PENGARUH PENDAPATAN, DEPENDENCY RATIO, DAN TINGKAT PENDIDIKAN NELAYAN TERHADAP POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA NELAYAN DIPESISIR PANTAI DEPOK YOGYAKARTA.

(1)

i SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

DESI ATIKA KURNIASARI 12804241038

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

(QS. Al-Baqarah: 286)

Maka Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), tetaplah

bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.

(QS. Al-Insyirah: 6-8)

Mata uang yang paling berharga di dunia adalah waktu. Tidak seorangpun bisa membeli waktu yang sudah terpakai


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahim.

Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT atas sebagai karunia dan kemudahan yang diberikan sehingga karya ini dapat terselesaikan. Karya ini saya persembahkan sebagai tanda kasih sayang kepada:

Orang tua saya tercinta bapak Maryono dan Ibu Nuryati, terimakasih atas semua pengorbanan, kasih sayang, dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan dan kesuksesanku.

Kubingkiskan karya ini untuk:

Suamiku Saptono, terimakasih selalu mendukung dan menyemangati dalam setiap hariku.

Putri kecilku tercinta Sekar Afifa Ramadhani, yang selalu jadi penyemangat dan penghiburku dikala lelah dan letih.

Sahabat-sahabat seperjuanganku (Amalia, mbak Wulan, mbak Raras, Intan, mbak Nisa, dan Arif gembul) terimakasih atas dukungan, canda tawa, dan semangat yang kalian berikan untukku selama ini.


(7)

vii

PENGARUH PENDAPATAN, DEPENDENCY RATIO, DAN TINGKAT PENDIDIKAN NELAYAN TERHADAP POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA NELAYAN DIPESISIR PANTAI DEPOK YOGYAKARTA

Oleh:

Desi Atika Kurniasari NIM: 12804241038

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendapatan, dependency ratio, dan tingkat pendidikan nelayan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di pesisir Pantai Depok Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian Ex Post Facto. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di pesisir Pantai Depok Yogyakarta sebanyak 116 orang nelayan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 orang nelayan. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan angket, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dengan program spss versi 17 for window.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pendapatan nelayan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan dengan nilai

probability 0,030<0,05; 2) dependency ratio nelayan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan dengan nilai probability

0,000<0,05; 3) tingkat pendidikan nelayan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan dengan nilai probability

0,299>0,05; 4) secara bersama-sama/ simultan pendapatan, dependency ratio dan tingkat pendidikan nelayan berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan dengan nilai probability 0,000<0,05. Dan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,707 atau 70,7%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 70,7% tingkat konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, dependency ratio, dan tingkat pendidikan sedangkan sisanya 29,3% dipengaruhi oleh variabel bebas lain yang tidak diteliti.

Kata Kunci: Pendapatan, Dependency ratio, Tingkat Pendidikan, Pola Konsumsi, Nelayan.


(8)

viii

THE EFFECTS OF FISHERMEN’S INCOMES, DEPENDENCY RATIOS, AND EDUCATIONAL LEVELS ON THE CONSUMPTION PATTERNS OF THEIR HOUSEHOLDS IN THE COASTAL AREA OF DEPOK BEACH,

YOGYAKARTA

By:

Desi Atika Kurniasari NIM 12804241038

ABSTRACT

This study aims to find out the effects of fishermen’s incomes, dependency ratios, and educational levels on the consumption patterns of their households in the coastal area of Depok Beach, Yogyakarta.

This was an ex post facto study. The research population comprised all fishermen conducting fishing activities in the coastal area of Depok Beach, Yogyakarta, with a total of 116 fishermen. The sample in the study consisted of 30 fishermen. The sample was selected by means of the purposive sampling technique. The data were collected by a questionnaire, interviews, and documentation. The data analysis technique in the study was multiple regression analysis using the program of SPSS Version 17 for Windows.

The results of the study show that: 1) the fishermen’s incomes have a significant positive effect on the consumption patterns of their households with a probability value of 0.030<0.05; 2) the fishermen’s dependency ratios have a significant positive effect on the consumption patterns of their households with a probability value of 0.000<0.05; 3) the fishermen’s educational levels have an insignificant negative effect on the consumption patterns of their households with a probability value of 0.299>0.05; and 4) as an aggregate/simultaneously the fishermen’s incomes, dependency ratios, and educational levels on the consumption patterns of their households with a probability value of 0.000<0.05. The coefficient of determination (R2) is 0.707 or 70.7%. The coefficient shows that

70.7% of the consumption level is affected by the income, dependency ratio, and educational level while the remaining 29.3% is affected by other independent variables not under study.

Keywords: Incomes, Dependency Ratios, Educational Levels, Consumption Patterns, Fishermen


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan segala rahmat, karunia, dan petunjuk Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjud “Pengaruh Pendapatan, Dependency Ratio, Dan Tingkat Pendidikan Nelayan Terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga Nelayan Dipesisir Pantai Depok Yogyakarta” ini dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ekonomi Univeristas Negeri Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan masukan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd, M.A., Rektor UNY yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dr. Sugiharsono, M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi UNY yang telah memberikan ijin untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Tejo Nurseto, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ekonomi yang telah memberikan banyak hal dalam masa perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir skripsi.

4. Maimun Sholeh, M.Si, selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing dengan penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian serta memberikan saran yang membangun untuk penulisan skripsi ini.

5. Sri Sumardiningsih, M.Si selaku narasumber dan penguji utama yang telah memberikan arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Supriyanto, MM selaku ketua penguji yang telah memberikan arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Karyawan Jurusan Pendidikan Ekonomi yang telah memberikan bekal ilmu selama kuliah serta sumbangsih dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.


(10)

x

8. Seluruh teman-teman Pendidikan Ekonomi, khususnya teman-teman angkatan 2012 yang telah menjadi sahabat yang baik dalam masa perkuliahan, semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat kekurangan dan keterbatasan. Namun demikian, harapan besar bagi penulis bila skripsi ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan menjadi satu karya yang bermanfaat.

Penulis

Desi Atika Kurniasari NIM. 12804241038


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACK... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Pembatasan Masalah ... 12

D. Rumusan Masalah... 13

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Manfaat Penelitian ... 14

BAB II. KAJIAN TEORI ... 16

A. Deskripsi Teori ... 16

1. Konsumsi ... 16

a. Definisi Konsumsi ... 16

b. Pola Konsumsi ... 22


(12)

xii

2. Pendapatan ... 32

a. Definisi Pendapatan ... 32

b. Jenis-jenis Pendapatan ... 33

3. Dependency Ratio ... 36

4. Pendidikan ... 41

a. Definisi Pendidikan ... 41

b. Jenjang Pendidikan... 43

5. Nelayan ... 45

a. Definisi Nelayan... 45

b. Penggolongan Nelayan... 46

B. Penelitian yang Relevan ... 48

C. Kerangka Berpikir ... 54

D. Hipotesis Penelitian ... 56

BAB III. METODE PENELITIAN ... 58

A. Desain Penelitian ... 58

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 58

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 59

D. Definisi Operasional Variabel ... 60

E. Pengumpulan Data ... 62

1. Tekhnik Pengumpulan Data ... 62

a. Angket ... 62

b. Wawancara ... 63

c. Dokumentasi ... 63

2. Instrumen Penelitian... 64

F. Teknik Analisa Data ... 65

1. Uji Asumsi Klasik ... 65

2. Uji Hipotesis ... 67

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70


(13)

xiii

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 70

2. Deskripsi Data responden ... 72

B. Analisa Data ... 79

1. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 79

a. Uji Normalitas ... 79

b. Uji Multikolinearitas ... 81

c. Uji Heterokedastisitas ... 82

d. Uji Linearitas ... 82

2. Hasil Uji Hipotesis ... 83

a. Hasil Uji t ... 83

b. Hasil Uji F ... 86

c. Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 87

C. Pembahasan ... 89

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96

C. Keterbatasan Penelitian ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Persentase Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan Menurut

Kelompok Barang, Indonesia 2010-2014 ... 6

2.1 Daftar Alokasi Pengeluaran Konsumsi Masyarakat ... 26

3.1 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 64

4.1 Umur Responden ... 72

4.2 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ... 74

4.3 Tingkat Pendidikan Responden... 75

4.4 Jumlah Pendapatan Responden ... 77

4.5 Dependency Ratio ... 78

4.6 Hasil Uji Normalitas ... 80

4.7 Hasil Uji Multikolinearitas ... 81

4.8 Hasil Heterokedastisitas ... 82

4.9 Hasil Uji Linearitas ... 83

4.10 Hasil Koefisien Analisis Regresi ... 84

4.11 Hasil Anova ... 87

4.12 Hasil Koefisien Determinasi ... 87


(15)

xv

DA FTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Paradigma Penelitian ... 56

4.1 Diagram Lingkaran Umur Responden ... 73

4.2 Diagram Lingkaran Pendidikan Responden ... 76

4.3 Diagram Lingkaran Pendapatan Responden ... 77


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 102

2. Data Penelitian ... 109

3. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 111

4. Hasil Analisis Regresi ... 114

5. Pengkategorian Data Deskriptif... ... 115


(17)

