GAYA EKSPLANATORI WANITA MENIKAH YANG BELUM DIKARUNIAI KETURUNAN : Studi Deskriptif pada Dua Wanita Menikah yang Belum Dikaruniai Keturunan.

(1)

ABSTRAK

Tri Fina Cahyani (0803144). Gaya Eksplanatori Wanita Menikah yang Belum Dikaruniai Keturunan (Studi Deskriptif pada Dua Wanita Menikah yang Belum Dikaruniai Keturunan). Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan data tentang gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan ditinjau dari aspek permanence, pervasiveness, dan personalization. Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah dua orang wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang diwawancarai dengan teknik wawancara mendalam (in-depth-interview) semiterstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gaya eksplanatori pada setiap subjek. Pada aspek permanence, masing-masing subjek memandang keadaan belum dikaruniai keturunan bersifat sementara dan menetap. Pada aspek pervasiveness, terdapat perubahan gaya eksplanatori pada salah satu subjek di mana subjek tidak mau melakukan pengobatan/program untuk memiliki keturunan. Pada aspek personalization, juga terdapat perubahan gaya eksplanatori internal ke arah eksternal pada salah satu subjek yang awalnya menunjuk diri sendiri sebagai penyebab belum dikaruniai keturunan kemudian menunjuk pihak lain, yaitu suaminya. Kedua subjek memiliki harapan yang sama untuk segera memiliki anak. Rekomendasi ditujukan kepada pihak-pihak terkait wanita menikah yang belum memiliki keturunan untuk memberikan dukungan bagi mereka sehingga dapat mengembangkan gaya eksplanatori optimis.


(2)

ABSTRACT

Tri Fina Cahyani (0803144). Explanatory Style of Childless Married Women (Descriptive Study on Two Childless Married Women). A Thesis. Department of Psychology. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (2013).

This study describes the explanatory style of childless married women. It focuses on in-depth-interviews of two childless married women. It is reviewed through its aspects of permanence, pervasiveness, and personalization. This study uses a qualitative approach and descriptive method. It discovers that there are variations of the explanatory style of each interviewee. In the aspect of permanence, one interviewee agrees that childlessness is temporary and another interviwee agrees that it is settle. There is a change in the aspect of pervasiveness, one interviewee does not consider engaging in a treatment to achieve conception. In the aspect of

personalization, one interviewee’s explanatory style changes from internal to

external. Firstly, she thought that she was the only factor of childlessness before she accuses her husband. Moreover, both interviewees hope to have children. This study is recommended for parties related to childless married women to support them thus they would be able to develop their optimistic explanatory style.


(3)

Nomor: 375/SKRIPSI/PSI-FIP/UPI.10.2013

GAYA EKSPLANATORI WANITA MENIKAH YANG BELUM DIKARUNIAI KETURUNAN

(Studi Deskriptif pada Dua Wanita Menikah yang Belum Dikaruniai Keturunan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Disusun Oleh: Tri Fina Cahyani

0803144

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(4)

GAYA EKSPLANATORI WANITA MENIKAH YANG BELUM

MEMILIKI KETURUNAN

(Studi Deskriptif pada Dua Wanita Menikah yang Belum

Memiliki Keturunan)

Oleh: Tri Fina Cahyani

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan

© Tri Fina Cahyani 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Oktober 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difotokopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Fokus Penelitian 5

