PERJUANGAN BPRPI DALAM MENUNTUT TANAH ULAYAT DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN TAHUN 1953-1968.

(1)

PERJUANGAN BPRPI DALAM MENUNTUT TANAH

ULAYAT DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN TAHUN

1953-1968

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Augus Hendarta Batubara

NIM. 309121009

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


(2)

ABSTRAK

Augus Hendarta Batubara. Perjuangan BPRPI Dalam Menuntut Tanah Ulayat di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 1953-1968. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui konflik pertanahan di Sumatera Utara, terkhususnya di daerah bekas perkebunan Deli yang diklaim BPRPI, 2. Menggali dan mendokumentasikan dalam bentuk tulisan tentang perjuangan BPRPI dalam menuntut hak atas tanah adat yang diklaimnya, 3. Untuk mengetahui contoh nyata konflik agraria yang menjadi salah satu penyebab dari ketidakstabilan sosial serta sebagai akibat dari pertentangan yang lahir dari perbedaan kepentingan antar kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah (historical research) serta penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data-data sekunder. Dalam analisa data digunakan metode deskriptif dengan menggunakan analisis sejarah.

Hasil penelitian yang diperoleh penulis adalah BPRPI tetap konsisten dalam memperjuangkan klaim atas tanah adatnya dengan cara-cara yang konstitusional dan sesuai dengan tata perundang-undangan yang berlaku serta tetap selalu berlandaskan alas hak yang mereka pegang. BPRPI dalam perjuangannya mendapat pertentangan dari kelompok-kelompok yang ikut berkepentingan atas tanah bekas tanaman tembakau perkebunan Deli seperti ormas petani dan PTP IX (PTPN II) sebagai pemegang HGU dari pemerintah. Belum lagi ditambah dengan ketidakseriusan pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam negara dengan segala kebijakan yang dikeluarkannya malah semakin menggantung nasib Rakyat Penunggu yang bernaung dalam BPRPI. BPRPI sebagai organisasi massa tidak hanya membatasi keanggotaannya kepada masyarakat Melayu melainkan juga mereka yang secara sejarah turut serta menjadi Rakyat Penunggu tanah tanaman tembakau perkebunan Deli dan tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang simpatik dan ingin ikut serta dalam perjuangan Rakyat Penunggu sekalipun bukan masyarakat Melayu ataupun Rakyat Penunggu. Kepercayaan yang begitu besar dari BPRPI sebagai pihak yang berhak atas bekas tanah jaluran tanaman tembakau perkebunan Deli menjadikan BPRPI masih tetap bertahan sampai sekarang dalam perjuangannya.

Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa BPRPI memiliki organisasi yang solid dan perjuangan yang tiada henti karena kepercayaannya atas hak ulayat mereka, mulai dari masa awal pembentukannya hingga sekarang.


(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada segala yang memberi kehidupan hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul: Perjuangan BPRPI Dalam Menuntut Tanah Ulayat di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 1953-1968, yang penulis laksanakan dalam upaya memenuhi persyaratan untuk ujian dalam rangka mendapat gelar Sarjana Pendidikan serta sampai pada saat ini masih bisa berdialektika dalam segala kontradiksi yang terjadi dalam segala segi-segi kehidupan masyarakat menuju gerak yang lebih baru dan maju.

Penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai kelemahan dan kesalahan, baik dari metode, kesempurnaan data maupun keterbatasan penulis sendiri sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari kawan-kawan sekalian agar skripsi ini dapat dijadikan pegangan untuk kajian ilmiah.

Hingga selesainya perkuliahan dan skripsi ini, penulis mendapatkan sangat banyak bantuan, dukungan dan pembelajaran, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor Unimed Prof. Dr. Ibnu Hajar Damanik, M.Pd. beserta semua aparatur dalam lingkungan universitas

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dr. Restu, M.Si beserta staff fakultas

3. Ketua jurusan Pendidikan Sejarah Dra. Lukitaningsih, M.Hum, serta dosen pembanding ahli skripsi penulis

4. Sekretaris jurusan Ibu Dra. Hafnita SD Lubis, M.Si sekaligus dosen pembimbing skripsi

5. Bapak dan Ibu dari penulis sebagai pemberi kehidupan dan pendidikan pertama serta yang paling berpengaruh dalam kehidupan penulis

6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Sejarah yang telah membantu pembelajaran penulis selama mengikuti pendidikan di Universitas Negeri Medan


(6)

7. Teristimewa rekan-rekan juang di Barisan Demokrat (BARSDem). Putink, Abatink, Bolank, Muncunk, Sumbink, Kolink, Barunk, Balink, Kurdenk, Motenk, Gellenk, Jogank, Gononk,, Kalank, Musenk, Irenk, Tantunk, Mordonk, Istenk, Raffles, Lekonk, Jorenk, Manjank, Cemprenk dan Novi. Terima kasih yang untuk segala pembelajaran yang tidak terhingga! Salam Demokrasi!!!

8. Kawan-kawan A-Reguler 2009 (Dayak). Semoga perjalanan selama ini menjadi pembelajaran serta memori yang tidak akan hilang. Terima kasih! 9. Adik-adik ku di Jurusan Pendidikan Sejarah yang tidak pernah lupa

mengingatkan dan menanyakan tentang pengerjaan skripsi dan waktu sidang, terkhususnya Ikatan Mahasiswa Kristen Sejarah (IMKRIS) dan Kelompok Lingkaran Baca. Terima kasih!

