Studi Deskriptif Mengenai Self Compassion pada Remaja Akhir di Organisasi Pemuda "X" Bandung.

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung. Penelitian ini dilakukan kepada 55 orang remaja akhir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani pada tahun 2012. Setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Penghitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh Riasnugrahani dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson dan Alpha Cronbach dengan 26 item valid dengan nilai 0.323-0.606 dan reliabilitas 0.8181 yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa 63.6% remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah dan 36.4% remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah dengan derajat yang bervariasi pada setiap komponen compassion, yaitu self-kindness, common humanity dan mindfulness. Saran yang diberikan peneliti adalah melakukan penelitian korelasi antara self-compassion dengan factor yang berkaitan dan melakukan metode pengambilan data dengan metode wawancara dalam menjaring data.

Kata kunci : Self-compassion, self-kindness, common humanity, mindfulness, remaja akhir


(2)

Abstract

This research aimed to investigate the degree of self-compassion among late adolescence in Youth Organization of “X” Bandung. The participants were 55 of late adolescence. This research used descriptive method with survey technique. Data were collected by using instrument that was created by Neff (2003) which has been translated into Indonesian by Riasnugrahani. The instruments was translated back into English by Sarintohe and has been approved by Neff. Validity and reliability calculation were done by Riasnugrahani using Pearson correlation and Cronbach aplha, and discovered that 26 items are valid with value 0.323-0.606 and the coefficient reliability is high, which is 0.8181. Data were analyzed and concluded that a total of 63.6% of late adolescence in Youth Organization of “X” Bandung have a low degree of self-compassion and the rest, a total of 36.4% have a high degree of self-compassion. It is concluded that the majority of late adolescence in Youth Organization of “X”Bandung have low degree of self-compassion and variety of degree among its aspects, that are: self-kindness, common humanity and mindfulness. This finding points that it is suggested to conduct further research regarding correlation between self-compassion and self-self-compassion factor and using interview method in order to gather information.

Keywords : self-compassion, self-kindness, common humanity, mindfulness, late adolescence


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 9


(4)

x

1.5 Kerangka Pikir ... 9

1.6 Asumsi Penelitian ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Self-Compassion ... 23

2.2 Komponen Self-Compassion ... 24

2.2.1 Self-Kindness ... 24

2.2.2 Common Humanity... 25

2.2.3 Mindfulness ... 26

2.3 Faktor-Faktor yang Dapat Berkaitan dengan Self-Compassion... 27

2.3.1 Personality ... 27

2.3.2 Jenis Kelamin ... 33

2.3.3 The Role of Parents ... 33

2.3.3.1 Maternal Criticism ... 35

2.3.3.2 Modeling Parents ... 36

2.3.4 Attachment ... 36

2.4 Dampak Self-Compassion ... 41

2.5 Teori Perkembangan Remaja ... 43

2.5.1 Perkembangan Sosial-Emosional ... 43

2.5.2 Tugas-Tugas Perkembangan Remaja ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian... 48


(5)

xi

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 48

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 49

3.3.1 Variabel Penelitian ... 49

3.3.2 Definisi Operasional ... 49

3.4 Alat Ukur ... 50

3.4.1 Kuesioner Self-Compassion ... 50

3.4.2 Prosedur Pengisian Alat Ukur ... 51

3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 51

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 52

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas ... 53

3.4.5.1 Validitas Alat Ukur ... 53

3.4.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 53

3.5 Populasi Sampel ... 54

3.5.1 Populasi Sasaran ... 54

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 54

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 54

3.6 Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Sample Penelitian ... 56

4.2 Hasil Penelitian ... 56


(6)

xii

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 69

5.2 Saran ... 70

5.2.1 Saran Teoritis ... 70

5.2.2 Saran Praktis... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

DAFTAR RUJUKAN ... 73 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur ... 50

3.2 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self-Compassion ... 51

4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

4.2 Profile Self-Compassion pada Subjek Penelitian ... 56


(8)

DAFTAR BAGAN

1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 21 3.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 48


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Inform concent, Kuesioner, Data Penunjang Lampiran B Tabel hasil penelitian (data mentah)

Lampiran C Tabel-tabel tabulasi silang data utama dan penunjang Lampiran D Validitas dan Reliabilitas

Lampiran E Organisasi Pemuda “X” Bandung, Ajaran Buddha (Dhamma), Lembar Pernyataan Pengambilan Data


(10)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek / fungsi untuk memasuki masa dewasa. Pada masa ini, perkembangan remaja diikuti dengan perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial. Usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun (Stanley Hall dalam Santrock, 2003) dan masa remaja akhir berada di usia kira-kira setelah 15 tahun (Santrock, 2003), pada usia ini minat terhadap eksplorasi identitas dan pengetahuan sosial yang lebih mendalam terlihat pada masa ini. Remaja juga menghabiskan banyak waktu dalam interaksi dengan teman sebaya. Remaja lebih mengandalkan teman daripada orangtua untuk memenuhi kebutuhan kebersamaan, untuk meyakinkan harga diri, dan keakraban (Furman & Burhmester dalam Santrock, 2003).

Menurut Erikson (1968) dalam Santrock (2003), remaja berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada di dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Setelah hal itu terjadi remaja mengevaluasi diri dan melakukan perbandingan sosial sebagai upaya remaja untuk membangun identitas diri mereka dan menempatkan diri mereka dalam hirarki sosial (Brown & Lohr, 1987; Harter, 1990 dalam Neff & McGehee, 2009).

