Geneologi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi.

(1)

i

DISERTASI

GENEALOGI

BALISEERING:

MEMBONGKAR IDEOLOGI PENDIDIKAN

KOLONIAL BELANDA DI BALI UTARA DAN

IMPLIKASINYA DI ERA

GLOBALISASI

I MADE PAGEH NIM 1290371013

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

DISERTASI

GENEALOGI

BALISEERING

:

MEMBONGKAR IDEOLOGI PENDIDIKAN KOLONIAL

BELANDA DI BALI UTARA DAN IMPLIKASINYA

DI ERA GLOBALISASI

Disertasi Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I MADE PAGEH NIM 1290371013

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 08 OKTOBER 2015

Promotor,

Prof. Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, M.A. NIP. 195702141983031001

Kopromotor I,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP. 194807201978031001

Kopromotor II,

Dr. Putu Sukardja, M. Si.

NIP. 195206221985031001

Mengetahui

Ketua Direktur

Program Studi Doktor (S3) Program Pascasarjana Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)


(4)

iv

Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal, 08 Oktober 2015

Panitia Penguji Disertasi, berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 3249/UN14.4/HK/2015, Tanggal 05 Oktober 2015

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.

Anggota:

1. Prof. Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, M.A.

2. Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.

3. Dr. Putu Sukardja, M.Si.

4. Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.

5. Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A.

6. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S.


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : I Made Pageh Nim : 1290371013 Program Studi : S3 Kajian Budaya

Judul Diserasi : GenealogiBaliseering:Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan Perundangan lain yang berlaku.

Denpasar, Januari 2016 Yang Membuat Pernyataan

I Made Pageh


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

(Tuhan Yang Maha Esa), karena atas rakhmat-Nya disertasi yang berjudul

Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi” dapat diselesaikan sesuai dengan

program atau perencanaan. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Lembaga Universitas Udayana dan Undiksha karena telah mengusulkan penulis sebagai penerima Beasiswa Program Doktor Angkatan Tahun 2012/2013, sekaligus terima kasih pada Dirjendikti yang telah membiayai sehingga penulis dapat menggunakannya untuk menyelesaikan Studi di Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. A. A Ngr. Anom Kumbara, M.A. selaku promotor yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat yang sangat-sangat berharga selama penulis mengalami hambatan dalam menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U. selaku promotor I, dan juga kepada Dr. Putu Sukardja, M.Si. selaku ko-promotor II yang telah dengan penuh kesabaran dengan kasih sayang memberikan dorongan, semangat, dan koreksi secara mendetail dalam penyelesaian disertasi ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., dan Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), serta Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiasa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menerima Beasiswa dan menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Tahun Angkatan 2012/2013. Terima kasih pula disampaikan pada pejabat struktural Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U. selaku Ketua dan Dr. Putu Sukardja, M.Si. selaku Sekretaris Program Doktor Kajian Budaya yang telah memberikan fasilitas pendidikan serta mengarahkan dan membimbing penulis menyelesaikan masalah administratif dan akademik selama mengikuti pendidikan sejak awal sampai akhir dengan tidak pernah merasa dibebani.

Terima kasih pula diucapkan kepada Rektor Undiksha Dr. I Nyoman Jampel, M.Pd., PR I Prof. Dr. I. B Arnyana, M.Si.; Dr. Wayan Lasmawan, M.Pd. dan PR III Dr. I Gusti Ngurah Pujawan, M.Kes. Terima kasih pula diucapkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A., beserta para Pembantu Dekan I Prof. Dr. I Gde Astra Wisnawa, M.Si, PD II Drs. I Made Arthana, M.Pd., dan PD III Drs. Wayan Landrawan, M.Hum. Tidak lupa


(7)

vii

pula terima kasih disampaikan pada Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Dr. I Ketut Margi, M.Si., dan Sekretaris Jurusan I Ketut Sedana Artha, S.Pd, M.Pd., atas dukungan moralnya. Juga terima kasih disampaikan pada semua dosen di Jurusan Pendidikan Sejarah: Drs. Ketut Pugeh (Purn.); Prof. Dr. I Gde Widja (Purn.); Drs.Mudjiono dan Dra. Puromo Wahyuni (Alm.); Drs. I Wayan Teken Sara (Alm.); Drs. Putu Mustika Rai (Purn.); Drs. Made Sunada (Purn.); Drs. I Wayan Suyasa, M.Si. (Purn.); Drs. Wayan Sugiartha, M.Si. (Purn.); Dr. Putu Sendratari, M.Hum.; Dr. I Wayan Mudana, M.Si.; Drs. I Gusti Made Aryana, M.Hum.; Dr. Tuty Maryati, M.Pd.; Dra. Desak Oka Purnama Wati, M.Hum.; I Wayan Putrayasa, S.Pd. M.Pd., dan terima kasih pula disampaikan kepada para pegawai di Undiksha yang banyak memberikan bantuan penyelesaian administratif yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih tak berhingga kepada dosen-dosen S3 Kajian Budaya yang telah memberikan kuliah dan pengabdiannya, dengan berbagai warna dasar keilmuan yang diberikan memberikan kekayaan tersendiri pada penulis, karena tanpa beliau kami tidak berarti apa-apa, yaitu:Dr. I Gede Mudana, M.Si.; Dr. I Putu Sukardja, M.Si.;Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A.; Dr. Industri Ginting Suka, M.S.; Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum.;Dr. Nyoman Dhana, M.A.; Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. A.A.Ngr. Anom Kumbara, M.A.; Prof. Dr. Aron Meko Mbete.; Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A.; Prof. Dr. I Gde Semadi Astra.; Prof. Dr. I Gde Widja.; Prof. Dr. I Ketut Nehen, S.E., M.Ec.; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.;Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A.;Prof. Dr. Ing.Ir. I Made Merta, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Irwan Abdullah.; Prof. Dr. Koetowibisono.; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.; Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A.; Prof. Dr. Shri E.Ahimsa Putra, M.A.

Terima kasih pula disampaikan kepada dewan penguji disertasi ini, yaitu: Prof. Dr. A.A.Ngr. Anom Kumbara, M.A.; Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.; Dr. I Putu Sukardja, M.Si.; Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A.; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Dr. Nyoman Dhana, M.A., yang telah memberikan masukan, perbaikan, sanggahan, saran, koreksi, dan penguatan terhadap kelayakan disertasi ini.

Terima kasih pula kepada teman-teman seperjuangan dalam suka dan duka yang selalu ceria dan kompak angkatan 2012/2013, yaitu: A.A. Gde Bagus Udayana, I Wayan Sujana, I Nyoman Sukerna, Bambang Dharwiyanto Putro, I Wayan Mudra, I Gde Wirata, Komang Sri Marheni, I Ketut Suriada, A.A. Nyoman Sri Wahyuni, I Gede Susila, Ida Ayu Trisna Wati, I Nyoman Sila, Ni Made Ary Widiastini, Ni Wayan Ardini, I Dewa Ayu Sri Suastini, Ida Ayu Kade Sri Sukma Dewi, I Nyoman Mardika, Sri Ratnawati, dan Anak Muda Suroyo.

Terima kasih juga disampaikan kepada para pegawai/staf Program Doktor Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yaitu: I Wayan


(8)

viii

Sukaryawan, S.T.; Dra. Ni Luh Witari; Ni Wayan Ariyati, S.E.; Cok Istri Murniati, S.E.; A.A. Ayu Indrawati; I Nyoman Candra; Putu Hendrawan; Ketut Budi Astra yang telah banyak memberikan bantuan fasilitas dan informasi administrasi selama penulis menempuh studi di Program Doktor ini.

Terima kasih juga disampaikan pada teman terpuji di Faksas dan Kajian Budaya Bali Unud Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A.; Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum; Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana M.Si; Drs. A.A. Gde Raka, M.Si.; Drs. I Nyoman Sukiada, M.Hum; Dra. Sulandjari, M.Hum; Dr. I Wayan Wesna Astra, M.Hum.; Drs. I Wayan Tagel Edy, M.Hum.; Dr. Ida Bagus Gde Wirawan Mantra, MT.; Drs. Ida Bagus Gde Putra, M.Hum; Dr. I Nyoman Wijaya, M.Hum.; Prof. Dr. A.A. Putra Agung, S.U. (Purn.); Drs. Ida Bagus Sidemen, S.U., tidak lupa pula terima kasih disampaikan kepada I Made Aditya Nugraha, S.., M.T.; Ni Wayan Radita, N.P., S.S., M.A.; I Wayan Edy Pande Setiawan, S.H.; Nevi Diah Pratiwi, S.E.; dan semua pihak yang tidak dapat disebut namanya di sini. Terima kasih pula disampaikan pada Lembaga Kajian Jarah Nitra Bali-NTB-NTT khususnya pada Drs. Made Purna, M.Si. dan staf dan tak lupa pula terima kasih disampaikan pada Drs. Trisila, M.Si., yang banyak memfasilitasi dalam penelitian ini.

Terima kasih pula disampaikan pada dosen-dosen saya di Universitas Gadjah Mada yang telah ikut membentuk pribadi saya, yaitu: Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, M.A. (Alm.); Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A.; Prof. Dr. Soegianto Padmo, M.A. (Alm.); Prof. Dr. Djoko Suryo, M.A.; Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A.; Juga terima kasih disampaikan pada sobat tercinta Dr. Nasution, M.Hum. (Unesa); Drs. Husein Sarkawi, M.Hum. (Unair); Dr. Reiza Diana Putra (Pejajaran Bandung), Drs. Lukman Nadjamuddin M.Hum. (Tadulako Sulawesi); Drs. Edy Suarno, M.Hum. (USU Sumatera), atas dorongan moralnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada informan yang telah memberikan infromasi yang penulis butuhkan, yaitu: Bapak I Made Arimbawa, B.A (70 Th.); I Made Supada (67,Th.); Ge Darna (80 Th.); Prof. Drs. Wayan Wida (82 Th.); Jro Mangku Wayan Sugiartha (66 Th.); Jro Mangku Wayan Suyasa (68 Th.) dan informan lainnya yang tidak dapat disebutkan dalam kesempatan ini.

Terima kasih pula disampaikan pada ayahanda I Made Sarjana, dan Ibunda Ni Ketut Asin dan juga pada bapak-ibu mertua I Ketut Lirta (Alm.) dan Ketut Renti. Terima kasih khusus disampaikan pada istri tersayang Ni Wayan Bagiasih, S.Pd., yang sedang sakit dengan diiringi doa semoga cepat sembuh, adinda Komang Adnyana dan Ni Ketut Sari, dan Kadek Yuliasih, S.Sos, ananda dr. Dessy Aryani, dr. Iska Novi Udayani, Ni Koming Pandea Wulandari (Alm.), Pandea Trisna Pradnyani dan ponakan tersayang si bungsu Pandea Paundra Pageh dan Pandea Bagus Adnyaesa. Terima kasih juga disampaikan pada Bagus Aan


(9)

ix

Jiwa Permana, ST., M.Kom., dan Yudik Waisnawa S.Pd. M.Si. dan ponakan-ponakanku Ni Wayan Yunitri, S.Pd., Kadek Kusumajaya, S.Km., Dharmawan, Kadek Palentin, Dewik, Agung, Riki, Widia, Ratna dan Suta. Serta cucuku tersayang Kiandra Jiwa Permana Pageh, Juna, Galang, Ditha Wana Asri yang memberikan inspirasi dan memberi penguatan dalam kesibukan menyelesaikan tugas akademik ini. Juga terima kasih disampaikan pada Gede Indra Pratama, S.Pd., Kadek Parmadi, Maeby Anggara dan Wawan, S.Pd.,M.Pd. dan Sugihartono, S.H, M.H. yang banyak memberikan dorongan untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Masih banyak pihak yang demikian besar sumbangannya dalam menyelesaikan disertasi ini tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baiknya.