10.Pengurus BPRPI, terkhususnya Bung Khairul Buchari. Terima kasih untuk semua bantuannya. Semoga perjuangan BPRPI dapat terwujud sebagaimana yang dicita-citakan. Tanah untuk rakyat!

11.Kawan-kawan mahasisa, Mafrija, Yudhis, Tia, Iven, Ampara Pomo, Duem dll. Semoga bisa bertemu kembali di kemudian hari.

Akhir kata penulis berharap kiranya penulisan yang sederhana ini dapat merasionalisasi pemikiran kita untuk pengembangan ilmu yang kita dapatkan selama ini serta berguna untuk kemajuan gerakan rakyat di kemudian hari. Dengan segaka kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Penulis

Augus Hendarta Batubara NIM. 309121009


(7)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Dokumentasi Foto

Lampiran 2 : Instrumen Wawancara Lampiran 3 : Biodata Informan


(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara agraris yang berarti bahwa penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pendapatan nasional sebagian besar bersumber dari sektor pertanian. Pertanian adalah sebuah usaha produksi. Pertanian merupakan sebuah usaha produksi dengan menggunakan alat kerja berupa cangkul, traktor, parang, pisau atau alat kerja lainnya untuk mengolah sasaran kerja berupa tanah dengan tenaga kerja yang berasal dari manusia. Dalam hal ini sasaran kerja berupa tanah menempati posisi yang sangat penting dan terbatas. Dengan demikian tanah adalah unsur atau komponen inti dalam usaha produksi pertanian atau dengan kata lain tanpa keberadaan tanah maka usaha produksi pertanian tidak akan bisa berjalan.

Sejarah panjang perkembangan masyarakat mencatat bahwa penguasaan tanah selalu memunculkan permasalahan yang kompleks dari masa ke masa. Stephen K. Sanderson (1995:114-115) mengemukakan pada masyarakat holtikultura yang masih menjadi bagian dari pola kepemilikan komunisme primitif penguasaan atas tanah sudah menjadi perhatian masyarakat:

dalam masyarakat tersebut bentuk kekayaan yang paling penting adalah tanah. Ketika keluarga besar memiliki tanah secara bersama, maka para anggota kelompok tersebut berpartisipasi dalam pemanfaatan tanah tersebut hanya karena mereka anggota keluarga besar tersebut... Pemilikan oleh keluarga besar lebih eksklusif atau lebih terbatas karena membuat pemilikan dan penggunaan sumber daya berharga tergantung kepada keanggotaan kelompok keluarga. Dalam berbagai masyarakat yang menganut pemilikan oleh keluarga besar, tidak semua anggota masyarakat mempunyai ekses yang sama terhadap kekuatan-kekuatan produksi, walaupun semua anggota adalah anggota keluarga besar yang sama.

Penguasaan tanah juga menjadi salah satu sebab yang paling utama dari kolonialisme di Indonesia dimana Belanda berusaha untuk menguasai seluruh tanah Indonesia yang subur untuk ditanami tanaman komoditas ekspor seperti


(9)

rempah-rempah, karet, tembakau dan kopra. Masalah penguasaan tanah oleh pemimpin-pemimpin Pergerakan Nasional sejak abad XX sudah dikenal dan dihayati sebagai masalah dasar yang mengakibatkan kemelaratan di kalangan rakyat Indonesia. Permasalahan tanah yang berkaitan dengan keadaan ekonomi dan sosial penduduk pedesaan mulai menumpuk sejak awal abad XIX, dan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda menjalankan pemerintahan secara langsung setelah VOC bangkrut (1799) lebih mengeksploitasi sumber daya tanah dengan cara-cara terpimpin misalnya Tanam Paksa (Cultuurstelsel) antara tahun 1830-1870. Setelah Domein Verklaring pemerintah jajahan memberikan peranan lebih besar kembali kepada perusahaan-perusahaan pertanian asing yang berupa perusahaan-perusahaan pertanian asing yang berupa perkebunan-perkebunan karet, tembakau, kelapa sawit, karet, teh, dan sebagainya (Tjondronegoro 1984: xi).

Kepentingan akan penguasaan alat produksi tanah ini lalu memunculkan pola kepemilikan baru dalam bentuk liberalisasi kepemilikan tanah yang menjadi cikal bakal dari tumbuhnya kapitalisme di Indonesia yang terwujud dari penetapan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet 1870) yang pada intinya:

 Tanah milik rakyat tidak dapat diperjual belikan kepada non pribumi

 Disamping itu tanah domain pemerintah sampai seluas 10 Bau dapat dibeli oleh non pribumi untuk keperluan bangunan perusahaan

 Untuk tanah domain lebih luas ada kesempatan bagi non pribumi memiliki hak guna, ialah:

Bagian tanah dan hak membangun (recht van opstal/RPO)

Tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan) untuk jangka waktu 75 tahun

Berdasarkan undang-undang tersebut pihak pengusaha swasta diberikan kesempatan seluas-luasnya menjalankan roda perekonomian di wilayah Hindia Belanda karena di dalam Agrarische Wet diatur tentang hak erfpacht, semacam Hak Guna Usaha (HGU) yang memungkinkan seseorang menyewa tanah terlantar


(10)

yang telah menjadi milik negara yang selama maksimum 75 tahun sesuai kewenangan yang diberikan hak eigendom (kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan. Dampak dikeluarkannya UU Agraria antara lain perkebunan diperluas, baik di Jawa maupun diluar pulau Jawa. Daerah di luar pulau Jawa yang menjadi sasaran utama ekspansi perkebunan swasta asing adalah Sumatera Timur yang terkonsentrasi pada wilayah tanah Deli.

