Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion pada Tour Organizer di Kota Bandung.

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui self-compassion yang terdapat pada komunitas tour organizer kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Populasi sasaran penelitian ini adalah 56 orang tour organizer di kota Bandung.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Self-Compassion Scale (Neff, 2003) yang diterjemahkan Missiliana R., M.Si., Psik. Self-Compassion Scale terdiri dari 26 pernyataan yang mengukur ketiga komponen pembentuk self-compassion berikut masing-masing komponen lawan pembentuk self-compassion.Setelah dilakukan uji validitas dengan SPSS Statistics 20.0, maka diperoleh 26 item yang valid dengan validitas item berkisar antara 0, 309 – 0, 654. Reliabilitas alat ukur tersebut adalah 0, 864.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh self-compassion tour organizer kota Bandung. Sebanyak 32.2% memiliki derajat self-compassion yang tinggi dengan variasi pada bentuk komponen self-compassion yaitu, self-kindness, common humanity dan mindfulness yang tinggi tinggi tinggi. Sebanyak 67.8% memiliki derajat self-compassion yang rendah dengan variasi pada bentuk komponen self-compassion yaitu, self-kindness, common humanity dan mindfulness yang rendah rendah rendah, tinggi rendah tinggi, rendah tinggi tinggi, tinggi rendah rendah, rendah tinggi rendah, dan tinggi tinggi rendah

Peneliti mengajukan saran agar peneliti lain yang memiliki minat melakukan penelitian lanjutan mengenai penelitian lanjutan mengenai self-compassion, perlu dipertimbangkan melakukan mencari responden yang telah bekerja menjadi tour organizer lebih dari 4 tahun dan menambahkan pertanyaan open question yang berkaitan dengan faktor yang berpengaruh seperti attachment, maternal criticism, dan modeling of parents agar mendapat data yang lebih mendalam. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai menyusun materi-materi sharing, seminar atau training sebagai bahan evaluasi diri untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat self-compassion yang dimiliki dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan yang dialami saat menjalankan suatu tour.

Kata Kunci: self-compassion, mindfulness, common humanity, self-kindness, tour


(2)

xi

Universitas Kristen Maranatha Abstract

This study was conducted to determine the self-compassion contained in the community Bandung tour organizer. The method used in this research is descriptive method with survey techniques. Target population of this research are 56 people in the city of Bandung tour organizer.

Measuring instruments used in this research is Self-Compassion Scale (Neff, 2003) which translates Missiliana R., M.Sc., PSIK. Self-Compassion Scale consists of 26 statements that measure three components of self-compassion forming below each component forming self-compassion.Setelah opponent validity test with SPSS Statistics 20.0, the obtained 26 valid items with validity items ranged from 0, 309 - 0, 654. The reliability of the measuring instrument is 0, 864.

Based on the results of data processing, self-compassion obtained Bandung tour organizer. A total of 32.2% had a degree of self-compassion is high with variations in component form of self-compassion that is, self-kindness, common humanity and mindfulness low low low, high low high, low high high, high low low, low high low, and high high low.

Researchers propose advice to other researchers who have interest in doing further research on advanced research on self-compassion, consideration should be doing search for respondents who had worked as a tour organizer over 4 years and add questions open question relating to the influential factors such as attachment, maternal criticism, and modeling of parents in order to get a more in-depth data. In addition, the results of this study can be used as compiled materials sharing, seminars or training as a self-evaluation materials to maintain or increase the degree of self-compassion owned in the face of adversity and suffering experienced when running a tour.

Key Word: self-compassion, mindfulness, common humanity, self-kindness, tour


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... x

ABSTRACT... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 9


(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

1.5 Kerangka Pemikiran ... 10

1.6 Asumsi ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1 Definisi Compassion ... 17

2.2 Komponen Self-Compassion ... 17

2.2.1 Mindfulnes ... 17

2.2.2 Common Humanity ... 17

2.2.3 Kindness ... 18

2.3 Definisi Self-Compassion ... 18

2.4 Komponen Self-Compassion ... 19

2.4.1 Mindfulnes ... ... 20

2.4.2 Common Humanity ... 20

2.4.3 Self-kindness ... 21

2.5 Korelasi Antar Komponen ... 21


(5)

2.6.1 Personality ... 23

2.6.2 Jenis Kelamin ... 27

2.6.3 The Role of Parents ... 28

1. Attachment ... 29

2. Maternal Criticism ... 30

3. Modeling of Parents ... 30

2.6.4 Budaya ... 31

2.7 Manfaat dari Self-Compassion ... 32

2.7.1 Resiliensi Emosi ... 32

2.7.2 Terbebas dari Permainan Self-Esteem ... 33

2.7.3 Motivasi dan Perkembangan Pribadi ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 35

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 35


(6)

viii

Universitas Kristen Maranatha

3.3.3 Definisi Operasional ...36

3.4 Alat Ukur ... 37

3.4.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 37

3.4.1.1 Kisi-kisi Alat Ukur Self-compassion ...38

3.4.1.2 Prosedur Pengisian Alat Ukur……...38

3.4.1.3 Sistem Pengisian Alat Uku …………...38

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 39

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 40

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 40

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur Self-Compassion ... 41

3.5 Populasi ... 41

3.6 Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 43


(7)