1

Sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis bagi pembangunan nasional bangsa Indonesia baik dari aspek ekonomi, sosial, keamanan dan ekologi. Dengan total luas laut Indonesia sekitar 5,8 juta kilometer persegi (Km2), yang terdiri dari 2,3 juta Km2 perairan kepulauan, 0,8 juta Km2 perairan teritorial, dan 2,7 Km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, maka posisi Indonesia yang bersifat

archipelagic, yang terdiri dari 17.504 pulau, menjadi sangat penting dalam penyediaan bahan baku bagi masyarakat nasional dan internasional (Apridar, 2011: 21). Oleh karena kondisi geografis Indonesia sangat strategis, yang demikian ini sangat menguntungkan bagi bangsa dan negara Indonesia karena didukung adanya potensi atau kekayaan yang berupa sumber daya alam (SDA) yang ada di wilayah tersebut. Dilihat dari potensi lestari total ikan laut, ada 7,5 persen (6,4 juta ton/tahun) dari perairan laut Indonesia di satu sisi, sedangkan di sisi lain, berkisar 24 juta hektar perairan laut dangkal yang cocok untuk usaha budidaya ikan laut (mariculture), ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi sekitar 5 juta ton/tahun (Mulyadi, 2007)

Luas wilayah perairan Indonesia kurang lebih 5,8 juta kilometer persegi, dan jumlah nelayan di Indonesia hingga tahun 2009 tercatat 2.752.490 orang dengan total armada 596.230 unit, dan dari jumlah nelayan tersebut 90%- nya merupakan nelayan kecil dengan bobot mati kapal di bawah 30 Gross Tonnag


(18)

(GT) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008). Sebagai bangsa yang memiliki wilayah laut yang luas dan daratan yang subur, seharusnya Indonesia menjadi bangsa yang makmur. Menjadi tidak wajar manakala kekayaan yang demikian besar ternyata tidak dapat menyejahterakan rakyatnya.

Secara umum pemanfaatan sumber daya perikanan di Indonesia termasuk dalam kategori rendah. Hal ini terjadi karena produksi perikanan nasional rendah dan hampir delapan puluh persen disumbangkan oleh perikanan rakyat, yaitu nelayan dengan perahu tanpa motor dan petani ikan dengan sistem budidaya tradisional (Mulyadi, 2007: 27). Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) dihadapkan pada kondisi yang mendua, atau berada di

persimpangan jalan (Dahuri dkk, 2001). Di mana di salah satu sisinya terdapat banyak kawasan pesisir yang sudah tersentuh pembangunan dan dikembangkan dengan intensif. Sedangkan di salah satu sisi yang lain juga terdapat banyak kawasan pesisir yang sama sekali belum tersentuh pembangunan dan belum dimanfaatkan.

Desa nelayan/ pesisir merupakan entitas sosial, ekonomi, ekologi dan budaya, yang menjadi batas antara daratan dan lautan, di mana di dalamnya terdapat suatu kumpulan manusia yang memiliki pola hidup dan tingkah laku serta karakteristik tertentu. Mereka menjadi pelaku utama dalam pembangunan kelautan dan perikanan, serta pembentuk suatu budaya dalam kehidupan masyarakat pesisir. Sebagai wilayah yang homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah sentra produksi ikan namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan


(19)

tingkat pendapatan penduduknya tergolong di bawah garis kemiskinan, salah satu permasalahan pesisir yang tak kunjung usai adalah kemiskinan yang berkepanjangan/ struktural terutama di desa pesisir/ desa nelayan. Berdasarkan data dari Pendataan Program perlindungan sosial (PPLS 2008) menyebutkan bahwa terdapat 2.135.152 rumah tangga pesisir, diantaranya 849.674 (39,79%) kategori rumah tangga pesisir miskin, 390.216 (18,27%) kategori rumah tangga pesisir sangat miskin dan 892.262 (41,79%) kategori rumah tangga pesisir hampir miskin (TNP2K, 2011).

Kemiskinan nelayan tersebut menurut Kusnadi (2008:16), berakar pada tingginya aspek ketergantungan nelayan terhadap kegiatan usaha melaut dan keterampilan diversifikasi penangkapan nelayan yang masih rendah. Selain itu, kemiskinan nelayan juga disebabkan oleh sebab-sebab yang kompleks. Sebab-sebab yang kompleks tersebut dikategorikan menjadi dua yaitu Sebab-sebab yang bersifat internal dan eksternal yang saling berinteraksi dan saling melengkapi. Sebab-sebab kemiskinan nelayan tersebut antara lain: keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan, hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan, ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi laut dan gaya hidup yang dipandang “boros” sehingga kurang berorientasi ke masa depan, sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih meguntungkan pedagang perantara, terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca panen, kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak


(20)

memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun sehingga akan menggangu konsistensi perolehan pendapatan nelayan (Kusnadi, 2008: 19).

Pendapatan nelayan umunya ditentukan dengan cara bagi hasil, sehingga jarang sekali ada sistem gaji/upah tetap yang diterima oleh nelayan. Dalam sistem bagi hasil ini, yang menjadi pendapatan nelayan adalah pendapatan setelah dikurangi ongkos-ongkos eksploitasi yang telah dikeluarkan pada waktu beroperasi ditambah ongkos penjualan hasil. Sistem bagi hasil ini seringkali cenderung kurang menguntungkan nelayan terutama nelayan buruh. Beberapa hasil penelitian (Susilo, 1987; Wagito, 1994; Masyhuri,1996 dan 1998 dalam Mulyadi, 2007: 77) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dari pola bagi hasil tangkapan sangatlah timpang diterima antara pemilik dan awak kapal. Secara umum hasil bagi bersih yang diterima awak kapal dan pemilik adalah separo-separo. Akan tetapi, bagian yang diterima awak kapal harus dibagi lagi dengan sejumah awak kapal yang terlibat dalam aktivitas kegiatan di kapal. Semakin banyak jumlah awak kapal, semakin kecil bagian yang diperoleh setiap awaknya (Mulyadi, 2007:77).

Pada umumnya, nelayan di Indonesia mengalami keterbatasan teknologi penangkapan sehingga wilayah operasi penangkapan pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan pantai. Di samping itu, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi dan tidak setiap saat nelayan bisa melaut, terutama pada musim ombak, yang berlangsung lebih dari satu bulan. Akibatnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa diperoleh. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan nelayan kerana secara riil rata-rata pendapatan perbulan menjadi lebih kecil, dan pendapatan yang diperoleh


(21)

pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi pada saat musim paceklik (Mulyadi, 2007: 49). Selain itu, tingkat kesejahteraan nelayan juga sangat ditentukan oleh hasil tangkapannya. Banyaknya tangkapan tercermin pula besar pendapatan yang diterima dan pendapatan tersebut sebagian besar untuk keperluan konsumsi keluarga. Dengan demikian tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga atau kebutuhan fisik minimum (kfm) sangat ditentukan oleh pendapatan yang diterima (Sujarno, 2008). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik hasil sensus pertanian 2013, Rata-rata pendapatan nelayan dari hasil tangkapan di laut sebesar Rp 28,08 juta/tahun, lebih kecil dibandingkan pendapatan pembudi daya ikan di perairan umum dan di tambak yang mencapai Rp 34,80 juta/tahun dan Rp 31,32 juta/tahun (Badan Pusat Statistik, 2013). Pendapatan rata-rata yang rendah tersebut menyebabkan nelayan menjadi miskin dan terbatas memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara itu dalam menyikapi paceklik (Kusnadi, 2008: 2), sebagian istri nelayan dengan terpaksa menjual segala barang rumah tangga yang dianggap berharga atau menggadaikannya ke lembaga-lembaga penggadaian untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Menurut Rahman dkk (2006:), Pendapatan nelayan secara langsung maupun tidak langsung, akan sangat mempengaruhi pola konsumsi serta kesejahteraan hidup mereka. Pendapatan yang diperoleh akan dialokasikan untuk mencukupi segala kebutuhan primer maupun sekundernya baik konsumsi pangan maupun non pangan. Berdasarkan data BPS, pengeluaraan konsumsi penduduk Indonesia dipilah menjadi 2 yaitu makanan dan non-makanan, di bawah ini merupakan data


(22)

pengeluaran konsumsi rumah tangga Indonesia bersumber data BPS tahun 2010-2014 yaitu:

Tabel 1.1 Persentase pengeluaran rata-rata perkapita sebulan menurut kelompok barang, Indonesia 2010-2014

Kelompok

Barang 2010 2011 2012 2013 2014 Mar Sept Mar Sept Mar Sept Mar Sept Makanan 51,43 49,45 48,46 52,08 47,71 50,66 47,19 50,04 46,45

Non-makanan 48,57 50,55 51,54 48,92 52,29 49,34 52,81 49,96 53,55 Sumber: Publikasi resmi BPS 2015, diolah

Berdasarkan data BPS mengenai persentase pengeluaran rata-rata perkapita sebulan menurut kelompok barang, Indonesia 2010-2014 terlihat bahwa, baik pada kelompok makanan maupun non makanan dari tahun 2010- 2014 terjadi kondisi fluktuasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kecenderungan pola konsumsi masyarakat Indonesia masih cenderung pada konsumsi makanan/pangan, yang artinya kesejahteraan ekonomi juga masih relatif rendah. Begitu juga dengan kecenderungan pola konsumsi dalam rumah tangga nelayan, meskipun nelayan memiliki pendapatan yang relatif besar, namun penggunaan pendapatan nelayan relatif diprioritaskan pada kebutuhan dasar (konsumsi pangan) dan bahkan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat seperti rokok, jajan, atau minuman keras (Muflikhati dkk, 2010). Sehingga kondisi nelayan juga bisa dikatakan relatif belum sejahtera, karena pendapatan dari hasil melaut sebagian besar masih digunakan untuk konsumsi pangan.