C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 6

D. Tujuan Penelitian 6

E. Manfaat Penelitian 7

F. Struktur Penulisan Skripsi 7

BAB II GAYA EKSPLANATORI, PERNIKAHAN, DAN PERNIKAHAN TANPA ANAK

8

A. Gaya Eksplanatori 8

B. Pernikahan 13

C. Pernikahan Tanpa Anak 13

D. Penyebab Wanita Sulit Memiliki Keturunan 14

E. Dampak Ketidakhadiran Anak dalam Pernikahan 18

BAB III METODE PENELITIAN 21

A. Desain Penelitian 21

B. Definisi Operasional 21

C. Subjek Penelitian 22

D. Metode Sampling 22

E. Teknik Pengumpulan Data 22

F. Teknik Analisis Data 23

G. Pengujian Keabsahan Data 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 25

A. Hasil Penelitian dan Pembahasan Subjek S 26

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan Subjek D 47

C. Skema Hasil Penelitian Gaya Eksplanatori Wanita Menikah yang Belum Dikaruniai Keturunan

67 D. Display Hasil Penelitian Gaya Eksplanatori Wanita Menikah yang Belum

Dikaruniai Keturunan


(8)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 74

A. Kesimpulan 74

B. Rekomendasi 75

DAFTAR PUSTAKA 77

LAMPIRAN 81


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Display Hasil Penelitian Gaya Eksplanatori Wanita Menikah yang Belum Dikaruniai Keturunan


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Langkah-langkah analisis data: Model Interaktif Miles Huberman 23 Gambar 2.1 Skema Hasil Penelitian Gaya Eksplanatori Wanita Menikah yang


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Penyajian Data 81

Lampiran II Verbatim Wawancara 93

Lampiran III Pedoman Wawancara 115

Lampiran IV Lembar Observasi 119

Lampiran V SK Pembimbing Lampiran VI Kartu Bimbingan


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah peristiwa penting dalam kehidupan seorang individu, di mana pernikahan ini memiliki beberapa tujuan yaitu mendapatkan kebahagiaan, kepuasan, cinta kasih, dan keturunan (Patmonodewo, 2001). Pasangan yang telah menikah, tentunya mereka menginginkan untuk segera memiliki anak. Kehadiran anak dalam rumah tangga menjadi suatu hal yang berarti bagi pasangan suami istri. Pasangan menikah yang telah menjadi orang tua setuju bahwa anak menambah kasih sayang, memperbaiki ikatan keluarga, dan membuat mereka merasa panjang umur serta memberikan sense of accomplishment. Kebanyakan orang tua rela berkorban banyak demi anak-anaknya dan berharap mereka akan tumbuh bahagia dan menjadi sukses (Kail dan Cavanaugh, 2008).

Kenyataan di atas mencerminkan begitu pentingnya kehadiran anak dalam sebuah keluarga yang telah dibangun melalui pernikahan, namun WHO memperkirakan 8-12% pasangan di dunia mengalami kesulitan untuk memiliki anak dan jumlah ini tersebar di seluruh negara dan negara bagian (Wiersema dkk, 2006). Van Hoose dan Worth (dalam Kail, 2000) mengatakan bahwa pasangan yang tak kunjung memiliki anak harus siap menghadapi kritik sosial dari masyarakat yang berorientasi pada anak, karena masyarakat tersebut melihat keadaan sebelum memiliki anak sebagai sesuatu yang positif.

Kondisi pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sebenarnya bukan merupakan kondisi yang hanya memberikan dampak negatif. Kondisi ini dapat memberikan dampak positif bagi beberapa pasangan. Menurut Olds (dalam Santrock, 1995), pasangan akan memiliki banyak waktu untuk mempertimbangkan tujuan hidupnya, seperti apa yang mereka inginkan dari peran keluarga dan karir mereka; pasangan akan semakin matang dan dapat menarik manfaat dari pengalaman kehidupan mereka untuk menjadi orang tua yang lebih kompeten; dan pasangan akan menjadi lebih mapan dalam karir dan mempunyai penghasilan lebih banyak untuk pengeluaran dari perawatan anak.


