Tinjauan Yuridis Pengaturan Hukum Kepemilikan Bangunan Vertikal Bawah Tanah Dihubungkan dengan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Bangunan Vertikal Bawah Tanah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Terkait di Indonesia.

(1)

viii Universitas Kristen Maranatha

TINJAUAN YURIDIS PENGATURAN HUKUM KEPEMILIKAN

BANGUNAN VERTIKAL BAWAH TANAH DIHUBUNGKAN

DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK

BANGUNAN VERTIKAL BAWAH TANAH BERDASARKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT DI

INDONESIA

ABSTRAK

Perkembangan teknologi pembangunan menyebabkan perubahan cara pandang dan teknik dalam membangun, bahwa pada semula untuk mendirikan sebuah

bangunan “hanya” menyentuh atau berada pada permukaan tanah, menjadi bisa

berada melayang di atas bumi (berdiri di atas tiang-tiang atau tonggak-tonggak. Pada saat ini khususnya di kota-kota besar di Indonesia sudah dapat ditemui bangunan terbenam di bawah permukaan tanah. Pemanfaatan bangunan bawah tanah yang pada awalnya dialokasikan untuk lahan parkir, namun dalam perkembangannya sudah banyak digunakan untuk pertokoan. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan dan perlindungan hukum terhadap kepemilikan bangunan vertikal bawah tanah tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai perubahan yang terjadi terhadap pemanfaatan tanah yang kini tidak hanya pada permukaan tanah tetapi juga mencakup pemafaatan tanah dibawah tanah.

Pengaturan hukum terhadap bangunan vertikal bawah tanah belum tercantum dalam pengaturan secara tersendiri. Dalam praktik, pembangunan bangunan vertikal bawah tanah tersebut dilakukan secara sektoral. Perlindungan hukum bagi pemilik satuan bangunan vertikal bawah tanah belum diatur secara spesifik. Sebagai langkah antisipatif, perlindungan hukum bagi pemilik satuan bangunan vertikal bawah tanag dapat mengacu pada peraturan perlindungan yang diberikan kepada pemegang satuan hak milik Satuan Rumah Susun serta perlindungan secara umum dapat menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kata Kunci : Bangunan Vertikal Bawah Tanah, Perlindungan Hukum, Rumah Susun.


(2)

ix Universitas Kristen Maranatha

LEGAL RESEARCH OF THE REGULATION CONCERNING

UNDERGROUND VERTICAL CONSTRUCTION RELATED TO

LEGAL PROTECTION OF THE UNDERGROUND VERTICAL

CONSTRUCTION OWNERS

ABSTRACT

The building technology development causes the alteration of the perspective and technique in construction, building is a construction may define as “just” in contact or being on the ground surface, now is being floated over the earth (stands on poles or pillars). Nowdays, in the big cities in Indonesia buildings can be found built into underground. The purpose of underground construction at first was allocated to parking area, nonetheless, is being used for many shopping complex. Thus, it is obliged that there should be legal regulations and protections upon the ownership of the underground vertical constructions.

The research methodology applied is: normative juridical of analytical descriptive that is a research conducted to systematically, factually, and accurately describing about occurring alteration toward the utilitation of ground which is not only focused on ground surface but also encompass underground.

Legal regulations of concerning the constructions has not been accommodated by single regulation. In practice, the underground constructions projects are held by sectoral. Legal protections for the owner of underground vertical constructions unit has not been specifically regulated. As the anticipative action, the legal protections for the owner of underground vertical constructions unit can be refer to legal protection given to the unit holder of “Satuan Rumah Susun” owners and any general protection under the Consumer Protection Statutes.

Keyword : Underground Vertical Constructions, Legal Protections, Rumah


(3)

x Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL………..……….………. LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN...………...…….. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING...……….…….. LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG ………. PERNYATAAN TELAH MENGIKUTI SIDANG………. PERSETUJUAN REVISI……… ABSTRAK ………...……….………

ABSTRACT………..

KATA PENGANTAR ………..………….…….…….. DAFTAR ISI......……….. BAB I PENDAHULUAN……….………

A. Latar Belakang………...

B. Identifikasi Masalah………..……….….

C. Tujuan Penelitian……….…………...

D. Kegunaan Penelitian………...

E. Kerangka Pemikiran………...………

F. Metode Penelitian………...

G. Sistematika Penulisan……….

i ii iii iv v vii viii ix x xiv 1 16 16 17 17 32 35 36


(4)

xi Universitas Kristen Maranatha

BAB IIPENGATURAN BANGUNAN VERTIKAL BAWAH TANAH DALAM HUKUM BENDA DI INDONESIA ………...……

A. Hukum Benda di Indonesia ……...……...………...

1. Asas-Asas Hukum Benda……….

2. Klasifikasi Benda……….………..………..…

3. Hukum Benda Setelah Berlakunya UUPA ……….

a. Benda Bukan Tanah………..

b. Benda Tanah……….

4. Hak-Hak Atas Tanah dalam UUPA………...…

A. Hak Milik………..………

B. Hak Guna Usaha…….………..

C. Hak Guna Bangunan….………

D. Hak Pakai………..

E. Hak Sewa Untuk Bangunan………

5. Asas Pemisahan Horisontal dalam Hukum Benda………

B. Pengaturan Hukum Terhadap Bangunan Vertikal Bawah Tanah di

Indonesia……….

1. Undang-Undang Pokok Agraria………...

2. Undang-Undang Bangunan Gedung………

3. Undang-Undang Penataan Ruang………

4. Undang-Undang Pemukiman dan Perumahan………..

37 38 42 44 49 52 53 55 57 60 62 63 65 66 71 76 77 80 82


(5)

xii Universitas Kristen Maranatha

5. Undang-Undang Rumah Susun………

6. Peraturan Gubernur Provisi Daerah Khusus Ibukota Jakarta…...

7.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIKAN BANGUNAN VERTIKAL BAWAH TANAH DI INDONESIA……….

A. Perlindungan Hukum dalam Undang-Undang Bangunan Gedung….

B. Perlindungan Hukum dalam Undang-Undang Perumahan dan

Pemukiman ………

C. Perlindungan hukum dalam Undang-Undang Rumah Susun……….

D. Perlindungan hukum dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen………...………

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PENGATURAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN BANGUNAN BAWAH TANAH DI INDONESIA………..

A. Pengaturan Hukum Terhadap Bangunan di Bawah Tanah di

Indonesia………. B. Perlindungan bagi pemilikan bangunan bawah tanah di Indonesia… BAB V PENUTUP……….………

A. Kesimpulan……….……….……

B. Saran………..………...……….

DAFTAR PUSTAKA ………...

87 96

100 103

107 110

112

123

123 138 170 170 171


(6)

xiii Universitas Kristen Maranatha

MATRIX REVISI CURICULUM VITAE


(7)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang telah 4 (empat) kali diamandemen (selanjutnya disebut UUD 1945) menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rumusan Ayat (3) Pasal tersebut termasuk salah satu ketentuan yang tidak mengalami amandemen.

Pengaturan mengenai agraria di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya akan disebut UUPA. Oleh karenanya, Pengaturan kebijakan hukum Agraria (Hukum Tanah) harus bertitik tolak pada ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tersebut. Hal ini dapat dibaca dari rumusan Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan bagi seluruh rakyat. Selanjutnya, Penjelasan Umum butir 2 Ayat (1) UUPA juga menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa merupakan hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling tinggi, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara yang bersifat abadi. Selama rakyat Indonesia


(8)

masih bersatu sebagai bangsa, bumi, air, dan ruang angkasa masih ada maka tidak akan ada kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut dalam keadaan bagaimanapun. Dikuasainya bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara dimaksudkan unuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut, sehingga diletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria tersebut yang merupakan sarana untuk mewujudkan

kemakmuran tersebut. Pengertian “bumi” yang terkandung dalam rumusan Pasal 2

Ayat (1) UUPA memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Pengertian “Bumi”

mencakup baik tanah maupun tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di

bawah air. Sebaliknya, pengertian “tanah”, secara deduktif adalah bagian dari

bumi, yaitu hanya bagian “permukaan dari bumi”. Hal ini bersesuaian dengan

bunyi rumusan yang dijumpai dalam Penjelasan Pasal 1 serta Penjelasan dalam

UUPA yang menyebut : “…hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut

tanah”.