Pada penghujung abad ke 19, tanah Deli merupakan daerah tujuan utama

onderneming dengan komoditas utama tembakau dikarenakan tanahnya yang

sangat subur dan cocok untuk tanaman bahan dasar rokok ini, dengan sistem sewa tanah dari Sultan, ataupun dari masyarakat setempat. Kedatangan pengusaha

onderneming secara besar-besaran ke tanah Deli dimulai oleh Jacobus Nienhuys,

seorang pengusaha onderneming muda asal Belanda, atas rekomendasi Pangeran Said Abdullah Ibnu Umar Bilsagih yang menceritakan bahwa tembakau bermutu tinggi dapat ditanam di Medan dengan jumlah yang besar (Pelzer 1978:51). Nienhuys kemudian segera mendatangi tanah Deli sebagai perwakilan dari perusahaan dagang Pieter van den Arend & Consortium dan mendapatkan ijin dari Sultan Deli untuk menanam tembakau di lahan seluas 75 Hektar. Kedatangan Nienhuys kemudian diikuti pengusaha-pengusaha Belanda lainnya dengan pendirian Deli Maatschappij (1869), perusahaan pertama di Sumatera Timur, disusul perusahaan-perusahan lain seperti Arensburg (1876), Rotterdam Deli Maatsschappij (1881), Maskapai Senembah (1889), Harrison and Crossfield (1906), Amsterdam Deli Compagnie (1979) dll.

Dibukanya Sumatera Timur sebagai daerah perkebunan merubah konstelasi sosio-ekonomi daerah ini. Perubahan pertama yang terjadi adalah mulai dikenalnya sistem kerja upahan di Sumatera Timur yang buruh-buruhnya didatangkan dari Cina dan Pulau Jawa dan yang paling terasa bagi masyarakat adat setempat (cikal bakal rakyat penunggu) adalah berubahnya sistem pertanian mereka. Sebelum kedatangan pengusaha swasta asing kolonial, masyarakat membuka hutan dan menanam padi dengan sistem ladang berpindah (ladang reba). Akan tetapi sesudah industri perkebunan tembakau mulai beroperasi cara bercocok tanam ladang berpindah masyarakat adat ikut berubah. Masyarakat adat


(11)

tidak lagi membuka hutan, tetapi menggunakan lahan jaluran bekas tanaman tembakau sebagai perladangannya (Komnas HAM dan Sawit Watch (Tanpa Tahun) :55-56).

Sistem perjanjian kontrak sewa perusahaan onderneming ini dengan sultan-sultan setempat (Deli, Langkat, dan Serdang) sebenarnya mensyaratkan ketentuan bahwa setiap keluarga yang bertempat tinggal dalam daerah konsesi akan diserahkan empat hektar, atau dalam konsesi-konsesi kemudiannya empat bahu (2,8 hektar), atas dasar pindah tempat untuk mereka kerjakan. Dalam prakteknya perkebunan tembakau cenderung mengabaikan ketentuan ini, memanfaatkan semua tanah dari konsesi itu untuk mereka tanami. Begitu berharganya tembakau Deli yang luar biasa mutunya untuk membungkus cerutu ini, sehingga kaum planters (orang Eropa yang bekerja di perkebunan) begitu borosnya menggunakan tanah, yakin bahwa setiap tumpak tanah hanya boleh ditanami tembakau satu kali dalam delapan atau sembilan tahun. Sistem menggilirkan pemanfaatan tanah ini memungkinkan perkebunan untuk menyerahkan tanah sedang “menganggur” sesudah panen tembakaunya untuk dipakai penduduk selama satu tahun dimana mereka bisa berladang. Setelah satu tahun tanah ini kembali dikosongkan sampai enam atau tujuh tahun untuk kemudian dipersiapkan kembali bagi penanam tembakau. Tanah perkebunan yang boleh dipakai penduduk untuk satu tahun itu dinamakan tanah jaluran. Setiap keluarga penduduk mendapatkan 0,6 hektar tanah jaluran untuk satu tahun pemakaian (Reid 1987:90). Masyarakat yang menunggu tembakau panen agar dapat menanami bekas jaluran tembakau dengan padi atau palawija inilah yang dinamakan rakyat penunggu. Berkenaan dengan kepemilikan lahan, dalam Kontrak Belanda dengan Sultan Deli dinyatakan bahwa tanah-tanah yang dikontrakkan adalah milik masyarakat (rakyat penunggu) sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Kegiatan pertanian masyarakat (rakyat penunggu) diakui dan dicantumkan dalam akta konsesi tahun 1877, 1878, 1884, dan 1892. Akta konsesi tersebut mengakui dan mencantumkan hak-hak masyarakat adat untuk dapat mengolah tanahnya meskipun di atas tanah itu ditanami tembakau.