Dengan tiada hentinya sekali lagi penulis memohon ke hadapanIda Sang Hyang Widhi Wasa agar menganugrahkan asung wara nugraha-Nya kepada semua pihak yang telah membantu dan berkorban dalam penyelesaian disertasi ini. Om Shantih Shantih Shantih Om.

Denpasar, Januari 2016


(10)

x ABSTRACT

Genealogy of Baliseering (Balinization) hid the ideology of power and capitalism applied through the discourse of education policy ofBaliseeringduring the colonial period in North Bali. It is very interesting to uncover the implications in this era of globalization. Based on this background, the study focused on: (1) What was behind the emergence of the Baliseering policy? (2) What was the process of Baliseering in North Bali? (3) What are its implications in the era of globalization?

To answer the research problem, it was used a qualitative method, by following the procedures of social science research, namely: the data collection was carried out by interviews, observation, and literature study. The collected data was analyzed, in the perspective of cultural studies.

The first of the research results showed that the policy ofBaliseeringhad a background associated with the colonial interests in the modernization of the bureaucracy and make Bali as a tourist destination of exotic culture. Second, the process began by dominating the legitimacy of power symbolically was done by building "Bali Monument in Surabaya". With a base of knowledge about the local genius, colonization operated colonial idea behind the temple reliefs with symbols of colonial culture, such as modern transportation (aircraft and vehicles), violin, bicycle, bell in the crossroads /catus pata, the religious system in the pakraman

villages. Colonization in formal and informal education was carried out by the Balinization of the supporting components of the education system. Third, the

Baliseeringhad implications on the hegemony in the structure and culture of Bali. This can be seen in the establishment of the State of East Indonesia and the Council of Kings, to reinforce ethnocentrism and primordial. Transformation of colonization can be seen in the form of liberalism, internationalism, and the marginalization of the poor in education. Tourism has implications for the desecration and co-modification of land, traditions, customs, and world view of the Balinese.

The conclusion that can be drawn from the background of theBaliseering

education is that the Netherlands disguised their economic interests and colonization. Colonial ideology was implicated in the era of globalization in political attitudes and bureaucracy, liberalism and capitalism of education, and the co-modification of art, traditions, customs, land, and religion. The limitation of this study is expected to be continued by further research on theBaliseering.


(11)

xi ABSTRAK

Genealogi Baliseering (Balinisasi) menyembunyikan ideologi kuasa dan kapitalisme yang dimainkan dalam wacana berbentuk kebijakan pendidikan

Baliseeringzaman kolonial di Bali Utara. Hal ini sangat menarik untuk dibongkar implikasinya di era globalisasi ini. Berlatar belakang itu maka kajian difokuskan pada: (1) Latar belakang mengapa muncul kebijakanBaliseering? (2) Bagaimana prosesBaliseeringdi Bali Utara? (3) Bagaimana implikasinya di era globalisasi?

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan mengikuti prosedur penelitian ilmu sosial, yaitu: pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka. Data yang terkumpul dianalisis, diverifikasi (display data) dan disimpulkan dalam perspektif cultural studies. Analisis digunakan konsep genealogi pengetahuan, sejarah dalam pandangan Foucault, dominasi dan hegemoni dari Gramsci. Analisis pendidikan kritis menggunakan konsep Bourdieu, Paulo Preire, dan Ivan Ilich secara eklektik.

Hasil penelitian pertama, kebijakan Baliseering memiliki latar belakang berhubungan dengan kepentingan kolonial dalam modernisasi birokrasi dan menjadikan Bali sebagai tujuan wisata budaya eksotik. Kedua,proses Baliseering

dimulai dari Perang Jagaraga, legitimasinya dengan“Monumen Bali di Surabaya”. Dengan pengetahuan lokal genius, kolonisasi gagasan kolonial dioperasikan di balik relief pura dengan ideologi kolonial, seperti: transportasi (pesawat dan kendaraan), biola, sepeda, lonceng di catus pata,sistem religi di desa pakraman. Kolonisasi dalampendidikan dilakukan dengan Balinisasi seluruh komponen pendidikan.Ketiga,Baliseeringberimplikasi dalam struktur dan kultur masyarakat , terlihat dalam pembentukan Negara Indonesia Timur dan Dewan Raja-raja, menguatnya etnosentrisme, primordialisme, kapitalisme, wacana Ajeg Bali, pacalangdidesa pakraman,peristiwa Buleleng kelabu, bakso haram, isu terorisme di Bali. Implikasi dalam pendidikan berupa ideologi libralisme, internasionalisme, dan memarginalisme rakyat miskin dalam pendidikan. Pengaruh ideologi barat yang berimplikasi pada desakralisasi dan rapuhnyaworld vieworang Bali.

Simpulan, latar belakang pendidikan Baliseering menyembunyikan kepentingan kolonisasi Belanda, dengan melakukan hegemoni dalam relief kolonisasi gagasan kolonial, pendidikan dijadikan agen Baliseering. Ideologi kolonial itu berimplikasi di era globalisasi dalam sikap politik dan birokrasi, libralisme dan kapitalisme pendidikan, dan komodifikasi seni, mengarah pada desakralisasi adat dan agama menyebabkan rapuhnya pandangan hidup di Bali. Keterbatasan penelitian ini diharapkan dapat dilanjutkan oleh peneliti Baliseering

selanjutnya.


(12)

xii RINGKASAN

Baliseeringmerupakan kebijakan kolonial Belanda untuk membalikan Bali (Balinisasi) sesuai kepentingannya untuk menjadikan Bali sebagai museum hidup agar tetap menarik dijadikan objek wisata budaya eksotik.GenealogiBaliseering

menyembunyikan ideologi kuasa dan kapitalisme yang dimainkan oleh kolonial Belanda dalam wacana pendidikan Baliseering di Bali Utara.Dengan demikian sangat menarik untuk dibongkar implikasinya di era globalisasi ini. Dengan latar belakang itu maka kajian ini difokuskan pada tujuan untuk mengungkap masalah: (1) Mengapa muncul kebijakan Baliseering? (2) Bagaimana proses Baliseering

dalam pendidikan formal dan informal di Bali Utara? (3) Bagaimana implikasinya di era globalisasi?

Penelitian inimenggunakan metode kualitatif, dengan mengikuti prosedur penelitian ilmu sosial, yaitu: pengumpulan datadilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka. Data yang terkumpul dianalisis, diverifikasi (display data) dan disimpulkan dalam narasi, table, foto, bagan dalam perspektif cultural studies. Membongkar dalam konteks ini menggunakan konsep dekonstruksi Derrida, dalam analisis hasil penelitian digunakan konsep genealogi pengetahuan Foucault (1969), dominasi dan hegemoni konsep Gramsci (2000), dan konsep pendidikan kritis dipinjam dari Bourdieu, Paulo Preire, Ivan Ilich, sedangkan konsep globalisasi dari Appandurai (1996) yang digunakan secara eklektik.

Hasil penelitian,pertamalatar belakang (genealogi) kebijakan Baliseering

berhubungan dengan munculnya politik etis yang menyebabkan munculnya elite terpelajar di Bali Utara yang mengagas ide zaman kemajuan (modernisasi), sehingga muncul konflik kasta. Respons pemerintah kolonial dengan memunculkan kebijakan pendidikan Baliseering yang seolah-olah melaksanakan pendidikan etis,yaitu pendidikan mengajegkan Bali yang seolah-olah melindungi Bali, di baliknya tersembunyi kepentingan kolonial untuk modernisasi birokrasi dalam melanggengkan kekuasaan dan menjadikan Bali sebagai tujuan wisata budaya eksotik. Belanda memainkan ideologi Baliseering dalam menguatkan etnosentrisme, dan primordialisme untuk menangkal ideologi radikal dan


(13)

xiii

nasionalisme yang dipersepsi potensial tumbuh pada elite terpelajar di Bali Utara. Gerakan modernisasi golongan elite terpelajar yang memiliki kesetaraan dengan perjuangan elite modern di Jawa (Budi Utomo) dibayangkan oleh kolonial Belanda dapat mengancam kekuasaannya jika tidak ditangani secara serius. Oleh karena itu, untuk menangkal ancaman itu, sekaligus menjadikan Bali sebagai

“pabrik tanpa asap” yang tetap unik dan eksotik, maka muncul gagasan

Baliseering. Kolonial Belanda menyembunyikan kepentingannya, dan agar meyakinkan bahwa Balinisasi itu adalah sungguh-sungguh untuk keajegan Bali, maka Belanda: (a) melarang kristenisasi di Bali. (b) Mempertegas sistem kasta untuk meredam konflik dan menciptakan “bom waktu” hingga era global ini di

Bali. (c) Memihak golongan tradisional, primordial (triwangsa) dengan regulasi sistem warna menjadi sistem kasta. (d) Mematikan rasa Nasionalisme di Bali Utara, sekaligus membendung Nasionalisme, Islamisme, Komunisme yang berideologi radikal, semuanya itu menjadi latar belakang itu ditetapkan kebijakan

Baliseering.

Kedua, Proses Baliseering berlangsung secara dominatif dan hegemonik dalam perang penundukan di Bali Utara,legitimasi kekuasaan secara simbolik dilakukan dengan membangun “Monumen Bali di Surabaya”. Pembangunan simbol kemenangan di Surabaya ada kesan kekhawatiran kolonial terhadap

patriotisme Bali. Perang Jagaraga menyisakan “pengalaman kolektif” tidak

terlupakan, karena kedua belah pihak sama-sama dapat kalah dan menang. Sarjana orientalis menggunakan pengetahuannya tentang Bali sebagai alat untuk melakukan kolonisasi gagasan kolonial yang dioperasikan di balik relief pura-pura di daerah sekitar perang jagaraga. Kolonisasi dan hegemoni Baliseering dalam pendidikan dilakukan dengan Balinisasi seluruh komponen pendukung sistem pendidikan baik kurikulum resmi maupun hidden curriculum, atau sekolah dijadikan agen pendidikanBaliseering. ProsesBaliseeringmelalui kolonisasi dan hegemoni gagasan kolonial pada relief di beberapa ranah strategis di Bali Utara.

(1) Kolonisasi gagasan materialistik dengan menempatkan relief pesawat terbang dan kendaraan di pura Dalem Sagara Madu Jagaraga. (2) Kolonisasi dan hegemoni sistem religi dengan ringgit dalam ritual Hinduisme. (2) Kolonisasi


(14)

xiv

struktur dan kultur dengan menempatkan relief “orang Belanda bermain biola”

di pura Beji Sangsit, sebagai peniruan terhadap dewi Saraswati; dan

menempatkan relief “ orang Belanda naik sepeda” pada posisi Garuda Wisnu Kencana pada Padmasana di pura Maduwe Karang Kubutambahan, hegemoni orang Belanda atau desakralisasi terhadap burung Garuda dan dewa Wisnu. (3) Hegemoni dan kolonisasi kultur kolonial dengan lonceng pada Catus Pata

Buleleng yang menjadi pusat ritual kebalian. Aksi pemertahanan Bali dalam

Baliseering terjadi, seperti yang dikehendaki oleh kolonial Belanda. Penguasa memainkan ideologi kebudayaan, desa pakraman, sistem relegi, bangunan fisik, kesenian, bahasa, simbol dan sebagainya, dalam kebijakanBaliseeringitu.