Dalam bidang pertanahan, Boedi Harsono menyebutkan bahwa hukum tanah merupakan sebuah sistem. Selanjutnya, hukum tanah merupakan suatu bidang yang mandiri sebagai cabang ilmu hukum yang mandiri yang mempunyai tempat tersendiri dalam tata hukum nasional, yang substansinya merupakan keseluruhan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak-hak penguasaan tanah sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara


(9)

sistematis, sehingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan.1 Ketentuan-Ketentuan Hukum Tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai sumber utamanya, sedangkan ketentuan hukum tanah yang tidak tertulis bersumber pada hukum adat tentang

tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum pelengkap.2

Amandemen UUD 1945 telah berakibat ditiadakannya praktek ketata-negaraan penetapan Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) sebagai landasan hukum perencanaan pembangunan Nasional untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita).

Setelah amandemen UUD 1945 yang mengatur bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan tidak adanya GBHN maka diperlukan pengaturan proses perencanaan pembangunan nasional. Berdasarkan hal tersebut maka disahkan dan diundangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UUSPPN). Untuk melaksanakan amanat ketentuan Pasal 19 Ayat (1) UUSPPN maka diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJMN )

yang merupakan penjabaran visi, misi dan program Presiden/ Wakil Presiden.3

RPJMN Ketiga Tahun 2015-2019 ditempuh melalui strategi Pokok yang dijabarkan dalam agenda Pembangunan Nasional memuat sasaran pokok yang

1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pmbentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanannya , Jilid I , Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999,

hlm.1.

2 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenada Kencana, Jakarta, 2012, hlm.13. 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Ketiga Tahun 2015-2019, Buku I, Agenda Pembangunan Nasional, hlm.1.


(10)

harus dicapai, arah kebijakan dan program-program pembangunan. Visi Pembangunan Nasional Ketiga Tahun 2015-2019, adalah: Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong. Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 (tujuh) Misi Pembangunan yaitu:

1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan

wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.

2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis

berlandaskan negara hukum.

3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri

sebagai negara maritim.

4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan

sejahtera.

5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat,

dan berbasiskan kepentingan nasional.

7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. 4

Untuk menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian

4


(11)

dalam kebudayaan, dirumuskan sembilan agenda dalam pemerintahan ke depan. Kesembilan agenda prioritas itu disebut NAWA CITA.

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan

memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.

2. Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola

pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.

3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah

dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan

penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional

sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor

strategis ekonomi domestik.

8. Melakukan revolusi karakter bangsa.

9. Memperteguh kebhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Mengacu pada sasaran utama serta analisis yang hendak dicapai dalam pembangunan nasional 2015-2019 serta mempertimbangkan lingkungan strategis dan tantangan-tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia ke depan, maka arah kebijakan umum pembangunan nasional 2015-2019, di antaranya : mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan.


(12)

Pembangunan infrastruktur diarahkan untuk memperkuat konektivitas nasional untuk mencapai keseimbangan pembangunan, mempercepat penyediaan infrastruktur dasar (perumahan, air bersih, sanitasi, dan listrik), menjamin ketahanan air, pangan dan energi untuk mendukung ketahanan nasional, dan mengembangkan sistem transportasi massal perkotaan, yang kesemuanya dilaksanakan secara terintegrasi dan dengan meningkatkan peran kerjasama pemerintah swasta.

Pembangunan Infrastruktur/ Prasarana Dasar meliputi air minum, sanitasi, perumahan dan ketenagalistrikan. Sasaran pembangunan dalam bidang perumahan adalah terfasilitasinya penyediaan hunian layak untuk 18,6 (delapan belas koma enam) juta rumah tangga berpenghasilan rendah yakni pembangunan baru untuk 9 (sembilan) juta rumah tangga melalui bantuan stimulan perumahan swadaya untuk 5,5 (lima koma lima) juta rumah tangga dan pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) untuk 514.976 (lima ratus empat belas ribu sembilan ratus tujuh puluh enam) rumah tangga, serta peningkatan kualitas hunian sebanyak 9,6 (sembilan koma enam) juta rumah tangga dalam pencapaian pengentasan kumuh 0 (nol) persen.

Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Infrastruktur/Prasarana Dasar, meliputi antara lain meningkatkan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak, aman, dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai melalui strategi :

a. Peningkatan peran fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah dalam


(13)

Penyediaan hunian baru (sewa/ milik) dilakukan melalui pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional yang efektif dan efisien termasuk pengembangan subsidi uang muka, kredit mikro perumahan swadaya, bantuan stimulan, memperluas program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta integrasi tabungan perumahan dalam sistem jaminan sosial nasional. Sementara peningkatan kualitas hunian dilakukan melalui penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas, pembangunan kampung deret, serta bantuan stimulan dan/atau kredit mikro perbaikan rumah termasuk penanganan permukiman kumuh yang berbasis komunitas.

b. Peningkatan tata kelola dan keterpaduan antara para pemangku kepentingan

pembangunan perumahan melalui:

(1) penguatan kapasitas pemerintah dan pemerintah daerah dalam

memberdayakan pasar perumahan dengan mengembangkan regulasi yang efektif dan tidak mendistorsi pasar.

(2) penguatan peran lembaga keuangan (bank/non-bank).

(3) revitalisasi Perum Perumnas menjadi badan pelaksana pembangunan

perumahan sekaligus pengelola Bank Tanah untuk perumahan.

c. Peningkatan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkait dengan

penyediaan perumahan untuk MBR melalui:

(1) peningkatan ekuitas Bank Tabungan Negara (BTN), Perum Perumnas,

dan Sarana Multigriya Finansial (SMF) melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).


(14)

(3) melakukan perpanjangan Peraturan Presiden tentang SMF terkait penyaluran pinjaman kepada penyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan sumber pendanaan dari pasar modal dengan dukungan pemerintah.

d. Peningkatan efektifitas dan efisiensi manajemen lahan dan hunian di

perkotaan melalui fasilitasi penyediaan rumah susun sewa dan rumah susun milik serta pengembangan instrumen pengelolaan lahan untuk perumahan seperti konsolidasi lahan (land consolidation), bank tanah (land banking), serta pemanfaatan lahan milik BUMN, tanah terlantar, dan tanah wakaf.

e. Pemanfaatan teknologi dan bahan bangunan yang aman dan murah serta

pengembangan implementasi konsep rumah tumbuh (incremental housing).

f. Penyediaan sarana air minum dan sanitasi layak yang terintegrasi dengan

penyediaan dan pengembangan perumahan. Sarana air minum dan sanitasi menjadi infrastruktur bingkai bagi terciptanya hunian yang layak.

Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur maka senantiasa dipelihara peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional dengan baik melalui sistem dan institusi hukum yang modern tetapi tetap berakar pada nilai-nilai wawasan kebangsaan dan kepentingan nasional secara

berkesinambungan. Istilah “pembangunan” sering diartikan sebagai

penyelenggaraan rangkaian perubahan sifat, sikap, atau nilai mental masyarakat

yang mendesak upaya sadar manusia untuk mengubah nasibnya.5 Pembangunan

dapat bermakna positif yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia tetapi di sisi

5

C.F.G Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Pembangunan Hukum Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II”, Majalah Hukum Pro Justia Tahun XI No.4 Oktober 1993, hlm. 35.