4.1.2 Jenis Kelamin ... 43

4.1.3 Lama Bekerja ... 44

4.2 Hasil Penelitian ... 45

4.2.1 Gambaran Self-Compassion Subjek ... 45

4.3 Pembahasan ... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1 Kesimpulan ... 54

5.2 Saran ... 54

5.2.1 Saran Teoretis ... 54

5.2.2 Saran Praktis ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

DAFTAR RUJUKAN ... 57


(8)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sektor kepariwisataan sudah menjadi salah satu sumber devisa negara Republik Indonesia. Menurut mantan Wapres Boediono (dalam Munady, 2014) pariwisata adalah sektor yang penting dan mudah dapat menghasilkan devisa dibanding dengan banyak sektor lain, dan banyak negara berhasil memperoleh devisa dari pariwisata. Seperti apa yang dibahas pada pertemuan rapat koordinasi pertama bulan Oktober 2014, Tim Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Kepariwisataan (Tim Koordinasi) mengenai pentingnya pariwisata dan koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintah terkait untuk dapat mengoptimalkan potensi pariwisata Indonesia yang besar untuk peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia (Munady, 2014).

Jenis-jenis pejalanan wisata menurut James J. Spillane (1987:29-31) dibedakan berdasarkan motif tujuan perjalanan, antara lain perjalanan wisata untuk menikmati perjalanan (Pleasure Tourism), perjalanan wisata untuk rekreasi

(Recreation Tourism), perjalanan wisata untuk kebudayaan (Cultural Tourism),

pejalanan wisata untuk olahraga (Sports Tourism), perjalanan wisata untuk urusan usaha dagang (Business Tourism), dan perjalanan wisata untuk berkonvensi


(9)

2

(Convention Tourism). Dari jenis-jenis perjalanan wisata tersebut dikenal pula

istilah pelaku wisata yang disebut backpacker.

Backpacker adalah individu yang pergi berwisata dengan berbagai cara

sehingga biaya yang diperlukan menjadi rendah (http://oxforddictionaries. com/definition/english/backpack). Komunitas backpacker Indonesia terbesar berada di kota Bandung. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah backpacker

yang berada di Bandung. Tercatat dalam situs jejaring sosial bahwa backpacker

yang berada di Bandung mencapai jumlah 25 ribu orang (http://backpacker indonesia.com/about).

Salah satu cara backpackers menekan biaya adalah membuat suatu usaha yang dikenal dengan tour organizer. Tour Organizer merupakan suatu bentuk usaha yang bergerak di bidang atau sektor wisata dan berpredikat sebagai pengatur, penata, organisator sumber daya-sumber daya wisata. Ada pun output

yang ditawarkan adalah penyelenggaraan produk-produk wisata yang benar-benar

qualified dan berorientasi pada kebutuhan konsumen atau yang benar-benar dicari

oleh konsumen (Nurcahyo, 2003).

Tour organizer merupakan katalisator antara sumber daya-sumber daya

wisata dengan konsumen atau wisatawan sehingga tercipta suatu sinergi yang khas dan memuaskan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Bentuk usaha tour

organizer memiliki bidang kerja sangat luas dan satu hal sangat spesifik yang

membedakannya dari bentuk-bentuk usaha wisata lainnya adalah bersifat fleksibel, inovatif, kreatif, dan adaptif karena adanya tuntutan untuk menata dan


(10)

Universitas Kristen Maranatha mengatur sumber daya-sumber daya wisata yang belum tergarap dengan baik (Nurcahyo, 2003).

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga orang tour organizer di kota Bandung diperoleh rincian anggaran biaya wisata. Dalam hal akomodasi, tour

organizer seringkali menggunakan bed and breakfast atau hotel melati dengan

kisaran harga Rp. 44.000,- hingga Rp. 57.000,- per malamnya. Harga tersebut lebih murah bila dibandingkan dengan hotel berbintang yang umumnya berkisar dari Rp. 300.000- hingga Rp. 500.000,- per malamnya.

Tour organizer juga mengatur transportasi yang digunakan. Mereka

umumnya menyewa transportasi umum untuk penggunaan grup wisata dengan kisaran harga dari Rp. 15.000,- hingga Rp. 140.000,-. Dalam masalah konsumsi,

tour organizer juga merancang sedemikian rupa hingga biaya yang diperlukan

hanya berkisar dari Rp. 60.000,- hingga Rp. 75.000,- per orang selama wisata. Dengan demikian, tour organizer dapat menawarkan harga yang relatif sangat murah bila dibandingkan dengan travel agent. Pada setiap perjalanan wisata, jumlah peserta yang ikut minimal 8 orang. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan wisata yang dirancang oleh travel agent yang biasanya peserta minimal untuk diadakan perjalanan wisata berjumlah 20 orang.