Menjadikan sekolah sebagai agen dalam proses Baliseering, sehingga seluruh komponen pendidikan, seperti kurikulum dan hidden curriculum,

pembangunan gedung sekolah yang ber-styleBali, guru diambil dari seniman dan guru adat, buku ajar didominasi dengan kebalian, kesenian dibalikan,

menggambar, olah raga dengan pagu “Agem Bali”, pakaian dan juga cara hidup

menggunakan dasar kebalian. Dengan demikian budaya Bali bukan hanya dipelajari oleh golongan orientalis, tetapi praksisnya digunakan untuk pengawetan kebalian sesuai kepentingan yang dikehendaki kolonial. Peran Pita Maha foundation sangat penting dalam pendidikan melukis dan mematung, terutama dalam mendidik komodifikasi seni Bali untuk wisatawan ke Bali. Dengan kata lain meminjam pandangan Boudieu, habitus elite tradisional diciptakan dalam ranah pendidikan, dikuatkan dengan penyediaan regulasi sanksi hukum. Sebagai sarana untuk mendisiplinkan masyarakat, sehingga Bali dapat tetap menjadi

“museum hidup” agar tetap menguntungkan kapitalisme dan kolonialisme Barat. Peran akademisi dan seniman barat terlihat dalam bentuk karya ilmiah, foto-foto eksotis, pameran lukisan, misi kesenian Bali, kongres kebudayaan, dan pameran-pameran kebudayaan Bali di luar negeri menjadi pendukung yang sangat penting dalam proses Baliseering dan promosi Bali sebagai pulau kecil yang memiliki objek wisata eksotik.

Ketiga, implikasi Baliseering di era globalisasi, di antaranya: (a) munculnya etnosentrisme, primordialisme dalam bentuk gerakan Ajeg Bali,


(15)

xv

pacalang di Bali yang menonjolkan identitas Hinduisme. (b) Munculnya primordialisme dalam pergerakan Nasional melalui NIT dan pembentukan Dewan Raja-raja awal kemerdekaan. (c) Primordialisme dalam peristiwa “Buleleng Kelabu” yang mempersepsikan bahwa Megawati bertrah Buleleng. Implikasi dalam pariwisata budaya di samping menguntungkan juga membawa mala petaka,

karena mengantarkan Bali bukan lagi menjadi “surga terakhir” seperti disebutkan

Nortdholt (2010), tetapi menjadikan Bali sebagai benteng terbuka menuju pintu neraka. Pariwisata budaya telah memunculkan internasionalisme Bali, sehingga Bali secara tidak sadar terhegemoni budaya asing, diakibatkan karena derasnya kapital, teknologi, media komunikasi,penduduk, dan ideologi liberal ke Bali. Pengaruhnya sangat besar bagi kehidupan masyarakat Bali, mengantarkan terjadi desakralisasi dan komodifikasi seni, tanah, tradisi, adat, dan agama di Bali, sehingga world view orang Bali menjadi rapuh di era globalisasi. Pendidikan mengarah ke liberalisme, internasionalisme dalam pendidikan mengakibatkan marginalisasi masyarakat miskin dalam pendidikan, sebagai indikasi gagalnya pendidikan nasional Indonesia dalam mengemban amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam menuju masyarakat adil dan makmur.

Simpulannya, pertama, ideologi kolonisasi itu disembunyikan di balik kebijakanBaliseering“seolah-olah melaksanakan politik etis”, dengan memainkan konflik kasta dalam menguatkan etnosentrisme, primordialisme, feodalisme untuk menangkal nasionalisme dan ideologi radikal masuk ke Bali. Kedua,proses

Baliseeringdalam jejak-jejak relief, struktur dan kultur yang dikuatkan oleh kolonial Belanda melalui pendidikan formal maupun nonformal.Ketiga, implikasi ideologi Baliseering sangat luas dalam struktur dan kultur masyarakat Bali yang secara tidak sadar tampak dalam kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan pada masyarakat Bali di era globalisasi.

Temuan penting dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.Pertama,

dalamlatar belakang Baliseering ditemukan “Belanda seolah-olah melaksanakan

politik etis”, ada relasi kuasa yang dilatari oleh hasrat kapitalisme, dan kolonialisme menjadikan Bali tetap tradisional,Baliseeringmerupakan permainan kuasa secara hegemonik untuk kepentingan pariwisata budaya yang eksotik.


(16)

xvi

Kedua, dalam proses Baliseeringditemukan adanya hegemoni dan kolonisasi gagasan kolonial dalam relief-relief, desa pakaraman, dilaksanakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, yaitu dalam sistem religi, sosial, dan pendidikanBaliseering.Dilakukan dengan hegemoni yang memiliki relasi dengan pengetahuan sebagai power, untuk mengubah world vieworang Bali. Gagasan Foucaultan, Gramscian, dan teori kritis lainnya, karena sangat fungsional untuk menjawab berbagai masalah yang dirumuskan.Ketiga, implikasi Baliseering

ditemukan dalam bentuk menguatnya etnosentisme, primordialisme,dan liberalisme dalam pendidikan, sebagai dampak atau pengaruh dari kolonialisme, dengan demikian gagasan-gagasan teoretik dan filosofis yang dijadikan perangkat analisis sangat fungsional dalam penelitian ini.

Saran-saran dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian ini, sehingga hasil penelitian ini menjadi lebih sempurna.Kekurangan akibatkan keterbatasan waktu, dana, daya, dan kemampuan penulis, masih terbuka untuk diteliti, terutama secara spasial. Kedua, disarankan pada pemerintah agar mengambil kebijakan yang mengarah pada pendidikan kritis yang membebaskan, mencerdaskan, berkeadilan, berkesadaran kritis, dan tidak memarginalkan rakyat miskin. Pendidikan yang bebas dari dominasi dan hegemoni kapitalisme, kolonialisme asing, baik dalam pendidikan maupun dalam pariwisata budaya di Bali, sehingga amanat Pembukaan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa dalam menuju masyarakat adil dan makmur dapat terwujud.


(17)

xvii DAFTAR ISI

Judul……… i

Halaman Persetujuan………. ii

Lembar Pengesahan……… iii

Lembar Penguji……….. iv

Surat Pernyataan Bebas Plagiat……….. v

Ucapan Terima Kasih………. vi

Abstract………... x

Abstrak……….. xi

Ringkasan………... xiv

Daftar Isi………. xix

DaftarTabel.………. xxiv

Daftar Gambar………... xxv

Daftar Istilah dan Singkatan………... xxvii

Daftar Lampiran………. xxxiv

BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 8

1.3 TujuanPenelitian………... 8

1.3.1 TujuanUmum……….. 1.3.2 TujuanKhusus………. 8 8 1.4 Manfaat Penelitian……….. 1.4.1 Manfaat Teoretis………. 1.4.2 Manfaat Praktis……….. 9 9 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 11 2.1 Kajian Pustaka………. 11 2.2 Penjelasan Konsep………

2.2.1 GenealogiPengetahuan………

2.2.2 Membongkar………

2.2.3 Ideologi Pendidikan………

2.2.4 PendidikanBaliseering………

2.2.5 Implikasi Era Globalisasi……….

15 15 16 18 21 22


(18)

xviii

2.3 Landasan Teori……….

2.3.1 Poststrukturalisme, Postmodernisme, dan Globalisme…………

2.3.2 Teori Genealogi Pengetahuan Michel Foucault……….

2.3.3 Teori Hegemoni Anthonio Gramsci………

2.3.4 Teori Pendidikan Kritis………...

23

23 28 32 34

2.4 Model Penelitian……….. 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian……….. 40

3.2 Lokasi Penelitian………. 40

3.3 Jenis dan Sumber Data……… 41

3.4 Teknik Penentuan Informan……… 41

3.5 Instrumen Penelitian……… 42 3.6 Teknik Pengumpulan Data………..

3.6.1 Wawancara………..

3.6.2 Observasi……….

3.6.3 Studi Dokumen………

43 43 43 44 3.7 Teknik Analisis Data………

3.7.1 DataTerkumpul………

3.7.2 Interpretasi Data………..

3.7.3 Penyimpulan Fakta………..

3.7.4 Triangulasi Data………..

3.7.5 Reduksi dan Display Data………

45 46 47 48 48 49

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 50

4.1 Keadaan GeografisBali Utara……….

4.2Topografi dan Potensi Daerah Penelitian……….

4.3 Klasifikasi Penduduk di Bali Utara……….

4.4Gambaran Pemerintahan di Bali Utara………

4.5 Pemerintahan Kampung Etnik Nusantara di Bali Utara…….

50 54 70 72 80


(19)

xix

BAB V MEMBONGKAR LATAR BELAKANG IDEOLOGI

PENDIDIKANBALISEERING 91 5.1 Membendung Modernisme, dalam Konflik Kasta di Bali

Utara……….

5.2 Pendidikan Berdasarkan Kepentingan PenguasaKolonial…...

5.3 Munculnya Gagasan Nasionalisme………

5.4 Modernisasi Birokrasi dan PendidikanBaliseering………

93 112 122 132

BAB VI MEMBONGKAR PROSESBALISEERINGDI BALI UTARA 140

6.1 Dominasi dan Hegemoni Belanda di Bali Utara……….. 140

6.1.1 Dominasi Kolonial Belanda dalam Puputan Jagaraga……… 147

6.1.2 Legitimasi Kekuasaan Belanda: Kasus “Monumen Perang Bali”di Surabaya….………. 157

6.1.3 Kolonisasi Ideologi Materialistik: Kasus Relief di Pura Dalem Jagaraga……… 165

6.1.4 Kolonisasi Kultur Barat: Kasus “Relief Orang Belanda Main Biola” di Pura Beji Sangsit………. 174

6.1.5 Kolonisasi Kultur Barat; Kasus “Relief Orang Belanda Bersepeda”di Pura Maduwe Karang……….. 180

6.1.6 Hegemoni Gagasan Kolonial diDesa Pakraman…….. 184

6.2 Sekolah Sebagai Agen PengidiologianBaliseering 205 6.2.1 Baliseering dalam Bangunan Sekolah………. 211

6.2.2 Baliseering dalam Kurikulum………. 213

6.2.3 Baliseering dalam Pendidikan Menyanyi……… 216

6.2.4 Baliseering dalam Materi Ajar……… 218

6.2.5 Baliseering dalam Pendidikan Menggambar………... 222

6.2.6 Baliseering Pada Pengajar………... 223


(20)

xx

6.3Baliseeringdalam Pendidikan Nonformal……… 224

BAB VII MEMBONGKAR IMPLIKASI BALISEERING DI BALI

UTARA 227

7.1 Politik Hegemoni Kolonial Belanda pada Negara Indonesia Timur dan Dewan Raja-raja……… 228 7.2 Menguatnya Etnosentrisme……….... 240 7.2.1 Kasus GerakanAjeg Bali……….. 243