(12)

Ketika Jepang berkuasa, kebijakan di bidang perkebunan pun berubah, pihak penjajah Jepang tidak lagi mengelola tanah tersebut untuk perkebunan melainkan untuk tanaman pangan terutama padi, guna keperluan stok pangan perang. Dalam menjalankan isi kebijakan tersebut pihak Jepang secara otomatis tidak lagi menerapkan isi konsesi, melainkan memperbolehkan semua masyarakat untuk mengerjakan lahan perkebunan tersebut diubah menjadi lahan tanaman pangan. Bahkan Jepang memobilisasi pendatang agar menanami tanah-tanah perkebunan yang kosong dengan padi dan jagung.

Keadaan menjadi sangat berubah, ketika Indonesia merdeka. Keadaan yang dinamis akibat revolusi sosial jaman pergerakan membuat posisi rakyat penunggu marjinal dimana banyak lahan-lahannya diserobot dan dipakai oleh penggarap liar. Puncaknya ketika sebagian besar wilayah tanah-tanah adat/ulayat rakyat penunggu dialihkan menjadi tanah negara dan diusahakan kepada PTPN II (Eks PTP IX) (Komnas HAM dan Sawit Watch (Tanpa Tahun):57-58).

Peristiwa revolusi sosial dan pendudukan oleh para penggarap liar semakin merubah tatanan yang sudah ada sejak lama. Rakyat penunggu semakin identik dengan Kesultanan Deli, dimana Kesultanan Deli waktu itu direpresentasikan sebagai kekuatan orde tradisional patrimonial yang hubungannya sangat dekat dengan Belanda, dimana Kesultanan Deli cenderung bersikap ragu menerima kehadiran republik. Pendudukan oleh penggarap liar semakin hari semakin tidak terbendung oleh pemerintah sehingga luas tanah perkebunan semakin menciut. Rakyat penunggu sendiri tidak terlibat dalam penciutan tanah perkebunan tembakau karena mereka masih berpegang teguh pada Hukum adat.

Akibat penciutan tanah perkebunan tembakau ini pemerintah bersama pihak perkebunan sepakat untuk memangkas areal perkebunan seluas 130.000 Ha dan dikembalikan kepada pemerintah untuk didistribusikan. Kesepakatan ini tidak memberitahukan apalagi mengikutsertakan Pemangku-pemangku Adat Rakyat Penunggu. Penciutan lahan perkebunan ini langsung ditindaklanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan mengeluarkan keputusan No. Agr. 12/14 tanggal 28 Juni 1951. Dengan keputusan ini luas areal perkebunan Tembakau Deli tinggal


(13)

125.000 Ha dan luas tanah yang sudah dipangkas itu telah diberikan kepada rakyat yang terlebih dahulu menggarapnya. (Komnas HAM dan Sawit Watch (Tanpa Tahun):59-60). Situasi ketidakadilan peralihan dan penghapusan hak terutama tanah-tanah adat rakyat penunggu itulah yang menjadi titik awal lahirnya Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) pada tanggal 19 April 1953.

Perjuangan rakyat penunggu melalui wadah organisasi BPRPI dalam menuntut hak atas tanah ulayat mereka selama bertahun-tahun telah melewati berbagai jalan, baik melalui aksi reclaiming tanah, pengajuan tuntutan kepada DPR dan pemerintah, maupun melalui jalur hukum. Bahkan tidak jarang BPRPI bentrok dengan aparat kepolisian dalam aksinya. Berdasarkan UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 sebenarnya hak-hak ulayat masyarakat penunggu yang diperjuangkan oleh BPRPI diakui keberadaannya, namun sampai saat ini tindak lanjutnya oleh pemerintah masih sangat tidak jelas.

Bertitik tolak dari masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan melakukan sebuah penelitian ilmiah dengan judul:

“Perjuangan BPRPI Dalam Menuntut Tanah Ulayat di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 1953-1968”

B. Identifikasi Masalah

1. Proses penyelesaian sengketa tanah adat yang diklaim BPRPI tidak mendapatkan kejelasan dari pemerintah.

2. BPRPI dalam perjuangan menuntut tanah adat dan hak-haknya sering menerima kekerasan dari pihak pemerintah dan PTPN II selaku pemegang HGU (Eks PTP IX) melalui aparat keamanan negara.

3. Konflik yang terjadi antara BPRPI dengan masyarakat penggarap di daerah klaim tanah adat BPRPI


(14)

C. Pembatasan Masalah

Untuk lebih mempermudah penulis dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, penulis membatasi masalah, apa saja hal yang dilakukan oleh BPRPI di Kecamatan Percut Sei Tuan sebagai sebuah organisasi dalam dalam perjuangannya menuntut hak ulayat mereka dalam rentang tahun 1953-1968.

D. Rumusan Masalah

Apa saja hal yang dilakukan dan bagaimana proses perjuangan BPRPI di Kecamatan Percut Sei Tuan dalam menuntut hak-hak ulayat mereka pada tahun 1953-1968

E. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui konflik pertanahan di Sumatera Utara, terkhususnya di daerah bekas perkebunan Deli yang diklaim BPRPI

2. Menggali dan mendokumentasikan dalam bentuk tulisan tentang perjuangan BPRPI dalam menuntut hak atas tanah adat yang diklaimnya. 3. Untuk mengetahui contoh nyata konflik agraria yang menjadi salah satu

penyebab dari ketidakstabilan sosial serta sebagai akibat dari pertentangan yang lahir dari perbedaan kepentingan antar kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

F. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Untuk menanamkan jiwa dan semangat pergerakan bagi rakyat Indonesia yang hak-haknya masih belum dipenuhi sebagai warga negara Republik Indonesia.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian pada permasalahan yang sama atau berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.