Tour organizer juga harus mempertanggungjawabkan seluruh keamanan

dan kenyamanan acara yang dirancang olehnya. Biaya murah melaksanakan perjalanan harus tetap berada dalam tingkat kenyamanan dan keamanan yang dapat diterima. Keamanan perjalanan mengarah pada kegiatan yang tidak mencelakakan peserta perjalanan. Kenyamanan perjalanan mengarah pada


(11)

4

akomodasi dan transportasi selama melakukan perjalanan wisata yang dapat dinikmati oleh semua peserta. Kedua hal ini menambah potensi permasalahan yang dapat terjadi pada tour organizer pada saat perancangan hingga pelaksanaan perjalanan.

Kegiatan merencanakan dan melaksanakan wisata yang dilaksanakan tour

organizer berpotensi mengalami beragam kesulitan. Seperti yang diungkapkan

oleh tiga orang tour organizer yang beroperasi di kota Bandung. Menurut ketiga

tour organizer yang diwawancarai oleh peneliti kesulitan yang cukup sering

dihadapi adalah saat menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan peserta

tour. Tour organizer telah berupaya menyusun dan merencanakan wisata sesuai

dengan keinginan peserta tour. Namun seringkali peserta mengeluhkan tentang kurang profesionalnya layanan wisata yang ada. Mulai dari ketidakcocokan akomodasi, jadwal yang dianggap kurang fleksibel hingga kecelakaan ringan yang terjadi akibat kelalaian peserta sendiri.

Berhadapan dengan masalah kecelakaan ringan yang terjadi akibat kelalaian peserta sendiri justru menjadi salah satu beban berat yang dihadapi oleh

tour organizer. Ketiga tour organizer mengatakan dalam setiap kali perjalanan

mereka harus bertanggung jawab terhadap keselamatan 5 sampai 12 orang. Bukan hal yang mudah unuk menjaga keselamatan orang-orang yang seringkali justru lupa karena euforia atau terlalu menggantungkan segala sesuatunya pada tour

organizer. Tour organizer telah berusaha menyusun perjalanan seaman mungkin,


(12)

Universitas Kristen Maranatha kadang peserta tour tidak dapat diajak bekerja sama sampai terjadi kecelakaan. Pada akhirnya kesalahan harus ditanggung oleh tour organizer.

Bentuk tanggung jawab atas kesalahan tersebut adalah menerima tindakan peserta yang menyampaikan keluhan-keluhan atau masalah yang dihadapinya melalui jejaring sosial atau diceritakan kepada tour organizer lainnya. Keluhan akan menjadi citra buruk bagi tour organizer. Citra buruk yang dimaksud mengarah pada keamanan yang kurang terjamin bila mengikuti wisata yang direncanakan oleh tour organizer tertentu. Hal ini kemudian mengurangi jumlah orang yang mendaftarkan diri. Ada juga yang kemudian membatalkan keikutsertaan dalam acara wisata akibat keluhan yang ada di media sosial. Karena jumlah peserta yang semakin hari semakin sedikit serta jarangnya wisata terlaksana, tour organizer terpaksa berhenti menjalankan pekerjaannya. Hal tersebut merupakan salah satu kegagalan fatal yang dialami tour organizer.

Selain kesulitan dalam menyelesaikan masalah dengan peserta tour, ketiga

tour organizer pun menyatakan kesulitan yang paling utama justru berkaitan

dengan diri pelaku tour organizer sendiri. Tour organizer tercipta sebagai salah satu upaya backpackers mendapatkan keuntungan finansial yang kemudian akan digunakan untuk mengadakan perjalanan menuju tempat-tempat yang belum pernah mereka kunjungi. Namun pada saat menjalankan pekerjaan sebagai tour

organizer, mereka selalu kembali ke tempat-tempat yang sudah mereka kunjungi.

Hal tersebut dikarenakan peserta tour organizer adalah orang-orang yang tertarik melakukan perjalanan wisata karena cerita pengalaman dari peserta sebelumnya. Sebagai tour organizer merupakan suatu kewajiban menuruti destinasi wisata


(13)

6

peserta. Hingga pada akhirnya, mereka merasa jenuh karena terus menerus kembali ke tempat yang sama. Mereka juga menjadi tidak dapat mengunjungi tempat-tempat wisata baru lainnya.

Ketiga pelaku tour organizer pun mengatakan bahwa kesulitan dan masalah yang mereka hadapi menjadikan diri mereka merasa tertekan. Mereka merasa kurang mampu bahkan merasa gagal menjadi tour organizer padahal pekerjaan tour organizer adalah pekerjaan yang lahir dari hal yang mereka sukai. Neff (2011) menyatakan pada saat individu menghadapi masalah, seringkali mereka merasa gagal menjadi individu yang dapat diandalkan. Seringkali individu terpaku pada permasalahan yang sedang terjadi tanpa melihat gambaran yang lebih luas. Pada akhirnya, individu dengan keadaan demikian akan mulai menyalahkan dirinya sendiri. Neff menyatakan bahwa aktifitas demikian tidak membuat keadaan lebih baik. Lebih jauh lagi, individu dengan keadaan demikian langsung berusaha untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi tanpa menyempatkan diri untuk menjadi lebih nyaman terlebih dahulu.