Ketika remaja mengeksplorasi dan mencari identitas budayanya, remaja seringkali bereksperimen dengan peran-peran yang berbeda. Misalnya saja pada


(11)

2

remaja akhir yang mulai belajar di jenjang yang lebih tinggi, yaitu memasuki masa perkuliahan. Banyak remaja akhir yang mengikuti kegiatan dimana-mana selain perkuliahannya, seperti masuk dan aktif dalam organisasi kampus maupun di luar kampus.

Sekian banyaknya kegiatan dan organisasi yang dijumpai saat masa remaja membuka peluang untuk bereksplor dan berinteraksi dengan teman sebaya dengan peran dari masing-masing kegiatan. Misalnya saja di satu organisasi keagamaan dan sosial di kota Bandung yaitu organisasi pemuda “X”. Organisasi pemuda “X” ini memiliki beberapa tujuan yaitu memelajari dan mengamalkan ajaran agama Buddha dalam arti yang seluas-luasnya, membina anggota menjadi warga masyarakat yang berguna dan bijaksana, serta meningkatkan mutu kehidupan beragama dan untuk mencapai tujuan tersebut mereka melakukan banyak kegiatan dan kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan kesesuaian job description mereka dalam divisi atau unit yang ada.

Salah satu pengurus berkata bahwa ia mendapatkan pembelajaran untuk bertanggung jawab dan juga memiliki semangat dalam melayani. Namun, ketika ia menjadi seorang koordinator, ia sempat merasa gagal dalam memimpin tim dan mengecewakan tim, karena sebagai koordinator ia merasa dipercaya untuk memimpin tim, namun ia berjalan sendiri mengerjakan job desk tanpa terlibatnya staff dan staff pun merasa kecewa karena merasa tidak diberikan kesempatan untuk belajar. Dari sana ia mencoba untuk melibatkan staff untuk melaksanakan program kerja mereka. Terkadang ada juga rasa kecewa karena ada target yang tidak bisa tercapai dalam satu tahun kepengurusan, seperti tertundanya lomba


(12)

design baju. Pengalaman lainnya juga di perolehnya seperti dapat mengerti karakteristik anggota lainnya namun ketika terlalu banyak kesibukan atau kegiatan ia merasa jenuh terkadang mengerjakan tugas dengan tidak baik dan merasa kurang merawat dirinya sendiri.

Selain itu, tuntutan untuk para remaja akhir di organisasi pemuda “X” ini dalam menjalankan tugasnya sebagai pengurus masih banyak lagi. Mereka dituntut untuk membagi waktu dan berperan sebagai pengurus maupun sebagai mahasiswa, mereka dituntut sebagai seorang pembina ketika mengajar di sekolah minggu di mana mereka harus menyiapkan bahan seperti artikel atau cerita sesuai tema Dhamma (ajaran Sang Buddha) atau menyiapkan permainan serta perlengkapannya. Mereka juga di tuntut untuk bertanggung jawab atas berjalannya kegiatan kebaktian minggu yang mana mereka harus menyiapkan bantal kebaktian, sound system sampai melatih pemimpin kebaktian.

Bertanggung jawab dalam pengolahan data adik-adik asuh, mendata para donatur yang sudah memberikan dana bulanan, mengumpulkan dana tersebut sampai mengirimkannya ke daerah-daerah yang sudah didata memiliki adik asuh Pemuda “X” sesuai dengan tanggungan tunjangan sekolah masing-masing para adik asuh agar tidak telat mengirimkan uang sekolah mereka. Selain tuntutan tersebut mereka juga harus memberikan pelayanan kepada umat seperti menolong umat ketika mereka membutuhkan bantuan dalam proses pernikahan (pemberkatan), memberikan informasi ketika ada kegiatan meditasi sebelum kebaktian hari raya, bersikap ramah, empati dalam pengembangan ajaran Buddha.


(13)

4

Ajaran Buddha atau Dhamma merupakan ajaran universal mengenai kebenaran mulia untuk pengembangan diri sendiri dan juga semua makhluk. Dalam ajaran Buddha, dikenal sepuluh ajaran kebajikan (Dasa Paramita) yang merupakan perwujudan pelayanan sosial. Dalam perwujudannya memberikan pelayanan sosial, kebajikan yang tertinggi dalam dasa paramita adalah Dhammadana yaitu memberikan khotbah Dhamma juga nasehat-nasehat sesuai dengan ajaran Buddha untuk membentuk karakter seseorang menjadi lebih baik dan sifat luhur (Brahmavihara) yang sesuai dengan konsep pelayanan sosial adalah memberikan kasih sayang yang tulus kepada semua makhluk, ikut merasakan beban penderitaan serta membantu mengeliminir penderitaan yang dialami yang merupakan pengertan dari karuna.

Menurut Neff (2003) kemampuan individu untuk menyadari dan melihat secara jelas penderitaan orang lain, serta memberikan kebaikan, kepedulian, dan pemahaman terhadap penderitaan mereka itu merupakan bentuk dari compassion for other dan Neff (2011) mengatakan bahwa seseorang tidak akan secara penuh atau optimal dalam memberikan compassion for others sebelum memiliki self-compassion, sama halnya dengan remaja akhir di organisasi pemuda “X”, para remaja akhir di organisasi pemuda “X” harus memiliki self-compassion sebelum mereka memberikan compassion pada umat. Para remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung yang memiliki self-compassion yang tinggi dapat memerlakukan dirinya sama baiknya sebagaimana mereka memerlakukan orang lain.