(13)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kehadiran seorang anak dalam keluarga menjadi harapan yang cukup besar bagi pasangan yang sudah menikah. Oleh karena itu, pasangan yang sudah berumah tangga berusaha untuk memiliki anak karena anak dipandang sebagai hal penting dalam berkeluarga. Campbell (dalam Sugiarti, 2008) mengatakan bahwa sekalipun anak dan perkawinan memiliki kaitan yang erat tetapi tidak semua perkawinan memiliki anak di dalamnya. Menurut McQuillan, Greil, White dan Jacob (2003), keadaan belum memiliki anak ini dibedakan menjadi dua, yaitu involuntary childless dan voluntary childless. Involuntary childless yaitu suatu keadaan dimana pasangan belum memiliki anak bukan karena keinginan mereka untuk menunda atau tidak ingin memiliki anak. Sedangkan voluntary childless yaitu keadaan belum memiliki anak dikarenakan beberapa hal. Involuntary childless bisa diartikan juga sebagai bentuk ketidakmampuan seseorang secara fisik, misalkan infertilitas. Infertilitas merupakan kegagalan konsepsi setelah 12 bulan melakukan hubungan seksual teratur tanpa perlindungan. Setelah 12 bulan tanpa penggunaan kontrasepsi, sekitar 50% pasangan akan mengalami konsepsi secara spontan dalam waktu 36 bulan berikutnya. Jika pasangan tidak mengalami konsepsi, maka infertilitas akan terjadi secara persisten tanpa intervensi medis (Beckmann dkk, 2010).

Kesulitan mengalami konsepsi bisa jadi hal yang menekan secara emosi (Beckmann dkk, 2010). Keadaan ini akan menimbulkan tekanan bagi pasangan yang belum kunjung memiliki keturunan. Namun, bila dibandingkan dengan pria, kondisi wanita yang tidak memiliki anak menunjukkan adanya tekanan (distress) psikososial yang lebih besar (Lee dkk, 2001). Menurut Donelson (dalam Sugiarti, 2008), banyak wanita yang ingin merasakan menjadi ibu dan menikmatinya karena anak memberikan nilai-nilai tertentu bagi wanita.

Pada aspek psikologis, anak dinilai sebagai curahan kasih sayang serta dapat membuat wanita bersemangat menjalani hidup dan anak merupakan segala-galanya bagi wanita. Pada aspek sosial, pernikahan akan terasa lengkap jika dikaruniai anak dan dapat mendekatkan hubungan antara suami dan istri. Selain itu, anak juga dianggap sebagai penerus keturunan. Ditinjau dari aspek ekonomi,


(14)

anak membuat tenang di hari tua karena hari tua terjamin dan anak juga dipandang sebagai pewaris harta (BKKBN, 2013).

Lebih lanjut Donelson (dalam Sugiarti, 2008) menjelaskan bahwa terdapat stereotipe sosial yang mengatakan bahwa menjadi seorang ibu adalah pencapaian utama seorang wanita. Wanita setidaknya harus memiliki dua orang anak dan bertanggung jawab terhadap perkembangan mereka sampai dewasa, dan kesalahan seorang ibu jika anak-anak tidak menjadi sukses. Kondisi di mana seorang wanita belum memiliki anak mempengaruhi self-efficacy-nya akan kehadiran anak di dalam perkawinannya. Oleh karena itu wanita yang tidak memiliki anak akan merasakan kegagalan lebih dibanding pria.

Ketidakhadiran anak dipandang wanita sebagai keadaan yang menyebabkan penderitaan baginya, seperti yang diungkapkan beberapa wanita yang belum dikaruniai seorang anak dalam pernikahannya, yaitu T (35) yang mengaku merasa sangat bersalah pada suaminya karena belum juga mengandung dan D (32) mengaku bahwa beban psikologis sering dialami manakala keluarga besar bertanya tentang dirinya yang hingga kini belum dikaruniai buah hati (Wishingbaby, t.t.). Namun tidak semua wanita atau pasangan yang terus menerus larut dalam kesedihan dan penderitaan mereka. Dalam penelitian yang dilakukan Nurfita (2007) beberapa pasangan berusaha mencari dan mengikuti program pengobatan baik secara medis maupun tradisional, mencari informasi, pasrah dan berdoa, berusaha sabar, mencari dukungan dari keluarga dan teman, mengambil hikmah dari kondisi yang dialaminya, melakukan adopsi atau pengangkatan anak untuk meramaikan suasana keluarga.