Menurut Neff (2011), pada saat menghadapi masalah dan merasakan emosi negatif, semestinya individu mencoba untuk menenangkan diri dan membuat nyaman dirinya. Neff mengutarakan tepat bahwa individu seharusnya menggunakan self-compassion yang ada pada dirinya. Self-Compassion adalah kemampuan individu untuk memberikan pemahaman dan kebaikan kepada diri, ketika mengalami kegagalan, membuat kesalahan, ataupun mengalami penderitaan dengan tidak menghakimi diri sendiri atas kekurangan dan kegagalan


(14)

Universitas Kristen Maranatha dialami semua manusia, serta tidak menghindari penderitaan, kesalahan atau kegagalan yang dialami (Neff, 2003).

Self-compassion terbentuk dari tiga hal yaitu mindfulness, commom

humanity dan self-kindness (Neff, 2011). Mindfulness adalah usaha untuk

menyadari seluruh emosi yang ada pada diri individu. Common humanity adalah proses menyadari bahwa kesulitan yang dialami juga dialami oleh individu lain.

Self-kindness adalah usaha untuk membuat diri nyaman. Dengan adanya

self-compassion pada individu, mereka akan lebih mengapresiasi dirinya sendiri dan

lebih tahan banting dibandingkan mereka yang tidak memiliki self-compassion

(Neff, 2011).

Berdasarkan paparan sebelumnya diketahui bahwa banyak masalah dan kendala yang dihadapi oleh tour organizer. Self compassion diperlukan oleh tour

organizer dalam menghayati apa yang mereka rasakan selama menjalani

pekerjaanya sebagai tour organizer. Guna menjaring informasi yang lebih dalam peneliti kemudian melaksanakan survei awal terhadap 20 orang tour organizer

guna mendapatkan indikasi self-compassion yang mereka miliki. Ditemukan sebamyak 8 dari 20 orang (40%) berupaya untuk menyadari emosi-emosi yang terjadi pada saat mereka menghadapi masalah (mindfulness). Sebanyak 12 dari 20 orang (60%) sisanya memusatkan perhatian mereka untuk mengevaluasi permasalahan dan mencoba untuk memberi solusi yang tepat meskipun keadaan diri mereka sedang kalut dan kesal.


(15)

8

Ditemukan sebanyak 15 dari 20 orang (75%) menyatakan bahwa dirinya tahu bahwa kesulitan-kesulitan yang mereka alami sebenarnya juga dialami oleh sesama tour organizer (common humanity), bukan hanya pada diri mereka sendiri. Terdapat 5 dari 20 orang (25%) sisanya menyatakan bahwa kesulitan yang mereka alami tidak dialami orang lain karena berada pada situasi yang berbeda.

Sebanyak 3 dari 20 orang (15%) menyatakan bahwa dirinya mencoba untuk membuat nyaman dirinya dengan bercerita pada rekan tour organizer

lainnya atau berisitirahat sejenak sebelum menyelesaikan masalah yang dihadapi

(self-kindness). Sisanya sebanyak 17 dari 20 orang (85%) menyatakan bahwa

mereka langsung mencoba untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi sebelum membuat diri mereka tenang dan nyaman.

Mengamati masalah yang dihadapi oleh kelompok tour organizer serta menimbang self compassion sebagai keinginan untuk mencapai kesejahteraan diri, peneliti tertarik untuk mengetahui derajat self-compassion pada komunitas tour

organizer di kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana derajat self-compassion pada komunitas tour organizer kota Bandung.


(16)

Universitas Kristen Maranatha

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh data tentang

self-compassion yang terdapat pada komunitas tour organizer kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran derajat

self-compassion melalui komponen mindfulness, common humanity dan self-kindness

yang terdapat pada komunitas tour organizer kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memperoleh pemahaman mengenai self-compassion pada tour organizer

sehingga dapat memperkaya ilmu Psikologi, khususnya pada bidang ilmu Psikologi Sosial.

2. Memberi informasi dan bahan referensi pada peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian mengenai variabel self-compassion.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Menjelaskan kepada komunitas tour organizer mengenai gambaran

self-compassion pada diri mereka sehingga mereka dapat menggunakan

informasi yang ada untuk menjadikan komunitas tour organizer lebih baik lagi.


(17)

10

2. Memberikan gambaran self-compassion dalam komunitas tour organizer

sehingga lebih memahami bahwa self-compassion dibutuhkan oleh tour organizer.

1.5 Kerangka Pemikiran

Tour organizer merupakan individu yang dalam pekerjaannya memiliki

kemungkinan untuk mengalami masalah. Masalah-masalah ini dapat terjadi saat

tour organizer melaksanakan rangkaian kegiatan yang berlaku di komunitas

tersebut. Tour organizer harus merencanakan tujuan wisata. Perencanaan ini meliputi agenda perjalanan, transportasi, hingga akomodasi di lokasi tujuan wisata. Selain perencanaan, tour organizer juga harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah tempat tujuan wisata sehingga mampu memandu dan menjelaskan pada peserta. Tour organizer juga diharuskan untuk mengoordinasi peserta agar mengikuti agenda perjalanan serta menjaga keselamatan dan kesejahteraan peserta wisata.

