disekitar perokok (Anonim, 2000). Asap rokok utama (mainstream cigarette smoke) terdiri dari 8% fase tar dan 92% fase gas. Asap rokok fase tar ini mengandung nikotin, tar dan lebih dari 1017 radikal bebas di dalamnya. Di dalam ruangan lingkungan perokok, udara terdiri dari 85% asap rokok sampingan (sidestream cigarette smoke) dan 15% mainstream cigarette smoke (Valavanidis dkk., 2009).

2.5.2 Radikal bebas dalam rokok

Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural Oksidan dalam pengertian ilmu kimia adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Sebaliknya radikal bebas adalah atom molekul (kumpulan atom) yang memiliki elektron yang tidak berpasangan atau unpaired electron. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan adalah kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya,


(48)

22

radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas ( Suryohudoyo,2000)

Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber yaitu: proses fisiologis, proses peradangan, dan yang berasal dari luar tubuh seperti polutan, obat-obatan, dan asap rokok. Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan non radikal. Radikal bebas memiliki dua sifat utama, yaitu reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron; dan dapat mengubah suatu melokul menjadi suatu radikal.

Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas tersebut mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila radikal baru bertemu molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Bila elektron yang berikatan dengan radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan bersama–sama pada orbital luarnya. Umumnya senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar seperti lipid, protein dan DNA. Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi.

Radikal bebas menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan asam nukleat. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan senyawa oksigen reaktif menghasilkan stress oksidatif, penyebab kanker, penuaan, artherosclerosis, cedera


(49)

23

iskemik, peradangan dan penyakit degeneratif (Parkinson dan Alzheimer) (Pangkahila, 2007).

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel/ jaringan. Bila terjadi dalam waktu yang berkepanjangan akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang menyebabkan sel/jaringan kehilangan fungsinya dan mati. Penumpukan hasil kerusakan tadi akan bertambah dengan bertambahnya umur, merupakan penyebab utama proses penuaaan (Bagiada, 2001)

Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, secara potensial dapat menyebabkan kerusakan. Radikal bebas terbentuk sebagai hasil metabolisme aerobik normal, namun dapat juga diproduksi dalam jumlah banyak pada keadaan patofisiologis.

Rokok mengandung oksidan atau radikal bebas yang sangat tinggi. Asap rokok ini mengandung lebih dari 1017 radikal bebas per gram dan lebih dari 1015 radikal bebas setiap hisapannya (Valavanidis dkk., 2009). Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok antara lain aldehida, epoxida, peroxida, nitrit oksida, radikal peroksil, dan radikal yang mengandung karbon ada dalam fase gas (Arief, 2007). Berdasarkan studi laboratorium terhadap kandungan radikal bebas dari asap rokok dengan menggunakan electron spin resonance Leybold Heracus

didapatkan hasil rokok jenis kretek mengandung radikal oksigen, oksigen singlet, karbondioksida dan Mn2O2 (Muthmainnah dkk, 2014).


(50)

24

Proses pembakaran rokok tidaklah berbeda dengan proses pembakaran bahan-bahan padat lainnya. Rokok yang terbuat dari daun tembakau kering, kertas dan zat perasa, dapat dibentuk dari unsur Carbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dan Sulfur (S) serta unsur-unsur lain yang berjumlah kecil. Rokok secara keseluruhan dapat diformulasikan secara kimia yaitu sebagai (CvHwOtNySzSi) (Bindar, 2000).

Dua reaksi yang mungkin terjadi dalam proses merokok adalah: Pertama, reaksi rokok dengan oksigen membentuk senyawa-senyawa seperti CO2, H2O,

NOx, SOx, dan CO. Reaksi ini disebut reaksi pembakaran yang terjadi pada temperatur tinggi yaitu diatas 800°C. Reaksi ini terjadi pada bagian ujung atau permukaan rokok yang kontak dengan udara. Skema reaksi kimia yang terjadi digambarkan seperti di bawah ini.