(15)

lain dapat pula berisiko buruk terhadap masyarakat, lingkungan bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Pembangunan khususnya dalam bidang perumahan, berkaitan erat dengan strategi pengembangan wilayah menyangkut aspek luas di bidang kependudukan serta pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam memantapkan ketahanan nasional secara mendasar, menyeluruh,

terarah, dan terpadu.6 Pembangunan dimaksud yang umumnya dilakukan secara 2

(dua) dimensi (on the ground) menggunakan permukaan kulit bumi yang disebut tanah tersebut secara ekspansi untuk mengantisipasi laju perkembangan penduduk. Kepesatan perkembangan penduduk, berpengaruh secara resiprositas terhadap semua benda yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat termasuk secara signifikan terhadap kebutuhan rumah yang pembangunannya baik

dilakukan pemerintah maupun para developer.7

Dewasa ini, dengan perkembangan teknologi lebih canggih, dalam mendirikan sebuah bangunan tidak lagi terbatas pada penggunaan permukaan bumi (tanah) secara 2 (dua) dimensi (on the ground) tetapi juga secara 3 (tiga) dimensi (above and under ground), tidak lagi terbatas pada pemanfaatan bidang atau permukaan bumi, tetapi juga ke atas (ruang udara diatas permukaan bumi) dan juga ke dalam tubuh bumi.

Perkembangan teknologi pembangunan ini menyebabkan perubahan cara pandang dan teknik dalam membangun, bahwa untuk mendirikan sebuah

6 Penjelasan Undang-Undang No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

7 Djuhaendah Hasan, Rumah Vertikal Berdasarkan Sistem Strata Title Suatu Alternatif Dalam

Pemilikan Rumah Oleh Orang Asing”, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Nomor1, Tahun 1997, hlm. 27.


(16)

bangunan yang semula “hanya” menyentuh atau berada pada permukaan tanah, menjadi bisa berada melayang di atas bumi (berdiri di atas tiang-tiang atau tonggak-tonggak). Kini pemanfaatan selain pada permukaan bumi juga telah banyak dibangun bangunan melayang di atas permukaan tanah seperti jembatan penyebrangan yang bersifat multi guna. Bangunan melayang di atas permukaan tanah yang semula beberapa lantai kini sudah berpuluh-puluh tingkat, bahkan sudah banyak beratus-ratus tingkat. Pemanfaatan bangunan rumah vertikal ke atas pun dulu dialokasikan untuk rumah tinggal atau tempat hunian yang di dalam bahasa hukumnya disebut rumah susun, apartemen, dan condominium, kini sudah dimanfaatkan tidak hanya untuk hunian saja melainkan untuk kegiatan sosial dan ekonomi secara terpadu (multi guna) dalam super blok mulai bermunculan di kota-kota besar di Indonesia.

Perkembangan teknologi pembangunan ini juga telah menyebabkan perubahan cara pandang dan teknik dalam membangun bahwa untuk mendirikan sebuah bangunan yang semula “hanya” menyentuh atau berada pada permukaan tanah, serta di atas tanah, tetapi bisa juga berada di dalam perut bumi atau memanfaatkan ruang bawah tanah. Secara embrional bangunan vertikal ke bawah tanah sudah berjalan untuk lapang parkir kendaraan untuk mendukung pemanfaatan pendirian di atasnya. Di negara-negara maju, bangunan vertikal ke bawah sudah pula digunakan antara lain untuk lorong-lorong jalur kereta api, Mass Rapid Transit (MRT) yang berada di bawah tanah. Menyusul pembangunan negara-negara maju, di Jakarta juga sudah mulai di bangun MRT yang berbasis rel yang membentang lebih kurang 110 km (seratus sepuluh kilometer) yang terdiri


(17)

dari koridor selatan sampai dengan utara (koridor yang menghubungkan lebak bulus dengan Kampong Bandan) sepanjang kurang lebih 23 km (dua puluh tiga kilometer) dan koridor timur sepanjang kurang lebih 87 km (delapan puluh tujuh

kilometer).8 Di Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, statsiun MRT tersebut

sudah dilengkapi dengan fasilitas pertokoan bawah tanah sebagai tempat persinggahan antara jalur MRT satu dengan lainnya. Di Negara lain, bangunan vertikal bawah tanah sudah banyak didirikan baik untuk pusat perbelanjaan dan pusat hiburan. Misal Coex Mall, Jeju Mall Central (Korea Selatan) , Central Park, Nagoya (Jepang), Stolitsa Underground Mal di Minsk (Belarus). Sebaliknya, di Indonesia bangunan bawah tanah masih belum banyak dan itu pun masih terbatas di Kota Jakarta. di antaranya: Mall Kalibata City (Jakarta) yang berada di bawah

tanah Super Blok Kalibata City.9 Berbeda halnya dengan Jakarta,

bangunan-bangunan pusat perbelanjaan di Kota Bandung telah berdiri bangunan-bangunan vertikal bawah tanah dan digunakan umumnya masih dimanfaatkan untuk tempat parkir. Pembangunan bangunan vertikal bawah tanah ini di Kota Bandung menjadi menarik, yaitu adanya pembangunan basement untuk areal parkir yang didirikan jalan di bawah tanah setempat dikenal dengan jalan Karang Tinggal oleh

pengembang pusat perbelanjaan (selanjutnya disebut mall) Paris van Java . Paris

Van Java tidak hanya menggali bawah tanah jalan Karang Tinggal, tetapi, hampir seluruh area parkir di depan mall ini tanah di bawahnya sudah digali menjadi basement.10

8 http://www.jakartamrt.com/informasi-mrt/tentang-mrt/, diakses tanggal 15 September 2015. 9 http://www.kalibatacity.com/, diakses tanggal 15 September 2015.


(18)

Pemerintah Kota Bandung membongkar sebagian bangunan parkir di ruang bawah tanah atau basement mall Paris van Java. Bangunan bawah tanah yang digunakan lahan parkir itu didirikan di atas zona Koefisien Dasar Hijau (KDH). Menurut Pemerintah Kota Bandung, KDH di wilayah tersebut minimal 20 persen dari total luas wilayah pusat perbelanjaan yang terletak di Jalan Sukajadi, Bandung, seluas 6.400 meter itu.11 Terlepas dari hal di atas, seiring dengan berkembangnya pembangunan di wilayah perkotaan yang menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah tidak hanya terbatas pada bidang tanah yang dikuasai, akan tetapi pemanfaatannya berkembang pada permukaan bumi serta ruang di atas dan potensi di bawah tanah. Pemanfaatan ruang bawah tanah umumnya digunakan sebagai penunjang bangunan di atas atau di bawah permukaan tanah. Hal ini sejalan dengan wewenang untuk mempergunakan tanah yang diatur dalam UUPA. Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang menyebutkan bahwa Wewenang Penggunaan Tanah (Permukaan Bumi) , demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Pemahaman makna yang secara fisik dan fungsionalnya tidak berkaitan

dengan “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

11 http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/08/058633599/ridwan-kamil-bongkar-mal-paris-van-java, diakses tanggal 15 September 2015.


(19)

dengan penggunaan tanah”, belum ada landasan penguasaan haknya.12 Berkaitan dengan pembangunan bangunan vertikal bawah tanah, hal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam bahkan bersilang pendapat, sampai ke dalaman berapa meter dari permukaan bumi (tanah), masih dimungkinkan dibangun? Apakah dimungkinkan pendirian bangunan terlepas dari pemegang hak atas tanah (permukaan bumi) yang ada di atasnya.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dengan mengunakan kemajuan teknologi, pemanfaatan pendirian bangunan vertikal bawah tanah di Indonesia dapat diproyeksikan sebagai sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus sebagaimana dalam Pasal 1 butir 1 UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan. Hal ini selaras dengan pemaknaan bangunan gedung sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan. Ruang bawah tanah tersebut dimanfaatkan sebagai alternatif dari pengembangan pembangunan permukaan ke atas menjadi ke bawah tanah

12 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Perkembangan Pemikiran dan

Hasilnya sampai Menjelang Kelahiran UUPA tanggal 24 September 2007, Penerbit Universitas


(20)

berdasarkan pertimbangan strategis, teknis, dan ekonomis sebagai akibat

keterbatasan lahan di atas permukaan tanah.13

Bangunan vertikal ke atas, yang telah diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu di atur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Rumah Susun yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Rumah Susun. Bangunan vertikal ke atas (dalam undang-undang digunakan istilah Rumah susun) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Rumah Susun, tidak menegaskan mengenai keberadaan bangunan vertikal tersebut apakah ke atas melayang di udara atau ke dalam terbenam dalam bawah tanah. Hal ini dapat dikontraskan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan yang menyebutkan bahwa bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,budaya, maupun kegiatan khusus.