7.2.2 Gerakan Penguatan Identitas Bali Berbasis

Hinduisme………... 251 7.2.3 MunculnyaPacalang di Desa Pakraman…………. 258 7.2.4 Munculnya Sentimen Keagamaan di Bali Utara…… 268

7.3 Menguatnya Primordialisme……….. 277 7.3.1 Munculnya Peristiwa Buleleng Kelabu di Bali Utara.. 278 7.3.2 Harga Sebuah Peristiwa Amuk Massa (Buleleng

Kelabu……… 290

7.4 Liberalisme dan Internasionalisme Pendidikan……… 299 7.4.1 Pendidikan Menguatkan Struktur Kapitalisme

Modern……… 301

7.4.2 Hilangnya Karakter Pendidikan Nasional, Menjadi

Alat Kolonisasi………... 310

7.4.3 Keterpinggiran Masyarakat Miskin dalam

Pendidikan……….. 328

7.4.4 Gagalnya Sistem Pendidikan Nasional di Era

Globalisasi………... 348

7.5 Komodifiksi Senidi Bali……….. 353 7.5.1 Munculnya Hibridasi dalamKomodifikasi Seni…… 356 7.5.2 Munculnya Seni Modern di Bali………... 358 7.5.3 MunculnyaIndustri Kerajinan Seni……….. 363


(21)

xxi

BAB VIII PENUTUP

8.1 Simpulan……… 374

8.2 Temuan Penelitian……… 376

8.3 Saran-saran……… 378

DAFTAR PUSTAKA 379


(22)

xxii

DARTAR TABEL

2.1 Paradigma Pendidikan dan Implikasi Kesadaran……… 20 3.1 Model-model Cara Kerja Ideologi ………. 47 4.1 Ruas jalan di Bali Utara tahun 1930-an………. 62 4.2 Ruas Jalan Dipelihara DinasVerkeer en Waterstaat... 63 4.3 Penduduk Berdasarkan Kebangsaan……… 71 4.4 Penduduk Berdasarkan Kecamatan………. 71 4.5 Penduduk Berdasarkan Suku dan Agama……… 71

4.6 Desa Adatdan Dinas di Bali Utara……….. 74

4.7 Lingkungan WilayahDesa PakramanBuleleng………. 77 4.8 Kampung Etnik Nusantara di Kota Singaraja……….. 90 5.1 Perbandingan Ilmu dengan Artha……… 103 5.2 Atribut Perbedaan Perspektif Konflik Kasta di Bali Utara………….. 108 5.3 Keadaan Sekolah di Bali ZamanBaliseering... 121 5.4 Perkembangan Sekolah Murid dan Guru di Hindia Belanda,

1920-1940……….. 127

5.5 Perkembangan Jumlah Murid Berdasarkan Status Sekolah…………. 127 5.6 Mahasiswa dan Lulusannya tahun 1920-1939………. 128 6.1 TransformasiIdeologiCulture Heroesdi Bali……….. 197 7.1 Rincian Kerugian Akibat Amuk Massa Menurut Kepolisian Resort

Buleleng... 292 7.2 Rincian Kerugian Akibat Amuk Massa Menurut Pemerintah Daerah

Kabupaten Buleleng... 293 7.3 Komodifikasi Karya SeniYayasan Pita Maha………. 367


(23)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

2.1 Hubungan Ideologi Pendidikan dengan Praktik Pendidikan dalam

Perspektif Sosiologis Kolonial………. 19

2.2 Bagan Model Penelitian ………. 39

3.1 Alur Teknik Analisis Data Sampai Penulisan Laporan……… 46

4.1 Peta Wilayah Bali Utara………... 51

4.2 Diagram Penggunaan Lahan di Kabupaten Buleleng Tahun 1998

dan 2009... 53 5.1 Bagan Birokrasi Pemerintahan Kolonial di Bali tahun 1938………... 133 6.1 Perbandingan Senjata Modern dengan Senjata Tradisional Bali……. 148 6.2 Peta dan Nama-nama Personal Belanda dalam Ekspedisi Belanda

Tahun 1849………... 155

6.3 Monumen Perang Bali Tahun 1849 di Surabaya………. 162 6.4 Perbandingan Relief Mobil dan Foto Mobil tahun 1930-an……….. 170 6.5 Gapura dan Orang Belanda Main Biola……….. 175 6.6 Orang Belanda Bersepeda di Pura Maduwe Karang Buleleng dan

Adegan Mesum di Pura Dalem Sangsit………

183

6.7 Fungsi Uang Kepeng pada Masyarakat Bali……… 188 6.8 Uang Ringgit Belanda dan Uang Kepeng di Bali……… 189 6.9 Kantor Desa Pakraman Buleleng dan Mantan Bendesa Adat

BulelengMade Arimbawa, BA……… 192 6.10 Transformasi Fungsi Prapatan Agung/Catus Pata... 193 6.11 Patung Catur Muka diCatus PataBuleleng dan Simbolik

Hegemoniknya………. 202 7.1 Satria Naradha dan Monumen Bom Bali di Legian Kuta…………... 245 7.2 Disvaritas FungsiPacalangdi Bali……….. 265 7.3 Pedagang Bakso Haram di Buleleng dengan Jokowi………... 273 7.4 Cover Biografi Megawati dan Pidato di Hadapan Pedukungnya... 279 7.5 Kantor Golkar dan Rumah Penduduk dalam Amuk Massa Tahun


(24)

xxiv

1999 di Bali Utara... 283 7.6 MegawatiTrahSoekarno dengan Pesaingnya dan Massa

Pendukungnya di Buleleng... 288 7.7 Kantor Agama dan Pertanahan Setelah Amuk Massa... 294 7.8 Kerusakan Bus dan Kantor Perpustakaan Daerah... 296 7.9 Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah Bertaraf Internasional………… 302 7.10 Repro Dua Artikel Bali Post…….………... 349


(25)

xxv

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ISTILAH

agem/tandang : bentuk pola gerak dalam tari Bali.

aja wera : jangan sembarangan

ang-ah : simbol atas-bawah.

angga pati, mrajapati, banaspati, dan banaspatiraja

: nama catur sanak, saudara metafisis manusia.

atman : percikan terkecil dari brahman.

awig-awig : regulasi desa pakraman.

bale lantang : balepanjang.

bebaturan : berbentuk teras/ berundak-undak.

bela pati : membela berani mati.

berumbun : lima warna.

catus pata : simpang empat.

celang : penglihatannya tajam

cuntrik : keris kecil senjata tradisional.

dewa nyalantara : dewa nyata di dunia.

endek : kain tenun lokal Bali.

gandek : berbentuk tas dari babmu.

gagemel : gemel sama dengan pegang, dalam ritual manusa yadnya di Bali.

gayah : satedari babi simbolikdewa nawa sanga.


(26)

xxvi

hyang tumuwuh : penyebab bertumbuh.

kain debel : kain lokal Bali.

kain prada : kain bercat prada.

kain songket : kain ikat Bali.

kepara : bahasa orang kebanyakan.

krama tamiu : penduduk pendatang.

kulkul : ketongan.

liyak : wujud,ngelmudi Bali, konotasi negatif.

linuh gejer : gempa besar.

lumah : tumpul (Bali).

mal-pal : berjalan dengan pola tertentu dalam tari Bali.

manak salah : beranak kembar, laki duluan lahir.

mangsi : arang lampu minyak gas.

mebabasan : memberikan arti dalam sekar agung atau macapat.

maboya : sifat tidak serta merta percaya, cuek.

megambel : memainkan alat musik tradisional.

menyama braya : persaudaraan.

meres- mujung : bangunan palinggih rong dua, simbol laki-perempuan (rwabhineda).

meseh rupa : berubah wujud.

nedunan : Menurunkan

ngaben : mengembalikan atman pada-Nya, berasal

dari “ngaba+in” jadingaben (funeral gift).


(27)

xxvii sastra

ngegol : goyang pinggul.

ngalebar : mengembalikan ke asalnya.

ngelmu : ngelakoni kebalian.

ngerehang aji wegig.

: menghidupkan ajaran kebatilan.

nyaga satru : menjaga musuh

padma capah : padma tanpa hulu (ulon).

padmasana : tempat duduk berdasar teratai, representasi ciwa-budha ajaran dang hyang nirartha.

pande ngagaluh : profesi klan pande membuat peralatan perempuan.

pande ngagandring

: warga pande yang mengerjakan peralatan dari besi.

pecelengan : tempat tabungan tradisional.

padamel : uang ringgit dipegang pada ritual potong gigi.

pamelin candu : sesari di desa Bali aga.

pis (pipis) : uang.

pitara : roh yang sudah disucikan.

pretisentana : turunan

skarura : upakara dari beras, uang, daun temen,

kunyit.

sungga : ranjau dari bambu.

surya-chandra trenggana

: matahari- bulan-bintang.

sutindih : bela pati.


(28)

xxviii

tapak dara : tanda tambah

titi ugal-agil : jembatan dua injakan.

wadah : bangunan untuk membawa saat ngaben.

wong dura nagara

: orang asing


(29)

xxix SINGKATAN

AIDS : Aquired Immune Deficiency Syndrome

AMS : Algemene Middlebare School

BAN-S/M : Badan Akreditasi Nasional-Sekolah/Madrasah BH : Badan Hukum

BHMN : Badan Hukum Milik Negara BHP : Bandan Hukum Pendidikan BHP : Badan Hukum Pemerintah BTN : Bangunan Tanah Negara

ELS : Eropeesche Lagere School

GWK : Garuda Wisnu Kencana

HIS : Holland Inlandsche School

HIV : Human Imunodefisiensi Virus

HTNBB : Hutan Taman Nasional Bali Barat IMF : International Monetary Fund

ISO : InternationalOrganization For Standardization

IT : Information Telekomunication

KMBP : Kelompok Media Bali Post

KPKN : Kantor Pembendaharaan Keuangan Negara KTN : Komisi Tiga Negara

MBS : Manajemen Berbasis Sekolah

MOSVIA : Middlebaar School voor indische Ambtenaren

MULO : Meer Uitgebreid Large Onderwijs

MvO : Memories van Overgave

NICA : Nederland Indie Civil Administration

NIS : Negara Indonesia Serikat NIT : Negara Indonesia Timur

OECD : Organization For Economic Co-Operation And Development

OSVIA : Oopleiding School voor Indische Ambtenaren

PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini PBS : Putri Budi Sujati

PDI-P : Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan PHDI : Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia PLPG : Program Latihan Profesi Guru

PLTGU : Pembangkit Listrik Tenaga Gas Dan Uap PMD : Pembangunan Masyarakat Desa

PRI : Partai Rakyat Indonesia RIS : Republik Indonesia Serikat


(30)

xxx

SAP : Structural Adjusment Polices

SBI : Sekolah Bertaraf Internasional SBN : Sekolah Bertaraf Nasional

SCTP : Sidatapa Cempaga Tigawasa Pedawa SPMA : Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik SPN : Sekolah Polisi Negara

ST.Telkom : Sekolah Tinggi Telekomunikasi STIE : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STIS : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik

STKIP-AH : Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Agama Hindu

STOVIA : School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen

STT : Sekaha Teruna Teruni TNBB : Taman Nasional Bali Barat Undiksha : Universitas Pendidikan Ganesha Unipas : Universitas Panji Sakti


(31)

xxxi

DAFTAR LAMPIRAN

01 Surat Izin Penelitian ……… 413

02 03

Daftar informan ……… ………. 415 Daftar Pertanyaan…………...………. 416


(32)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan modern dengan sistem kelas mulai memasuki Bali pada

pertengahan abad ke-19, setelah penaklukan Buleleng dengan terjadinya puputan

Jagaraga Tahun 1859. Daerah lainnya sekolah baru berdiri awal abad ke-20,

terutama setelah Puputan Klungkung 1908, dimana seluruh Bali menjadi bagian

dari kekuasaan Belanda dengan pusat pemerintahannya di Singaraja (Darma

Putra, 2011:31), zaman pemerintahan kolonial Belanda ini dikenal dengan zaman

Enteg Bali. Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan menciptakan asimilasi masyarakat Bali dengan kolonial Belanda (Atmadja, 2001:42).