CvHwOtNySzSi + O2 -> CO2+ NOx+ H2O + SOx + SiO2 (abu) (pada suhu 800°C)

Reaksi yang kedua adalah reaksi pemecahan struktur kimia rokok menjadi senyawa kimia lainnya. Reaksi ini terjadi akibat pemanasan dan ketiadaan oksigen. Reaksi ini lebih dikenal dengan pirolisa. Pirolisa berlangsung pada temperatur yang lebih rendah dari 800°C. Sehingga rentang terjadinya pirolisa pada bagian dalam rokok berada pada area temperatur 400-800°C. Ciri khas reaksi ini adalah menghasilkan ribuan senyawa kimia yang strukturnya komplek. Bagan reaksinya seperti di bawah ini.

CvHwOtNySzSi -> 3000-an senyawa kimia lainnya + panas produk (pada suhu 400-800°C)


(51)

25

Walaupun reaksi pirolisa tidak dominan dalam proses merokok, tetapi banyak senyawa yang dihasilkan tergolong pada senyawa kimia yang beracun yang mempunyai kemampuan berdifusi dalam darah. Proses difusi akan berlangsung terus selagi terdapat perbedaan konsentrasi. Tidak perlu disangkal lagi bahwa titik bahaya merokok ada pada pirolisa rokok. Sebenarnya produk pirolisa ini bisa terbakar bila produk melewati temperatur yang tinggi dan cukup akan Oksigen. Hal ini tidak terjadi dalam proses merokok karena proses hirup dan gas produk pada area temperatur 400- 800°C langsung mengalir ke arah mulut yang bertemperatur sekitar 37°C (Bindar, 2000).

Selain reaksi kimia, juga terjadi proses penguapan uap air dan nikotin yang berlangsung pada temperatur antara 100-400°C. Nikotin yang menguap pada daerah temperatur di atas tidak dapat kesempatan untuk melalui temperatur tinggi dan tidak melalui proses pembakaran. Terkondensasinya uap nikotin dalam gas tergantung pada temperatur, konsentrasi uap nikotin dalam gas dan geometri saluran yang dilewati gas (Bindar, 2000; Wang, 2000).

Pada temperatur dibawah 100°C nikotin sudah mengkondensasi, sehingga sebelum gas memasuki mulut, kondensasi nikotin telah terjadi. Berdasarkan keseimbangan, tidak semua nikotin dalam gas terkondensasi sebelum memasuki mulut sehingga nantinya gas yang masuk dalam paru-paru masih mengandung nikotin. Sesampai di paru-paru, nikotin akan mengalami keseimbangan baru, dan akan terjadi kondensasi lagi (Bindar, 2000).

Radikal aldehid dalam rokok menyebabkan sekresi dari sitokin proinflamasi oleh sel-sel saluran alveolar dan merangsang aktivasi sel radang akut seperti


(52)

26

neutrofil dan eosinofil (Toorn dkk., 2013). Radikal karbonmonoksida menyebabkan kerusakan jaringan dilihat dari peningkatan produk peroksidasi lipid dan degradasi protein matrik ekstraseluler (Vaart dkk., 2004). Radikal dalam fase tar dapat mengikat molekul DNA dan mengakibatkan mutasi yang berujung pada pathogenesis penyakit kanker (Martin, 2008).

Asap rokok banyak mengandung radikal bebas baik pada komponen tar maupun komponen gas. Selain itu, komponen tar juga mengandung ion besi yang dapat mengkatalisa pembentukan radikal peroksil dan hidrogen peroksida (Valavanidis dkk., 2009). Semiquinon dan hidroquinon pada tar juga dapat melepaskan ion besi dan protein feritin sehingga lebih banyak ion besi yang bebas (Ghio dkk., 2008). Radikal bebas yang berasal dan asap rokok masuk ke dalam paru melalui saluran nafas, kemudian dibawa oleh aliran darah menuju ke jantung dan diedarkan ke seluruh tubuh (Ghio dkk., 2008; Valavanidis dkk., 2009).