13

Nurfakih Wirawan, “Pemanfaatan ruang bawah tanah”, bahan Seminar Nasional Pemikiran Mengenai Penyusunan Undang – Undang Tentang Hak Guna Ruang Bawah Tanah, Tahun 2012.


(21)

Penafsiran yang digunakan adalah penafsiran analogi yaitu memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk ke dalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, apakah Undang-Undang Rumah Susun dapat pula diberlakukan dalam pengaturan bangunan vertikal bawah tanah ? Demikian pula timbul pertanyaan terhadap Undang-Undang Bangunan, jika wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya dalam tanah, apakah dimungkinkan pemilikan bangunan vertikal bawah tanah dapat berbeda dengan pemilik hak atas tanah (permukaan bumi) dan pemilik bangunan vertikal di atas tanah ?

Dari kedua hal tersebut, yakni dari aspek penggunaan tanah menurut UUPA serta pemanfaatan bangunan menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2008 Tentang Bangunan, apakah dimungkinkan pemilikan bangunan vertikal bawah tanah oleh orang lain ? Apakah bentuk hak yang dapat dimilik atas bangunan vertikal bawah tanah tersebut ?.

Berdasarkan hasil penelitian penulis, sejauh ini belum ada penelitian yang membahas atau meneliti mengenai bangunan vertikal bawah tanah dan pengaturannya di Indonesia. Adapun penelitian yang mendekati topik penelitian

penulis yaitu “Pengaturan Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Underground Space

Utilization Settings” yang dibuat oleh Ismail Alrip dari Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makasar Tahun 2014. “Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah


(22)

dari Hukum Tanah Nasional” yang dibuat oleh Febrina Kusuma Putri dari Universitas Indonesia Tahun 2012. Penulis mencatat bahwa penelitian-penelitian tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda dan objek yang berbeda dengan yang diteliti oleh penulis.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis membuat penelitian yang

berjudul “Tinjauan Yuridis Pengaturan Hukum Kepemilikan Bangunan

Vertikal Bawah Tanah Dihubungkan dengan Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Bangunan Vertikal Bawah Tanah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Terkait di Indonesia”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka masalah yang akan diidentifikasi adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap bangunan vertikal di bawah tanah

di Indonesia ?

2. Bagaimana perlindungan hukum dan aturan hukum bagi pemilik bangunan

vertikal bawah tanah ?

C. Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis pengaturan hukum


(23)

2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis perlindungan hukum bagi pemilik bangunan vertikal bawah tanah;

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sesuai dengan tujuan penelitian.

1. Kegunaan teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

atas pengembangan ilmu hukum khususnya tentang hukum pertanahan, gedung bangunan, pemukiman, dan perumahan.

2. Kegunaan praktis diharapkan dapat :

a. Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pemikiran

bangunan vertikal bawah tanah.

b. Menambah kepustakaan hukum dan melengkapi hasil

penelitian dalam bidang yang sama yang telah dilakukan pihak lain tentang bangunan vertikal bawah tanah.

E. Kerangka Pemikiran

Tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia;

2. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah


(24)

3. Memajukan kesejahteraan umum;

4. Mencerdaskan kehidupan bangsa;

5. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.14

Salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tersebut di atas dapat ditegaskan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Upaya memajukan kesejahteraan umum tersebut ditempuh dengan pembangunan nasional. Pembangunan nasional tersebut pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rumusan pasal tersebut mengandung dua aspek, yakni aspek penguasaan negara dan aspek dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang sistemik. Aspek pertama bersifat

instrumen sedangkan aspek kedua merupakan tujuan.15

Makna “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam perspektif hukum

adalah adanya jaminan hukum atas hak-hak sosial ekonomi sehingga dapat hidup

14 Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 15Bagir Manan , “

Beberapa Catatan atas Rancangan Undang Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi ”, makalah pada Diskusi Panel RUU – MIGAS, Unpad, 1999, hlm. 2.


(25)

layak sebagai warga negara.16 Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pengertian

“dikuasai oleh negara” merupakan konsep dasar Hak Penguasaan Negara (HPN)

atas bumi , air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, negara sebagai instrumen organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia, bertindak selaku badan

penguasa.17 Terminologi “dikuasai” mempunyai arti memberi wewenang kepada

negara dalam bentuk kenegaraan modern selaku organisasi kekuasaan18 seluruh

rakyat pada tingkatan yang tertinggi melaksanakan fungsi administratif yaitu mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari) serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum atas atau mengenai bumi, air dan ruang angkasa yang merupakan kekayaan nasional Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari), Intensitas hak menguasai negara dapat berbentuk kadar yang paling lemah sampai kepada bobot yang paling kuat, misalnya mulai dari hak pakai sampai

kepada hak mengasingkan tanah dalam segala bentuk.19

16

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII-Press, Yogyakarta, 2004, hlm.40. .

17 Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan

Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Alumni, Bandung, 2009, hlm.18 et.al.

18

A.P. Parlindungan , Serba-Serbi Hukum Agraria, Alumni , Bandung, 1984, hlm.136. 19


(26)

Selain dapat bertindak selaku penguasa (qualitate quo), negara dapat pula berlaku sebagai subyek hukum publik, sehingga ditundukkan kepada hukum

publik yang berlaku bagi subyek hukum / badan hukum privat20. Oleh karena itu,

prinsip tersebut menegaskan peran negara sebagai wasit yang adil dalam menentukan aturan main yang ditaati oleh semua pihak dan negara juga tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri ketika turut berperan sebagai aktor di

dalam aktifitas pemanfaatan tanah.21

Arah kebijakan umum pembangunan nasional senantiasa dilakukan secara berkelanjutan. Landasan yang kokoh diperlukan bagi pembangunan berkelanjutan yang lebih baik dalam berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi

kemampuan generasi mendatang.22

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Masyarakat dalam keadaan sentosa dan makmur yang diartikan sebagai keadaan berkecukupan atau tidak kekurangan yang tidak hanya memiliki dimensi fisik atau

materi, tetapi juga dimensi rohani.23 Ruang lingkup pembangunan menurut

Sunaryati Hartono meliputi penyempurnaan (membuat sesuatu yang lebih baik), perubahan (agar menjadi lebih baik dan modern), mengadakan sesuatu yang

20 Iman Sudiyat, Beberapa Masalah Penguasan Tanah di berbagai Masyarakat Sedang

Berkembang, Liberty , Yogyakarta, 1982, hlm.2.

21

Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Penebit Buku Kompas, 2001, hlm. 43

22 Sudharto P. Hadi, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2002, hlm.11-13.

23 Ibid.


(27)

sebelumnya belum ada; atau peniadaan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama,

karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.24

Semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun pembangunan itu didefinisikan dan apapun ukuran yang

dipergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan.25 Peranan hukum dalam

pembangunan menjamin bahwa perubahan dapat terjadi secara teratur.

Pembangunan hukum merupakan suatu proses perubahan yang dinamis yang harus dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan proses yang tidak pernah selesai karena setiap kemajuan akan menuntut perubahan-perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah.

Hukum harus mampu memimpin perkembangan masyarakat yang sedang berkembang ke arah modernisasi. Terlebih lagi pembangunan hukum harus mampu menampung semua kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam semua bidang.

Pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, dilakukan terutama melalui

perundang-undangan.26 Hal ini berarti proses pembentukan undang-undang harus

dapat menampung semua hal yang erat hubungannya dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu diharapkan merupakan suatu hukum yang efektif .

24 C.F.G.Sunaryati Hartono, “

Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional”, makalah, 1991, hlm.1.

25 Otje Salman S. dan Eddy Damian (ed.), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan

Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung ,2002, hlm.19.

26

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1978, hlm.14.