(15)

3. Menambah perbendaharaan perpustakaan Unimed khususnya Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Sejarah

4. Rekomendasi kepada masyarakat, nilai-nilai perjuangan yang telah dilakukan oleh BPRPI dalam menuntut dan memperjuangkan hak-hak ulayatnya serta haknya sebagai warga negara Indonesia.


(16)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Sejarah lahan tanah jaluran di Sumatera Timur bermula dari kedatangan

onderneming swasta yang dimulai oleh J. Nienhuys yang mampu menghasilkan

50 bal tembakau dan merupakan pemanenan tembakau pertama di Sumatera Timur. Tembakau Deli ini ternyata bermutu tinggi dan harum aromanya sehingga mendapat tempat di pasaran dunia.

Keberhasilan Nienhuys kemudian mendorong perusahaan perkebunan lainnya untuk datang ke Sumatera Timur. Tercatat (1863-1891) selama 28 tahun terdapat 170 perkebunan. Ratusan perkebunan ini beroperasi merentang dari Sungai Wampu sampai Sungai Ular dengan perkiraan luas lahan mencapai 250.000 Ha. Keberadaan perkebunan ini merubah pola pertanian masyarakat setempat yang sebelumnya melakukan pertanian gilir balik (ladang berpindah) atau disebut dengan bertani reba dan petaninya disebut petani reba yakni membuka hutan dalam dalam membuat tanah pertaniannya menjadi pertanian jaluran, yaitu masyarakat menanam padi atau palawija setelah tembakau selesai dipanen. Masyarakat yang menunggu tembakau panen agar dapat menanami bekas jaluran tembakau dengan padi atau palawija inilah cikal bakal yang dinamakan Rakyat Penunggu. Setelah padi dipanen maka masyarakat (Rakyat Penunggu) meninggalkan tanah jaluran tersebut dengan segera karena tanah ini akan dihutankan kembali atau dirotasikan dan masyarakat (Rakyat Penunggu) kembali ke kampung halamannya. Untuk tahun depannya, masyarakat (Rakyat Penunggu) akan mencari lagi tanah bekas panenan tembakau di wilayah adatnya.

Kontrak yang dilakukan pihak perkebunan dengan sultan terkait konsesi tanah dicantumkan dalam akta konsesi 1877, 1878, 1884, 1892. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika membuat akta konsesi sultan tidak mengerti tentang permasalahan tanah dan seolah mengabaikan hak-hak masyarakat atau kaulanya. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian mengenai pengakuan atas


(17)

keberadaan dari Rakyat Penunggu sendiri dan penentuan mengenai siapa yang berhak atau pemilik dari tanah yang ditanami oleh perkebunan itu. Hal ini menjadi sangat penting karena menyangkut keberlangsungan dari Rakyat Penunggu yang mulai dari kedatangan Jepang hingga sekarang tetap terdesak oleh kekuatan-kekuatan yang berkepentingan atas tanah yang begitu luas ini.

Keberadaan dari Rakyat Penunggu dalam akta konsesi 1877 tidak disebutkan dengan jelas karena akta konsesi itu hanya menyebutkan kata penduduk namun ada penguatan dan pengakuan akan adanya hak ulayat yang pada hakekatnya dipegang oleh kampung, namun. Sementara akta konsesi 1878 menyebutkan tentang hak-hak orang asli, misalnya mengenai tanah yang dipakai tanaman tembakau, sesudah panen tanah itu mesti diserahkan kepada siapa belum ada penjelasan. Dalam akta konsesi 1884 tidak saja memasukkan hak-hak rakyat, melainkan juga tanah jaluran. Ini artinya dalam akta konsesi masa itu tanah jaluran yang diusahakan orang Melayu diakui secara resmi, dan terakhir pada akta konsesi 1892 tanah jaluran tetap dicantumkan, diakui dan dipertahankan. Namun pada intinya siapa yang berhak atas tanah jaluran tidak pernah dipertegas dalam akta konsesi.

Sistem pertanian tanah jaluran ini berubah setelah kedatangan Jepang. Jepang tidak lagi menerapkan isi konsesi dan lebih memprioritaskan tanaman-tanaman yang berguna untuk stok perang seperti padi dan palawija, bahkan untuk mempercepat dan memaksimalkan hal ini Jepang memobilisasi masyarakat untuk datang ke daerah ini menanami tanaman kebutuhan stok perang. Sebagai akibatnya keberadaan masyarakat penunggu menjadi marjin dimana mereka terdesak dan harus bersaing dengan masyarakat pendatang di tanah adat mereka sendiri.

Kondisi pun semakin menyudutkan mereka setelah Indonesia merdeka dimana terjadi nasionalisasi terhadap perkebunan swasta asing oleh pemerintah dan tanahnya diambil alih lalu dibagi-bagikan kepada masyarakat tanpa diberitahukan terlebih dahulu kepada tetua-tetua adat Rakyat Penunggu. Terlebih


(18)

lagi tanah-tanah yang dibagi-bagikan tersebut tidak diketahui yang mana dan kepada siapa sebenarnya didistribusikan.

Banyaknya permasalahan serta tindakan penyudutan kepada Rakyat Penunggu inilah yang menjadi sebab dari pendirian organisasi BPRPI pada tahun 1953 atas inisiatif masyarakat adat serta bekas bangsawan kesultanan sebagai wadah untuk menyatukan Rakyat Penunggu dan menguatkan status perjuangan mereka supaya lebih termanajemen dengan dengan baik dan jelas.