Radikal bebas menyerang membran plasma yang terdiri dari komponen lipid dan komponen protein. Komponen lipid akan mengalami peroksidasi dengan cara menarik atom H+ dari rantai samping PUFA, menghasilkan radikal karbon. Kemudian radikal karbon akan bereaksi dengan oksigen menjadi radikal peroksil, inilah yang menyerang ulang rantai samping PUFA menghasilkan radikal karbon baru dan peroksida lipid (Ayala dkk., 2014). Reaksi ini akan berlangsung terus secara berantai dan berakhir bila bertemu dengan radikal bebas lain atau dengan antioksidan. Komponen protein yang berfungsi sebagai kanal ion, pompa ion, reseptor, enzim, pembangkit energi, akan teroksidasi pada bagian yang mempunyai gugus sulfhidril menjadi ikatan disulfida, yang akan menyebabkan


(53)

27

ikatan silang (cross link) antar molekul protein, menyebabkan degradasi depolimerisasi protein, dan sifat protein menjadi kaku dan mudah putus, sehingga protein membran akan kehilangan berbagai fungsinya. Keadaan tersebut akan menyebabkan kanal ion terbuka, maka diduga kuat Ca2+ ekstra seluler yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi dari sitosol akan masuk ke dalam sel, sehingga Ca2+ di dalam sitosol akan meningkat (Burlando dkk., 2001; Selvam, 2002; Kaplan dkk., 2003).

Radikal bebas masuk ke dalam sel, akan merusak komponen-komponen int raseluler seperti sitosekleton, organella, protein non membran, molekul ades, enzim-enzim dan DNA. Radikal bebas akan menyerang komponen enzim terutama ATPase yang tersusun dari rangkaian asam amino yang mengandung gugus sulfhidril, sehingga ATPase menjadi inaktif, maka fungsinya sebagai pengendalian Ca2+ sitosol akan terganggu. Dengan terganggunya peran regulasi Ca2+ maka akan terjadi peningkatan Ca2+ di dalam sitosol (Kaplan dkk., 2003; Megala dan Geetha, 2010).

Kerusakan sel yang mekanismenya didasari oleh kerusakan membran sel adalah nekrosis. Pada pemaparan asap rokok kapasitas proteksi antioksidan juga tertekan. Senyawa aldehid dalam asap rokok dapat menekan SOD yang berfungsi sebagai antioksidan enzimatik. Selain itu, pada perokok terdapat penurunan kadar vitamin C. Hal ini akan semakin memperparah nekrosis sel hepar akibat radikal bebas (Ruiz dkk., 2010; Bhandary dkk., 2013).


(54)

28

2.5.3 Hubungan antara rokok dan kadar Nitric Oxide (NO)

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perokok kronis memiliki peningkatan risiko untuk penyakit arteri serebral dan koroner. Hal ini karena pada perokok kronis terjadi stress oksidatif yang diakibatkan oleh superoksida dan sejumlah besar spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) yang berujung pada akumulasi kerusakan oksidatif pada berbagai macam sel dalam tubuh salah satunya adalah sel endotel (Benjamin, 2011; Selim dkk., 2013). Sel-sel endotel merupakan sel yang secara konstitutif mensintesis nitrit oxide (NO) dari l-arginin oleh enzim endogen, NO synthase, untuk meregulasi pembuluh darah, aliran darah lokal, dan perfusi jaringan. Konsentrasi NO yang rendah dalam plasma merupakan gejala terjadinya disfungsi endotel dan sangat terkait dengan kebiasaan merokok jangka panjang (Tsuchiya et al., 2002). Kondisi ini bisa mempercepat insufisiensi arteri koroner dan vasokonstriksi di banyak jaringan yang berbeda.

NO berperan dalam mengaktifkan reseptor soluble guanylate cyclase

(sGC) pada otot polos pembuluh darah, yang menghasilkan pembentukan cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Hal ini mengaktifkan berbagai jalur sinyal dan efek fungsional yang meliputi vasodilatasi pembuluh darah. Aktivitas NADPH oksidase (Nox1 dan Nox2) akan menghasilkan superoksida (O2-) dan aktivitas NOX4 akan menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), ROS kemudian

dapat berpartisipasi dalam jalur sinyal, tetapi juga dapat menyebabkan cedera selular. O2- adalah scavenger NO yang mengurangi bioavailabilitas NO dengan membentuk peroxynitrite (ONOO-) yang juga dapat menyebabkan cedera selular.


(55)

29

H2O2 dapat bereaksi dengan logam berat untuk membentuk senyawa hidroksil

yang sangat reaktif dan bersifat radikal (OH-) (De Silva dan Faraci, 2013).