(28)

Pembangunan hukum dalam bidang yang sensitif atau tidak netral hendaknya tetap harus memperhatikan aspirasi masyarakat sedangkan terhadap

bidang netral lebih tepat untuk dilakukan pembaharuan.27

Dalam bidang yang tidak netral, tercermin kepribadian masyarakat yang menjiwai bidang tersebut. Hukum adat akan melandasi pengaturan bidang-bidang ini dan peranannya akan lebih besar dari bidang hukum yang bersifat netral. Sifat interaksi modern dalam bidang hukum yang netral, harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di negara lain dengan tetap berlandaskan Pancasila

dan UUD 1945.28

Tanah dan bangunan termasuk klasifikasi benda dan pengaturannya dalam aspek keperdataan berada dalam sistem hukum benda yang dapat dispesifikasikan

lagi dalam sub sistem hukum tanah dan sub sistem bangunan.29 Hukum tanah

termasuk pengaturan bidang hukum yang tidak netral sedangkan bangunan gedung baik horisontal maupun bangunan gedung vertikal atau kelompok bangunan vertikal dalam bentuk superblok, baik bangunan biasa maupun bangunan pencakar langit, baik di permukaan tanah maupun tegak vertikal ke atas maupun ke dalam tanah merupakan pengaturan bidang hukum yang netral karena dalam UUPA yang berdasarkan hukum adat, bangunan gedung merupakan benda yang terlepas dari tanah.

27 Otje Salman dan Eddy Damian (ed) , op.cit. hlm.85.

28 Mahadi, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Binacipta, Bandung, 1983, hlm. 4.

29


(29)

Sebelum Tahun 1960, hukum pertanahan bersifat “dualisme” dengan membedakan antara hak-hak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat yang berpokok pada ketentuan dalam Buku II KUHPerdata.

UUPA bermaksud mengadakan unifikasi hukum tanah dengan secara sadar menghilangkan dualisme tersebut. Oleh karena itu setelah berlakunya UUPA tersebut, tidak ada lagi hak - hak atas tanah menurut hukum adat maupun barat sehingga maksud untuk mencapai kesederhanaan hukum pada hakekatnya terselenggara pula.

Untuk menganalisis “Tinjauan Yuridis Pengaturan Hukum

Kepemilikan Bangunan Vertikal Bawah Tanah Dihubungkan dengan Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Bangunan Vertikal Bawah Tanah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Terkait di Indonesia” dilakukan dengan mengunakan pendekatan teori Teori Hukum Pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumahatmadja.

Adanya rencana pemerintah Indonesia memikirkan secara sistematis pembangunan di bidang hukum, di samping bidang ekonomi, baru terlihat dalam Repelita Kedua (1974-1979). Pada Repelita Pertama (1969-1974) perencanaan bidang hukum tidak dicantumkan, padahal tema yang menonjol di awal pemerintahaan Orde Baru adalah berbagai penyimpangan hukum dalam era Orde Lama.

Mochtar Kusumahatmadja mengemukakan pemikirannya yang dimintakan oleh Pemerintahan Orde Baru waktu itu yang kemudian teorinya disebut sebagai


(30)

Teori Hukum Pembangunan.30 Teori ini mulai diperkenalkan ketika menjadi pembicara dalam Seminar Hukum Nasional Tahun 1973

Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja tidak lain adalah pandangannya tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan. Fungsi dan peranan hukum diletakkan sebagai premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip sebagai berikut:

1. Semua masyarakat yang sedang membangunan selalu dicirikan

oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur, dapat dibantu oleh perundang-undangan atau putusan pengadilan atau kombinasi keduannya. Mochtar Kusumaatmadja menolak segala bentuk perubahan yang tidak teratur yang hanya menggunakan kekerasan.

2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan

tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum tampil menjadi suatu sarana yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangnan.

3. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan

ketertiban melalui kepastian hukum dan juga (sebagai kaidah sosial) harus dapat mengatur proses perubahan dalam masyarakat.

30

Romli Atmasamita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012, hlm.60.


(31)

4. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

5. Implementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat

diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan akat tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu

yang ditentukan di dalam hukum itu.31

Kelima inti Teori Hukum Pembangunan tersebut mencerminkan suatu

pemikiran tentang hukum sebagai berikut32:

1. Hukum hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan

masyarakan. Perkembangan hukum dimaksud sejalan dengan pandangan aliran Sosiological Jurispurdence, yaitu satu-satunya cermin perkembangan masyarakan hanya terdapat pada putusan pengadilan dengan asumsi bahwa putusan pengadilan selalu mengandung nilai-nilai kebenaran yang diakui masyarakat di mana hukum itu hidup dan berkembang.

2. Perkembangan hukum yang sejalan dengan dengan masyarakat

juga dapat diciptakan melalui pembentukan perundang-undangan.

Masalah krusial dalam system hukum Indonesia yang

mengutamakan undang-undang sebagai sumber hukum daripada yurisprudensi adalah setiap undang-undang merupakan produk politik yang tidak terlepas dari kepentingan pengaruh kekuasaan.

31 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm.10

32


(32)

3. Hukum sebagai sarana pembangunan nasional agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur; hukum sedemikian itu hanya dapat berfungsi jika hukum itu sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan merupakan percerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Mochtar Kusumaatmadja, yang mengatakan bahwa hukum merupakan

sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.33 Hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan suatu

yang didinginkan atau bahkan dipandang perlu.34 Di samping itu, di dalamnya

terkandung pula pemahaman bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai pengatur atau sarana pembangunan

dalam arti agen perubahan yang dikehendaki oleh pembangunan.35

Teori hukum Mochtar Kusumaatmadja memandang hukum bukan sekedar norma dan asas melainkan juga lembaga dan proses, dan konsentrasinya terhadap arti kepekaan hukum atas kondisi dan gejala-gejala kemasyarakatan dan pandangan tentang fungsi hukum sebagai sarana pembangunan memegang

peranan penting.36

Oleh karena itu, merumuskan pengertian hukum haruslah integritas asas - asas dan kaedah-kaedah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam

33

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, LPHK FH UNPAD-Binacipta, Bandung, 1986, hlm.11.

34 Otje Salman dan Eddy Damian (ed.) , op.cit. hlm.73-106. 35

Idem. 36


(33)

masyarakat yang meliputi pula lembaga-lembaga (instansi) dalam proses

mewujudkannya dalam masyarakat.37

Bagi Indonesia jelaslah hukum harus berperan sebagai sarana pembaharuan yang mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan serta tahapan pembangunan di segala bidang sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar pelaksanaan

pembangunan.38

Pembaharuan dan pembentukan hukum baru yang merupakan hukum nasional mutlak diperlukan. Hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat berdasarkan suatu anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam usaha pembangunan merupakan suatu hal yang diinginkan.

Peraturan perundangan yang berlaku harus mampu menciptakan suasana yang kondusif agar alokasi sumber daya dapat terlaksana secara efektif dan efesien dalam menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat. Pembangunan bangunan gedung secara vertikal berkembang sangat cepat seiring

dengan kemajuan teknologi39 dan dinamika perkembangan masyarakat. Perbaikan

metode rancang baja memungkinkan bangunan gedung tumbuh vertikal. Pada tahun 1905 Metropolitan Tower Building dibangun berlantai 50 (lima puluh) di

37

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, loc.cit. 38Komar Kantaatmadja, “Peran dan Fungsi Profesi Hukum dalam Undang-Undang Perpajakan ”, makalah dalam Seminar Nasional Hukum Pajak, IMNO-UNPAD, juli – Agustus, 1985, hlm. 4. 39

Wolfgang Schueller, Struktur Bangunan vertikal Tinggi , Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm.76-79.


(34)

New York diikuti oleh Empire State Building berlantai 102 (seratus dua) tahun

1931 juga di New York.40

Bangunan gedung vertikal pencakar langit di Asia yang sangat popular

adalah Petronas Tower (Kuala Lumpur–Malaysia) sedangkan di Jakarta dapat

disebut : Menara BNI, Menara 2000, Menara Global dan Menara Imperium41 .

Demikian pula sebaliknya, sebagaimana telah disinggung dalam latar belakang, dewasa ini, dengan perkembangan teknologi lebih canggih, dalam mendirikan sebuah bangunan tidak lagi terbatas pada penggunaan permukaan bumi (tanah) secara 2 (dua) dimensi (on the ground) tetapi juga secara 3 (tiga) dimensi (above and under ground), tidak lagi terbatas pada pemanfaatan bidang atau permukaan bumi, ke atas (ruang udara di atas permukaan bumi), tetapi juga ke dalam tubuh bumi. Oleh karena itu, hukum dituntut untuk mampu mengantisipasi setiap gerak perubahan tersebut sebagai manifestasi dari fungsinya.