Permasalahan yang dapat dialami saat menjalankan job description tour

organizer dapat berupa kritik dari peserta yang kurang objektif dalam melihat

permasalahan selama perjalanan, keterlambatan pelaksanaan acara akibat peserta yang berada di luar kendali tour organizer, maupun hingga kecelakaan yang tidak diharapkan oleh pihak manapun terutama tour organizer. Pada saat mengalami masalah, Neff (2011) berpendapat individu semestinya memerlukan


(18)

self-Universitas Kristen Maranatha ketiga komponen tersebut memiliki derajat yagg tinggi maka tour organizer

memiliki derajat self-compassion yang tinggi juga. Di sisi lain, setiap komponen pembentuk self-compassion memiliki komponen penyeimbang yang bersifat negatif (Neff, 2011). Mindfulness berlawanan dengan overidentification, common

humanity berlawanan dengan isolation dan self-kindness berlawanan dengan

self-judgment. Bila lawan komponen pembentuk self-compassion, yaitu

overidentification, isolation, dan self-judgment semakin tinggi, maka self

-compassion pada individu akan semakin rendah.

Mindfulness adalah keadaan pikiran yang bersifat netral (

non-judgemental) dan reseptif terhadap semua pikiran dan perasaan yang ada di dalam

diri tanpa menekan atau menyangkal pikiran serta perasaan tersebut pada saat mengalami kesulitan. Bila tour organizer memiliki derajat midfullness yang tinggi maka mereka mampu menenangkan pikiran serta menyadari seluruh emosi yang terjadi pada dirinya disaat menghadapi masalah saat pelaksanaan wisata seperti peserta yang terlambat bangun padahal susunan waktu kegiatan sudah ketat. Jika dalam menghadapi masalah tersebut tour organizer memunculkan perilaku sebaliknya, seperti marah, menangis, atau mengomel berarti tour organizer

memiliki derajat overidentification yang tinggi.Overidentification adalah keadaan di mana seseorang menghadapi emosi yang berat, mereka terbawa reaksi emosional yang ada hingga sense of self bahkan seluruh realita juga terbawa reaksi tersebut.

Komponen kedua pembentuk self-compassion adalah common humanity.


(19)

12

diinterpretasikan dari diri dengan sudut pandang yang lebih luas yaitu dari sudut pandang kemanusiaan secara luas. Tour organizer diharapkan dapat memandang suatu permasalahan yang terjadi pada dirinya, seperti kesalahan perhitungan biaya wisata atau jumlah peserta yang dapat ikut, sebagai suatu pengalaman yang juga pernah atau sedang dialami oleh tour organizer lainnya. Komponen lawan dari

common humanity adalah isolation. Isolation merupakan penghayatan diri yang

merasa bahwa dirinya unik dan berbeda dari orang lain sehingga merasa terputus dari individu lainnya (Neff, 2011). Tour organizer berpotensi mengalami perasaan sendirian dan terasingkan saat menghadapi masalah tidak terduga ataupun yang diakibatkan oleh dirinya sendiri. Tour organizer yang merasa terkucilkan dan merasa hal-hal buruk hanya terjadi pada dirinya berarti memiliki derajat isolation

yang tinggi.

Komponen terakhir adalah Self-kindness. Self-kindness berhubungan dengan pengakuan diri terhadap masalah dan ketidakmampuan yang ada pada diri sendiri sehingga individu merawat dan menolong diri sendiri dibandingkan menjadi marah di saat keadaan yang terjadi tidak sesuai harapan (Neff, 2011).

Tour organizer yang mampu mengakui kesalahannya tanpa menghukum atau

merendahkan dirinya sendiri bila dikritik oleh peserta wisata memiliki derajat self

kindness yang tinggi. Sebaliknya tour organizer akan melakukan self-judgment.

Self-judgment adalah perilaku mengkritik kesalahan diri hingga menjadi suatu

bentuk hukuman bagi diri meskipun kesalahan tersebut berada di luar kendali (Neff, 2011). Tour organizer mungkin menilai dirinya sebagai tour organizer


(20)

Universitas Kristen Maranatha

organizer yang merasa rendah diri dan menilai buruk dirinya saat menerima kritik

peserta memiliki derajat self-kindness yang rendah.

Menurut Neff, bila salah satu komponen pembentuk self-compassion

tinggi, maka dua komponen lainnya juga akan semakin tinggi derajatnya. Pendapat Neff sejalan dengan hasil temuan Bernard dan Curry (2011). Kaitan antara ketiga komponen self-compassion dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Self-kindness dapat meningkatkan komponen common humanity dan

mindfulness (Bernard dan Curry, 2011). Jika tour organizer memberikan

perhatian, kelembutan, pemahaman, dan kesabaran terhadap kekurangan dirinya selama menjalankan tuntutan pekerjaannya, maka tour organizer tidak akan merasa rendah diri karena kesalahan atau kejadian yang tidak mengenakkan dirinya. Dengan demikian tour organizer tidak akan menjauh dari orang lain. Di sisi lain, self-kindness membuat tour organizer memperhatikan kegagalannya saat ini dan mengadopsi sudut pandang yang lebih objektif sehingga menunjang

mindfulness yang dimilikinya. Menurut Neff (2011) individu yang bersikap baik

kepada dirinya sendiri akan lebih mudah untuk bertahan dalam menghadapi masalah dengan menyadari kekurangan yang ada pada dirinya.