Gambar 2.4 Modifikasi Interaksi antara Reactive Oxygen Species (ROS) dan

Nitric Oxide (De Silva dan Faraci, 2013)

Telah banyak diketahui hubungan antara merokok dan penyakit pembuluh darah, dan telah diketahui secara umum pula bahwa rokok akan merusak sel-sel endotel vaskular. Integritas endotel sangat penting untuk fungsi homeostatis pembuluh darah dan untuk menjaga keadaan nontrombotik dan nonatherogenic (Guo dkk., 2006). NO merupakan vasodilator kuat yang menghambat perputaran matriks ekstraselular dan dengan demikian dapat memodifikasi sifat mekanik


(56)

30

dinding arteri (Van Hove dkk., 2009). Rahman dan Laher (2007) melaporkan bahwa sekresi NO pada vena saphena pada manusia yang tidak merokok secara signifikan lebih tinggi daripada yang dari vena perokok berat. Dengan menggunakan antagonis NO, NG-monomethyl-l-arginin, beberapa peneliti telah menemukan penurunan kemampuan vasodilatasi pembuluh darah pada perokok (Vleeming dkk., 2002). Dalam penelitian lain, pengukuran nitrit dari arteri femoral dan karotis setelah paparan asap rokok jangka pendek dan jangka panjang memberikan bukti bahwa rokok mengurangi bioavaibility NO. Selanjutnya, kadar NO kembali normal setelah 3 minggu pasca penghentian paparan asap rokok (Guo dkk., 2006).

Gangguan sekresi NO diduga terkait dengan berkurangnya sintesis atau aktivitas endothelial NO synthase (eNOS) (Burnett, 2004). Belakangan diketahui, baik peningkatan dan penurunan ekspresi mRNA eNOS telah dilaporkan berhubungan dengan paparan asap rokok dalam berbagai model eksperimental. Asap rokok telah terbukti menghambat kerja eNOS pada arteri pulmonalis (Wagner dkk., 2007) dan pada penelitian lain menekan eNOS sebesar 52% pada kultur sel endotel (Wang dkk., 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa penghentian paparan asap rokok akan mengembalikan ekspresi eNOS menjadi normal setelah 16 minggu (Guo dkk, 2006). Telah dilaporkan bahwa asap rokok mengandung banyak sekali radikal bebas seperti nitrogen oksida, hidrogen peroksida, hidrogen sianida, dan akrolein yang secara langsung mempengaruhi ekspresi eNOS (Bindar, 2000; Guo dkk., 2006; Arief, 2007).


(57)

31

2.6 L-Arginine

Arginine merupakan salah satu jenis asam amino yang dikelompokkan bersama histidine dan lisin secara biokimiawi. Arginine merupakan asam amino semi-esensial yang artinya tubuh dapat memproduksi asam amino ini dalam jumlah kecil, sehingga asupan dari luar masih diperlukan (Garrett dan Grisham, 2012).

Gambar 2.5 Struktur Kimia L-Arginine

(https://commons.wikimedia.org/wiki/File:L-arginine_ethyl_ester.png)

L-Arginine (2-amino-5-guanidinovaleric acid) merupakan asam amino dasar yang terdapat dalam cairan fisiologis tubuh (Wu dkk., 2009). L-Arginine banyak terdapat dalam seafood, jus semangka, kacang-kacangan, biji, alga, daging, konsentrat proteinasi, dan isolaso protein kedelai, namun rendah dalam susu yang berasal dari mamalia. Survei menunjukkan bahwa konsumsi harian orang dewasa di America (US) sebesar 4,4 gram/hari dan sebanyak 25% dari seluruh orang mengkonsumsi dalam jumlah <2,6 gram/hari, yang merupakan konsumsi arginin dibawah kadar optimal (Wu dkk., 2009).


(58)

32

Gambar 2.6

Metabolisme L-Arginine (Ricciardolo dkk., 2004)

Di dalam tubuh, L-arginine diangkut ke dalam sel melalui jalur cationic amino acid transport (CAT) dan dapat dimetabolisme oleh dua kelompok enzim.