(23)

Pekerjaan sebagai nelayan yang bekerja di laut merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan sangat dipengaruhi oleh faktor alam, sehingga pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut nelayan tidak pasti dan berfluktuasi sepanjang tahun yang didasarkan pada musim serta harga ikan. Bagi nelayan, musim timur adalah musim keberuntungan bagi nelayan karena biasanya musim timur merupakan musim ikan dimana hasil tangkapan mereka bisa sangat berlimpah, namun sebaliknya pada musim barat, merupakan musim paceklik bagi nelayan karena pada musim barat ini biasaya cuacanya buruk dan masa-masa peralihan musim menyebabkan angin bertiup kencang yang menyebabkan gelombang besar dan badai sehingga akan sangat berbahanya kalau nelayan pergi melaut.

Kegiatan perekonomi nelayan saat ini semakin sulit. Kondisi sulit tersebut diakibatkan oleh jumlah sumber daya ikan yang terus terbatas ditambah semakin bertambahnya jumlah nelayan menyebabkan tingkat persaingan diantara para nelayan menjadi semakin tinggi. Keterbatasan nelayan dari sisi modal, teknologi, tingkat pendidikan, rendahnya kemampuan dalam memprediksi musim ikan, ketergantungan akan musim, juga semakin menyulitkan para nelayan untuk menjalankan kegiatan ekonomi mereka serta mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangga mereka.

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memilik garis pantai sepanjang 113 Km, yang terbentang pada 3 kabupaten yaitu kabupaten Gunung Kidul (71 Km), Bantul (17 Km), dan Kulon Progo (25 Km) serta wilayah perairan laut selatan DIY dan Samudera Hindia yang memiliki potensi sumber daya perikanan serta jasa jasa lingkungan (wisata Pantai) yang sangat menarik dan bernilai ekonomis


(24)

penting. Potensi lestari dan produksi hasil perikanan bernilai ekonomis penting (ikan pelagis besar dan kecil dan lobster) diperairan pesisir Laut Selatan DIY serta Samudera Hindia cukup besar, tapi tingkat eksploitasinya baru mencapai 28,04% (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DIY, 2012).

Berdasarkan data BPS (2010: 9), produksi perikanan laut dari hasil penangkapan ikan di DIY pada tahun 2005 tercatat sebesar 1.733 ton menurun pada tahun 2006 menjadi 1720 ton sebagai akibat gelombang tinggi selama tahun tersebut. Pada tahun 2009 terjadi panen raya ikan laut yang mencapai 4.238 ton. Tingginya produksi pada tahun 2009 disebabkan oleh cuaca yang kondusif bagi para nelayan, terutama di wilayah perairan kabupaten Gunung Kidul.

Kabupaten Bantul merupakan bagian integral dari wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis, wilayah Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah di Provinsi DIY yang berada di bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Kabupaten Bantul mempunyai luas 506,85 km2 terletak pada koordinat 07º44’04” - 08º00’27” Lintang Selatan dan 110º12’34” - 110º31’08” Bujur Timur (BPS Bantul, 2001), sebagian besar (78,66%) luas wilayah merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 100 m dpl. Dengan kondisi geografis seperti itu Kabupaten Bantul memiliki banyak pesisir pantai yang dijadikan sebagai obyek wisata maupun obyek wisata kuliner laut. Sektor pertanian dan perikanan sendiri menjadi penyumbang PDRB terbesar kedua di Kabupaten Bantul pada tahun 2014 dengan nilai sebesar Rp. 2.712.191,7 milliar (Publikasi PDRB BPS Bantul 2014).


(25)

Kegiatan perikanan laut merupakan kegiatan yang baru berkembang sejak tahun 1995 dengan dirintisnya usaha penangkapan ikan di wilayah Pantai Depok dan Pandansimo yang didorong adanya alih teknologi dari nelayan pendatang. sehingga terjadi pergeseran aktivitas ekonomi penduduk dari petani menjadi nelayan dan pedagang serta jasa wisata. Ketiga kegiatan tersebut saling menunjang dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian dan pendapatan masyarakat dan wilayah pesisir di Kabupaten Bantul.

Di Kabupaten Bantul, nelayan umumnya menangkap ikan di laut dengan menggunakan alat tangkap berupa jaring dan mereka rata rata (48,21%) menggunakan kapal dengan bobot mati kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT) dan 42,86% lainnya tanpa kapal. Dilihat dari status nelayan tersebut di kapal, 90,03% adalah pekerja, 8,33% adalah pemilik yang sekaligus merangkap sebagai pekerja dan hanya sekitar 1,64% yang merupakan pemilik kapal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, 2015).

Pendidikan nelayan yang ada di Kabupaten Bantul cukup rendah yaitu setara SD dan SMP dengan struktur rumah tangga dengan kriteria keluarga sedang yang beranggotakan 4-6 orang, sebanyak 53,74%, dan rumah tangga dengan kriteria keluarga kecil yang beranggotakan 0-3 orang, sebanyak 44,04%, dan sisanya adalah rumah tangga dengan kriteria keluarga besar yang beranggotakan lebih besar dari 6 orang. Di sisi lain, nelayan Kabupaten Bantul rata rata berpenghasilan kurang dari Rp.500.00,00 atau hanya sekitar 16,22 % nelayan yang penghasilannya di atas Rp.1.000.000,00 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, 2015).


(26)

Sektor nelayan menjadi pilihan masyarakat Desa Parangtritis khususnya Depok dikarenakan lokasi Depok yang berdekatan dengan laut serta telah ada embrio nelayan yaitu komunitas jaring eret yang menjadi cikal bakal lahirnya aktivitas nelayan/pengangkapan ikan dengan menggunakan perahu di Pesisir Pantai Depok. Komunitas jaring eret sendiri adalah mereka yang melakukan pencarian ikan dengan menebarkan jaring melalui pinggiran pantai dengan cara ditarik. Penduduk Desa Parangtritis khususnya Depok yang menggeluti aktivitas kenelayanan dapat dikategorikan sebagai nelayan tradisional karena sarana dan prasarana yang digunakan untuk melaut masih tradisional. Keterbatasan sarana yang digunakan, maka umumnya nelayan Pantai Depok memiliki jangkauan wilayah penangkapan ikan rata-rata < 4 mil laut. Nelayan Pantai Depok pergi melaut pada saat pagi hari dan kembali saat siang hari pada hari yang sama (one day fishing).

Nelayan Pantai Depok sangat tergantung pada pemilik modal. Hal ini disebabkan pendapatan mereka tak menentu, baik untuk memenuhi kebutuhan produksi pengolahan hasil tangkapan ikan yang diperoleh maupun pemenuhan kebutuhan sehari hari. Pada saat musim panen, pendapatan yang dihasilkan nelayan bisa dibilang cukup memadai, akan tetapi pada saat musim paceklik/ musim hujan dengan intensitas badai yang besar, tingkat pendapatan mereka bisa dikatakan sangat rendah bahkan kadang-kadang para nelayan memutuskan tidak melaut dengan alasan keselamatan sehingga menyebabkan nelayan tidak memperoleh pendapatan sama sekali. Pendapatan dari melaut yang tak menentu tersebut menyebabkan nelayan Pantai Depok harus mencari pekerjaan


(27)

lain/sampingan guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Biasanya dengan bekerja sebagai petani atau peternak. Rumah tangga nelayan Pantai Depok sendiri, rata-rata merupakan rumah tangga dengan struktur rumah tangga sedang, jumlah anggota keluarga sekitar 4-6 orang dengan beban tanggungan rumah tangga rata-rata 2-3 orang. Tingkat pendidikan nelayan Pantai Depok sendiri bisa dikatakan masih cukup rendah. Rata rata mereka merupakan nelayan dengan tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan yaitu SD dan SMP (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, 2015).

Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini menjadi menarik untuk dilaksanakan di Pesisir Pantai Depok Desa Parangtristis, terutama mengenai seperti apa pengaruh pendapatan nelayan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok Desa Parangtritis, pengaruh struktur keluarga nelayan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok Desa Parangtritis, pengaruh tingkat pendidikan nelayan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Yogyakarta.

B.Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan antara lain:

1. Sebagian besar nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil dengan bobot mati kapal di bawah 30 Gross Tonnage.