Common humanity dapat meningkatkan self-kindness dan mindfulness

pada individu (Bernard dan Curry, 2011). Common humanity dapat meningkatkan

self-kindness karena saat tour organizer melihat kegagalan sebagai kejadian yang

dialami oleh sesama tour organizer, maka dirinya akan menyadari bahwa terdapat

tour organizer lain yang juga mengalami kegagalan serupa sehingga tidak


(21)

14

akan melakukan hal yang sama kepada dirinya sendiri saat menghadapi kegagalan. Common humanity juga dapat meningkatkan mindfulness karena dengan menyadari bahwa kegagalan adalah kejadian yang dialami oleh semua manusia, tour organizer tidak akan menganggap kekurangan mereka sebagai ancaman sehingga mereka tidak akan menghindari atau melebih-lebihkan kegagalan yang mereka hadapi.

Mindfulness dapat meningkatkan self-kindness dan common humanity

(Bernard dan Curry, 2011). Dengan melihat kegagalan secara objektif dapat membuat tour organizer menghindari kritik diri berlebihan dan juga mendorong

tour organizer terkait untuk berempati pada dirinya sendiri. Sudut pandang yang

objektif juga akan mendorong tour organizer untuk lebih memiliki pandangan yang juga meliputi tour organizer lainnya sehingga dirinya tidak merasa terasingkan dari orang lain karena masalah yang dialaminya turut terjadi pada tour

organizer lainnya.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan

self-compasssion pada diri individu. Faktor-faktor tersebut adalah jenis kelamin,

personality, budaya, dan role of parent (Neff, 2011). Perempuan cenderung

memiliki self-compassion lebih rendah dari pria karena perempuan cenderung lebih memikirkan mengenai kejadian negatif di masa lalu. Di sisi lain, laki-laki cenderung menggunakan kemarahan sebagai cara menghindari rasa ketidakmampuannya pada saat menghadapi kesulitan. Kemarahan ini memberikan dampak negatif pada lingkungan sosialnya sehingga menyebabkan laki-laki


(22)

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI, ditemukan bahwa

self-compassion memiliki hubungan dengan personality (Neff, Kirkpatrick, dan

Rude, 2007). Pada dimensi neuroticism, agreebleness, extroversion,

danconscientiousness dari the big five personality, ditemukan bahwa keempat

trait tersebut berhubungan dengan self-compassion. Self-compassion tidak

memiliki hubungan dengan openness to experience, karena trait ini mengukur karakteristik individu yang memiliki imajinasi yang aktif, kepekaan secara

aesthetic, sehingga dimensi openness to experience ini tidak sesuai dengan

self-compassion.

Budaya berpengaruh pada self-compassion setiap individu. Terlihat dari hasil penelitian pada negara Thailand, Taiwan, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa perbedaan latar budaya mengakibatkan adanya perbedaan derajat

self-compassion. Markus dan Kitayama (1991) dalam Neff, Pisitsungkagarn, dan

Hsieh (2008) menyatakan bahwa penduduk Asia yang memiliki budaya

collectivistic memiliki self-concept interdependent yang menekankan pada

hubungan dengan orang lain, peduli kepada orang lain, dan keselarasan dengan orang lain (social conformity) dalam bertingkah laku, sedangkan individu dengan budaya Barat yang individualistic memiliki self-concept independent yang menekankan pada kemandirian, kebutuhan pribadi, dan keunikan individu dalam bertingkah laku. Karena self-compassion menekankan pada kesadaran akan

common humanity dan keterkaitan dengan orang lain, dapat diasumsikan bahwa

self-compassion lebih sesuai pada budaya yang menekankan interdependent


(23)

16

collectivist dan bergantung dengan orang lain, namun masyarakat dengan Budaya

Asia lebih mengkritik diri sendiri dibandingkan masyarakat dengan Budaya Barat sehingga derajat self-compassion tidak lebih tinggi dari budaya barat (Kitayama dan Markus; Kitayama, Markus, Matsumotoo, dan Norasakkunkit dalam Neff, Pisitsungkagarn, dan Hsieh, 2008).

Role of parent mempengaruhi juga mempengaruhi self-compassion yang

ada pada diri individu. Bila individu berasal dari keluarga disfungsional atau memiliki orang tua yang penuh dengan kritik akan mendorong individu memiliki

self-compassion rendah (Neff dan McGeehee, 2009). Pola attachment yang ada

pada orang tua juga memberikan dampak pada self-compassion. Individu dengan pola secure attachment akan lebih besar kemungkinannya memiliki

self-compassion yang tinggi dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam

pola attachment insecure. Kebiasaan individu yang meniru perilaku orang tua juga dapat mempengaruhi self-compassion yang ada pada dirinya. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan akan menjadi contoh bagi individu untuk melakukan hal serupa sehingga mendorong derajat self-compassion yang rendah.

Seluruh penjelasan mengenai self-compassion, komponen pembentuk

self-compassion, dan pengaruh faktor-faktor jenis kelamin, budaya, personality, dan


(24)

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Asumsi

• Komunitas tour organizer kota Bandung dapat memiliki derajat

self-compassion yang tinggi maupun yang rendah.