Nitric oxide synthase (NOS) mengkonversi L-arginine menjadi Nitric Oxide (NO) dan L-citrulline dalam dua langkah dengan NG-hydroxy-l-arginine sebagai senyawa antara. L-citrulline dapat dikonversi oleh argininosuccinate menjadi L-arginine. NOS konstitutif akan diaktifkan dengan meningkatnya konsentrasi Ca2+ intraseluler. Arginase akan memetabolisme L-arginine menjadi L-ornithine. Lipopolisakarida (LPS) dan beberapa sitokin berperan dalam meningkatkan transportasi L-arginine dan memicu aktivitas arginase. NG-hydroxy-l-arginine


(59)

33

dapat menurunkan aktivitas arginase. Sedangkan NO dapat mengikat kelompok thiol dan membentuk S-nitrosothiol (R-SNO) (Ricciardolo dkk., 2004).

Arginine dibutuhkan dalam berbagai proses fisiologi tubuh termasuk modulasi sistem imun, penyembuhan luka, sekresi hormone, tonus vaskuler, dan fungsi endotel. Arginine juga merupakan precursor dari prolin, sehingga kadar arginin yang cukup diperlukan untuk membantu proses deposisi kolagen, angiogenesis, dan kontraksi luka. Arginine memiliki peran dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan merangsang kesembuhan luka baik pada individu sehat maupun sakit. Pada kondisi stress psikologis, kebutuhan metabolisme arginin meningkat, sehingga pemberian arginin pada terapi penyembuhan luka menunjukkan hasil yang lebih baik (Guo dan DiPietro, 2010).

L-Arginine merupakan salah satu substansi yang meregulasi sintesis Nitric Oxide (NO), produksi antibodi dan perkembangan sel B, ekspresi reseptor sel T yang menyebabkan L-Arginine penting dalam sistem kekebalan bawaan (innate immune system) dan sistem kekebalan dapatan (adaptive immune system). L-Arginine merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh nitrit oksida sintase (Nitric Oxide Synthase/ NOS). NO merupakan molekul pengirim sinyal terhadap setiap jenis sel yang meregulasi jalur metabolisme, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap nutrisi arginin. Kekurangan L-Arginine dalam diet akan menyebabkan gangguan sistesis NO pada mamalia (Wu dkk., 2009; Lewis dan Langkamp-Henken, 2000).


(60)

34

2.7 Hewan Coba Tikus

Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang dipelihara. Tikus merupakan hewan laboraorium yang sering digunakan dalam berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara, cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia, karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010). Klasifikasi ilmiah tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar adalah sebagai berikut (Russel dkk., 2008):

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

2.7.1. Penggunaan tikus

Pada percobaan ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) karena tikus jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai mecam penelitian. Tikus jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat hidup hingga usia 4 tahun (Kusumawati, 2004). Ciri khas tikus galur Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek.


(1)

Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan daripada mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih jarang berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Rat Behaviour dan Biology, 2012).

Tabel 2.2 Data Biologi Tikus

No. Kondisi Biologi Jumlah

1. Berat badan: -jantan 300-400 g

-betina 250-300 g

2. Lama hidup 2,5- 3 tahun

3. Temperatur tubuh 37,50 C

4. Kebutuhan: -air 8-11 ml/100g BB

-makanan 5g/100g BB

5. Pubertas 50-60 hari

6. Lama kehamilan 21-23 hari

7. Tekanan darah: -sistolik 84-184 mmHg

-diastolik 58-145 mmHg

8. Frekuensi: -jantung 330-480/menit

-respirasi 66-114/menit

9. Tidal Volume 0,6-1,25mm

(Russel dkk., 2008)

2.7.2. Pemantauan keselamatan tikus

Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu,


(2)

36

mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan pertukaran udara di dalam kandang harus baik (Ngatidjan, 2006). Setiap hari kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan turun, sukar bernapas ataupun mencret.


(3)

37 3.1 Kerangka Berpikir

Perilaku merokok merupakan salah satu pola hidup yang tidak sehat yang hingga saat ini masih merupakan perilaku yang umum dapat diamati baik pada orang dewasa maupun remaja. Asap rokok mengandung berbagai jenis bahan kimia, sebagian besar diantaranya bersifat toksik seperti nikotin, karbonmonoksida dan tar. Asap rokok ini mengandung lebih dari 1017 radikal bebas per gram dan lebih dari 1015 radikal bebas setiap hisapannya. Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok antara lain aldehida, epoxida, peroxida, nitrit oksida, radikal peroksil, dan radikal lain dengan kandungan karbon dalam fase gas.