2. Rendahnya tingkat pendapatan nelayan.


(28)

4. Pendapatan nelayan sebagian besar digunakan untuk kebutuhan dasar (konsumsi pangan).

5. Pemanfaatan potensi sumber daya Perikanan dan kelautan di DIY masih rendah, eksploitasinya baru mencapai 24,08%.

6. Tingkat pendidikan nelayan yang relatif rendah. C.Pembatasan Masalah

Permasalahan pola konsumsi rumah tangga nelayan merupakan permasalahan yang kompleks karena menyangkut perilaku seseorang/ kelompok dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola konsumsi seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain: pendapatan, tingkat harga, ketersedian akan barang dan jasa, tingkat bunga, perkiraan masa depan, dan juga faktor-faktor sosial ekonomi lainya. Dalam penelitian ini, permasalahan akan dibatasi pada masalah pola konsumsi rumah tangga nelayan yang dipengaruhi oleh faktor pendapatan, dependency ratio, dan tingkat pendidikan nelayan. Faktor pendapatan dipilih karena besar kecilnya pendapatan seseorang akan sangat mempengaruhi besar kecilnya proporsi pengeluaran konsumsi seseorang/ rumah tangga. Sedangkan faktor dependency ratio dipilih karena besar kecilnya rasio beban ketergantungan anggota keluarga diduga akan mempengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga. Semakin besar jumlah anggota keluarganya, apalagi jika banyak yang tidak bekerja maka pengeluaran untuk konsumsi makanan akan semakin besar begitu juga sebaliknya. Serta faktor tingkat pendidikan dipilih karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat konsumsinya juga akan semakin tinggi, sebab pada


(29)

saat seseorang atau suatu keluarga semakin berpendidikan tinggi maka kebutuhan hidupnya semakin banyak.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh pendapatan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul?

2. Bagaimana pengaruh dependency ratio terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul?

3. Bagaimana pengaruh tingkat pendidikan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul?

4. Bagaimana pengaruh pendapatan, dependency ratio, dan tingkat pendidikan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul?

E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengaruh pendapatan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul.


(30)

2. Pengaruh dependency ratio terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul.

3. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul.

4. Pengaruh pendapatan, dependency ratio, dan tingkat pendidikan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan di Pesisir Pantai Depok, Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk menambah pengetahuan faktor faktor yang mempengaruhi pola konsumsi serta dapat menjadi bagian dalam usaha pengembangan teori konsumsi dan analisisnya untuk kepentingan penelitian di masa yang akan datang serta bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui dan memperdalam pengetahuan tentang pola konsumsi.


(31)

b. Bagi Penelitian selanjutnya

Penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan bahan informasi yang dapat digunakan sebagai penelaah lebih lanjut maupun bahan pembangunan.

c. Bagi UNY

Penelitian ini sebagai tambahan untuk menambah referensi perpustakaan dan menambah materi tentang pola konsumsi rumah tangga masyarakat sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan acuan bagi mahasiswa atau yang berkepentingan untuk bahan penelitian selanjutnya.


(32)

16 BAB II KAJIAN TEORI A.Landasan Teori

1. Konsumsi

a. Definisi Konsumsi

Menurut Mankiw (2006:11), konsumsi merupakan pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga. Barang mencakup pembelanjaan rumah tangga pada barang yang tahan lama, kendaraan dan perlengkapan dan barang tidak tahan lama seperti makanan dan pakaian. Jasa mencakup barang yang tidak berwujud konkrit, termasuk pendidikan. Sedangkan menurut T. Gilarso dalam bukunya pengantar ilmu ekonomi, konsumsi adalah titik pangkal dan tujuan akhir seluruh kegiatan ekonomi masyarakat. Kalau produksi diartikan “menciptakan utility’’dalam bentuk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan manusia, maka konsumsi berarti memakai/ menggunakan utility itu untuk memenuhi kebutuhan (T. Gilarso, 1994: 101). Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa konsumsi adalah sebagai suatu kegiatan untuk memanfaatkan, mengurangi, dan menghabiskan nilai guna dari suatu barang/ jasa guna memenuhi kebutuhan hidup demi menjaga kelangsungan hidup seseorang. Tingkat konsumsi seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pula jumlah pengeluaran konsumsinya.


(33)

Teori Konsumsi pertama kali dikemukakan oleh John Maynard Keynes, dengan mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kasual, inti teori konsumsi Keynes yang Pertama dan terpenting adalah Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi marginal atau MPC (marginal propensity to consume) adalah jumlah yang dikonsumsi dalam setiap tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu.

Kecenderungan mengkonsumsi marginal merupakan rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk mempengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi. Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata atau APC (average propensity to consume), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin. Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peranan penting. Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Dalam jangka pendek orang dapat berkonsumsi dengan menggunakan tabungan yang lalu, sehingga jika ini terjadi maka orang


(34)

tersebut telah melakukan tabungan negatif/dissaving (Mankiw, 2006: 447).

Konsep konsumsi Keynes, didasarkan pada hipotesis bahwa terdapat hubungan empiris yang stabil antara konsumsi dengan pendapatan. Bila jumlah pendapatan meningkat, maka konsumsi secara relatif akan meningkat, tapi dengan proporsi yang lebih kecil daripada kenaikan pendapatan itu sendiri. Hal ini dikarenakan hasrat konsumsi yaitu kecenderungan konsumsi marginal atau konsumsi tambahan akan menurun jika pendapatan meningkat. Keynes beranggapan bahwa tidak seorang pun yang akan mengkonsumsikan seluruh kenaikan pendapatannya, tapi ia juga menganggap bahwa semakin kaya seseorang tersebut maka akan semakin berkurang konsumsinya. Anggapan mengenai berkurangnya kecenderungan mengkonsumsi secara marginal ialah bagian penting dalam teori keynes.

Milton Friedman mengemukakan teori dengan hipotesis pendapatan permanen untuk menjelaskan perilaku konsumsi. Hipotesis pendapatan permanen Friedman ini melengkapi hipotesis daur hidup Modigliani. Keduanya menggunakan teori konsumen Irving Fisher untuk menyatakan bahwa konsumsi seharusnya tidak bergantung pada pendapatan sekarang. Namun tidak seperti hipotesis Daur-Hidup, yang menekankan pola reguler selama masa hidup seseorang, hipotesis pendapatan permanen menemukan bahwa manusia mengalami perubahan acak dan temporer dalam pendapatan mereka dari tahun ke tahun.


(35)

Menurut Friedman, pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi 2 yaitu pendapatan permanen dan pendapatan transitoris. Di mana pendapatan permanen adalah bagian pendapatan yang orang harapkan untuk terus bertahan di masa depan. Pendapatan transitoris adalah bagian pendapatan yang tidak diharapkan untuk terus bertahan.

Friedman berasumsi bahwa konsumsi seharusnya tergantung pada pendapatan permanen, karena konsumen menggunakan tabungan dan pinjaman untuk meratakan konsumsi dalam menanggapi perubahan perubahan transitoris pendapatan. Menurut hipotesis pendapatan permanen, kecenderungan mengkonsumsi rata–rata tergantung pada rasio pendapatan permanen terhadap pendapatan sekarang. Bila pendapatan sekarang secara temporer naik di atas pendapatan permanen, kecenderunagan mengkonsumsi rata rata secara temporer akan turun; bila pendapatan sekarang turun secara temporer di bawah pendapatan permanen, kecenderungan mengkonsumsi rata rata secara temporer akan naik (Mankiw, 2006: 465).

Rumah tangga dengan pendapatan permanen yang tinggi secara proporsional memiliki konsumsi yang lebih tinggi. Jika seluruh variasi dalam pendapatan sekarang berasal dari pendapatan permanen, maka kecenderungan mengkonsumsi rata-rata akan menjadi sama untuk seluruh rumah tangga. Namun sebagian variasi pendapatan berasal dari unsur transitor, dan rumah tangga dengan pendapatan transitoris yang tinggi tidak memiliki konsumsi yang lebih tinggi. Karena itu, para


(36)

peneliti menemukan bahwa rumah tangga berpendapatan tinggi memiliki, secara rata-rata, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata yang lebih rendah.

Sedangkan teori konsumsi menurut pandangan James Dusenberry, adalah bahwa keputusan-keputusan konsumsi dan tabungan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana seseorang hidup. Teori James Dusenberry ini disebut teori konsumsi dengan hipotesis pendapatan relatif. Jadi menurut Dusenberry, seseorang dengan pendapatan tertentu berkonsumsi lebih banyak bila dia hidup di lingkungan orang orang kaya dari pada bila ia hidup di lingkungan orang orang yang lebih miskin. Tambahan pula, perilaku konsumsi di lingkungan adalah relatif terhadap pola pola konsumsi dari para tetangganya, (yaitu dia menggunakan uang agar dapat memelihara suatu status ekonomi tertentu di dalam lingkunganya). Jika distribusi pendapatan relatif konstan, mungkin sekali APC seseorang konstan karena konsumsinya mempunyai hubungan dengan pendapatanya yang relatifnya di dalam suatu masyarakat dan tidak dihubungkan dengan tingkat pendapatan absolut. Karena itu secara agregat, kita mengaharapkan suatu hubungan proporsional antara konsumsi agregat dengan pendapatan disposabel agregat (Eugene a. Diulio, 1984). Selain itu Duesenberry juga berteori bahwa rumah tangga itu senang memelihara suatu standar hidup tertentu, menurut Duesenberry bahwa cukup beralasan untuk menyajikan fungsi konsumsi rumah tangga


(37)

sebagai C= f (Yc, Ypp), dimana Yc menunjukkan pendapatan sekarang dan Ypp menunjukan pendapatan tertinggi sebelumnya. Jika pendapatan sekarang selalu lebih tinggi dari pendapatan tertinggi sebelumnya, konsumsi dihubungkan dengan tingkat pendapatan relatif seseorang didalam suatu masyarakat. Jika pendapatan sekarang jatuh di bawah pendapatan tertinggi sebelumnya, konsumsi dihubungkan dengan standar hidup yang ditetapkan oleh pendapatan tertinggi sebelumnya. Jadi menurut teori Duesenberry, rumah tangga akan merubah MPC mereka bilamana tingkat pendapatan turun supaya apat memelihara standar hidup tertentu. Di dalam jangka pendek, terdapat situasi dimana hubungan antara konsumsi agregat dan pendapatan disposabel agregat tidak proporsional bila tingkat pendapatan sekarng jatuh dibawah pendapatan sebelumnya yang tinggi (Eugene a. Diulio, 1984).