Banyaknya keberadaan organisasi-organisasi massa yang turut berkepentingan atas tanah yang begitu luas ini menambah berat perjuangan BPRPI sendiri, mereka harus melawan tiga pihak secara langsung yaitu ormas petani, PTP IX (PTPN II) dan pemerintah sebagai penguasa yang cenderung tidak peduli dengan nasib mereka. Kondisi ini tidak jauh berbeda ketika rejim Orde Lama tumbang pasca Gerakan 30 September 1965 dimana BPRPI sempat menggantungkan harapan agar permasalahan tanah jaluran dan keberadaan mereka diselesaikan dan diakui. Namun ternyata kenyataan yang dialami BPRPI jauh dari harapan karena orientasi dari Orde Baru yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri dan tidak meletakkan persoalan pertanahan sebagai prioritas utamanya, sebagai akibatnya dapat dimengerti sewaktu BPRPI meminta pemulihan hak adatnya tidak memperoleh sambutan dari pemerintah.

Puncak dari ketidakberpihakan pemerintahan Orde Baru terhadap permasalahan tanah terkhususnya di Sumatera Timur terjadi saat dikeluarkannya Surat Keterangan (SK) Gubernur Sumatera Utara, bertanggal 16 Juli 1968 No. 370/III/GSU 1968 tentang penghapusan hak masyarakat adat terhadap tanah jaluran. Masyarakat adat yang bernaung di bawah BPRPI saat itu merespon dengan menduduki secara serentak tanah-tanah jaluran yang menjadi tanah perkebunan PTP IX (PTPN II). Mereka lalu membuat patok-patok di berbagai kampung dan mendirikan posko-posko penjagaan. Pihak perkebunan bersama dengan aparat keamanan lalu menanggapi aksi BPRPI tersebut dengan melakukan


(19)

pengusiran dan berakhir dengan bentrok fisik dan menimbulkan satu korban tewas. Namun peristiwa tersebut tidak menghentikan perjuangan BPRPI dalam menuntut tanah ulayatnya dan pengakuan atas keberadaan mereka sebagai Rakyat Penunggu di wilayah adatnya.

B. Saran

I. BPRPI sebagai organisasi masyarakat adat yang cukup besar dan sudah bertahan selama 60 tahun dalam perjuangannya kurang memperhatikan dokumentasi dan penelitian. Hal ini diketahui dari kurangnya data dan informasi mengenai kegiatan dan perjuangan mereka pada tahun 1950-an. Bahkan buku-buku mengenai perjuangan mereka ditulis oleh mereka yang bukan anggota BPRPI. Karena itu penulis menyarankan kepada BPRPI untuk mencari/meneliti data dan dokumen mengenai kegiatan dan perjuangan mereka pada masa-masa tersebut. Dokumentasi menjadi hal yang sangat urgen dan penting mengingat setiap langkah yang akan dilakukan tentu harus berpijak dari sejarah agar kesalahan-kesalahan dan permasalahan yang ada di masa lalu tidak menjadi ganjalan bagi generasi BPRPI di masa sekarang dan masa yang akan datang.

II. Pemerintah harus memberikan solusi yang lebih tegas dan menjamin tentang keamanan masyarakat BPRPI yang sampai saat ini belum diakui keberadaannya oleh pemerintah pusat. Sudah banyak peraturan yang yang dikeluarkan pemerintah mengenai permasalahan ini namun isinya tidak pernah tegas menyebut tentang perlindungan yang diberikan kepada BPRPI sebagai masyarakat adat yang keberadaannya diakui dalam pasal 3 UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960. Begitu pula dengan para penggarap liar yang bermukim dan mengerjakan tanah ini juga perlu ditindaklanjuti karena keberadaan mereka di bekas tanah jaluran seringkali akibat permainan mafia tanah ataupun dengan cara pendudukan paksa serta perang terbuka dengan mereka yang saling berkepentingan atas tanah ini, hal ini tentu saja mengesankan seolah pemerintah abai dan wilayah ini seperti wilayah barbar tanpa adanya pemerintahan yang berkuasa.


(20)

III. Kepada masyarakat, akademisi dan aktivis sosial agar lebih peduli terhadap permasalahan tanah yang sangat rumit dan kompleks di daerah ini. Desakan-desakan dari masyarakat, aktivis dan akademisi agar pemerintah lebih tanggap dan tegas sangat berguna agar permasalahan ini lebih cepat diselesaikan dan mereka sebagai pihak ketiga untuk tetap mengawasi dan mengawal setiap kebijakan dan tindakan pemerintah yang dikeluarkan terhadap permasalahan ini.


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Ardial. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. 2005. Medan: Kencana.

Bachriadi, Dianto. Dari Lokal ke Nasional Kembali ke Lokal. 2012. Bandung: ARC BooKS.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan Percut Sei Tuan

Dalam Angka 2013. 2013. BPS Kabupaten Deli Serdang.

Komnas HAM dan Sawit Watch. HGU dan HAM – Hak Guna Usaha dan Hak Asasi Manusia. Tanpa tahun. Tanpa kota: Sawit Watch.

Lourimer, Doug. Pokok-pokok Materialisme Historis – Pandangan Marxis Terhadap Sejarah dan Politik. 2013. Yogyakarta: Bintang Nusantara Publishing

House.