• Komunitas tour organizer kota Bandung memilliki self-compassion

dengan derajat yang berbeda-beda, dan akan terbentuk mengikuti pengalaman kehidupan individu.

• Pengalaman kehidupan yang kurang menyenangkan akan mengakualkan

self-compassion individu.

• Pikiran-pikiran dan perasaan yang timbul saat seseorang berhadapan dengan siatuasi yang kurang menyenangkan namun tetap tegar menghadapi kenyataan, merupakan ciri dari seseorang dengan

self-compassion tinggi.

• Jenis Kelamin

Personality

• Budaya

Role of Parent

Komunitas Tour

Organizer kota

Bandung

Self-compassion

Mindfulness vs Overidentification

Self-kindness vs Self-judgment

Common humanity vs Isolation

Rendah Tinggi


(25)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion

pada komunitas tour organizer di Kota Bandung, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar komunitas tour organizer di Kota Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah.

2. Dari 5 gambaran komponen self-compassion yang rendah, gambaran variasi self-kindness tinggi, common humanity rendah dan mindfullness

tinggi adalah gambaran variasi self-compassion yang dimiliki oleh sebagian besar tour organizer di Kota Bandung.

3. Tour organizer di Kota Bandung yang menunjukkan derajat

self-compassion rendah berkaitan dengan personality type openess, modeling

of parents yang negatif dan budaya individualistik.

5.2 Saran

5.2.1 Saran teoretis


(26)

Universitas Kristen Maranatha 2. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai

self-compassion disarankan meneliti faktor-faktor yang berkaitan dengan

self-compassion pada komunitas tour organizer.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi tour organizer di Kota Bandung, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi diri untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat self-compassion yang dimiliki dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan yang dialami saat menjalankan suatu tour.

2. Komunitas tour organizer di Kota Bandung, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun materi-materi

sharing, seminar atau training untuk mengembangkan self-compassion


(27)

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, L. K., & Curry, J.F. (2011). Self-compassion: Conseptualization, correlates, & interventions. Review of General Psychology, 15 No. 4, 289-303.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Graziano, A.M., & Michael L. Raulin. 2000. Research Methods: A Process of

Inquiry 4th edition. Amerika: Allyn & Bacon.

Kaplan, Robert M. & Dennis P. Saccuzzo. 2004. Psychological TestingPrinciples,

Application, and Issues. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginner. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.

Neff, K. D. 2009. Self-Compassion in M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.),

Handbook of Individual Difference in Social Behavior. New York:

Guilford Press.

Neff, K. D., Lamb, L. M. 2009. Self-Compassion in S. Lopez (Ed.). The

Encyclopedia of Positive Psychology. New York: Guilford Press.

Neff, K., Pisitsungkagarn, K., & Hsieh, Y. P. (2008). Self-compassion and self-construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of

Cross-Cultural Psychology,39, 267-285.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion. New York: Harper Collins Publishers. Neff, Kristin dan Elizabeth Pommier. 2012. Self and Identity: The Relationship

between Self-Compassion and Other-Focused Concern among College

Undergraduates, Community Adults, and Practicing Meditators.

Psychology Press.

Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Volume 5. Jakarta : Erlangga. UK Maranatha, Fakultas Psikologi. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana.


(28)

57

Universitas Kristen Maranatha Antariksa, Basuki. 2012. Peluang dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan

di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Neff, Kristin. 2003). Development and validation of a scale to measure

self-compassion. Self and Identity, Vol. 2,pp 223-250.

Neff, Kristin. 2009. Human Development: The Role of Self-Compassion in

Development: A Helathier Way to Relate to Oneself. Vol. 52. pp. 211-214.

Neff, Kristin. 2011. Social and Personality Psychology Compass:

Self-Compassion, Self-Esteem, and Well-Being. Vol. 5. pp 1-12

Prihtiyani, Eny. 2012. Pertumbuhan Wisata Selalu di Atas Pertumbuhan Ekonomi. Diakses pada tanggal 20 Januari 2012 pada situs http://travel.kompas.com/read/2012/01/06/08213046/Pertumbuhan.Pariwis ata.Selalu.di.Atas.Pertumbuhan.Ekonomi

http://oxforddictionaries.com/definition/english/backpack , diakses tanggal 20 Januari 2012

http://artsons.wordpress.com/backpacker-vs-traveller/ diakses tanggal 20 Januari 2012.


(1)

collectivist dan bergantung dengan orang lain, namun masyarakat dengan Budaya Asia lebih mengkritik diri sendiri dibandingkan masyarakat dengan Budaya Barat sehingga derajat self-compassion tidak lebih tinggi dari budaya barat (Kitayama dan Markus; Kitayama, Markus, Matsumotoo, dan Norasakkunkit dalam Neff, Pisitsungkagarn, dan Hsieh, 2008).