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata sebagai salah satu usaha untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Panacasila dan UUD 1945 sebagaimnana dalam penjelasan umum Undang-Undang Rumah Susun.

40 Ibid.

41 Georges Binder, Tall Buildings of Asia and Australia , Images Publishing , Victoria Australia,


(35)

Salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah pemenuhan kebutuhan melalui pembangunan perumahan bagi setiap warga negara Indonesia dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia.

Pembangunan perumahan juga merupakan unsur penting dalam strategi pengembangan wilayah , yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional yang perlu ditangani secara mendasar , menyeluruh, terarah dan terpadu.

Untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat khususnya dalam usaha pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan, diperlukan usaha-usaha penyediaan perumahan yang layak dengan harga yang terjangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah.

Dalam meningkatkan daya dan hasil guna tanah bagi pembangunan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan terutama di daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas lahan yang terbatas, diperlukan pembangunan bangunan vertikal dengan sistem lebih dari satu lantai yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah.

Sungguhpun UURS semula memperuntukkan rumah susun hanya bagi rumah tinggal/tempat hunian sederhana tetapi Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 telah mengatur keadaan yang kira-kira sama dengan yang terdapat di


(36)

luar negeri atas flat dan condominium.42 Oleh karena itu, pembahasaan flat, apartemen atau condominium dibungkus dalam bahasa undang-undang dan

popular dengan istilah “Rumah Susun” walaupun berbagai istilah tersebut

memiliki prinsip serta akibat yang berbeda. Dalam penelitian ini lebih cenderung

diintroduksi istilah “bangunan vertikal” yang dapat mencakup pengertian

ketiganya.

UURS melekatkan pemilikan SRS itu dengan tanahnya yang tertera dalam pemilikan bersama atas tanah dimana bangunan SRS itu berdiri. Hak atas tanah yang dapat dipergunakan pembangunan bangunan dapat bersifat horisontal maupun vertikal adalah Hak Pakai atas tanah negara atau bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah,

Sehubungan dengan itu perlu pemikiran hukum kemungkinan pemilikan bangunan vertikal bawah tanah di dalam batas-batas yang ditentukan peraturan yang berlaku. Mengacu pada pemilikan bangunan (rumah) vertikal (melayang) di atas tanah, dengan menggunakan argumentasi kebalikannya, apabila akan memberikan kesempatan pemilikan bangunan vertikal bawah tanah sebaiknya tidak digunakan sistem condominium tetapi dengan strata title atau flats, karena dalam strata title ruang flats tidak terikat oleh pemilikan atas tanahnya, hak atas tanah akan tetap dimiliki ruang dasar atau milik pemilik hak atas tanah developer.

42

A.P.Parlindungan, Komentar atas Undang - Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang


(37)

Pemilikan bangunan vertikal bawah tanah cukup dengan pemilikan tata ruang

yang terbenam di bawah tanah.43

Meskipun UUPA menganut asas pemisahan horisontal dan berdasarkan asas tersebut rumah dan bangunan terpisah dari tanahnya. Tetapi dalam praktik dan dalam kehidupan sehari-hari status rumah setelah berlakunya UUPA, masih dalam pengaruh pemikiran KUHPerdata yang menganut asas pelekatan vertikal. Berdasarkan asas pelekatan vertikal maka rumah merupakan kesatuan dengan tanah, tertancap dan terpaku menjadi satu, sehingga membedakan pemilikan rumah adalah dengan sertifikat pemilikan atas tanah persil dimana rumah tersebut terletak.

Pemikiran tersebut juga masih tercermin dalam UU Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tangungan dimana dalam pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan (vertikal bawah tanah) yang berdiri di atas tanah milik orang lain, harus dengan keikutsertaan pemilik atas tanah.

Pemilikan bangunan vertikal bawah tanah memiliki landasan hukum dengan menggunakan asas pemisahan horisontal yang terkandung dalam UUPA secara taat asas. Dengan asas ini bangunan digambarkan terpisah dari tanahnya. Pemilikan bangunan tidak berarti juga memiliki tanahnya, karena rumah sebagai benda bukan tanah yang terlepas dari tanahnya.

Pemilik memiliki bangunan vertikal bawah tanah tetapi ia tidak memiliki tanahnya, sehingga bangunan vertikal bawah tanah dapat saja berdiri di atas tanah

43Djuhaendah Hasan, “


(38)

hak milik atau HGB, dan Pemilik bangunan vertikal bawah tanah hanya memiliki bangunannya saja, karena hak atas tanahnya tetap dimiliki oleh pemilik tanah.

Pembangunan rumah diatas hak milik atau juga HGB dapat dilakukan dengan membuat semacam perjanjian sewa atau Hak Pakai dengan pemilik tanah , hal mana dapat terjadi karena hak milik merupakan induk di atas mana dapat diadakan hak-hak lain.

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penulis menggunakan metode yuridis normatif karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaidah. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang

dilakukan dengan cara menelaah teori–teori, konsep-konsep, asas-asas hukum,

serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penilitian ini. Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis data, teknik pengumpulan data dan analisis data sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai perubahan yang terjadi terhadap pemanfaatan tanah yang kini tidak hanya pada permukaan tanah tetapi juga mencakup pemafaatan tanah dibawah tanah.


(39)

Penelitian skripsi ini dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Undang-Undang (statue approach) dan Pendekatan Konseptual (conseptual approach). Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasai yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.44

Pendekatan Konseptual beranjakan dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan, doktrin dan doktrin didalam ilmu hukum, akan menghasilkan pengetian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan.

3. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain secara tidak langsung guna mendukung penelitian. Data sekunder dapat berupa tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal. Tulisan-tulisan hukum tersebut berisi tentang perkembangan atau isu-isu mengenai Penelitian ini. Penelitian menggunakan data sekunder terdiri dari :

a) Bahan Hukum Primer, berupa peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan bangunan, yaitu :

(1) Undang–Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

44


(40)

(2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan.

(3) Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

(4) Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

(5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Pemukiman.

(6) Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.

167 Tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah.

b) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang berupa buku-buku tentang Hukum Pertanahan, Hukum serta hasil-hasil penelitian berupa skripsi di bidang hukum, dan artikel.

c) Bahan hukum tersier yang berupa kamus hukum, kamus bahasa,

majalah serta media massa.45

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan cara membaca peraturan perundang-undangan, mencari teori-teori, pandangan-pandangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

45


(41)

sedang diteliti. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan

sebagai data penunjang dalam penelitian ini.46

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan adalah kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelolah, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan

memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.47

G. Sistematika Penulisan

BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang akan menguarai mengenai latar

belakang dan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini. Pada bab ini juga akan menjelaskan serta menguraikan mengenai metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini.

BAB II Pada bab ini penulis akan membahas secara teoritis mengenai

azas-azas, teori-teori dan praktik dari hukum pertanahan di Indonesia khususnya mengenai penguasaan Hak Atas Tanah, prosedur perolehan hak atas tanah, selain itu penulis akan melakukan Analisa mengenai pembangunan bangunan vertikal bawah tanah secara garis

46 Jonathan Sarwono. Pintar Menulis Karangan Ilmiah, Yogyakarta: Andi, 2010, hlm. 34. 47

Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, hlm. 248.


(42)

besar kemudian mengenai pemanfaatan, perolehaan hak atas tanah bangunan vertikal bawah tanah.

BAB III Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan. Kesimpulan yang akan

dikemukakan penulis berdasarkan fakta yang ada yang akan disajikan secara kompeherensif, baik fakta yang dikemukakan dalam sumber data atau bahan-bahan yang digunakan penulis maupun fakta yang penulis dapatkan dari data lapangan hasil penelusuran penulis.

BAB IV Bab ini berisikan analisis dan pemaparan berdasarkan identifikasi

masalah yang akan dibahas secara detail penulis akan menganalisa mengenai bangunan vertikal bawah tanah.