(14)

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap kegagalan diri sendiri, tanpa menghindar dari kegagalan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Dari survey awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 11 orang remaja akhir di organisasi pemuda “X”, terdapat 7 orang remaja akhir yang memberikan pengertian pada dirinya sendiri seperti mengatakan bahwa ketika mereka mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas itu merupakan kesuksesan yang tertunda dan ada juga yang mengatakan bahwa kegagalan atau ketidaksempurnaan dari hasil kerja mereka dalam menajalankan tugas itu menjadi motivasi bagi mereka untuk melakukan tugas dengan lebih baik lagi kedepannya. Pemberian pengertian terhadap diri sendiri tersebut sama dengan konsep self-kindness dengan derajat yang tinggi.

Sedangkan 4 orang remaja akhir yang mengkritik diri mereka sendiri seperti menyatakan bahwa ketika mereka mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan, mereka merasa kecewa terhadap diri mereka sendiri, mereka mengatakan bahwa seharusnya mereka dapat membagi waktu untuk mengerjakan tugas-tugas mereka dan membaginya dalam tim sehingga mereka juga tidak mengecewakan tim yang sudah terbentuk. Pandangan tersebut sama halnya dengan mereka yang memiliki self-kindness dengan derajat yang rendah, mereka tidak bersikap hangat dan memberikan kehangatan pada diri mereka sendiri ketika mereka mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas.


(15)

6

Dari 11 orang remaja akhir, terdapat 8 orang remaja akhir yang yang menyatakan bahwa ketika mereka mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas sebagai pengurus, mereka merasa bahwa orang lain atau pengurus yang lain pun juga mengalami hal yang sama, pernah mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas sebagai pengurus. Hal tersebut sama artinya dengan individu yang memiliki common humanity dengan derajat yang tinggi. Sedangkan 3 orang lainnya menyatakan bahwa ketika mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan menjalankan suatu kegiatan itu merupakan kesalahan atau kegagalan atau ketidaksempurnaan yang hanya dialami oleh dirinya sendiri, seperti tidak bisa menyatukan seluruh panitia atau staff atau tim dan juga kurangnya pendampingan terhadap staff atau panitia atau timnya. Rasa bahwa hal itu hanya dialami oleh dirinya sendiri sama artinya bahwa mereka memiliki common humanity yang rendah.

Terdapat 6 orang remaja akhir mengatakan bahwa ketika mereka mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas sebagai pengurus, mereka tidak terlalu memusingkan hal tersebut karena orang lain juga pernah mengalami hal itu dan mereka beranggapan bahwa pengalaman itu lah yang menjadi pelajaran untuk nantinya. Satu orang remaja hanya mengatakan bahwa ketika ia gagal atau mengalami ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas sebagai pengurus atau panitia, ia harus melakukan tugas berikutnya dengan lebih baik lagi dan dapat dikatakan bahwa mereka memiliki derajat mindfulness yang tinggi. Sedangkan 4 orang remaja akhir menyatakan bahwa mereka merasa takut atau cemas untuk bertindak karena adanya pengalaman merasa gagal atau


(16)

ketidaksempurnaan menjalankan tugas sebagai pengurus. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ia sempat gagal dalam merangkul atau mengajak staff untuk terlibat aktif dalam kepengurusan, staff merasa tidak diperlukan dan hanya koordinator saja yang merancang serta bertindak secara keseluruhan. Hal tersebut menimbulkan rasa cemas untuk ia aktif lagi sebagai pengurus dan dapat dikatakan bahwa mereka memiliki mindfulness dengan derajat yang rendah.

Tekanan yang intens yang dihadapi oleh kebanyakan remaja, seperti stress atas prestasi akademik, kebutuhan untuk popular dan kecocokan dalam teman sebaya, body image, dan yang lainnya, mengartikan bahwa evaluasi diri pada remaja sering kali kurang baik (Harter, 1993; Simmons, Rosenberg, & Rosenberg, 1973; Steinberg, 1999 dalam Neff & McGehee, 2009). Self-judgment yang negatif berkaitan tinggi dengan kecemasan, depresi dan percobaan bunuh diri ditemukan selama periode ini (Harter & Marold, 1994; Laufer, 1995 dalam Neff & McGehee, 2009).

Dalam penelitian Neff & McGehee (2009) dikatakan bahwa self-compassion berkaitan dengan usia, semakin dewasa individu maka semakin tinggi derajat self-compassion mereka. Self-compassion memungkinkan memberikan cara bagi remaja untuk mengalami perasaan positif mengenai dirinya tanpa terlibat dalam proses persoalan self-judgment dan evaluasi, untuk remaja yang memiliki masalah dalam keluarga, self-compassion memungkinkan memberikan jalan untuk belajar hal baru terkait keseimbangan dan dukungan untuk diri (dalam Neff & McGehee, 2009). Menurut Neff (2009) individu dengan derajat self-compassion yang tinggi akan memiliki emotional coping skill yang lebih baik,


(17)

8

ketakutan yang lebih rendah terhadap kegagalan dan mereka lebih termotivasi secara internal untuk belajar dan tumbuh, khususnya dalam menjalani kegiatannya di organisasi pemuda “X” Bandung. Sedangkan dalam organisasi pemuda “X” Bandung ini para remaja masih tergolong dalam remaja akhir, dimana dalam penelitian Neff & McGehee (2009), remaja masih memiliki derajat self-compassion yang rendah dibandingkan dengan older adult. Dari sinilah peneliti ingin melihat bagaimana derajat self-compassion remaja akhir dalam organisasi pemuda “X” Bandung secara keseluruhan.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana Self-Compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memeroleh gambaran mengenai Self-Compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui derajat Self-Compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung dan faktor yang berkaitan.