Role of parent mempengaruhi juga mempengaruhi self-compassion yang ada pada diri individu. Bila individu berasal dari keluarga disfungsional atau memiliki orang tua yang penuh dengan kritik akan mendorong individu memiliki self-compassion rendah (Neff dan McGeehee, 2009). Pola attachment yang ada pada orang tua juga memberikan dampak pada self-compassion. Individu dengan pola secure attachment akan lebih besar kemungkinannya memiliki self-compassion yang tinggi dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam pola attachment insecure. Kebiasaan individu yang meniru perilaku orang tua juga dapat mempengaruhi self-compassion yang ada pada dirinya. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan akan menjadi contoh bagi individu untuk melakukan hal serupa sehingga mendorong derajat self-compassion yang rendah.

Seluruh penjelasan mengenai compassion, komponen pembentuk self-compassion, dan pengaruh faktor-faktor jenis kelamin, budaya, personality, dan role of parent dapat dilihat dalam bentuk bagan sebagai berikut:


(2)

17

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Asumsi

• Komunitas tour organizer kota Bandung dapat memiliki derajat self-compassion yang tinggi maupun yang rendah.

• Komunitas tour organizer kota Bandung memilliki self-compassion dengan derajat yang berbeda-beda, dan akan terbentuk mengikuti pengalaman kehidupan individu.

• Pengalaman kehidupan yang kurang menyenangkan akan mengakualkan self-compassion individu.

• Pikiran-pikiran dan perasaan yang timbul saat seseorang berhadapan dengan siatuasi yang kurang menyenangkan namun tetap tegar menghadapi kenyataan, merupakan ciri dari seseorang dengan self-compassion tinggi.

• Jenis Kelamin • Personality • Budaya • Role of Parent

Komunitas Tour Organizer kota

Bandung

Self-compassion

Mindfulness vs Overidentification Self-kindness vs Self-judgment Common humanity vs Isolation

Rendah Tinggi


(3)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada komunitas tour organizer di Kota Bandung, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar komunitas tour organizer di Kota Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah.

2. Dari 5 gambaran komponen self-compassion yang rendah, gambaran variasi self-kindness tinggi, common humanity rendah dan mindfullness tinggi adalah gambaran variasi self-compassion yang dimiliki oleh sebagian besar tour organizer di Kota Bandung.

3. Tour organizer di Kota Bandung yang menunjukkan derajat self-compassion rendah berkaitan dengan personality type openess, modeling of parents yang negatif dan budaya individualistik.

5.2 Saran

5.2.1 Saran teoretis

1. Bagi peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion pada tour organizer, disarankan mencari responden yang telah bekerja menjadi tour organizer lebih dari 4 tahun.


(4)

55

2. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai compassion disarankan meneliti faktor-faktor yang berkaitan dengan self-compassion pada komunitas tour organizer.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi tour organizer di Kota Bandung, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi diri untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat self-compassion yang dimiliki dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan yang dialami saat menjalankan suatu tour.

2. Komunitas tour organizer di Kota Bandung, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun materi-materi sharing, seminar atau training untuk mengembangkan self-compassion tour organizer di Kota Bandung.


(5)

correlates, & interventions. Review of General Psychology, 15 No. 4, 289-303.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Graziano, A.M., & Michael L. Raulin. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry 4th edition. Amerika: Allyn & Bacon.

Kaplan, Robert M. & Dennis P. Saccuzzo. 2004. Psychological TestingPrinciples, Application, and Issues. California: Brooks/Cole Publishing Company. Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginner.

New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.

Neff, K. D. 2009. Self-Compassion in M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Difference in Social Behavior. New York: Guilford Press.

Neff, K. D., Lamb, L. M. 2009. Self-Compassion in S. Lopez (Ed.). The Encyclopedia of Positive Psychology. New York: Guilford Press.

Neff, K., Pisitsungkagarn, K., & Hsieh, Y. P. (2008). Self-compassion and self-construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology, 39, 267-285.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion. New York: Harper Collins Publishers. Neff, Kristin dan Elizabeth Pommier. 2012. Self and Identity: The Relationship

between Self-Compassion and Other-Focused Concern among College Undergraduates, Community Adults, and Practicing Meditators. Psychology Press.

Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Volume 5. Jakarta : Erlangga. UK Maranatha, Fakultas Psikologi. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Antariksa, Basuki. 2012. Peluang dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Neff, Kristin. 2003). Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, Vol. 2,pp 223-250.

Neff, Kristin. 2009. Human Development: The Role of Self-Compassion in Development: A Helathier Way to Relate to Oneself. Vol. 52. pp. 211-214. Neff, Kristin. 2011. Social and Personality Psychology Compass:

Self-Compassion, Self-Esteem, and Well-Being. Vol. 5. pp 1-12

Prihtiyani, Eny. 2012. Pertumbuhan Wisata Selalu di Atas Pertumbuhan Ekonomi. Diakses pada tanggal 20 Januari 2012 pada situs http://travel.kompas.com/read/2012/01/06/08213046/Pertumbuhan.Pariwis ata.Selalu.di.Atas.Pertumbuhan.Ekonomi

http://oxforddictionaries.com/definition/english/backpack , diakses tanggal 20 Januari 2012

http://artsons.wordpress.com/backpacker-vs-traveller/ diakses tanggal 20 Januari 2012.