Singaraja ditetapkan sebagai ibu kota Keresidenan Bali dan Lombok pada

tahun 1882, Buleleng dan Jembrana berada di bawah kekuasaan langsung

Guberneman Belanda. Dengan dicanangkan Politik etis sekolah mulai tersebar di

Indonesia, pelajar Bali banyak menuntut ilmu ke luar terutama ke sekolah

pendidik (Kweek School) di Makassar dan Probolinggo. Pendidikan Barat ini membawa dampak munculnya elite modern di Bali Utara, kelompok yang

memiliki kesadaran nasional untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda.

Diawali dengan berdirinya organisasi modern Budi Utomo tahun 1908 di Jawa

(Niel, 1984:40), sedangkan di Bali berdiri Perkumpulan Suryakanta yang

memiliki tujuan setara dengan Budi Utomo yaitu kemandirian dan lepas dari

penjajahan Belanda.


(33)

2

Munculnya gagasan “pembaharuan” adat dan Agama di Bali, dikenal

dengan “Ide zaman Kemajuan” di Bali Utara. Muncul perbedaan strategi untuk

merealisasikannya memunculkan perbedaan pandangan antara golongan Jaba

(kaum terdidik) dengan golongan Triwangsa. Pertentangan itu berkepanjangan, terjadi pertentangan gagasan dalam Majalah Surya Kanta dan Bali Adnyana dalam

sejarah dikenal dengan konflik kasta (Putra Agung, 2001). Pertentangan itu

dikhawatirkan oleh Belanda karena “ide zaman kemajuan” yang memiliki

pandangan jauh ke depan sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerintah

kolonial Belanda. Alasan kolonial terlibat dalam permasalahan konflik sosial itu

karena disebut-sebut “rasa kebersamaan” perjuangan golongan jaba dengan kemasan “sama-rata sama-rasa”, kebetulan semboyan itu memiliki kesetaraan

dengan perjuangan komunis di Negara maju. Dalam konflik itu Belanda

mengambil posisi berpihak pada golongan triwangsa yang mempertahankan tradisionalisme, etnosentrisme, feodalisme, dan primordialisme yang sama-sama

menguntungkan kelompok penguasa tradisional dan kolonial. Dengan

menyembunyikan ideologi utama --pariwisata budaya eksotik-- dari maksud

keberpihakannya, Belanda mengeluarkan wacana Baliseering yaitu mengembalikan orang Bali pada kebaliannya dengan“seolah-olah” melaksanakan

politik etis dan menyelamatkan Bali dari modernisme, sehingga muncul wacana

Baliseering, yaitu kebijakan menjadikan Bali tetap tradisional, dengan mempertahankan tradisi, adat-istiadat, Agama Hindu dan melakukan proteksi


(34)

3

(Margana, 2011:23). Kebijakan Baliseering menyembunyikan berbagai kepentingan, hasrat, dan motif kolonial yang seolah-olah melaksanakan politik

etis dan memajukan rakyat Bali, menjadi sangat menarik dikaji ideologi yang

tersebunyi di baliknya.

Strategi untuk meyakinkan masyarakat Bali, Belanda mengeluarkan

kebijakan yang sangat berbeda dari sebelumnya, bahkankeluar dari “narasi besar

imprialisme kuno” dengan melarang kristenisasi terhadap Bali, sehingga

memunculkan polemik baik di dalam maupun di luar negeri sampai akhir

kekuasaan Belanda di Bali. Terjadi perubahan orientasi penguasaan Bali dari

bertujuan asimilasi, menjadi Balinisasi. Hal ini mencurigakan kalangan elit

terpelajar di Bali, dengan menafsirkan kepentingan dan tujuan yang tersembunyi

di balik kebijakan itu.

Meminjam gagasan Derrida mengenai deconstruction dalam teori poststruktural dibutuhkan penundaan pemaknaan wacana yang berkembang di

masyarakat bahwaBaliseering dapat dikatakan Baliseeringmerupakan kebijakan yang berlawanan dengan “narasi besar” kolonial Belanda, yang sebelumnya

Belanda berusaha menjadikan jajahannya sebagai substitusi kolonial yaitu

asimilasi, atau asosiasi untuk memudahkan megosiasi kepentingannya.

Latar belakang munculnya kebijakan Baliseering menjadi sangat penting dikaji secara akademik dilihat dari cultural studies yaitu melihat relasi kuasa di dalamnya. Demikian pula bagaimana proses prosedur Baliseering dengan melibatkan sekolah sebagai agen Baliseering baik pendidikan formal maupun nonformal. Sebuah ideologi yang ditanamkan di dunia pendidikan, tentu memiliki


(35)

4

implikasi yang sangat luas dan berjalan dalam jangka waktu panjang. Hal ini

menjadi sangat menarik dianalisis implikasi Baliseering itu di Bali Utara era globalisasi. Membongkar ideologi Baliseering di Bali Utara dalam perspektif keruangan, tidak tertutup kemungkinannya menyangkut ke daerah Bali dan

Lombok karena Singaraja pada saat dilaksanakannya kebijakan Baliseering

sebagai ibu kota keresidenan Bali dan Lombok.

Perubahan kebijakan kolonial dalam pendidikan dari zamanenteg Bali ke pendidikan Baliseering sangat menarik dikaji. Karena ideologi dapat mempengaruhi segala bentuk tindakan dan artefak yang dihasilkannya. Struktur

dan kuktur dalam pendidikan yang dikuatkan Belanda dalam pengideologian itu

menjadi sangat menarik diwacanakan dengan makna baru melalui jejak-jejak

Baliseering untuk dapat memahami ideologi yang terkandung di baliknya. Pemaknaan baru dilakukan dengan interpretasi ulang terhadap jejakBaliseeringdi Bali Utara, karena sampai saat ini makna yang diwacanakan sering

menjerumuskan, menyesatkan pemahaman, karena tidak dibongkar ideologi

kapitalis dan kolonialis yang terkandung di baliknya.

Pembongkaran sebuah ideologi dalam wacana yang sudah dianggap benar

membutuhkan perangkat analisis perspektif kritis. Seperti disebutkan oleh Edward

Said mengutip Foucault bahwa wacana sarjana orientalis itu kemungkinan besar

berifat strukturalis, dengan memosisikan bangsa Asia sebagai oposisi biner,

dengan Barat sebagai superiornya. Dengan demikian dibutuhkan teori

poststruktural, teori hegemoni, teori genalogi pengetahuan (lihat Said, 2012).


(36)

5

Paulo Preire, Ivan Ilich, dan teori lainnya secara eklektik, sebuah kajian counter ideologytentu juga membutuhkan pemahaman konsep ideologi, dan filsafat kritis (Althussers, 2010; Eatwell, Roger. 2004).

Realitas psikologis secara historis ketikaBaliseering dilaksanakan, ketika tahun 1920-an bahwa puputan-puputan di Bali yang mengorbankan rakyat sipil,

menyisakan janda dan anak-anak, ritual pengabenan, dan bentuk masalah sosial lainnya masih menjadi momok masyarakat Bali secara luas. Saat kondisi

“kejiwaan” masyarakat tergoyang muncul kebijakan politik Baliseering “seolah -olah bermurah hati” tentu memunculkan multitafsir di masyarakat. Mengapa

muncul kebijakan Baliseering bahkan sampai diikuti oleh kebijakan pelarangan kristenisasi (westernisasi dan modernisasi), javanisasi, dan islamisasi, seperti

Belanda ingin melepaskan pengaruhnya di Bali. Pembangunan sarana dan

prasarana persembahyangan, terutama beberapa pura penting dengan relief

“kolonisasi gagasan kolonial” di sekitar peristiwa Puputan Jagaraga. Mulanya

dipandang sebagai kebijakan politik konvensasi (“obat masyarakat”) setelah

melakukan kekerasan bersenjata di Bali. Namun hal itu pun tidak masuk akal

dilihat dari wacana modernisme, karena ke luar dari narasi besar kolonialis

Belanda di daerah jajahannya (cf. Lyotard). Demikian bersemangatnya

pemerintah kolonial Belanda melaksanakan kebijakan Baliseering di samping melarang kristenisasi dan modernisasi, bahkan sampai memasuki sistem

pendidikan formal dan nonformal di Bali. Museum Lontar Gedong Kirtya


(37)

6

menyelamatkan kekayaan intelektual Bali dan Lombok (1928).1 Sekolah-sekolah

didirikan, sistem pendidikan diubah secara total, baik struktur dan kulturnya

disesuaikan dengan ideologi Baliseering yang sangat kental dengan pengideologian adat, tradisi, budaya dan Agama Hindu di Bali.

Mainstream kolonial di daerah jajahan umumnya diambil dalam rangka pengejawantahaan kepentingan kolonial, seperti keuntungan ekonomi,

mempertahankan kekuasaan, memperluas kekuasaan, menguatkan kekuasaan

melalui berbagai strategi untuk kepentingannya, dengan menyembunyikan

kepentingan-kepentingannya di balik kebijakan yang diterapkan seolah-olah

melaksanakan politik etis untuk kepentingan Bali. Adanya penyimpangan dari

logika kolonial dalam Baliseering itu, kalau dikaitkan dengan meanstream

kolonial di daerah jajahan, seperti yang dilakukan penjajah Prancis di Asia

Tenggara, berikut.

Protektorat Prancis “La France d’outre-mer” di Vietnam, Laos dan

Kamboja terikat erat dengan kebudayaan dan ekonomi negara metropolitan dalam konteks kebijakan kolonialisme Prancis yang mengasimilasi dan kemudian mengasosiasikannya dalam kebudayaan atau kepentingan penjajah (King dan Wilder, 2012:6).

Kondisi daerah kolonial Prancis diasimilasi dan kemudian di asosiasikan ke dalam

peradaban Prancis, dengan demikian penjajah lebih mudah meredam gejolak dan

tuntutan nasional negara jajahan, dengan mengasosiasikan, menegosiasikan, dan

mengakomudasikannya dalam konteks kepentingan penjajah atau negeri induk di

1Pembahasan Gedong Kirtya sudah banyak ditulis orang tidak dijadikan fokus utama

dalam penelitia ini, tetapi dijadikan latar belakang terkait dengan kebijakan Baliseering. Terimakasih atas tambahan wawasan yang diberikan oleh Prof. Dr. I Nyoman Wida Kusuma, M.S. yang memberikan catatan pentingnya Gedong Kirtya terkait dengan kebijakanBaliseering, agar dijadikan kajian tersendiri oleh peneliti sastra selanjutnya.