(18)

1.4. Kegunaan penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis

1. Menambah informasi mengenai Self-Compassion pada bidang Psikologi Sosial dan organisasi.

2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai Self-Compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Menambah informasi kepada pengurus inti dan koordinator tiap divisi di Organisasi pemuda “X” Bandung mengenai gambaran self-compassion yang dimiliki para remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung untuk membimbing remaja akhir. Disarankan dapat membantu mengatasi masalah yang berhubungan dengan kegagalan atau penderitaan yang dialami remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung agar dapat menerima diri dengan lebih baik.

1.5 Kerangka Pemikiran

Remaja akhir di organisasi pemuda “X” adalah remaja yang memiliki rentang usia sekitar 19-22 tahun. Remaja akhir memiliki minat terhadap eksplorasi identitas dan pengetahuan sosial yang lebih mendalam (Santrock, 2003). Remaja akhir ini semakin banyak menghabiskan waktu dalam interaksi dengan teman sebaya. Remaja melaporkan bahwa mereka lebih mengandalkaan


(19)

10

teman daripada orangtua mereka untuk memenuhi kebutuhan kebersamaan, untuk meyakinkan harga diri, dan keakraban (Furman & Burhmester dalam Santrock, 2003). Sullivan juga menambahkan hubungan seperti itu juga akan membantu remaja untuk memenuhi tugas perkembangannya, seperti itu pula remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung.

Remaja akhir ini masuk dalam satu organisasi pemuda “X” Bandung dengan menjalankan peran utama sebagai mahasiswa dan juga menjalankan peran sebagai pengurus yang bertanggung jawab dalam suatu kegiatan seperti menjadi seorang pembina ketika mengajar di sekolah minggu dimana mereka harus menyiapkan bahan seperti artikel atau cerita sesuai tema Dhamma (ajaran Sang Buddha) atau menyiapkan permainan serta perlengkapannya. Mereka juga memberikan pelayanan kepada umat dalam pengembangan ajaran Sang Buddha seperti kunjungan ke panti jompo di mana mereka memberikan kasih sayang yang tulus dengan cara menghibur ataupun mengajak bicara para kakek nenek yang ada di sana sesuai dengan konsep pelayanan sosial. Konsep tersebut yaitu memberikan kasih sayang yang tulus kepada semua makhluk, ikut merasakan beban penderitaan serta membantu mengeliminir penderitaan yang dialami yang merupakan pengertan dari karuna. Mereka juga bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri sebagai mahasiswa dengan tidak mengabaikan kuliahnya.

Penelitian Neff & McGehee (2009) mengatakan bahwa self-compassion berkaitan dengan usia, dimana semakin dewasa seseorang maka semakin tinggi derajat self-compassion mereka. Dalam organisasi pemuda “X” Bandung ini, remaja memerlukan self-compassion agar mereka dapat memberikan empati,


(20)

kehangatan ataupun pelayanan terhadap orang lain secara optimal. Sedangkan dalam organisasi pemuda “X” Bandung ini remajanya tergolong dalam remaja akhir di mana masih memiliki derajat self-compassion yang lebih rendah dibanding dengan older adult (Neff & McGehee, 2009).

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Self-compassion remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung adalah adanya keterbukaan dan kesadaran remaja untuk tetap memberikan kebaikan kepada dirinya sendiri saat mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan diri dalam menjalankan kegiatannya sebagai pengurus, misalnya saja rasa kecewa dan gagal dalam mengkoordinir staff, tidak menghindari dari ketidaksempurnaan diri maupun kegagalan dan melihat hal tersebut juga pernah dialami oleh pengurus lainnya.

Self-compassion terdiri atas tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2009). Sellf-kindness menurut Neff (2003) adalah kemampuan bersikap hangat dan memahami diri sendiri saat mengalami kegagalan dan ketidaksempurnaan dalam kehidupannya. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat self-kindness tinggi, akan memaafkan, memberi empati, kepekaan, kehangatan, dan kesabaran terhadap semua aspek dalam dirinya termasuk tindakan, pikiran, perasaan, dan impuls dalam dirinya saat


(21)

12

menghadapi kegagalan dalam menjalankan tugasnya sebagai pengurus, dan sebaliknya, remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat self-compassion yang rendah akan menghakimi diri atau mengkritik diri mereka sendiri atas kegagalan ataupun ketidaksempurnaan diri yang telah mereka alami, mereka akan menyalahkan dirinya sendiri, misalnya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa betapa bodohnya karena ia dapat melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya sehingga acara yang berjalan tidak sesuai dengan harapan ataupun tujuan dan ia tidak bisa menghindari kesalahan itu. Ia dapat terus-menerus mengkritik diri dan merasa tidak berguna.

Komponen berikutnya adalah common humanity. Common humanity menurut Neff (2003) adalah adanya kesadaran bahwa kegagalan atau kesalahan yang dilakukan merupakan kejadian yang pada umumnya dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat common humanity yang tinggi akan menganggap bahwa kesalahan dalam menjalankan tugasnya merupakan kejadian yang biasa di kegiatan kepengurusan organisasi pemuda “X”, mereka menyadari bahwa pemuda lain juga pada umumnya pernah melakukan kesalahan yang sama, bukan hanya dirinya sendiri yang memiliki kekurangan atau melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas sesuai visi dan misi serta program kerja yang sudah disepakati. Namun, pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” yang memiliki derajat common humanity yang rendah, mereka akan merasa bahwa hanya dirinya sendiri lah yang tidak sempurna menjalankan tugas dan memungkinkan memiliki


(22)

pemikiran merasa kekurangan saat ia menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya atau tujuan dari acara tertentu.