James Dusenberry (dalam Guritno dan Algifari, 1998:71) juga menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat ditentukan oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Jika pendapatan bertambah maka konsumsi akan bertambah, dengan proporsi tertentu. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi dengan mengurangi besarnya tabungan. Jika pendapatan berkurang, konsumen akan mengurangi pengeluaran konsumsinya, dengan proprosi penurunan yang lebih rendah dibandingkan proporsi kenaikan pengeluaran konsumsi jika penghasilan naik. Dua asumsi dasar yang digunakan Dussenberry dalam teori konsumsi dengan hipotesis pendapatan relatif adalah bahwa,


(38)

konsumsi seseorang akan tergantung dari penghasilan saat ini dan penghasilan tertinggi tahun sebelumnya (Ratchet Effect) perilaku konsumsi seseorang akan tergantung pula dengan perilaku konsumsi lingkungannya. (Demonstration Effect) (Guritno dan Algifari, 1998:72). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam teori dan konsumsi berdasarkan hipotesis relatif, terdapat kaitan antara pendapatan dengan pengeluaran konsumsi masyarakat serta perilaku konsumsi masyarakat terhadap pola perilaku individu.

b. Pola Konsumsi

Pola konsumsi merupakan gambaran kecenderungan mengkonsumsi mayarakat yang mengarah kepada unsur makanan atau non makanan. Pola konsumsi dapat dikenali berdasarkan alokasi penggunaannya. Secara garis besar alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat digolongkan ke dalam dua kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk bukan makanan. Pola konsumsi masyarakat yang belum mapan biasanya lebih di dominasi oleh konsumsi kebutuhan kebutuhan pokok atau primer. Sedangkan pengeluaran konsumsi masyarakat yang sudah mapan cenderung lebih banyak teralokasikan ke kebutuhan sekunder atau bahkan tersier (Dumairy, 1999: 115-117).

Secara Mikro kondisi tersebut seperti apa yang dijabarkan dalam Hukum Engel yaitu: Makin tinggi penghasilan suatu keluarga, makin besar pula jumlah uang yang dikeluarkan untuk kebutuhan primer,


(39)

khususnya makanan. Tapi secara relatif (dinyatakan sebagai % dari seluruh pengeluarannya) bagian yang dikeluarkan untuk kebutuhan primer makin kecil, sedangkan bagian untuk kebutuhan lain-lain semakin besar. Besar kecilnya pendapatan dan pengaruhnya terhadap jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi dapat digambarkan dalam suatu kurva Engel yaitu:

X X

X1 X1

X2 X2

M1 M2 M M1 M2 M Keterangan:

X : Jumlah barang P : Jumlah Penghasilan

Menurut Sonny (2007:92), Kurva Engel ialah sebuah garis yang menunjukkan hubungan antara berbagai jumlah barang dan jasa yang akan dibeli pada berbagai tingkat pendapatan yang dimiliki ceteris

paribus. Kurva yang menggambarkan hubungan antara kuantitas barang

yang dikonsumsi dengan besarnya pendapatan. Sehingga Kurva Engel dapat didefinisikan sebagai kurva yang menggambarkan hubungan jumlah komoditi barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat pendapatan yang dimiliki ceteris paribus. Dari kurva tersebut di atas dapat dideskripsikan bahwa, kurva (a) mempunyai


(40)

kemiringan dari kiri ke kanan atas sedikit datar, yang artinya adanya perubahan pendapatan konsumen tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi secara mencolok. Kondisi ini dapat diartikan pula bahwa barang akan tetap dibeli walaupun pendapatan konsumen rendah, tapi jumlah tersebut tidak akan bertambah dengan cepat dengan adanya bertambahnya pendapatan. Kemudian pada kurva (b) dapat dijabarkan bahwa kurva memiliki kemiringan dari kiri bawah ke kanan atas tetapi relatif tegak. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya perubahan pendapatan konsumen akan diikuti oleh perubahan jumlah barang yang dibeli secara mencolok.

Menurut Lie Goan Hong (2004) dalam Miftakhul (2012: 27), dijelaskan bahwa pola konsumsi ialah berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang yang merupakan ciri khas suatu kelompok masyarakat. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (2010), pola konsumsi rumah tangga didefinisikan sebagai proporsi pengeluaran rumah tangga yang dialokasikan untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/ keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan


(41)

mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, pola konsumsi masyarakat di Indonesia dibedakan menjadi pola konsumsi berdasarkan kelompok barang makanan dan kelompok barang bukan makanan, yang terlihat seperti tabel di bawah ini:


(42)

Tabel 2.1 Daftar alokasi Pengeluaran Konsumsi Masyarkat Kelompok Barang Makanan Kelompok Barang Non Makan 1. Padi-padian/ Cereals

2. Umbi-umbian/ Tubers 3. Ikan/ Fish

4. Daging/ Meat

5. Telur dan susu/ Eggs and milk 6. Sayur-sayuran/ Vegetables

7. Kacang-kacangan/ Legumes 8. Buah-buahan/ Fruits

9. Minyak dan lemak/ Oil and Fats

10.Bahan minuman/ Beverage stuff

11. Bumbu-bumbuan/ Spices

12.Konsumsi lainnya/

Miscellaneous food items 13.Makanan dan minuman jadi/

Prepared food and beverages

14. Tembakau dan sirih/ Tobacco and betel

1. Perumahan dan fasilitas rumah tangga/ Housing and household facility

2. Barang dan jasa/ Goods and services

a. Bahan Perawatan badan (sabun, pasta gigi, parfum, dsb)

b. Bacaan (koran, majalah, buku,internet

c. Komunikasi

(handphone, telepon rumah)

d. Kendaraan bermotor e. Pembantu dan sopir 3. Pakaian, alas kaki, dan

tutup kepala/ Clothing, footwear and headgear

4. Biaya Pendidikan 5. Biaya Kesehatan

6. Barang-barang tahan lama/ Durable goods

7. Pajak dan asuransi/ Taxes and insurance

8. Keperluan pesta dan upacara/ Parties and ceremonies


(43)

c. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Kecenderungan mengkonsumsi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor sosial maupun faktor ekonomi. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pola atau tindakan seseorang individu untuk melakukan konsumsi (Godam dalam Sri Mulyani, 2015: 22), antara lain:

1) Pendapatan

Untuk membeli barang konsumsi individu menggunakan uang dari penghasilan atau pendapatan. Tingkat pendapatan berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran konsumsi yang dilakukan. Pada umumnya semakin tinggi pendapatan individu/rumah tangga maka pengeluarna konsumsinya juga akan mengalami kenaikan.

2) Tingkat Harga

Apabila harga barang/jasa kebutuhan hidup meningkat maka konsumen harus mengeluarkan tambahan uang untuk bisa mendapatkan barang/jasa tersebut. Atau, konsumen dapat mengatasi dengan mengurangi jumlah barang/jasa yang dikonsumsi, karena kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil masyarakat berkurang. 3) Ketersediaan Barang dan Jasa

Meskipun konsumen memiliki uang untuk membeli barang konsumsi, ia tidak dapat mengkonsumsi barang/jasa yang dibutuhkan apabila barang/jasa tersebut tidak tersedia. Semakin banyak


(44)

barang/jasa tersedia, maka pengeluaran konsumsi masyarakat/individu akan cenderung semakin besar.

4) Tingkat Bunga

Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.

5) Perkiraan Masa Depan

Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut T.Gilarso dalam bukunya pengantar ilmu ekonomi mikro disebutkan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi pola konsumsi antara lain:

a) Faktor sosial

Orang hidup dalam masyarakat, dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Sudah disebutkan bahwa gaya hidup orang kaya menjadi contoh yang suka ditiru oleh golongan masyarakat lainnya. (demostration effect); padahal pola konsumsi golongan kaya sebagian hanya untuk pamer (conspicous consumption); barang dibeli justru karena mahal. Dalam masyarakat kita unsur “tidak mau kalah


(45)

dengan tetangga” masih amat kuat, juga pengaruh iklan ternyata juga kuat sekali.

b) Faktor Ekonomi

Selain harga barang, pendapatan konsumen dan adanya substitusi, ada beberapa hal lain yang ikut berpengaruh terhadap permintaan orang/keluarga:

(1) Lingkungan fisik (panas, dingin, basah, kering, dsb). (2) Kekayaan yang sudah dimiliki.

(3) Pandangan/harapan menegenai penghasilan di masa yang akan datang.

(4) Besarnya keluarga (keluarga inti, program KB).

(5) Tersedia tidaknya kredit murah untuk konsumsi (koperasi, bank). c) Faktor individual:

Setiap orang mempunyai sifat, bakat, minat, motivasi, dan selera sendiri. Pola konsumsi mungkin juga dipengaruhi oleh faktor emosional. Sebagian hal ini perlu bantuan ilmu psikologi untuk menjelaskannya. Tetapi ada juga faktor objektif, umur, kelompok umur (anak, remaja, dewasa, berkeluarga) dan lingkungan yang mempengaruhi tidak hanya apa yang dikonsumsikan tetapi juga kapan, berapa, model-model nya, dan sebagainya.

d) Faktor kebudayaan:

Pertimbangan berdasaarkan agama dan adat kebiasaan dapat membuat keputusan untuk konsumsi jauh berbeda dengan apa yang


(46)

diandaikan dalam teori. Misalnya keperluan korban, pakaian, peringatan hari ke – 7, ke-35, ke 100, dan ke -1000 bagi orang yang telah meninggal, kebiasaan berhutang dll (T.Gilarso, 1994: 101).