(38)

7

daerah jajahan. Demikian juga penjajahan Spanyol dan Amerika di Filipina, pada

saat Filipina dikuasai Spanyol lebih dari 300 tahun lamanya, sampai akhir abad

ke-16, pulau-pulau yang dikuasai terhubung erat dengan Kerajaan Spanyol,

bahkan dihubungkan dengan jajahan Spanyol di Mexiko yang jauh melintasi

samudera Fasifik. Kemudian ketika penjajahan dilanjutkan oleh Amerika

Serikat--setelah Perang Amerika-Spanyol 1898-- penduduk Filipina mayoritas menjadi

pemeluk Agama Kristen Katolik dengan menggunakan Bahasa Inggris-Amerika

sebagai lingua-francanya. Tarmasuk kasus Timor-Timur di wilayah Indonesia,

sampai tahun 1975 Spanyol menjalankan politik asimilasinya di Timor-Timur,

yang dijadikan modal budaya dalam membantu penduduk Timor-Timur

melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (King dan Wilder,

2012:7). Sejalan dengan hal ini, politik asosiasi Jepang di Jawa dapat dipahami

dalam program “Nippon’s Islamic grass-roots policy”, dimana para petinggi Islam dipersatukan dalam “Shumubu” (Kantor Urusan Agama pada zaman

Belanda). Jepang dengan memainkan kekuasaan, mulanya Kantor Urusan Agama

ini dipimpin oleh Kolonel Horei, kemudian diganti oleh Prof. Hoesein

Djajaningrat seorang sejarawan dan militan Islam kenamaan, bangsawan

dihormati di Jawa. Pejuang yang tergabung dalam pasukan Hisbullah di bawah

Sabillilah, menjadi berasosiasi dalam melawan Belanda dan Sekutu. Politik ini

berhasil baik, karena telah ikut membela kelangsungan kekuasaan penjajah Jepang

di Jawa (Maarif, 1988:20-21). Dari latar belakang di atas maka disertasi ini

fromulasikan dalam sebuah judul“Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”.


(39)

8

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasahan,

sebagai berikut.

1.2.1 Mengapa kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan Baliseering

menggunakan pendidikan baik formal maupun nonformal sebagai agen

pengideologian di Bali Utara?

1.2.2 Bagaimana proses Baliseering khususnya dalam struktur dan kultur melalui pendidikan formal maupun nonformal di Bali Utara?

1.2.3 Bagaimana implikasi kebijakan Baliseering dalam struktur dan kultur pendidikan di Bali Utara era globalisasi?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk membongkar genealogi

atau latar belakang ideologi Baliseering; proses pengidiologian Baliseering baik formal maupun nonformal dengan pendidikan di sekolah sebagai agennya, serta

implikasi ideologiBaliseeringdi Bali Utara era globalisasi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membongkar latar belakang (genealogi) ideologi yang tersembunyi di

balik kebijakan Baliseering dalam bidang pendidikan formal maupun nonformal zaman kolonial Belanda di Bali Utara.

2. Membongkar proses Baliseering dalam struktur dan kultur melalui pendidikan formal maupun nonformal zaman kolonial Belanda di Bali


(40)

9

3. Membongkar implikasi Baliseering dalam pendidikan formal dan nonformal di Bali Utara era globalisasi.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti pada

pengembangan teori kritis, di Lembaga Program Kajian Budaya, khususnya dalam

pengembangan konsep kolonisasi, ideologi, genealogi pengetahuan, pendidikan

kritis, dan hegemoni di masyarakat Bali.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, sebagai berikut.

1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan

bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan penyempurnaan sistem

pendidikan formal maupun nonformal, adat-istiadat, seni, budaya, dan

hinduisme di Bali.

2. Hasil penelitan ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, sekolah, dan

mahasiswa yang berkepentingan terhadap hasil penelitian ini.

3. Keterbatasan hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

inspirasi, dan dorongan bagi peneliti lainnya untuk menutupi dan


(41)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pengetahuan masyarakat tentang Bali lebih banyak dikonstruksi oleh

orang asing, seperti dari karya Krause Bali 1912, berupa kumpulan Foto dan dilengkapi teks yang banyak memberikan inspirasi penulis berikutnya. Seperti

disebutkan Wijaya sebagai berikut.

Karya klasik Miguel CovarrubiasIsland of Bali(1937); Gregory Bateson dan Margaret Mead, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J.L. Swellengrebel (et al.),Bali Studies in Life, Thougth and Ritual(1962);Karya Vicki Baum yang menulisA Tale from Bali(1973); dan James A. Boon,The Anthropological Romance of Bali, 1597-1972: Dynamic Perspectives in Marriage and Caste, Politics and Religion (1977). Gambaran Bali lainnya juga ditulis oleh penulis asal Amerika Ni Luh Tantri, dalam bukunya,Revolt in Paradise (1960); Fred B. Eiseman, Jr. yang menulis Bali: Sekala and Niskala(cf. Wijaya, 2009).

Demikian banyaknya Bali telah ditulis oleh orang asing tidak ada yang khusus

membahas Baliseering, namun semua karya di atas sangat berharga karena memberikan data dan inspirasi dalam penelitian ini.

Karya Miguel Covarrubias ( 1937)Island of Bali/ diterjemahkan menjadi

Pulau Bali:Temuan Yang Menakjubkan” (2013) oleh Sunaryo Basuki. Merupakan karya klasik ilustrator Meksiko ini banyak menyumbangkan

“wawasan sejarah dan budaya Bali karya seorang orientalis di tahun 1930-an.

Terutama dalam membahasYayasan Pita Mahadan seni modern di Bali, berbeda dengan penelitian ini. Budaya Bali dikaji sebagai simbolik dan ekspresif

kehidupan, ditulis Adrian Vikers buku Bali: A Paradise Created (1989) dan 10


(42)

11

Travelling to Bali, Four Hundred Years of Journeys (1994). Penelitian ini memperluas pemitosan Bali sampai ke seluruh dunia, bahwa Pulau Bali sebagai

surga terakhir. Karya Vikers dilanjutkan oleh Michel Picard (2006) Bali Parwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, (KPG-Forum Jakarta-Paris: Jakarta). Buku ini mengawali pembahasan melalui asal-usul munculnya gagasan pariwisata

dengan program “Museum Hidup” yang dijadikan latar pariwisata budaya Bali.

Berbagai mitos dibahas tentang proyek Balinisasi, bagaimana kolonial Belanda

membangun “proyek mesin dollarnya” dengan membuka Bali sebagai daerah

wisata budaya eksotik, melalui kapitalisme dalam dunia pariwisata telah

merambah dan menghancurkan sumber daya alam Bali. Secara kultural Bali

makin kehilangan jati dirinya, karena budaya Bali bukan lagi menjadi tuan rumah

di negeri sendiri, tetapi telah dikuasai oleh sistem ekonomi neoliberalis, terutama

terlihat dalam kepemilikan sarana dan prasarana pariwisata. Tidak dibahas

jejak-jejak Baliseering di Bali Utara, walaupun banyak memberikan data dalam membahas Balinisasi terkait dengan kebudayaan. Peneliti mengkaji jejak-jejak

Baliseering di Bali Utara dan masalah pendidikan Baliseering yang berbeda dengan karya ini, sehingga dapat melengkapi kekurangannya.

Karya Henk Schulte Nordolt, Spell of Power: A History of Balinese Politics 1650-1940 (2006) membahas dinamika kerajaan Mengwi. Dan Karya Darma Putra, A Literary Mirror: Balinese Reflection on Modernity and Identity in the Twentienth Century(2003), dengan pendekatan budaya (Wijaya, 2009).

Melalui studi berbagai bidang ilmu, Bali mendapat identitas, seperti; “The Island of God”, “The Island of Thousands Tempels”, “The Paradise Island”, “The last Paradise”. Odyle Knight, dalam novelnya Bali Moon: A Spiritual Odyssey, menyebut Bali sebagai “The Mystical Island” (Burhanuddin, 2009: 51).


(43)

12

Karya Gepffrey Robinson (2006), “Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik”, mengulas tentang cengkraman kekuasaan kolonial yang

“membentuk Bali” dimulai tahun 1920-an dengan adanya sebuah monumen

puncak kekuasaan di Bali yang dibangun dengan “dominasi politik” di seluruh

kerajaan di Bali, dikukuhkan dengan jatuhnya Klungkung tahun 1908.

Membuktikan bahwa Bali tidak seperti dimitoskan orang, karena banyak terjadi

konflik dan kekerasan, namun tidak diekspos ke permukaan. Karya ini banyak

menginspirasi bahwa primodialisme di Bali sangat kuat dalam mengendalikan

konflik yang muncul, sehingga konflik itu menjadi bersifat laten.

Sarjana dalam negeri lebih banyak menulis menggunakan sumber

penulisan asing, dengan kata lain reaksi baru muncul kemudian setelah sarjana

asing menuliskannya menjadi sebuah karya ilmiah. Seperti kajian Sidemen (1983)

tentang “Baliseering dan pengaruhnya terhadap Pariwisata Budaya di Bali”,

memberikan inspirasi untuk mengambil tema Baliseering ini, namun dalam perpektif meragukan wacana kolonial dalam Baliseering itu. Hasil penelitian Sidemen ini memberikan gambaran konseptual tentang Baliseering. Karya ini ditulis dalam perpsektif sosial politik secara struktural fungsional, sehingga sangat

menarik untuk dikembangkan dalam perpsktif cultural studies. Gambaran Buleleng sebagai masyarakat maboya dikaitkan dengan ketahanan nasional dengan, sikap meboya terhadap tradisi yang menguntungkan elite tradisional (ascribed status) dimiliki oleh masyarakat Bali Utara (Wingarta, 2009:54). Konflik kasta di Bali Utara dibahas Putra Agung (2001). Sedangkan secara kultur


(44)

13

pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung

“ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar di Bali

ketika itu. Pandangan Agung (2001) ini perlu dikaji ulang dengan teori kritis,

dengan mengaitkan relasi kuasa di dalamnya (Foucaultan).

Implikasi konflik laten di Bali Utara dapat dipahami dari kekerasan yang

mewarnai masyarakat pascakemerdekaan di Bali Utara, seperti hasil kajian

Ngurah Suryawan (2010)“Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara

di Bali Utara” (Prenada: Jakarta), yang memberikan petunjuk masih banyak

subaltern di Bali Utara perlu dikaji secara akademik. Karya Nengah Bawa

Atmadja, 2010.“Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi”

(Penerbit LkiS, Yogyakarta), membahas identitas kultural “Ajeg Bali”, dengan pendekatan kajian budaya, menguraikan dan menganalisis fenomena kontemporer

yang terjadi di Bali. Kesimpulannya bahwa Ajeg Bali merupakan usaha etnosentrisme orang Bali untuk pemertahanan budaya Bali dari pengaruh luar,

dengan tantangan di arahkan pada orang luar Bali yang datang ke Bali. Tidak

menguraikan jejak Baliseering di dalamnya, karena tidak membahas dalam konteks pendidikan. Disertasi Suda (2009) berjudul Merkantilisme Pengetahuan dalam Bidang Pendidikan (Kasus SD Sukma Melati Denpasar), (Surabaya: Penerbit Paramita). Merupakan karya kajian budaya, memberikan pembahasan

secara kritis dalam bidang pendidikan, kasusnya di Bali Selatan, memberikan

gambaran kontemporer di Bali Selatan. Sekolah telah dijadikan merkantilisme

kapitalis dengan berbagai alasan penggunaan teknologi canggih, aneka jenis


(45)

14

mekanisme kerja sekolah sama dengan mekanisme kerja pasar, terjadi simplikasi

pendidikan, dimana diberlakukan sebagai komoditas ekonomis. Disertasi Wijaya

(2009), “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007”, merupakan karya koprehensif (703 hal.). Penulisan menggunakan metode regresif dalam penggambaran situasi dan kondisi budaya

Bali dari tahun 2007 ke belakang sampai tahun 1910. Karya ini ditulis

menggunakan teori Foucault (wacana relasi kuasa dan pengetahuan), Laclau dan

Hobart, juga menggunakan teori Gramsci dalam mengartikulasikan budaya Bali

kontemporer. Kritiknya sangat tajam terutama dalam mengkritisi kehidupan

budaya Bali yang feodalistik, kurang berorientasi ke masa depan, terutama dalam

mengantar kebebasan generasi muda, dari belenggu feodalisme, kasta, dan adat

yang penuh relasi kuasa dari golongantriwangsayang hegemonik, dinilai kurang cerdas, perlu dikaji lebih jauh dilihat dari sejarah pendidikan untuk

melengkapinya.