Noeh, Harun. Tanah Adat Rakyat Penunggu Kampong Menteng. 2013 (Pidato 60 Tahun BPRPI)

Pelzer, Karl J. Toean Keboen dan Petani – Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. 1985. Jakarta: Sinar Harapan.

Reid, Anthony. Perjuangan Rakyat – Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. 1987. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rinaldi, Rivan. Pengaruh Konflik Perebutan Hak Kepemilikan Tanah PTPN II

Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi di Desa Tunggurono Kecamatan Binjai Timur. 2012: Skripsi Tidak Dipublikasikan

Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro – Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. 1995. Jakarta: Rajawali Pers.

Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. 2012 Yogyakarta: Penerbit Ombak. Soekanto, Soerjono. Sosiologi, Suatu Pengantar. 2001. Jakarta: Rajawali Pers. Tjondronegoro, Soediono M.P. & Wiradi, Gunawan. 1984. Dua Abad


(22)

Sumber Lain:

http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2099365-pengertian-land-reform/#ixzz2mMIFAhi6 (diakses pada 5 Desember 2013, Pukul 11.00)

http://bprpi.wordpress.com/2011/05/01/sejarah-tanah-adat-dan-perjuangan-rakyat-penunggu-bagian-ii/ (diakses pada 21 Januari 2014, Pukul 14.00)


(1)

keberadaan dari Rakyat Penunggu sendiri dan penentuan mengenai siapa yang berhak atau pemilik dari tanah yang ditanami oleh perkebunan itu. Hal ini menjadi sangat penting karena menyangkut keberlangsungan dari Rakyat Penunggu yang mulai dari kedatangan Jepang hingga sekarang tetap terdesak oleh kekuatan-kekuatan yang berkepentingan atas tanah yang begitu luas ini.

Keberadaan dari Rakyat Penunggu dalam akta konsesi 1877 tidak disebutkan dengan jelas karena akta konsesi itu hanya menyebutkan kata penduduk namun ada penguatan dan pengakuan akan adanya hak ulayat yang pada hakekatnya dipegang oleh kampung, namun. Sementara akta konsesi 1878 menyebutkan tentang hak-hak orang asli, misalnya mengenai tanah yang dipakai tanaman tembakau, sesudah panen tanah itu mesti diserahkan kepada siapa belum ada penjelasan. Dalam akta konsesi 1884 tidak saja memasukkan hak-hak rakyat, melainkan juga tanah jaluran. Ini artinya dalam akta konsesi masa itu tanah jaluran yang diusahakan orang Melayu diakui secara resmi, dan terakhir pada akta konsesi 1892 tanah jaluran tetap dicantumkan, diakui dan dipertahankan. Namun pada intinya siapa yang berhak atas tanah jaluran tidak pernah dipertegas dalam akta konsesi.

Sistem pertanian tanah jaluran ini berubah setelah kedatangan Jepang. Jepang tidak lagi menerapkan isi konsesi dan lebih memprioritaskan tanaman-tanaman yang berguna untuk stok perang seperti padi dan palawija, bahkan untuk mempercepat dan memaksimalkan hal ini Jepang memobilisasi masyarakat untuk datang ke daerah ini menanami tanaman kebutuhan stok perang. Sebagai akibatnya keberadaan masyarakat penunggu menjadi marjin dimana mereka terdesak dan harus bersaing dengan masyarakat pendatang di tanah adat mereka sendiri.

Kondisi pun semakin menyudutkan mereka setelah Indonesia merdeka dimana terjadi nasionalisasi terhadap perkebunan swasta asing oleh pemerintah dan tanahnya diambil alih lalu dibagi-bagikan kepada masyarakat tanpa diberitahukan terlebih dahulu kepada tetua-tetua adat Rakyat Penunggu. Terlebih


(2)

lagi tanah-tanah yang dibagi-bagikan tersebut tidak diketahui yang mana dan kepada siapa sebenarnya didistribusikan.

Banyaknya permasalahan serta tindakan penyudutan kepada Rakyat Penunggu inilah yang menjadi sebab dari pendirian organisasi BPRPI pada tahun 1953 atas inisiatif masyarakat adat serta bekas bangsawan kesultanan sebagai wadah untuk menyatukan Rakyat Penunggu dan menguatkan status perjuangan mereka supaya lebih termanajemen dengan dengan baik dan jelas.

Banyaknya keberadaan organisasi-organisasi massa yang turut berkepentingan atas tanah yang begitu luas ini menambah berat perjuangan BPRPI sendiri, mereka harus melawan tiga pihak secara langsung yaitu ormas petani, PTP IX (PTPN II) dan pemerintah sebagai penguasa yang cenderung tidak peduli dengan nasib mereka. Kondisi ini tidak jauh berbeda ketika rejim Orde Lama tumbang pasca Gerakan 30 September 1965 dimana BPRPI sempat menggantungkan harapan agar permasalahan tanah jaluran dan keberadaan mereka diselesaikan dan diakui. Namun ternyata kenyataan yang dialami BPRPI jauh dari harapan karena orientasi dari Orde Baru yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri dan tidak meletakkan persoalan pertanahan sebagai prioritas utamanya, sebagai akibatnya dapat dimengerti sewaktu BPRPI meminta pemulihan hak adatnya tidak memperoleh sambutan dari pemerintah.