Berdasarkan wawancara pendahuluan yang dilakukan peneliti, S (30 tahun) yang belum juga memiliki keturunan di usia pernikahannya yang ke-10 tetap berusaha untuk dapat memiliki keturunan. Berikut kutipan pernyataannya:

“Da kalo punya anak sekarang juga kan saya pasti cemburu ke suami saya. saya juga masih muda, masih banyak sifat yang harus diperbaiki. Kan kalo punya anak saya juga harus bisa mendidik gitu. Saya sih mengambil hikmahnya aja. Saya dan suami saya tetep berdoa dan berusaha. Saya punya keyakinan saya pasti punya anak, cuma belum waktunya.”


(15)

Selain itu, ada E (32 tahun) yang tidak terlalu memikirkannya di mana ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan rumahnya namun ia juga tetap bersabar dan berdoa kepada Tuhan.

“ Ya saya mah gak terlalu mikiran belum hamil, belum punya anak teh. Saya mah paling ya sabar aja sambil doa terus. Paling kalo lagi di rumah mah ya ini aja saya suka nyibukin diri beres-beres rumah, bersihin rumah.” Sama seperti S, W (27 tahun) sudah melakukan pemeriksaan ke dokter namun belum berhasil. Setelah mendapatkan dirinya belum kunjung dikaruniai anak, W mengatakan bahwa Tuhan belum memberinya keturunan.

“Ah mungkin Allah belum ngasih gue anak aja.. Gue udah ke dokter tapi belum juga ada hasilnya. Ya mungkin Allah belum ngasih aja. Gue berdoa aja sih sekarang-sekarang mudah-mudahan gue bisa cepet punya anak.” Berbeda dengan ketiga wanita di atas, A yang sudah mencapai usia 40 tahun sudah mulai menerima ketidakhadiran anak. Ia mengambil sisi positif dari situasi yang dialaminya. Ia bersyukur tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk anak.

“Saya mah gak apa-apa gak punya anak juga. Jadi, gak harus repot keluarin banyak uang buat jajan anak, buat sekolah anak hehehe.”

Selain hal-hal tersebut di atas, pada kasus wanita yang mengalami masalah reproduksi, mereka memilih untuk menjalani program bayi tabung. Seperti yang dilakukan oleh G (36 tahun) dan S (31 tahun). Setelah sembilan tahun menikah G belum juga memiliki keturunan, begitu juga S hingga usia pernikahan yang kelima belum juga memiliki anak hingga pada akhirnya mereka mencoba melakukan program bayi tabung (Masrokhan, 2007).

Uraian peristiwa-peristiwa di atas dapat menunjukkan cara pandang wanita terhadap ketidakhadiran anak dalam pernikahannya. Menurut Seligman (1990) cara pandang terhadap situasi yang baik maupun situasi yang buruk terbagi menjadi optimisme dan pesimisme. Optimisme didefinisikan sebagai cara pandang individu dalam menghadapi keadaan, baik keadaan baik (good situation), yaitu kemajuan dalam usahanya untuk memiliki keturunan, maupun keadaan buruk (bad situation), yaitu belum adanya kemajuan dalam usahanya untuk memiliki keturunan. Kedua keadaan tersebut (good situation dan bad situation)


(16)

merupakan situasi yang ada pada explanatory style atau gaya eksplanatori. Explanatory Style atau gaya eksplanatori adalah cara pandang individu untuk menerangkan kepada diri mereka mengapa suatu peristiwa terjadi.

Orang dengan gaya eksplanatori optimis cenderung menginterpretasikan kejadian dalam hidup mereka melalui perspektif yang positif, bahkan mempersepsikan kejadian netral sebagai sesuatu yang positif dan melihat adanya potensi hasil akhir yang positif dari suatu kejadian negatif. Sebaliknya, orang dengan gaya pesimis cenderung berfokus pada kemungkinan hasil akhir yang negatif dari suatu situasi. Dalam penelitian Silvania (2012), gaya eksplanatori mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Maka, terdapat kemungkinan wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang pesimis akan menjadi optimis begitu juga sebaliknya.

Dari fenomena yang dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan.