Nitric Oxide (NO), sebuah molekul kecil reaktif, merupakan

bioregulator dan biomessenger yang ada di berbagai macam jenis organisme.

NO diketahui merupakan regulator utama otot polos. NO adalah salah satu faktor yang berperan dalam relaksasi sel otot polos pembuluh darah. Penurunan bioavailabilitas NO diakibatkan oleh disfungsi endotel pada pembuluh darah. Merokok menurunkan aktivitas NO secara langsung dan tak langsung. Merokok menurunkan produksi NO dengan menurunkan kadar BH4 (tetrahidrobioprotein). Penurunan bioavailabilitas BH4 mengakibatkan

uncoupling pada eNOS (endothelial Nitrit Oxide Syntase). Selain itu stress


(4)

38

langsung merusak sel endotel yang secara konstitutif mensintesis nitrit oxide

(NO).

Nitric oxide dibentuk dari oksidasi L-Arginin bersama kofaktor

NADPH dan oksigen dengan katalisis enzim NO synthase (NOS). Suplementasi L-arginine dapat membantu mengobati orang dengan faktor risiko aterosklerosis, seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes mellitus, gagal ginjal, hyperhomocysteinemia, merokok, dan kondisi penuaan-yang semuanya yang berkaitan dengan penurunan biosintesis NO. Hal ini karena L-Arginine yang merupakan bahan baku pembentukan NO dapat mencegah penurunan produksi NO yang dimediasi oleh NOS.


(5)

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Konsep Penelitian Keterangan skema

--- Tidak diteliti Diteliti

L-Arginine

Faktor Internal

- Usia

- Genetik

- Radikal bebas

- hormonal

Faktor Eksternal

- Pola makan

- Gaya hidup

- Aktivitas fisik

- Obat-obatan atau zat kimia

Tikus wistar yang di papar asap rokok

Kadar NO jumlah endotel aorta


(6)

40

3.3Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagi berikut.

1. Pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan kadar Nitric

Oxide (NO) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang

dipapar asap rokok

2. Pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan jumlah endotel aorta pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang dipapar asap rokok


Dokumen yang terkait

PENGARUH ANTIOKSIDAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH KERUSAKAN SEL TESTIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR DENGAN ASAP ROKOK

0 18 1

Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri L.) Terhadap Jumlah Sel Goblet Pada Trakea Tikus Putih (Rattus norvegicus strain winstar) yang Dipapar Asap Rokok Akut

0 15 22

PEMBERIAN EKSTRAK BIJI KAKAO (Theobroma cacao L.) MENGHAMBAT PENURUNAN KADAR NITRIC OXIDE (NO) DAN JUMLAH SEL ENDOTEL KORPUS KAVERNOSA TIKUS (Rattus norvegicus) JANTAN WISTAR DIABETES.

0 0 19

Pemberian Kadar L-Arginine Dan Testosteron Undekanoat Oral Meningkatkan Nitric Oxide Plasma Pada Tikus Wistar Jantan Yang Di Orchiectomy.

0 4 69

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK BUAH TOMAT (Solanum lycopersicum) DAPAT MENCEGAH MENURUNAN JUMLAH KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN YANG DIPAPAR SINAR ULTRAVIOLET B.

1 4 16

PEMBERIAN MELATONIN ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN LIMFOSIT DAN LEUKOSIT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIBERI METILPREDNISOLON.

0 0 55

Pengaruh Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) terhadap Kerusakan Alveolus Paru Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dipapar Asap Rokok.

0 0 3

Pengaruh Pemberian Jus Tomat (Solanum lycopersicum) terhadap Jumlah Sel Radang di Alveolus Tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang Dipapar Asap Rokok Kretek Subkronik

0 0 9

Pemberian Ekstrak Biji Kakao (Theobroma cacao L) Menghambat Penurunan Kadar Nitric Oxide (No) dan Jumlah Sel Endotel Korpus Kavernosa Tikus (Rattus norvegicus) Jantan Wistar Diabetes

0 0 6

Norvegicus) Jantan Strain Sprague Dawley yang Dipapar Asap Rokok

0 0 14