Puncak dari ketidakberpihakan pemerintahan Orde Baru terhadap permasalahan tanah terkhususnya di Sumatera Timur terjadi saat dikeluarkannya Surat Keterangan (SK) Gubernur Sumatera Utara, bertanggal 16 Juli 1968 No. 370/III/GSU 1968 tentang penghapusan hak masyarakat adat terhadap tanah jaluran. Masyarakat adat yang bernaung di bawah BPRPI saat itu merespon dengan menduduki secara serentak tanah-tanah jaluran yang menjadi tanah perkebunan PTP IX (PTPN II). Mereka lalu membuat patok-patok di berbagai kampung dan mendirikan posko-posko penjagaan. Pihak perkebunan bersama dengan aparat keamanan lalu menanggapi aksi BPRPI tersebut dengan melakukan


(3)

pengusiran dan berakhir dengan bentrok fisik dan menimbulkan satu korban tewas. Namun peristiwa tersebut tidak menghentikan perjuangan BPRPI dalam menuntut tanah ulayatnya dan pengakuan atas keberadaan mereka sebagai Rakyat Penunggu di wilayah adatnya.

B. Saran

I. BPRPI sebagai organisasi masyarakat adat yang cukup besar dan sudah bertahan selama 60 tahun dalam perjuangannya kurang memperhatikan dokumentasi dan penelitian. Hal ini diketahui dari kurangnya data dan informasi mengenai kegiatan dan perjuangan mereka pada tahun 1950-an. Bahkan buku-buku mengenai perjuangan mereka ditulis oleh mereka yang bukan anggota BPRPI. Karena itu penulis menyarankan kepada BPRPI untuk mencari/meneliti data dan dokumen mengenai kegiatan dan perjuangan mereka pada masa-masa tersebut. Dokumentasi menjadi hal yang sangat urgen dan penting mengingat setiap langkah yang akan dilakukan tentu harus berpijak dari sejarah agar kesalahan-kesalahan dan permasalahan yang ada di masa lalu tidak menjadi ganjalan bagi generasi BPRPI di masa sekarang dan masa yang akan datang.

II. Pemerintah harus memberikan solusi yang lebih tegas dan menjamin tentang keamanan masyarakat BPRPI yang sampai saat ini belum diakui keberadaannya oleh pemerintah pusat. Sudah banyak peraturan yang yang dikeluarkan pemerintah mengenai permasalahan ini namun isinya tidak pernah tegas menyebut tentang perlindungan yang diberikan kepada BPRPI sebagai masyarakat adat yang keberadaannya diakui dalam pasal 3 UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960. Begitu pula dengan para penggarap liar yang bermukim dan mengerjakan tanah ini juga perlu ditindaklanjuti karena keberadaan mereka di bekas tanah jaluran seringkali akibat permainan mafia tanah ataupun dengan cara pendudukan paksa serta perang terbuka dengan mereka yang saling berkepentingan atas tanah ini, hal ini tentu saja mengesankan seolah pemerintah abai dan wilayah ini seperti wilayah barbar tanpa adanya pemerintahan yang berkuasa.


(4)

III. Kepada masyarakat, akademisi dan aktivis sosial agar lebih peduli terhadap permasalahan tanah yang sangat rumit dan kompleks di daerah ini. Desakan-desakan dari masyarakat, aktivis dan akademisi agar pemerintah lebih tanggap dan tegas sangat berguna agar permasalahan ini lebih cepat diselesaikan dan mereka sebagai pihak ketiga untuk tetap mengawasi dan mengawal setiap kebijakan dan tindakan pemerintah yang dikeluarkan terhadap permasalahan ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ardial. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. 2005. Medan: Kencana.

Bachriadi, Dianto. Dari Lokal ke Nasional Kembali ke Lokal. 2012. Bandung: ARC BooKS.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka 2013. 2013. BPS Kabupaten Deli Serdang.

Komnas HAM dan Sawit Watch. HGU dan HAM – Hak Guna Usaha dan Hak Asasi Manusia. Tanpa tahun. Tanpa kota: Sawit Watch.

Lourimer, Doug. Pokok-pokok Materialisme Historis – Pandangan Marxis Terhadap Sejarah dan Politik. 2013. Yogyakarta: Bintang Nusantara Publishing House.

Noeh, Harun. Tanah Adat Rakyat Penunggu Kampong Menteng. 2013 (Pidato 60 Tahun BPRPI)

Pelzer, Karl J. Toean Keboen dan Petani – Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. 1985. Jakarta: Sinar Harapan.

Reid, Anthony. Perjuangan Rakyat – Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. 1987. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rinaldi, Rivan. Pengaruh Konflik Perebutan Hak Kepemilikan Tanah PTPN II Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi di Desa Tunggurono Kecamatan Binjai Timur. 2012: Skripsi Tidak Dipublikasikan

Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro – Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. 1995. Jakarta: Rajawali Pers.

Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. 2012 Yogyakarta: Penerbit Ombak. Soekanto, Soerjono. Sosiologi, Suatu Pengantar. 2001. Jakarta: Rajawali Pers. Tjondronegoro, Soediono M.P. & Wiradi, Gunawan. 1984. Dua Abad


(6)

Sumber Lain:

http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2099365-pengertian-land-reform/#ixzz2mMIFAhi6 (diakses pada 5 Desember 2013, Pukul 11.00)

http://bprpi.wordpress.com/2011/05/01/sejarah-tanah-adat-dan-perjuangan-rakyat-penunggu-bagian-ii/ (diakses pada 21 Januari 2014, Pukul 14.00)