BAB V Bab ini berisikan kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan, penulis

menyimpulkan yang menjadi jawaban atas identifikasi masalah setelah dianalisis. Pada saran, penulis memberikan rekomendasi yang nyata dan fakta hukum yang diterapkan.


(43)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa terhadap penelitian yang penulis lakukan terhadap permasalahan yang ada, maka dalam permasalahan ini penulis akan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum terhadap bangunan vertikal bawah tanah belum tercantum

dalam pengaturan secara tersendiri. Dalam praktik, pembangunan bangunan vertikal bawah tanah tersebut dilakukan secara sektoral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum mengenai bangunan vertikal bawah tanah diatur dalam :

a. Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

b. Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

c. Undang-undang No. 20 Tahun 2 Undang–Undang No. 5 tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

d. Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.


(44)

f. Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

g. Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 167 Tahun

2012 tentang Ruang Bawah Tanah.

2. Perlindungan hukum bagi pemilik satuan bangunan vertikal bawah tanah

belum diatur secara spesifik. Sebagai langkah antisipatif, perlindungan hukum bagi pemilik satuan bangunan vertikal bawah tanah dapat mengacu pada peraturan pelindungan yang diberikan kepada pemegang satuan hak milik Satuan Rumah Susun baik dalam peraturan kepala Kementerian Perumahan Rakyat maupun yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Perlindungan secara umum dapat menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

B. Saran

Berdasarkan analisa yang telah penulis lakukan, maka dalam permasalahan ini penulis mengajukan saran-saram sebagai berikut:

1. Perlu Pengaturan hukum terhadap bangunan vertikal secara tersendiri.

Wewenang Penggunaan bawah tanah (tubuh bumi) sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih


(45)

tinggi sudah tidak memadai lagi untuk mengikuti perkembangan pembangunan bangunan bawah tanah. Selain itu, pembangunan bawah tanah tidak lagi dapat dilakukan masing-masing sektoral melainkan harus dilakukan lintas sektoral.

2. Untuk melindungi calon pemilik satuan bangunan bawah tanah maka terhadap

satuan bangunan-bangunan bawah tanah perlu didaftar serta diberikan sertifikasi sebagai bukti kepemilikan hak oleh lembaga berwenang. Lembaga yang berwenang adalah lembaga tersendiri sebagai bagian dari pengaturan yang disarakan pada butir 1 yang sifatnya lintas sektoral.


(46)

173 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.P. Parlindungan , Serba-Serbi Hukum Agraria, Bandung : Alumni, 1984.

---, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform Bagian II, Bandung : Mandar Maju, 1994.

---, Komentar atas Undang - Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang Undang Rumah Susun, Bandung : Mandar Maju, 1997.

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, Yogyakarta : UII-Press, 2004.

Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, 2003.

B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta : Toko Gunung Agung, 2004.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pmbentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya , Jilid I , Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan, 1999.

---, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Pertanahan, Jakarta : Djambatan, 1995.

---, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah NasionalPerkembangan Pemikiran dan Hasilnya sampai Menjelang Kelahiran UUPA tanggal 24 September 2007, Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2007.

Djuhaendah Hasan, dan kawan-kawan, Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda –

Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996.

---, Kapita Selekta Hukum Perdata, Makalah matrikulasi program Magister Hukum Program Pascasarjana, Bandung : Universitas Padjadjaran, 2004.


(47)

---, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung : Citra Aditya, 1996.

E. Utrecht , Pengantar dalam Hukum Indonesia, disadur oleh Moh. Saleh Djindang, Jakarta : Sinar Harapan, 1983.

Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Jakarta : Chandra Pratama, 1995.

Georges Binder, Tall Buildings of Asia and Australia , Images Publishing , Victoria –

Australia, 2001.

H.F.A.Vollmar , Hukum Benda ( disadur oleh Chidir Ali ), Tarsito, Bandung, 1990.

Hartono Poerbo, Utilitas Bangunan, Jakarta : Djambatan, 1992.

Iman Sudiyat, Beberapa Masalah Penguasan Tanah di berbagai Masyarakat Sedang Berkembang, Yogyakarta : Liberty, 1982.

Jenny Barmawi, Penelitian Tentang Perbandingan Hukum Benda dengan Hukum Contonental (Belanda) dan Hukum Inggris Amerika, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, tanpa tahun.

John Struart Mill, Utilitarianism on Liberty Essay on Bentham, New York : The World Publishing Co., 1962.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Kebendaan pada Umumnya, Jakarta : Prenada Kencana, 2005.

Lili Rasjidi dan I.B.Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Rosda Karya, 1993.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rajidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2002.

Mahadi, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Bandung : Binacipta, 1983.

Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Penebit Buku Kompas, 2001.


(48)

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni , 1994.

---, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung : Alumni, 1997.

---, Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Alumni, 1983.

Moch. Isnaeni, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, Surabaya : Dharma Muda, 1996.

Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I,

Bandung :Alumni, 2009.

---, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Binacipta, 1978.

Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta : Liberty, 1997.

Norbert Horn, German Private and Commercial Law An Introduction, translate by Tony Weir, London : Clerendon Press-Oxford, 1982.

Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1984.

Otje Salman S. dan Eddy Damian, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Bandung : Alumni, 2002. Purnadi Purbatjaraka dan A. Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran

Tinjauan Falsafah Hukum , Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.

R.B.Vermeesch & K.L.Lingren, Business Law of Australia, Sydney : Butterworths, 8’th editon ,1995.

R.D.Gangatharan, Sale and Management of Flats in Singapore, Singapore : Singapore National Printers, Ltd, 1990.

Ridwan Syahrani , Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Bandung : Alumni 2009.


(49)

Romli Atmasamita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta : Genta Publishing, 2012.

Roscoe Pound, Pengantar Filasafat Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1982.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press : Jakarta, 1986.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,Hukum Benda, Yogyakarta : Liberty, 1981.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1984.

---, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Kertas Kerja pada seminar Hukum Jaminan, Bandung : Binacipta, 1978.

Sudargo Gautama, Masalah Agraria, Bandung : Alumni,1973.

Sudharto P. Hadi, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 2002.

Sudiman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : PT Ghalia Indonesia, 1979.

Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran ke Arah Pembaharian Hukum Tanah, Bandung : Alumni, 1978.

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung : Alumni, 2004.

Teng Tjin Leng, “Pemisahan Secara Horisontal” dalam Hukum Tanah Indonesia

Sebelum dan Sesudah UUPA, Majalah Hukum No.5 Th. Ke-4, 1978. Theo Huijbers, Filsafat hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995.

Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta : Prenada Kencana, 2012.


(50)

W.Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.

Wolfgang Schueller, Struktur Bangunan vertikal Tinggi, Bandung : Refika Aditama, 2001.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Ketiga Tahun 2015-2019, Buku I, Agenda Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang ada diatasnya serta Penerbitan Sertipikatnya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang ada diatasnya.


(51)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian-Bagian pada Bangunan Bertingkat.

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 Tentang Ruang Bawah Tanah

C. Lain-Lain

A.P.Parlindungan, “ Beberapa Konsep Tentang Hak-Hak atas Tanah ”, Majalah

Analisis No. 2 Tahun XX , Maret – April 1999,CSIS.

Bagir Manan, “Beberapa Catatan Atas Rancangan Undang Undang Tentang

Minyak dan Gas Bumi ” , Makalah pada Diskusi Panel RUU – MIGAS, Unpad, 1999.

C.F.G Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Pembangunan Hukum Dalam

Pembangunan Jangka Panjang Tahap II”, Majalah Hukum Pro Justia Tahun XI No.4 Oktober 1993.

---, “Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju Sistem Hukum

Nasional”, Makalah, 1991.

Djuhaendah Hasan, “Rumah Vertikal Berdasarkan Sistem Strata Title Suatu Alternatif Dalam Pemilikan Rumah Oleh Orang Asing”, Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Nomor1, Tahun 1997.

Ellyna Syukur, “Hak-Hak Atas Tanah Dalam UUPA”, dalam Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum Tahun 2002, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2002.

Komar Kantaatmadja, “Peran dan Fungsi Profesi Hukum dalam Undang-Undang

Perpajakan ”, makalah dalam Seminar Nasional Hukum Pajak,

IMNO-UNPAD, juli – Agustus, 1985.