Komponen berikutnya dari self-compassion adalah mindfulness. Mindfulness menurut Neff (2003) adalah kemampuan untuk melihat dengan perspektif yang lebih luas dan menerima perasaan dan pikiran diri sendiri secara apa adanya tanpa disangkal atau ditekan. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat mindfulness yang tinggi tidak akan bersedih dalam waktu berbulan-bulan saat mengalami kegagalan dan berpikir secara moderat saat ia melakukan kesalahan, mereka juga mau mempertimbangkan pandangan pihak lainnya. Sedangkan remaja akhir di organisasi pemuda “X” yang memiliki derajat mindfulness yang rendah akan terpaku pada kegagalan dan ketidakmampuan yang dimiliki, dimana remaja akhir di organisasi pemuda “X” akan merasa takut dan cemas akan kegagalan tersebut. Dengan demikian remaja akhir di organisasi pemuda “X” menganggap bahwa ia akan melakukan hal yang sama pada saat ia membuat suatu acara di waktu yang lainnya.

Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dikatakan memiliki derajat self-compassion yang tinggi jika dalam ketiga komponen self-self-compassion tersebut mereka memiliki derajat yang tinggi semua dan remaja akhir di organisasi pemuda “X” dikatakan memiliki derajat self-compassion yang rendah jika di salah satu komponen dari self-compassion ada yang memiliki derajat yang rendah (Neff, 2003).

Self-compassion berkaitan dengan beberapa faktor, yaitu personality, jenis kelamin, role of parents, dan attachment. Faktor yang pertama adalah personality,


(23)

14

aspek dari personality adalah neuroticism, agreeableness, extroversion, conscientiousness, dan openness to experiences. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI (Neff, Rude et. al., 2007), ditemukan bahwa self-compassion berkaitan dengan level neuroticism yang rendah. Hubungan ini dapat terjadi karena mengkritik diri dan perasaan terasing yang menyebabkan rendahnya self-compassion memiliki kesamaan dengan neuroticism. Individu dengan derajat yang rendah dalam neuroticism cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup, sedangkan individu dengan derajat yang tinggi dalam neuroticism cenderung mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi dan memiliki kecenderungan emotionally reactive (Costa & McCrae, 1997). Selain itu, neuroticism mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami stress, mempunyai ide yang realistis, dan mempunyai coping response yang maladaptive. Dengan demikian, individu dengan derajat neuroticism tinggi cenderung memiliki derajat self-compassion yang rendah. Begitu pula dengan remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat neuroticism tinggi akan memiliki self-compassion yang rendah.

Self-compassion juga berhubungan positif dengan agreeableness, extroversion, dan conscientiousness. Menurut Costa & McCrae (1997), individu dengan extroversion cenderung memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal juga ramah terhadap orang lain. Individu dengan derajat yang tinggi dalam agreeableness dan extroversion akan berorientasi pada sifat sosial dan tidak terlalu khawatir dengan pandangan orang lain tentang mereka, karena hal itu dapat mengarah pada rasa


(24)

malu dan perilaku menyendiri. Hal itu dapat membuat individu melihat pengalaman negatif sebagai pengalaman yang pada umumnya dialami semua manusia yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang tinggi (Neff, Rude at. al., 2007). Begitu pun dengan remaja akhir di organisasi pemuda “X” yang memiliki derajat extroversion dan agreeableness yang tinggi akan memiliki derajat self-compassion yang tinggi pula.

Selanjutnya aspek dari personality yaitu conscientiousness. Conscientiousness mendeskripsikan control terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas (Costa & McCrae, 1997 ). Hal ini dapat membantu individu untuk lebih memperhatikan kebutuhan mereka dan untuk merespon situasi yang sulit dengan sikap yang lebih bertanggung jawab, serta bereaksi secara tidak berlebihan (Neff, Rude at.al., 2007 dalam Neff, 2009). Dengan demikian, individu dapat merespon situasi itu dengan tanpa memberikan kritik yang berlebihan yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang tinggi (Neff, 2009). Begitu pun pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat conscientiousness tinggi dapat memiliki derajat self-compassion yang tinggi juga. Aspek dari personality yang terakhir adalah openness to experiences. Openness to experiences tidak memiliki keterkaitan dengan self-compassion, karena trait itu mengukur karakteristik orang-orang yang memiliki imajinasi yang aktif, dan memiliki pilihan yang bervariasi untuk bisa membuka pikiran (Costa & McCrae, 1992 dalam Neff 2009).


(25)

16

Self-compassion juga dapat berkaitan dengan jenis kelamin. Penelitian Neff (2011), menunjukan bahwa wanita lebih sering mengulang-ulang pemikiran mengenai kekurangan yang ia miliki yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang rendah. Wanita juga cenderung lebih peduli, empati, dan lebih suka memberi kepada orang lain daripada pria. Wanita lebih disosialisasikan untuk merawat orang lain, membuka hati mereka tanpa pamrih kepada teman, dan orangtua mereka, tetapi mereka tidak berpikir untuk peduli kepada diri mereka sendiri yang dapat membuat wanita memiliki derajat self-compassion lebih rendah daripada pria. Begitu pula pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” yang berjenis kelamin wanita, hal ini dapat saja terjadi.