Banyak kalangan baik akademisi maupun birokrat mengakui dan

menerima konsep-konsep yang diurai sarjana asing dengan apa adanya, tanpa

dianalisis secara kritis makna yang terkandung didalamnya. Seperti sambutan

Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pada saat pembukaan Pesta Kesenian Bali

(PKB) ke-30 pada Sabtu, 14 Juni 2008, memperkuat identitas Bali tersebut

dengan menyebutkan, sebagai berikut.

Balisebagai “…the best island in the world” dan “The Island of the God”; “Bali adalah pulau yang alamnya sangat indah, yang tinggi budayanya,


(46)

15

Pandangan ini secara akademis sangatlah meragukan, karena sangat hegemonik

dan sarat dengan kepentingan politis, terkait dengan maraknya komodifikasi Bali

melalui industri pariwisata. Pemitosan Budaya Bali oleh sarjana dalam dan luar

negeri inilah yang mengakibatkan Bali menjadi sangat terkenal walaupun

“nyatanya tidak seindah yang dicitrakan dalam berbagai media dan karya

akademik barat dan pidato kenegaraan tersebut”.Dari kajian pustaka di atas tidak

ada yang meneliti pendidikan Baliseering, sehingga posisi penelitian ini menjadi sangat otentik, di antara hasil penelitian sebelumnya.

2.2 Penjelasan Konsep

Beberapa konsep yang perlu dijelaskan yang digunakan dalam judul

penelitian ini adalah: (1) Genealogi Pengetahuan, (2) Membongkar

(Dekonstruksi), (3) Ideologi Pendidikan Kolonial, (4) PendidikanBaliseering, (5) Implikasi Era Globalisasi.

2.2.1 Genealogi Pengetahuan

Konsep genealogi pengetahuan dikembangkan oleh Michel Foucault,

sebuah konsep yang dikembangkan dalam melihat relasi asal-usul sebuah

diskursus dengan kekuasaan. Sebuah wacana memiliki asal-usul yang berelasi

dengan produksi kebenaran, sehingga menjadi sebuah arkeologi, pengetahuan

memahami asal-usul arkeologi itu dengan kekuasaan menjadi “genealogi

pengetahuan”. Inilah konsep yang dikembangkan oleh Foucault (1969), yang

kemudian berkembang menjadi salah satu metodologi dalam karya kajian budaya

(cf. Martono, 2014:36; Parchiano, 2012:163). Dengan demikian genealogi adalah


(47)

16

Baliseering dan wacana modernitas, terutama operasi dari relasi kuasa dan pengetahuan di dalam diskursus berkaitan dengan Baliseering itu. Karena kebenaran dapat dikonstruksi oleh penguasa, ada hubungan antara pengetahuan

dengan kekuasaan, disebut dengan “genealogi pengetahuan” oleh Foucault

(Martono, 2014). Genealogi dapat diartikulasikan makna sebuah wacana atau

arkeologi, dengan demikian metode Foucault adalah memahami relasi kuasa

dalam arkeologi. Kemudian dalam arkeologi itu dicari asal-usulnya disebut

geneologi pengetahuan, yang tersimpan dalam wacana yang diyakini benar

menjadi pengetahuan masyarakat secara permanen yang disebut episteme dalam konsep Foucault (1969).

Genealogi dalam penelitian ini adalah membongkar kebenaran apreori

(episteme) dari fakta sejarah, berupa cerita sejarah, relief, praktek budaya dalam pendidikan Baliseering, khususnya dalam artikulasi budaya dalam dunia pendidikan, dengan berbagai bentuk kebijakan rebalinisasi, dan implikasinya.

Kajian diskursus orientalisme memiliki peranan penting dalam melakukan

sistematis keilmuan barat, bahkan “menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, ilmiah, dan imajinatif selama masa pencerahan”

(Said, 2012:4).

2.2.2 Membongkar

Membongkar dalam karya ini mengacu pada konsep dekonstruksi Derrida

(1967:85). Dekonstruksi menurutnya bukanlah program sistematis, melainkan

cara membaca teks yang menunjukkan pengaruh dan ketergelincirannya berupa


(48)

17

dan tafsiran lain yang lebih memungkinkan, secara argumentatif sehingga dapat

mengantar pluralisme kritis dalam pengetahuan. Oleh karena itu, bagi Derrida

dekonstruksi bersifat positif, yaitu menggoyang, menjungkir balikkan,

mencemaskan, tetapi mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang

membangun hal-hal baru dan menunda makna yang sudah ada dengan

menemukan makna baru dari artikulasi budaya yang salah kaprah, karena ada

relasi kuasa di dalamnya, dan membuka pikiran masyarakat yang tertutup,

menjadi terbuka (Sumaryono, 2013:115). Dekonstruksi bagi Derrida adalah

sebuah metode penelitian dengan memperbaiki sistem yang rusak dari dalam

sistem itu (O’Donnell, 2009:58). Derrida melihat peran bahasa yang menurutnya

bukan hanya sekadar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga

melihat bahwa lembaga sosial tidak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tidak

mampu memaksa orang. Akibatnya sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan

memaksa yang menurut pandangan teoretisi strukturalis justru memaksa. Oleh

karena itu mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang

mendasari bahasa. Kritik pasangan-pasangan atau oposisi biner strukturalisme

dengan mempertanyakan dasar pasangan-pasangan itu, Montefiore menyebut

sebagai berikut.

Saya yakin bahwa setiap kemajuan konseptual akan sama hakikinya dengan perubahan konsep ke usaha memperburuk hubungan yang diakui sah, antara sebuah kata dengan sebuah konsep, antara kiasan dengan sesuatu penggunaannya sudah tidak akan diubah lagi, lazim ditetapkan orang. Semua pengelompokan ini ada di bawah pengertiandeconstruction,gambar tentang diferrence (pemisahan karena berbeda), tentang kesan, unsur tambahan, dan sebagainya (Montefiore, 1983) dalam Sumaryono, 1993:120).


(49)

18

Untuk menemukan makna yang tersembunyi orang harus membuka selubungnya,

membuang semua hubungan yang ada dalam sebuah kata dengan konsep. Jadi

dikonstruksi merupakan sebuah cara untuk memberikan penjelasan baru makna

dari sebuah diskursus. Derrida lebih jauh mengatakan dalam Sumaryono (2013)

bahwa:

Yang menjadi primordial (yang asli, mula-mula) mestinya gagasan didasarkan atas jejak, dan bukan sebaliknya. Proto-writing ini mulai bekerja sebagai asal-usul arti. Karena bersifat sementara di alam ini, arti tidak pernah

tampil begitu saja; tetapi selalu dalam keadaan terbawa dalam ‘gerak’ jejak,

yaitu dimaksudkan sebagai “yang memberiarti” (Derrida, 1967:85).

Membongkar di dalam judul karya ini mengacu pada pandangan Derrida

yaitu menunda sebuah makna dari sebuah jejak-jejak sejarah yang telah diberikan

makna berbeda dengan makna baru yang didapatkan dari hasil penelitian ini.

Tujuan pembongkaran lebih tegas dapat ditafsirkan agar dapat menemukan

asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika dan ’titik-titik tersembunyi’ dari sebuah

ideologi dalam diskursus jejak sejarah dalam pendidikan nonformal atau formal

dalam Baliseering, seperti jejak berupa relief, teks orientalis, hegemoni dan implikasi artikulasi budaya dalam pendidikan di Bali Utara.

2.2.3 Ideologi Pendidikan

Preire mengolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kesadaran, yaitu

kesadaran magis, kesadaran naïf dan kesadaran kritis. (a) Kesadaran magis adalah

kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor

lainnya. Semua peristiwa dikaitkan dengan faktor yang ada di luar manusia


(50)

19

(b) Kesadaran naïf adalah lebih melihat “aspek manusia” yang menjadi akar permasalahan di masyarakat. Pada tingkat kesadaran ini “masalah etika, kreativitas, ‘need for acheivement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Satu-satunya diharapkan sebagai pemicu perubahan adalah penguasa “man power to be all development in a society life”. Tugas pendidikan adalah mengarahkan

peserta didik agar masuk sekolah dan beradaptasi dengan sistem yang sudah ada.

(c) Kesadaran kritis/radikal adalah lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai

sumber masalah. Kesadaran ketiga ini dijadikan dasar pembahasan di Bali Utara.

Ideologi dalam praktik pendidikan sangat terkait, karena mempengaruhi

cara berpikir, bertindak, bersikap, dan berbuat seseorang. Ideologi Pendidikan

Baliseering dapat mempengaruhi berbagai hal terkait dengan praktik pendidikan di Bali, seperti dalam masalah kurikulum, metode, sarana-prasarana pendukung,

pendidikan sebagai berikut (Tabel 2.1).

Tabel 2.1: Paradigma Pendidikan dan Implikasi Kesadaran Paradigma/Metode Konservatif Liberal Radikal Implikasi

Sentralistik 1 2 3 Magis

Partisipatif 4 5 6 Naif

Egaliter 7 8 9 Kritis

Sumber: Topasang, dkk. (2005) dalam Nanang Martono, Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: Mengungkap Problematik dari Perspektif Sosiologis (Yogyakarta: 2010:42).

Pendidikan sentralistik diberikan pada peserta didik usia dini, pendekatan

partisipatif antara guru dan murid sudah sejajar, pendekatan egaliter pendekatan

kesetaraan digunakan pada peserta didik yang sudah dapat belajar mandiri.

Ideologi pendidikan zaman kolonial memiliki keterkaitan dengan praktik


(51)

20

Gambar 2.1: Hubungan Ideologi Pendidikan dengan Praktik Pendidikan dalam Perspektif Sosiologis Kolonial

Bagi Althussers (2010) ideologi lebih merupakan partisipasi segenap kelas sosial,

terhadap kelas sosial lainnya. Roger Eatwell (2004:3) menjelaskan lebih jauh,

bahwa ideologi cenderung menjadi istilah negatif terutama digunakan untuk

mengelompokkan ide-ide yang bias atau ekstrim, dapat diklasifikasi menjadi: (1)

kategori ideologi sebagai pemikiran politik, (2) ideologi sebagai kepercayaan dan

norma, (3) ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos, serta (4) ideologi sebagai

kekuasaan elite.