Selain itu Gilarso juga menyebutkan bahwa pola konsumsi juga di pengaruhi oleh:

(1) Sistem keluarga semakin diganti dengan sistem keluarga kecil yang berdiri sendiri dan tertutup.

(2) Banyak istri juga bekerja di luar rumah, di kantor–kantor, dan perusahaan-perusahaan.

(3) Sebagian dari pekerjaan yang dulu dikerjakan sendiri di rumah makin lama makin dialihkan ke perusahaan atau pabrik.

(4) Banyak keluarga muda dengan tingkat penghasilan masih rendah, padahal membutuhkan penghasilan untuk konsumsi sehingga sangat sulit untuk menabung.

(5) Taraf pendidikan masyarakat telah mulai naik sehingga diperlukan macam-macam hal tambahan yang tidak dibutuhkan oleh orang yang tidak sekolah.

(6) Pertumbuhan kota-kota besar dengan gaya hidup yang lain daripada desa, dengan sekolah-sekolah dan hiburannya, model pakaiannya, toko-tokonya yang mewah, listriknya, lalu lintas yang ramai, secara otomatis akan merubah pola kebutuhan Masyarakat.


(47)

(7) Masih ditambah pengaruh dari periklanan dan media massa, kemungkinan membeli barang dengan kredit, contoh pola hidup orang kaya baru, dan 1001 faktor lain lagi (T.Gilarso, 1994: 101).

Selain itu pola konsumsi juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk, semakin banyak jumlah penduduk akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relative rendah. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi.

Komposisi Penduduk, Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara lain :

a) Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau produktif (15-64 tahun), makin besar tingkat konsumsi. Sebab makin banyak penduduk yang bekerja, penghasilan juga makin besar.

b) Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya juga makin tinggi, sebab pada saat seseorang atau suatu keluarga makin berpendidikan tinggi maka kebutuhan hidupnya makin banyak. c) Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban),

pengeluaran konsumsi juga semakin tinggi. Sebab umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif dibanding masyarakat pedesaan (sumber: sunarto.staff.gunadarma/teori_konsumsi.ac.id)

Konsumsi rumah tangga tidak hanya bergantung pada pendapatan saat ini, rumah tanggga menentukan konsumsi dan penawaaran tenaga


(48)

kerja secara serentak, dan mereka memandang ke deepan dalam mengambil keputusan mereka. Menurut Case fair Faktor- faktor berikut ini mempengaruhi konsumsi rumah tangga dan keputusan penawaran tenaga kerja:

(a) Tingkat upah riil saat ini dan yang diperkirakan. (b)Nilai kekayaan awal.

(c) Pendapatan non-tenaga kerja saat ini dan yang diperkirakan. (d)Tingkat bunga.

(e) Pembayaran transfer dan tingkat pajak saat ini dan yang diperkirakan (Case fair, 2007). Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, maka dalam penelitian ini faktor faktor yang akan dikaji kaitannya dengan pola konsumsi rumah tangga nelayan dipilih faktor yang mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga nelayan yaitu faktor pendapatan, struktur keluarga dan tingkat pendidikan.

2. Pendapatan

a. Definisi Pendapatan

Keynes dalam bukunya General Theory of Employment, Interest,

and Money, menekankan bahwa konsumsi rumah tangga (C) bergantung

pada pendapatan. Meskipun Keynes percaya bahwa banyak faktor, antara lain tingkat bunga dan kekayaan, cenderung mempengaruhi tingkat belanja konsumsi, ia berfokus pada pendapatan saat ini:

“jumlah konsumsi agregat amat tergantung pada jumlah pendapatan agregat. Hukum dasar psikologi, yang kita jadikan sandaran


(49)

utama...dari pengetahuan kita tentang sifat manusia dan dari fakta pengalaman terperinci, adalah bahwa laki-laki (dan perempuan juga) bersedia, sebagai aturan dan secara rata-rata, meningkatkan konsumsi mereka sewaktu pendapatan anaik, tapi tidak sebanyak peningkatan

pendapat mereka”(Case and Fair, 2007: 282).

Pada dasarnya pendapatan seseorang itu sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaannya. Pendapatan atau pengahasilan akan diperoleh seseorang sebagai hasil atau balas setelaah seseorang bekerja. Hal ini sesuai dengan pandangan Sadono Sukirno bahwa pendapatan merupakan sebuah balas jasa atau upah/gaji yang diterima atas pengorbanannya dalam proses produksi.

“pendapatan pada dasarnya merupakan balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi atas pengorbanan-nya dalam proses produksi. Masing-masing faktor produksi seperti: tanah akan memperoleh balas jasa dalam bentuk sewa tanah, tenaga kerja akan memperoleh balas jasa berupa upah/ gaji, modal akan memeproleh balas jasa dalam bentuk bunga modal, serta keahlian termasuk para Enterpreneur akan

memperoleh balas jasa dalam bentuk laba” (Sadono Sukirno, 1995).

b. Jenis-jenis Pendapatan

Menurut Mulyanto Sumardi (1992: 84) merinci pendapatan dalam 3 kategori yaitu:


(50)

a) Dari gaji dan upah yang diperoleh dari: kerja pokok, kerja sampingan, kerja lembur, dan kerja kadang kadang.

b) Dari usaha sendiri,yang meliputi: Hasil bersih dari usaha sendiri, komisi, penjualan dari kerajinan rumah.

c) Dari hasil investasi, yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah dan keuntungan sosial yakni pendapatan yang diperoleh dari kerja sosial.

2) Pendapatan berupa barang yaitu pendapatan berupa:

a) Bagian pembayaran upah dan gaji yang dibentuk dalam beras, pengobatan, transportasi, perumahan, rekreasi.

b) Barang yang diroduksi dan konsumsi di rumah antara lain pemakaian barang yang diproduksi dirumah dan sewa yang seharusnya dikeluarkan terhadap rumah sendiri yang ditempati 3) Penerimaan yang bukan merupakan pendapatan, yaitu penerimaan

yang berupa: pengambilan tabungan, penjualan barang barang yang dipakai, penagihan piutang, pinjaman uang, kiriman uang, hadiah atau pemberian, warisan, dan menang judi.

Pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang dikonsumsi, bahkan sering kali dijumpai dengan bertambahnya pendapatan, maka barang yang dikonsumsi bukan hanya bertambah, tapi juga kualitas barang tersebut ikut menjadi perhatian. Misalnya sebelum adanya penambahan pendapatan beras yang dikonsumsi adalah kualitas yang kurang baik, akan tetapi setelah adanya penambahan pendapatan


(51)

maka konsumsi beras menjadi kualitas yang baik (Soekartawi, 2002: 132).

Menurut Sedangkan Lipsey (1991) membagi pendapatan menjadi dua macam yaitu:

1) Pendapatan perorangan, yaitu pendapatan yang dihasilkan oleh atau dibayarkan kepada perorangan sebelum dikurangi dengan pajak penghasilan perorangan. Sebagian dari pendapatan dialokasikan untuk pajak, sebagian ditabung oleh rumah tangga, yaitu pendapatan perorangan dikurangi dengan pajak penghasilan.

2) Pendapatan Disposable, merupakan pendapatan saat ini yang dapat dibelanjakan atau ditabung oleh rumah tangga; yaitu pendapatan perorangan dikurangi dengan pajak penghasilan (Lipsey 1991 dalam Tika, 2010: 29).

Dalam penelitian ini pendapatan didasarkan pada pendapatan rumah tangga yang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) Pendapatan nelayan ialah seluruh pendapatan bersih dan selisih antara seluruh pendapatan. Pendapatan nelayan, yang dihitung dari selisih antara seluruh pendapatan usaha melaut dari hasil produksi dengan biaya produksi selama melaut/ menangkap ikan di laut dalam jangka satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah.

2) Pendapatan total nelayan ialah seluruh penghasilan nelayan dari semua sumber pendapatan, baik dari bekerja sebagai nelayan, non-


(52)

nelayan, maupun di luar kerja yang diterima petani dalam satu tahun yang dinyatakan dalam rupiah.

Berdasarkan deskripsi tentang pendapatan di atas, maka pendapatan rumah tangga dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu:

1) Pendapatan Total Nelayan, besarnya pendapatan total diperoleh dari penjumlahan pendapatan pokok yang diperoleh dari melaut yang dinyatakan dalam satuan rupiah.

2) Pendapatan Non-Nelayan, pendapatan sampingan diperoleh dari pekerjaan diluar pekerja nelayan, yaitu dapat sebagai petani, buruh, pedagang, peternak, atau pendapatan lain baik dari suami, istri, anak.

Besarnya pendapatan tergantung pada apa yang ditekuninya Pada dasarnya pendapatan rumah tangga berasal dari berbagai sumber pendapatan, kondisi ini bisa terjadi karena masing-masing anggota rumah tangga mempunyai lebih dari satu jenis pekerjaan.