Self-compassion juga dapat berkaitan dengan Role of parents pada remaja akhir di organisasi pemuda “X”. Role of parents terdiri dari maternal critism dan modeling of parents. Brown (1999) dalam Neff (2003) menyatakan bahwa individu yang mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung (maternal support) dengan orangtua mereka, serta menerima dan compassion kepada mereka, cenderung akan lebih memiliki self-compassion daripada individu yang tinggal dengan orangtua yang “dingin” dan sering mengkritik. Individu dengan orangtua yang sering mengkritik akan memiliki derajat self-compassion yang rendah dan mengalami anxiety serta depresi saat mereka dewasa. Menurut Neff (2011), mereka akan menginternalisasikan kritikan yang diberikan orangtua dan akan membawa hal itu sampai mereka dewasa dan individu dengan orangtua yang mendukung akan memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Begitu pun pada remaja akhir di organisasi pemuda “X”.


(26)

Faktor selanjutnya yang dapat berkaitan dengan self-compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” adalah model dari orangtua yang mengkritik diri dan orangtua yang self-compassion saat mereka menghadapi kegagalan atau kesulitan (Neff dan McGehee, 2009). Orangtua yang sering mengkritik diri, akan menjadi model bagi remaja akhir di organisasi pemuda “X” untuk melakukan hal yang sama saat ia menghadapi kegagalan. Menurut Bandura (1991) dalam Santrock (2003), individu akan belajar untuk mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain dan kemudian mungkin akan mengambil tingkah laku tersebut. Hal ini dapat berkaitan dengan adanya modeling pada self-compassion.

Faktor selanjutnya yang dapat berkaitan dengan self-compassion adalah attachment. Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat antara individu dan pengasuhnya (Bowlby, 1969 dalam Santrock, 2003). Menurut Neff (2011), attachment dengan orangtua dapat berkaitan derajat self-compassion individu dan self-compassion berhubungan dengan internal working models of attachment. Bowlby mengatakan bahwa early attachment dari orangtua atau pengasuh memengaruhi pembentukan internal working model dari diri individu dan dapat memengaruhi relasi individu dengan orang lain. Ketika anak-anak merasa mendapatkan secure attachment dari orangtuanya, mereka merasa bahwa mereka layak untuk dicintai, namun ketika mereka mendapatkan insecure attachment, mereka akan merasa bahwa mereka tidak berharga dan tidak dicintai, dan mereka tidak percaya terhadap orang lain. Namun, internal working model dalam diri individu dapat diubah, karena kemampuan untuk memberi dan menerima suatu kepedulian itu bukan bawaan lahir, tapi dapat di tata ulang.


(27)

18

Seseorang yang mendapatkan insecure attachment pada masa anak-anak suatu waktu ia akan berhasil menemukan cinta, pasangan romantis yang mendukung sebagai orang dewasa akhirnya dapat belajar untuk menjadi secure attachment (dalam Neff, 2011).

Bartholomew dan Horowitz (1991) mendeskripsikan 4 tipe attachment pada periode remaja (adolescent) dan dewasa. Yang pertama adalah Attachment secure yang dicirikan dengan individu yang merasa dapat mempercayai orang lain dan merasa aman untuk percaya bahwa ia layak untuk mendapatkan kasih sayang. Menurut Neff & McGehee (2009), perasaan diri berharga dan layak untuk mendapatkan kasih sayang dapat membuat individu juga merasa layak untuk menyayangi dirinya sendiri yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang tinggi. Begitu pun pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” yang memiliki secure attachment.

Tipe yang kedua adalah preoccupied attachment, dimana individu dengan preoccupied attachment berkaitan dengan derajat self-compassion yang rendah. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sikap individu dengan preoccupied attachment yang cenderung membutuhkan pembenaran yang kuat dari orang lain tentang dirinya sendiri (Wei, Mallinckrodt, Larzon, & Zakalik, 2005 dalam Wei, Liao, et. al., 2011). Ketika individu bergantung kepada pembenaran dari orang lain, mereka akan sulit untuk melihat potensi di dalam dirinya yang mengarah kepada self-compassion (Neff & McGehee, 2010 dalam Wei, Liao, et.al., 2011). Akhirnya, individu ini akan melebih-lebihkan masalah yang mereka hadapi (Mikulincer et. al., 2001 dalam Wei, Liao, et.al., 2011), hal ini akan membuat mereka melihat


(28)

pengalaman negatif sebagai pengalaman yang hanya dialami oleh mereka dan terjebak dalam pikiran serta perasaan yang menyakitkan. Begitu pun pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” yang memiliki preoccupied attachment.

Tipe attachment yang ketiga adalah fearfull attachment. Neff dan McGehee (2009) menemukan bahwa fearfull attachment berkaitan dengan derajat self-compassion rendah karena individu dengan fearfull attachment dicirikan dengan kurangnya rasa percaya kepada orang lain dan meragukan keberhargaan dirinya. Hal tersebut membuat individu dengan fearfull attachment kurang memiliki fondasi yang kuat untuk compassion kepada dirinya sendiri. Hal ini dapat terjadi pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” yang memiliki fearfull attachment.

Tipe attachment yang keempat adalah dismissing attachment. Dalam penelitian Neff dan McGehee (2009), mereka menemukan bahwa attachment dismissing atau attachment avoidance tidak memiliki kaitan dengan self-compassion karena individu dengan attachment avoidance menolak pentingnya hubungan interpersonal yang membuat mereka tidak dapat menjelaskan secara akurat apakah mereka telah self-compassion atau belum. Dari hal itu tipe attachment yang keempat ini tidak digunakan sebagai faktor yang berkaitan dengan self-compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X”.

Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat self-compassion tinggi, akan memahami kekurangannya dalam menjalankan tugasnya, berempati terhadap hal itu, dan menggantikan kritikan terhadap dirinya dengan memberikan respon yang lebih baik. Ia dapat memberikan rasa aman dan perlindungan kepada


(29)

20

dirinya dan menyadari bahwa kekurangan dan ketidaksempurnaan merupakan bagian dari kehidupan. Ia lebih terhubung dengan orang lain yang juga memiliki kekurangan dan kerentanan. Pada waktu yang bersamaan, ia bisa melepaskan keinginannya untuk menjadi lebih baik daripada orang lain, sehingga ia bisa melihat kekurangan atau kegagalan yang dihadapi secara objektif, tanpa menghindari atau melebih-lebihkan hal itu.

Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dengan derajat self-compassion rendah, akan terus-menerus mengkritik diri saat mengalami kegagalan atau saat menghadapi kekurangan dirinya dalam kehidupannya, misalnya saat menjalankan tugasnya. Ia hanya memperhatikan kekurangannya tanpa memperhatikan kelebihan yang dimiliki, sehingga ia memiliki pandangan yang sempit bahwa hanya dirinya yang memiliki kekurangan dan menghadapi kegagalan. Ia juga menghindar dari kekurangan yang dimiliki atau kegagalan yang dihadapi agar tidak terus-menerus merasakan perasaan sedih atau kecewa. Ia juga dapat melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi dengan fokus pada kegagalan yang akan ia hadapi di masa lalu, tanpa memperhatikan kegagalan yang ia hadapi saat ini.


(30)

Berikut adalah bagan dari penjelasan kerangka pikir penelitian ini :

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir SELF-COMPASSION Remaja Akhir di

Organisasi Pemuda “X” Bandung

Tinggi

Rendah

Faktor yang berkaitan • Personality • Jenis Kelamin • The role of parents

o Maternal critism o Modelling parent Attachment

Komponen : Self-Kindness Common Humanity Mindfulness


(31)

22

1.6 Asumsi Penelitian

1. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dalam menjalankan kegiatannya membutuhkan self-compassion untuk dapat memberikan compassion (pelayanan) kepada umat ataupun pada kepengurusan.

2. Self-compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” terdiri dari komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Jika remaja akhir di organisasi pemuda “X” memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen, maka remaja akhir di organisasi pemuda “X” memiliki derajat self-compassion yang tinggi dan ketika remaja akhir memiliki derajat yang rendah pada salah satu komponen atau lebih, maka remaja akhir memiliki derajat self-compassion yang rendah.

3. Self-compassion remaja akhir di organisasi pemuda “X” dapat berkaitan dengan faktor personality, jenis kelamin, attachment, dan role of parent yang terdiri dari maternal critism dan modeling parent dari orangtua remaja akhir di organisasi pemuda “X”.

4. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” memiliki derajat self-compassion yang bervariasi.


(32)

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai self-compassion pada 55 orang remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung sebagaian besar memiliki derajat Self-Compassion yang rendah.

2. Pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung dengan derajat self-compassion yang rendah, sebagian besar memiliki derajat yang bervariasi pada ketiga komponennya.

3. Faktor personality, jenis kelamin, maternal support atau maternal criticism, modeling parent, dan juga attachment tidak memiliki keterkaitan dengan self-compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung.


(33)

70

5.2Saran

5.2.1 Saran Teorotis

1. Penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian korelasi antara self-compassion dan faktor yang dapat berkaitan dengan menggunakan metode wawancara agar memeroleh data yang lebih mendalam, selain menggunakan metode pembagian kuesioner.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi para pengurus inti dan koordinator tiap divisi di organisasi pemuda “X” Bandung disarankan untuk memberikan sesi konseling atau diskusi kepada seluruh remaja akhir. Melalui konseling atau diskusi para remaja dapat mencoba membuka diri untuk menceritakan kegagalan apa saja yang mereka hadapi, serta psudah sejauh mana mereka berusaha dalam menghadapi kegagalan atau ketidaksempurnaan menjalankan tugas. Remaja akhir dapat memiliki sudut pandang yang lebih luas mengenai kegagalan atau ketidaksempurnaan yang dihadapinya, serta melihat dan mengamati bahwa tidak hanya diri mereka sendiri yang mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Laura K. dan John F. Curry. 2011. Self Compassion: Conceptualization, Correlates, & Interventions. American Psychological Assosiation.

Bartholomew, K. & Horowitz, L. M. 1991. Attachment Styles Among Young Adults: A Test of A Four Category Model. Journal of Personality and Social Psychology, 61, 226-244.

Bluth, K. & Blanton, P. W. 2013. Mindfulness and Self-Compassion: Exploring Pathways to Adolescent Emotional Well-Being. Journal of Child and Family Studies.

Hansen, Sasanasena Seng Upa. 2008. Ikhtisar Ajaran Buddha, cetakan kedua. Yogyakarta : InSight.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners. Edisi ke-3. London: Sage Publication.

McCrae, R. R., & Costa. P. T. Jr. (1999). A five-factor theory of personality. In L. Pervin, & O. P. John (Eds.), Handbook of personality: Theory and research. New York: Guilford Press.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecureity Behind. New York: Harper Collins Publisher.

Neff, Kristin et.al. 2007. An Examination of Self-Compassion in Relation to Positive Psychological Functioning and Personality Traits. Journal of Research in Personality.

Neff, Kristin dan Pittman McGehee. 2009. identity, 225-240. Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolesencents and Young Adults. Psychological Press.