Fakta bahwa segenap kelas berpartisipasi di dalam praktik tersebut tidak berarti bahwa praktik tersebut sendiri tidak lagi melayani kepentingan kelas sosial dominan. Yang dimaksudkan oleh Althussers adalah ideologi bersifat lebih efektif dibandingkan apa yang dijelaskan oleh Marx, karena ideologi bekerja dari dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam menginspirasikan cara berpikir dan cara hidup tertentu pada segenap kelas (Althussers, 2010:ix).

Model ideologi bekerja dalam masyarakat dapat dipahami dari pandangan

John B. Thompson (2015) menyatakan:

Model–model cara kerja ideologi dibagi ke dalam model umum seperti adanya legitimasi, penipuan, unifikasi, fragmentasi, dan reifikasi. Legitimasi dengan bentuk strategi konstruksi simbol disebutkan

“rasionalisasi, universalisasi, narativikasi’; penipuan dengan bentuk

pemindahan, eufemisasi, kisan (sinekdot, etomini, metafora); unifikasi dengan bentuk standardisasi, simbolisasi dari kesatuan; fragmentasi dengan

Ideologi Pendidikan Praktik Pendidikan

Perspektif Sosiologis Pendidikan Kolonial


(52)

21

bentuk diferensiasi, ekspurgasi yang lain; reifikasi dengan bentuk naturalisasi, eternalisasi, nominalisasi/pasivikasi (Thompson, 2015:84).

Demikian luasnya pengertian ideologi, terkait dengan tulisan ini ideologi

kapitalis lebih didominasi oleh ideologi pasar dalam tulisannya Nyoman Dhana

(2010) menyebutkan ideologi pasar atau disebut pula agama pasar mengacu pada

gagasan yang tidak saja berbeda tetapi sekaligus bertolak belakang dengan

karakteristik Agama Hindu (2010:29), terutama digunakan dalam menilai

materialisasi gagasan mitologi timur dalam relief dan catus pata. Di samping itu digunakan konsep ideologi bervariasi disesuaikan dengan topik yang dikaji dalam

tulisan ini.

2.2.4 PendidikanBaliseering

PendidikanBaliseeringKolonial Belanda adalah usaha sadar dari kolonial Belanda dalam menyelenggarakan pendidikan modern untuk pegawai rendahan

dalam birokrasi modern yang diterapkan di Bali. Dengan melakukan pendidikan

memuseumkan Bali, melaksanakan pendidikan dengan filosofis konservatif agar

Bali tidak berubah. Karena Bali dirancang untuk menjadi “mesin dollar” dalam

wisata budaya eksotis. Namun sistem pendidikan barat tetap dilaksanakan dengan

membatasi pengembangan intelektual peserta didiknya, dengan melakukan

dominasi dan hegemoni dalam pendidikan. Pendidikan Baliseering, baik pendidikan formal maupun nonformal, terutama kolonisasi melalui hegemoni

pada masyarakat Bali dengan memasukkan ideologi barat dalam inti budaya dan


(1)

organik. Yang terakhir dipilah menjadi intelektual hegemonik dan intelektual kontra-hegemonik. Melalui berbagai sarana intelektual organik dan kontra hegemonik, memastikan bahwa ideologi yang ditanamkan telah dapat diterima, kalau ada kelompok kecil yang belum menerima dilakukan operasional organisasional agar tidak berkembang. Jadi bentuk perebutan kekuasaan merupakan perebutan terhadap tatanan pandangan-pandangan dunia (world view) di masyarakat.

2.3.4 Teori Pendidikan Kritis

Pierre Boudieu sangat populer dalam pengembangan pemikiran pendidikan kritis. Bourdieu dilahirkan di kota kecil Prancis pada tahun 1930. Bourdieu banyak mendapat pengaruh dari Levi-Strauss di College de France dan menjadi asisten dari Raymon Aron, ketika Raymon Aron pensiun dia menjadi penggantinya tahun 1981, sejak itu Bourdieu memegang peranan kunci di Sosiologi Perancis.

Sumbangan terbesar dari Bourdieu terhadap sosiologi pendidikan adalah: idenya tentang kapital hubungannya dengan pendidikan. Bourdieu melihat bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dan kapital budaya dan simbolik. Kedua kapital ini direproduksi dan dilanjutkan melalui sekolah (Harker,et al., 1990: 9).

Budaya merupakan pokok yang sangat penting dalam pikiran Bourdieu. Dari budaya menuju dunia pengetahuan, ide, objek-objek dasar dari aktivitas manusia, termasuk di dalamnya adalah budaya pendidikan di sekolah. Digambarkan adanya dua tradisi dalam kebudayaan: (1) Tradisi struktural, kebudayaan merupakan instrumen komunikasi dan ilmu pengetahuan. (2) Tradisi fungsionalisme, tradisi yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan-kekuatan


(2)

biologis atau politis (power) dalam memaksakan suatu keteraturan sosial (social order). Bourdieu melakukan kritik terhadap kedua tradisi itu. Bourdieu selanjutnya mengembangkan teori baru yaitu teori praksis (theory of practice) dalam mengatasi dikotomi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Dengan mengembangkan konsep habitus, field, dan modal budaya.

Habitus merupakan tindakan manusia dialektik antara pemikiran, dengan aktivitas pada dunia objektif. Hubungan dialektik ini merupakan hubungan habitus dengan lapangan/field/ ranah. Terkenal dengan rumusnya “Habitus X Modal + Ranah= Praktik” (Harker, et al., 1990:19). Habitus mengimplikasikan adanya pengalaman masa lalu sebagai makhluk menyejarah, yang di dalamnya ditemukan adanya bentuk-bentuk skema persepsi, pemikiran , dan perbuatan yang menjamin adanya ketepatan dari praksis dalam waktu. Habitus mengonstruksi memproduksi secara bebas berbagai persepsi, pemikiran dan tindakan dalam kondisi-kondisi tertentu. Jadi inti dari habitus adalah struktur. Struktur, kemudian merupakan penghubung antara objektivitas dan subjektivitas, dalam hal ini individu melupakan pelaku dari tindakan-tindakan praksis individu dalam habitus tertentu yang diaktualisasikan dalam lapangan objektif. Habitus merupakan sistem kebiasaan yang tahan lama berisi disposisi-disposisi yang berubah-ubah, dan struktur-struktur yang menstruktur (structure-structuring) dalam praktik atau tindakan. Habitus dapat tampak dalam hal-hal berikut: (1) gaya hidup (life style), (2) motivasi/preferensi/citarasa dan emosi, (3) prilaku yang sudah mendarah daging, (4) kosmologi, (5) keterampilan dan kemampuan sosial praktis, (6) aspirasi-aspirasi berkaitan dengan perubahan hidup serta karya seseorang. Ranah


(3)

(Lapangan/field) merupakan adalah wilayah kehidupan sosial seperti industri, hukum, seni, pendidikan, pasar, dan sebagainya, dalam bidang-bidang tersebut pelaku berusaha untuk memperoleh kekuasaan danstatus quo.

Bourdieu menguraikan ada tiga jenis modal yang sangat menentukan kekuasaan dan ketidaksetaraan sosial, yaitu modal capital atau ekonomi; modal sosial berupa hubungan-hubungan sosial seperti industri, hukum, seni; dan modal kultur, kemudian bertransformasi menjadi modal simbolik yang dalam pendidikan ditunjukkan dengan gelar kesarjanaan, dan keintelektualan yang diakui oleh budaya dominan.

Tokoh pendidikan kritis lainnya adalah Paulo Preire (1921-1977), memiliki pendekatan baru dalam pendidikan, yang dikenal dengan pedagogik transformatif, kiprahnya di dunia pendidikan sangat terkenal di kancah internasional, dengan konsep pendidikan pembebasan. Slogannya adalah “pendidikan untuk orang tertindas adalah pendidikan yang harus dilaksanakan dengan baik untuk keseluruhan kaum tertindas, dan merupakan perjuangan tanpa henti untuk memperoleh kembali kemanusiaan, kebebasan (liberalization) mereka yang terpinggirkan, untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakatnya. Menurut Paulo Preire pendidikan modern barat disebut pendidikan tradisional telah mengungkung perkembangan pribadi manusia. Untuk membebaskan peserta didik dari berbagai tekanan luar itu maka perlu adanya kesadaran dari dalam diri manusia akan kebebasannya. Proses penyadaran terhadap otonomi individu, menyadarkan hak-haknya, dan menyadarkan dirinya sebagai bagian dari masyarakatnya, karena manusia tidak dapat lepas dari masyarakatnya yang


(4)

membedakan dari pendidikan liberalisme sebelumnya. Sistem pendidikan Paulo Preire lahir dalam keadaan sosial masyarakat kolonialis, yaitu masyarakat dalam keadaan pemerintahan otoriter, kemiskinan, kebodohan yang menimpa rakyat Brazil pada saat itu. Kondisi ini hampir sama dengan keadaan Bali awal abad ke-20, dimana individu tidak menyadari hak-haknya termasuk hak-hak istimewanya yang dikuasai oleh kelompok kecil elite politik.

Paulo Preire memandang perubahan dan pendidikan dalam dunia modern tidak dapat dihindari, dan tidak dapat menyembunyikan diri dari perubahan terutama di era globalisasi ini. Namun diharapkan perubahan tersebut haruslah di arahkan pada perubahan untuk meningkatkan seluruh kehidupan rakyat, dengan memberikan hak-hak dan kewajiban dari warga negaranya untuk berbuat demi kepentingan umum dan dirinya. Konsep pendidikan Paulo Priere “mengetahui” bukanlah mengumpulkan fakta dan informasi sebanyak-banyaknya, seperti nasabah menyimpan uangnya sebanyak-banyaknya seperti “Sistem Banking”, untuk mendapatkan untung berupa bunga (rentsecking) (Atmadja, 2010b). Tegasnya mengetahui adalah menjadikan subjek didik sebagai subjek dan aktif di dunia pendidikan. Pesertadidik mengalami masalah hidup dan ikut terlibat di dalamnya adalah suatu keniscayaan. Proses selanjutnya “mengetahui” berarti manusia sedang menjalankan tugas untuk melakukan analisis yang cukup panjang, lama, dan kritis terhadap konstruksi masyarakat yang sedang terbentuk maupun dibentuk oleh lingkungannya, baik disadari maupun tidak disadari dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah pembebasan terhadap belenggu kekuasaan,


(5)

politik, ideologi, dan perubahan zaman yang tidak dapat dipungkiri di era globalisasi ini (Knight, 2007; Kartodirdjo, 1996).


(6)

2.4 Model Penelitian

IMPLIKASI PENDIDIKAN BALISEERINGERA

GLOBALISASI PRAKTEK DOMINASI DAN

HEGEMONI KEBIJAKAN BALISEERINGDI

BALI UTARA

LATAR BELAKANG IDEOLOGI PENDIDIKAN

BALISEERING

PROSES PENDIDIKAN BALISEERINGDI

BALI UTARA

TEORI

POSTSTRUKTURALISME, POSTMODERNISME DAN

GLOBALISME

TEORI DOMINASI DAN HEGEMONI TEORI ENDIDIKAN

KRITIS PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA DI