3. Dependency Ratio

Dependency ratio atau angka beban ketergantungan adalah angka

yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia non-produktif (penduduk usia dibawah 15 tahun dan penduduk usia 65 tahun atau lebih) dengan banyaknya penduduk usia produktif (penduduk usia 15-65 tahun) (Tim Penulis Lembaga Demografi UI, 2011: 30). Rasio ketergantungan (dependency ratio) secara makro dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukan keadan ekonomi suatu negara apakah tergolong negara maju atau negara yang sedang berkembang.


(53)

Dependency ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting. Semakin tinginya persentase dependency ratio menunjukan semakin tinginya beban yang harus ditangung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukan semakin rendahnya beban yang ditangung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.

Dependency ratio secara makro dapat dihitung dangan cara berikut: DR = P(0-14)+P65+ x 100

P(15-64) DR : Rasio Ketergantungan

P(0-14) : Jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) P65+ : Jumlah penduduk usia tua (65 tahun keatas) P(15-64) : Jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun)

(Tim Penulis Lembaga Demografi UI, 2011: 30). Menurut Pof. H.R. Bintarto rasio ketergantungan (dependency ratio) atau angka beban ketergantungan adalah suatu angka yang menunjukkan besar beban tanggungan kelompok usia produktif atas penduduk usia nonpoduktif. Usia produktif adalah usia penduduk antara 15 tahun sampai 64 tahun. Disebut produktif karena pada usia ini diperkirakan orang ada pada rentang usia masih bisa bekerja, baik di sektor swasta maupun sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan usia tidak produktif adalah usia penduduk yang ada di rentang 60 tahun keatas. Pertimbangannya, bahwa pada usia ini penduduk dipandang sudah tidak produktif lagi bekerja atau tidak diperkenankan lagi bekerja, baik di sektor swasta ataupun sebagai pegawai negeri. Angka ketergantungan dapat memberikan informasi kepada kita


(54)

berapa besar setiap orang yang sudah bekerja menanggung beban orang yang belum atau tidak bekerja. Dengan melihat angka atau indeks dari beban tanggungan ini, kita bisa melihat seberapa besar kemakmuran yang dimiliki oleh suatu negara atau wilayah.

Tinggi rendahnya angka ketergantungan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:

a) Rendah : < 30 b) Sedang : 31 - 40

c) Tinggi : > 41 (Bintarto, 2004).

Dependency ratio juga erat kaitannya dengan perekonomian keluarga.

Dependency ratio sendiri, jika dilihat secara mikro menunjukan kondisi perekonomian keluarga, di mana Dependency ratio tersebut menunjukan apakah keluarga tersebut termasuk keluarga yang tingkat beban ketergantungannya rendah sehingga lebih sejahtera atau sebaliknya. Adapun rumus perhitungan Dependency ratio dalam suatu keluarga adalah sebagai berikut:

DR = Jumlah anggota keluarga yang tidak bekerja X 100 Jumlah anggota keluarga yang bekerja

Keterangan:

DR = Rasio Ketergantungan dalam Keluarga

Dependency ratio dalam ekonomi keluarga sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya perbandingan antara jumlah anggota keluarga yang bekerja dan tidak bekerja. Semakin banyak jumlah anggota kelurga yang bekerja maka akan semakin kecil rasio beban ketergantungan keluarga (Dependency ratio-nya). Sebaliknya jika sedikit jumlah anggota keluarga yang bekerja


(55)

maka akan semakin besar rasio beban ketergantungan keluarga (Dependency ratio-nya). Peningkatan dependency ratio dalam keluarga salah satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran. Peningkatan kelahiran akan mengakibatkan peningkatan jumlah anggota keluarga yang tidak produktif sehingga mengakibatkan anggota keluarga yang produktif mengalokasikan pengeluaran yang seharusnya untuk di simpan (saving)

diberikankepada anggota keluarga yang tidak produktif yang akan berakibat pada semakin besarnya porsi pengeluaran keluarga.

Keluarga sendiri sering disebut sebagai institusi terkecil yang ada dalam masyarakat. Dalam berbagai kebudayaan yang ada di dunia, setidaknya ada dua bentuk keluarga. Pertama, keluarga batih/ inti (nuclear family. Kedua, keluarga besarr (extended family). Keluarga batih merupakan gejala umum dari sebuah keluarga. Bentuk ini terlihat dari komposisinya yang paling dasar, yakni adalah ayah, ibu, dan anak yang kesemuannya sedarah. Bentuk keluarga seperti ini tidak terlalu banyak bergantung kepada keluarga besar. Kondisi keluarga batih membuat mereka mampu mengurus dirinya sendiri dan akan lebih terasa menguntungkan ketika tingkat mobilitasnya tinggi (Haviland dalam Karlinawati, 2010: 4). Suami atau istri yang bekerja (biasanya jauh dari rumah) untuk bisa meningkatkan kesejahteraan dan status sosial keluarga amat terbantu dengan keluarga batih ini. Keluarga besar merujuk pada keluarga inti dengan penambahan anggota keluarga selain anak, semisal paman, bibi serta orangtua dari pasangaa suami istri (pasutri).


(56)

Menurut UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sejalan dengan perkembangan ekonomi yang mempengaruhi nilai-nilai dalam kehidupan berkeluarga dan pengaruh-pengaruh budaya dari luar, konsep keluaraga sudah banyak berubah. Namun secara tradisional, keluarga dapat didefinisikan sebagai dua atau lebih orang yang memiliki hubungan darah, perkawinan, atau adopsi yang tinggal bersama-sama. Dalam arti yang lebih dinamis, individu-individu yang membentuk keluarga adalah anggota-anggota dari kelompok sosial yang paling mendasar yang hidup bersama-sama dan berinteraksi untuk saling memuasakan kebutuhan pribadi masing-masing (Schiffman dan Kanuk dalam Ristiyanti Prasetijo, 2005: 163). Sedangkan yang dimaksud jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga menurut Mantra (2003: 59) adalah seluruh anggota keluarga yang tinggal dan makan dari satu dapur dengan kelompok penduduk yang sudah termasuk kelompok tenaga kerja. Sehingga jumlah anggota keluarga akan sangat mempengaruhi kebutuhan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga semakin banyak pula kebutuhan keluarga yang dibutuhkan, dan juga semakin sedikit anggota keluarga maka akan sedikit pula kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Adapun beberapa karakteristik keluarga : a. Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah,


(57)

b. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah tetap memperhatikan satu sama lain.

c. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial: suami, istri, anak, kakak, dan adik.

d. Mempunyai tujuan yaitu menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologi, dan sosial anggota.

4. Pendidikan

a. Definisi Pendidikan

Pendidikan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan berasal dari kata didik, mendidik berarti memelihara dan membentuk latihan. Menurut UU No. 20 tahun 2013 tentang pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan menurut Sugihartono dkk (2012: 3) pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan melalui upaya pengajaran dan pelatihan.


(58)

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/ atau latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang (Redja Mudyahardjo, 2001:11). Pendidikan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam pembangunan nasional. Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Pendidikan dapat diartikan secara luas, dan merupakan suatu proses pembelajaran yang dapat dilakukan di mana saja. Pada umumnya, pendidikan diakui sebagai suatu investasi sumber daya manusia. Pendidikan memberikan sumbangan terhadap pembangunan sosial ekonomi melalui cara-cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap, dan produktivitas (Nanang Fatah, 2002: 77-78).

Pendidikan sangat erat kaitannya dengan produktivitas dan aktivitas ekonomi. Hal tersebut dikarenakan faktor utama yang digunakan dalam proses produksi adalah manusia atau tenaga kerja, sedangkan teknologi serta modal/ kapital merupakan faktor produksi yang dikenalikan oleh tenaga kerja atau manusia. Kemiskinan suatu bangsa juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan suatu bangsa. Rendahnya kesempatan dan pengetahuan menyebabkan tingkat


(59)

pendidikan menjadi rendah. Sehingga pendidikan merupakan kunci dalam meningkatkan produktivitas masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.

a. Jenjang Pendidikan

Pendidikan dalam prosesnya mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu yang menjadi simbol tentang tingkatan seorang invidu telah menguasai atau menyelesaikan tingkatan pendidikan tertentu. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional, Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikaan tinggi. Jenjang pendidikan formal dibagi menjadi:

1) Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

2) Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdirij atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau bentuk lain yang sederajat.


(60)

3)

Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Mata pelajaran pada perguruan tinggi merupakan penjurusan dari SMA, akan tetapi semestinya tidak boleh terlepas dari pelajaran SMA.

Dalam penelitian ini guna mengukur pengaruh tingkat pendidikan nelayan terhadap pola konsumsi rumah tangga nelayan menggunakan ukuran tahun sukses pendidikan atau ukuran lamanya waktu yang ditempuh seseorang untuk menyelesaikan pendidikan formalnya. Ukuran lamanya waktu yang ditempuh seseorang untuk mencapai pendidikan formal terakhirnya dalam ilmu demografi dinyatakan dengan istilah tahun sukses. Tahun sukses seseorang dihitung berdasarkan lamanya tahun yang ditempuh untuk mencapai pendidikan terakhir. Di Indonesia, program wajib belajar yang berlaku saat ini adalah 12 tahun, yaitu Sekolah Dasar (SD/sederajat) selama 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat) selama 3 tahun, dan Sekolah Menengah Atas (SMA/sederajat) selama 3 tahun. Maka jika seseorang menempuh pendidikan sampai SMA/sederajat maka tahun suksesnya adalah 12 tahun, jika hanya menempuh pendidikan sampai SMP/sederajat maka tahun suksesnya adalah 9 tahun, dan jika tidak tamat SD/sederajat maka tahun suksesnya adalah 6 tahun.