Rammstedt, B. & John, O. P. (2007). Measuring Personality in One Minute or Less: A 10-Item Short Version of the Big Five Inventory in English and German. Journal of Research in Personality, 41, 203-212.

Santrock. 2002. Life-Span Development. Diterjemahkan oleh Achmad Chusairi, S.Psi & Drs. Juda Damanik, M.S.W. Edisi V. Jakarta: Erlangga.

_______. 2003. Adolescent. Diterjemahkan oleh Dra. Shinto B. Adelar, M.Sc & Sherly Saragih S.Psi. Jakarta: Erlangga.


(35)

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII. Bandung: Rosda.

Wei et.al. 2011. Attachment, Self-Compassion, Empathy, and Subjective Well Being Among College Student and Community Adults. Journal of Personality.


(36)

DAFTAR RUJUKAN

Neff, Kristin. 2009a. Self Compassion Scale for Researcher

__________. 2009b. Test How Self Compassion You Are

Rahoela. 2009. Makna Brahmavihara diakses 27 September 2014)

Riasnugrahani, M. 2014. Self-Compassion dan Compassion for Others pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Maranatha. Bandung.

1991. Tata Kelola Organisasi dan Job Description PVVD. Bandung: PVVD. 2009. Big Five Personality

September 2014)

2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(1)

22

1.6 Asumsi Penelitian

1. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” dalam menjalankan kegiatannya membutuhkan self-compassion untuk dapat memberikan

compassion (pelayanan) kepada umat ataupun pada kepengurusan.

2. Self-compassion pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” terdiri

dari komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Jika remaja akhir di organisasi pemuda “X” memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen, maka remaja akhir di organisasi pemuda “X” memiliki derajat self-compassion yang tinggi dan ketika remaja akhir memiliki derajat yang rendah pada salah satu komponen atau lebih, maka remaja akhir memiliki derajat self-compassion yang rendah.

3. Self-compassion remaja akhir di organisasi pemuda “X” dapat berkaitan

dengan faktor personality, jenis kelamin, attachment, dan role of parent yang terdiri dari maternal critism dan modeling parent dari orangtua remaja akhir di organisasi pemuda “X”.

4. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” memiliki derajat


(2)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai self-compassion pada 55 orang remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung sebagaian besar memiliki derajat Self-Compassion yang rendah.

2. Pada remaja akhir di organisasi pemuda “X” Bandung dengan derajat

self-compassion yang rendah, sebagian besar memiliki derajat yang bervariasi

pada ketiga komponennya.

3. Faktor personality, jenis kelamin, maternal support atau maternal criticism,


(3)

self-70

5.2Saran

5.2.1 Saran Teorotis

1. Penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian korelasi antara

self-compassion dan faktor yang dapat berkaitan dengan menggunakan metode

wawancara agar memeroleh data yang lebih mendalam, selain menggunakan metode pembagian kuesioner.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi para pengurus inti dan koordinator tiap divisi di organisasi pemuda “X” Bandung disarankan untuk memberikan sesi konseling atau diskusi kepada seluruh remaja akhir. Melalui konseling atau diskusi para remaja dapat mencoba membuka diri untuk menceritakan kegagalan apa saja yang mereka hadapi, serta psudah sejauh mana mereka berusaha dalam menghadapi kegagalan atau ketidaksempurnaan menjalankan tugas. Remaja akhir dapat memiliki sudut pandang yang lebih luas mengenai kegagalan atau ketidaksempurnaan yang dihadapinya, serta melihat dan mengamati bahwa tidak hanya diri mereka sendiri yang mengalami kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Laura K. dan John F. Curry. 2011. Self Compassion: Conceptualization,

Correlates, & Interventions. American Psychological Assosiation.

Bartholomew, K. & Horowitz, L. M. 1991. Attachment Styles Among Young

Adults: A Test of A Four Category Model. Journal of Personality and

Social Psychology, 61, 226-244.

Bluth, K. & Blanton, P. W. 2013. Mindfulness and Self-Compassion: Exploring

Pathways to Adolescent Emotional Well-Being. Journal of Child and

Family Studies.

Hansen, Sasanasena Seng Upa. 2008. Ikhtisar Ajaran Buddha, cetakan kedua. Yogyakarta : InSight.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners. Edisi ke-3. London: Sage Publication.

McCrae, R. R., & Costa. P. T. Jr. (1999). A five-factor theory of personality. In L. Pervin, & O. P. John (Eds.), Handbook of personality: Theory and

research. New York: Guilford Press.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave

Insecureity Behind. New York: Harper Collins Publisher.

Neff, Kristin et.al. 2007. An Examination of Self-Compassion in Relation to

Positive Psychological Functioning and Personality Traits. Journal of

Research in Personality.

Neff, Kristin dan Pittman McGehee. 2009. identity, 225-240. Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolesencents and

Young Adults. Psychological Press.


(5)

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII.

Bandung: Rosda.

Wei et.al. 2011. Attachment, Self-Compassion, Empathy, and Subjective Well

Being Among College Student and Community Adults. Journal of


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Neff, Kristin. 2009a. Self Compassion Scale for Researcher

__________. 2009b. Test How Self Compassion You Are

Rahoela. 2009. Makna Brahmavihara

diakses 27 September 2014)

Riasnugrahani, M. 2014. Self-Compassion dan Compassion for Others pada

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Fakultas

Psikologi. Universitas Kristen Maranatha. Bandung.

1991. Tata Kelola Organisasi dan Job Description PVVD. Bandung: PVVD.

2009. Big Five Personality

September 2014)

2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.