Nurfakih Wirawan, “Pemanfaatan ruang bawah tanah”, bahan Seminar Nasional

Pemikiran Mengenai Penyusunan Undang-Undang Tentang Hak Guna Ruang Bawah Tanah, 2012.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2001.


(52)

D. Internet

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/08/058633599/ridwan-kamil-bongkar-mal-paris-van-java, diakses tanggal 15 September 2015.

http://www.jakartamrt.com/informasi-mrt/tentang-mrt/, diakses tanggal 15

September 2015.

http://www.kalibatacity.com/, diakses tanggal 15 September 2015.

https://www.facebook.com/RKbdg/posts/10203090244559129, diakses tanggal 15 September.


(1)

---, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat

Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal,

Bandung : Citra Aditya, 1996.

E. Utrecht , Pengantar dalam Hukum Indonesia, disadur oleh Moh. Saleh Djindang, Jakarta : Sinar Harapan, 1983.

Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Jakarta : Chandra Pratama, 1995.

Georges Binder, Tall Buildings of Asia and Australia , Images Publishing , Victoria –

Australia, 2001.

H.F.A.Vollmar , Hukum Benda ( disadur oleh Chidir Ali ), Tarsito, Bandung, 1990.

Hartono Poerbo, Utilitas Bangunan, Jakarta : Djambatan, 1992.

Iman Sudiyat, Beberapa Masalah Penguasan Tanah di berbagai Masyarakat Sedang

Berkembang, Yogyakarta : Liberty, 1982.

Jenny Barmawi, Penelitian Tentang Perbandingan Hukum Benda dengan Hukum

Contonental (Belanda) dan Hukum Inggris Amerika, Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, tanpa tahun.

John Struart Mill, Utilitarianism on Liberty Essay on Bentham, New York : The World Publishing Co., 1962.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Kebendaan

pada Umumnya, Jakarta : Prenada Kencana, 2005.

Lili Rasjidi dan I.B.Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Rosda Karya, 1993.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rajidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2002.

Mahadi, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Bandung : Binacipta, 1983.

Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Penebit Buku Kompas, 2001.


(2)

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni , 1994.

---, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung : Alumni, 1997.

---, Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Alumni, 1983.

Moch. Isnaeni, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, Surabaya : Dharma Muda, 1996.

Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I,

Bandung :Alumni, 2009.

---, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Binacipta, 1978.

Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta : Liberty, 1997.

Norbert Horn, German Private and Commercial Law An Introduction, translate by Tony Weir, London : Clerendon Press-Oxford, 1982.

Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1984.

Otje Salman S. dan Eddy Damian, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan

Kumpulan Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Bandung : Alumni, 2002.

Purnadi Purbatjaraka dan A. Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran

Tinjauan Falsafah Hukum , Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.

R.B.Vermeesch & K.L.Lingren, Business Law of Australia, Sydney : Butterworths, 8’th editon ,1995.

R.D.Gangatharan, Sale and Management of Flats in Singapore, Singapore : Singapore National Printers, Ltd, 1990.

Ridwan Syahrani , Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Bandung : Alumni 2009.


(3)

Romli Atmasamita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum

Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta : Genta Publishing,

2012.

Roscoe Pound, Pengantar Filasafat Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1982.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press : Jakarta, 1986.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,Hukum Benda, Yogyakarta : Liberty, 1981.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1984.

---, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Kertas Kerja pada

seminar Hukum Jaminan, Bandung : Binacipta, 1978.

Sudargo Gautama, Masalah Agraria, Bandung : Alumni,1973.

Sudharto P. Hadi, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 2002.

Sudiman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : PT Ghalia Indonesia, 1979.

Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran ke Arah Pembaharian Hukum Tanah, Bandung : Alumni, 1978.

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung : Alumni, 2004.

Teng Tjin Leng, “Pemisahan Secara Horisontal” dalam Hukum Tanah Indonesia

Sebelum dan Sesudah UUPA, Majalah Hukum No.5 Th. Ke-4, 1978.

Theo Huijbers, Filsafat hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995.

Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta : Prenada Kencana, 2012.


(4)

W.Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.

Wolfgang Schueller, Struktur Bangunan vertikal Tinggi, Bandung : Refika Aditama, 2001.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Ketiga Tahun 2015-2019, Buku I, Agenda Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang ada diatasnya serta Penerbitan Sertipikatnya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang ada diatasnya.


(5)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian-Bagian pada Bangunan Bertingkat.

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 Tentang Ruang Bawah Tanah

C. Lain-Lain

A.P.Parlindungan, “ Beberapa Konsep Tentang Hak-Hak atas Tanah ”, Majalah

Analisis No. 2 Tahun XX , Maret – April 1999,CSIS.

Bagir Manan, “Beberapa Catatan Atas Rancangan Undang Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi ” , Makalah pada Diskusi Panel RUU – MIGAS, Unpad, 1999.

C.F.G Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Pembangunan Hukum Dalam

Pembangunan Jangka Panjang Tahap II”, Majalah Hukum Pro Justia

Tahun XI No.4 Oktober 1993.

---, “Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional”, Makalah, 1991.

Djuhaendah Hasan, “Rumah Vertikal Berdasarkan Sistem Strata Title Suatu Alternatif Dalam Pemilikan Rumah Oleh Orang Asing”, Majalah Hukum

Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Nomor1, Tahun 1997.

Ellyna Syukur, “Hak-Hak Atas Tanah Dalam UUPA”, dalam Himpunan Karya

Tulis Bidang Hukum Tahun 2002, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2002.

Komar Kantaatmadja, “Peran dan Fungsi Profesi Hukum dalam Undang-Undang Perpajakan ”, makalah dalam Seminar Nasional Hukum Pajak, IMNO-UNPAD, juli – Agustus, 1985.

Nurfakih Wirawan, “Pemanfaatan ruang bawah tanah”, bahan Seminar Nasional Pemikiran Mengenai Penyusunan Undang-Undang Tentang Hak Guna Ruang Bawah Tanah, 2012.


(6)

D. Internet

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/08/058633599/ridwan-kamil-bongkar-mal-paris-van-java, diakses tanggal 15 September 2015.

http://www.jakartamrt.com/informasi-mrt/tentang-mrt/, diakses tanggal 15 September 2015.

http://www.kalibatacity.com/, diakses tanggal 15 September 2015.

https://www.facebook.com/RKbdg/posts/10203090244559129, diakses tanggal 15 September.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Alas Hak Di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah

5 75 156

Tinjauan Yuridis atas Teknik Fotografi dan Karya Editing (Retouch) Dihubungkan dengan Perlindungan Hukum Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

3 7 40

Tinjauan Yurudis terhadap Rencana Pengembang dalam Melakukan Perluasan Area Dihubungkan dengan Perlindungan Hukum bagi Konsumen Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

0 0 39

Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah Dihubungkan dengan Gugatan Atas Kepemilikan Tanah.

2 4 32

Prospek Pengaturan Hukum Atas Transaksi Pelayanan Go-Jek Dihubungkan dengan Perlindungan Hukum bagi Penyedia Layanan Go-Jek dan Pengguna Jasa Go-Jek Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan di Indonesia.

0 2 36

Perlindungan Hukum Bagi Pihak Pemilik Tanah Yang Dirugikan Dengan Adanya Sertipikat Ganda Sebagai Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah Di Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan Kabupaten Bogor Dihubungkan.

0 0 1

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS AKTA TANAH HIBAH TERHADAP KEPEMILIKAN TANAH MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM ISLAM.

0 0 2

KEDUDUKAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN YANG BERASAL DARI HIBAH DIHUBUNGKAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT.

0 0 1

ANALISA PENGATURAN PERLINDUNGAN UPAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM

0 0 11

BAB III AKIBAT HUKUM BAGI “PEMILIK BANGUNAN” APABILA PEMILIK TANAH (DEBITOR) WANPRESTASI ATAS KREDIT BANK 1. Wanprestasi yang dilakukan oleh pemilik tanah sebagai debitor bank - KEWENANGAN PEMILIK BANGUNAN UNTUK MENJAMINKAN BANGUNANNYA BERDASARKAN UNDANG-

0 0 36