(61)

5. Nelayan

a. Definisi Nelayan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nelayan adalah orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan (di laut). Sedangkan menurut Imron dalam Mulyadi (2007:7), Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Menurut Undang-Undang Perikanan No 45 tahun 2009, menyebutkan bahwa yang dimaksud nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan yang dimaksud nelayan kecil adalah orang yang mata pencaharianya adalah melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (BPS, 2015).

Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, mendefinisikan nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air. Sedangkan orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/ kapal tidak dimasukan ke dalam perahu tidak dimasukan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan ikan dimasukan sebagai


(62)

nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan. Adapun dalam penenlitian ini, yang dimaksudkan sebagai neleyan adalah mereka yang bekerja atau memiliki mata pencaharian menangkap ikan di laut.

b. Penggolongan Nelayan

Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangka milik orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoprasiannya tidak melibatkan orang lain (mulyadi, 2007: 7). Selanjutnya, Mubyarto melakukan penggolongan nelayan ke dalam lima jenis, yakni:

1) Nelayan kaya A: adalah nelayan yang mempunyai kapal (juragan), mempekerjakan nelayan lain sebagai pandega tanpa ia sendiri bekerja 2) Nelayan kaya B: adalah nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri

sebagai anak kapal.

3) Nelayan Sedang: adalah nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi dengan pendapatan pokoknya dan bekerja sebagai nelayaan serta memiliki perahu tanpa mempergunakan tenaga dari luar keluarga


(63)

4) Nelayan Miskin: adalah nelayan yang pendapatan dan perahunya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga harus ditambah dengan pekerjaan lain untuk ia sendiri atau untuk isteri dan anak-anaknya. 5) Nelayan pandega atau tukang kiteng (digunakan pada masyarakat

Jepara): adalah nelayan/ orang luar yang datang ke Jepara untuk menangkap ikan dengan menyewa kapal dari juragan atau bekerja sebagai anak kapal (Mubyarto dalam Matias Siagian 2004).

Sedangkan menurut Zamzani dalam Apridar (2011: 97), membagi nelayan yakni:

1) Nelayan berdasarkan alat tangkap:

a) Nelayan Pemilik, yaitu nelayan yang mempunyai alat penangkap, baik yang langsung turun ke laut maupun yang langsung menyewakan alat tangkapan kepada orang lain.

b) Nelayan Buruh atau Nelayan Penggarap, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat penangkap, tetapi mereka menyewa alat tangkap dari orang lain atau mereka menjadi buruh atau pekerja pada orang yang mempunyai alat penangkapan.

2) Berdasarkan sifat kerjanya nelayan:

a) Nelayan Penuh atau Asli, yaitu nelayan baik yang mempunyai alat tangkap atau buruh yang berusaha semata-mata pada sektor perikanan tanpa memiliki usaha yang lain.


(64)

b) Nelayan Sambilan, yaitu nelayan yang memiliki alat penangkapan atau juga sebagai buruh pada saat tertentu melakukan kegiatab pada sektor perikanan disamping usaha lainnya (Apridar, 2011: 97). Sedangkan menurut Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, penggolongan nelayan diklasifikan berdasarkan Waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, antara lain:

1) Nelayan Penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air.

2) Nelayan Sambilan Utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan operasi penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain.

3) Nelayan Sambilan Tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan (TNP2K, 2011).

B.Penelitian yang Relevan

Penelitian ini didukung oleh penelitian-penelitian terdahulu yang memuat berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh penelitian lain baik dalam bentuk jurnal maupun skripsi. Penelitian yang ada telah mendasari pemikiran penulis dalam menyusun skripsi. Adapun penelitian-nya sebagai berikut:


(65)

1. Penelitian Miftakhul Hidayah pada tahun 2008 dalam Skripsinya yang berjudul “Pola Konsumsi Rumah Tangga Pekerja Tambang Batu Kapur di Desa Sidorjo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi rumah tangga pekerja tambang batu kapur di Desa Sidorejo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul. Hasilnya menunjukan bahwa Pola konsumsi rumah tangga pekerja tambang batu kapur di Desa Sidorejo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul cenderung mengarah kepada makanan yaitu yaitu sebesar 65% dan sisanya non makanan yaitu sebesar 35%. Pada kelompok makanan, didominasi oleh jenis padi-padian sebanyak 16,14% dan minyak sebanyak 6,61%. Kemudian pada kelompok non makanan didominasi oleh jenis barang dan jasa sebanyak 12,62% dan keperluan pesta dan upacara sebanyak 10,45% Pola konsumsi yang cenderung ke arah makanan, mengindikasikan bahwa kesejahteraan rumah tangga pekerja tambang batu kapur di Desa Sidorejo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul masih relatif rendah. Perbedaan penelitian ini terdapat pada metode penelitiannya, di mana pada penelitian terdahulu merupakan penelitian deskriptif-kualitatif sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti merupakan penelitian kuantitatif.

2. Penelitian Otniel Pontoh pada tahun 2011 dalam Skripsinya yang berjudul “Pengaruh Tingkat Pendapatan terhadap Pola Konsumsi Nelayan di Kecamatan Tenga Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara”. Hasilnya menunjukan bahwa besarnya tingkat pendapatan yang diterima oleh nelayan


(66)

berpengaruh pula secara nyata terhadap besarnya tingkat konsumsi nelayan di Kecamatan Tenga. Ini berarti tingkat konsumsi mengikuti besarnya tingkat pendapatan yang diterima. Perbedaan penelitian ini terdapat pada variabel bebasnya dimana tidak terdapat variabel dependency Ratio dan tingkat pendidikan. Serta perbedaan lokasi, obyek, dan waktu dilaksanakannya penelitian.

3. Penelitian Septia S.M. Nababan pada tahun 2013 dalam Skripsinya yang berjudul ”Pendapatan dan Jumlah Tanggungan Pengaruhnya terhadap Pola Konsumsi PNS Dosen dan Tenaga Kependidikan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Manado Universitas Sam Ratu Langi Manado”. Hasilnya menunjukkan rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi makanan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Manado sebesar Rp. 1,5 juta . Komponen pengeluaran terbesar dialokasikan untuk lauk pauk, sayur, ikan , daging, telur 25% kemudian diikuti pengeluaran beras sebesar 5,84%, Susu dan keperluan lainnya masing-masing sebesar 6,67% dan 13,34% dan rata-rata pengeluaran konsumsi bukan makanan untuk di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Manado Manado sebagaian besar dialokasi untuk pengeluaran kredit kendaraan 25%, kemudian diikuti oleh transportsi 33,4%, sabun cuci dan pembersih lainnya 8,4%, pakaian 16,7%, biaya komunikasi/ telepon /hp 15%. Pengeluaran konsumsi bukan makanan yang relatif terendah dialokasikan untuk kebutuhan rekreasi, perawatan diri, asuransi, kesehatan. Selanjutnya rata-rata pengeluaran konsumsi bukan makanan untuk semua jenis pengeluaran konsumsi bukan makanan adalah sebesar Rp. 5,8 juta.


(1)

Lampiran Pengkategorian Data Deskriptif Kriteria pengkategorian:

f. X > Xi + 1,8 x sbi : Kategori sangat tinggi

g. Xi + 0,6 x sbi < X < Xi + 1,8 x sbi : Kategori tinggi

h. Xi - 0,6 x sbi < X < Xi + 0,6 x sbi : Kategori cukup/sedang

i. Xi - 1,8 x sbi < X < Xi - 0,6 x sbi : Kategori rendah

j. X < Xi - 1,8 x sbi : Kategori sangat rendah

Keterangan:

Xi = 1/2 (nilai maksimal + nilai mimimal)

sbi = 1/6 (nilai maksimal - nilai mimimal)

1. Tingkat Pendaptan:

a. Xi = 1/2 (1.400.000 + 3.400.000)

= 2.400.000

b. sbi = 1/6 (3.400.000 – 1.400.000)

= 333.333,333

c. 1,8 x sbi = 1,8 (333.333,333)

= 599.999,999

d. 0,6 x sbi =0,6 (333.333,333)

=200.000

e. Xi + 1,8 x sbi = 2.400.000+599.999,999

= 2.999.999,999

f. Xi - 1,8 x sbi =2.400.000-599.999,999

= 1.800.001

g. Xi + 0,6 x sbi =2.400.000 + 200.000


(2)

116

h. Xi – 0,6 x sbi = 2.400.000- 200.000

= 2.200.000

2. Tingkat Pendidikan:

a. Xi = 1/2 (0 + 12)

= 6

b. sbi = 1/6 (12 – 0)

= 2

c. 1,8 x sbi = 1,8 (2)

= 3,6

d. 0,6 x sbi =0,6 (2)

=1,2

e. Xi + 1,8 x sbi = 6+3,6

= 9,6

f. Xi - 1,8 x sbi =6-2

= 4

g. Xi + 0,6 x sbi =6 + 1,2

= 7,2

h. Xi – 0,6 x sbi = 6- 1,2


(3)

(4)

(5)

(6)