B. Fokus Penelitian

Pada tahun pertama usia pernikahan, pasangan akan mengalami banyak tekanan untuk memiliki keturunan. Tekanan tersebut meningkat selama tahun ketiga dan keempat dari pernikahan (Benyamini dkk, 2005). Wanita merupakan individu yang paling merasakan dampak dari kejadian tersebut. Saat berada dalam situasi tersebut wanita akan mengalami situasi atau kejadian buruk, misalnya lamanya keadaan dirinya yang tidak kunjung memiliki keturunan, usaha yang dilakukannya belum berhasil, menganggap hal ini sebagai ketidakmampuan dirinya. Situasi atau kejadian baik pun akan dirasakan wanita, misalnya mulai ada tanda-tanda kehamilan, wanita mampu melakukan hal-hal untuk menetralkan situasi buruk yang tengah terjadi. Fokus dari penelitian ini adalah mengetahui gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan.


(17)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka telah didapatkan rumusan masalah “Bagaimana gaya eksplanatori wanita menikah yang belum memiliki ketuturun?”.

Rumusan masalah ini dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan ditinjau dari aspek permanence?

2. Bagaimanakah gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan ditinjau dari aspek pervasiveness

3. Bagaimanakah gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan ditinjau dari aspek personalization?

4. Bagaimanakah harapan-harapan wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan fakta empiris mengenai gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan fakta empiris mengenai:

1. Mengetahui gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan dari aspek permanence.

2. Mengetahui gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan dari aspek pervasiveness.

3. Mengetahui gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan dari aspek personalization.

4. Mengetahui harapan-harapan wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan.


(18)

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis/aplikatif.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan keilmuan psikologi terutama di bidang psikologi klinis berkenaan dengan gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan

2. Manfaat Praktis/Aplikatif

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi acuan bagi wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan untuk dapat mengembangkan gaya eksplanatori optimis. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi pasangan dan keluarga wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan untuk dapat membantu wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan memperbaiki personal adjustment sehingga dapat mengembangkan gaya eksplanatori optimis.

F. Struktur Penulisan Skripsi

Struktur penulisan skripsi diuraikan sebagai berikut: Judul

Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Lampiran

BAB I PENDAHULUAN

BAB II GAYA EKSPLANATORI, PERNIKAHAN DAN PERNIKAHAN TANPA ANAK

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI DAFTAR PUSTAKA


(19)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah (natural setting) yang menekankan pada makna dibandingkan generalisasi (Sugiyono, 2011).

B. Definisi Operasional

Penelitian ini mengacu pada teori explanatory style atau gaya eksplanatori. Menurut Seligman (1990) explanatory style is the manner in which you habitually explain to yourself why events happen. Gaya eksplanatori adalah cara seorang inidividu menjelaskan pada dirinya tentang kejadian yang menimpanya. Gaya eksplanatori dibagi menjadi dua, yaitu gaya eksplanatori optimis dan gaya eksplanatori pesimis yang dikelompokkan berdasarkan tiga dimensi dari gaya eksplanatori tersebut. Dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Permanence

Permanence adalah cara wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan memandang ketidakhadiran anak sebagai hal yang bersifat menetap atau hanya sementara. Wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang optimis percaya keadaan tersebut hanya sementara, mereka percaya bahwa mereka akan memiliki keturunan suatu hari nanti. Mereka akan memiliki harapan. Sedangkan wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang pesimis percaya bahwa keadaan tersebut akan menetap, mereka yakin tidak akan pernah memiliki keturunan.

2. Pervasiveness

Pervasiveness adalah cara wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan memandang ruang lingkup dari keadaan ketidakhadiran anak bersifat menyeluruh (universal) atau spesifik (spesific). Wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang optimis memandang bahwa keadaan


(20)

yang dialaminya tersebut tidak akan mempengaruhi aspek lain dalam hidupnya, yaitu hanya mempengaruhi area tertentu. Wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang pesimis memandang ketidakhadiran anak akan mempengaruhi aspek lain dalam hidupnya sehingga mereka mudah menyerah dalam mencari solusi untuk memiliki keturunan. Mereka tidak memiliki harapan atau putus asa.

3. Personalization

Personalization adalah cara pandang wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan mengenai hal-hal atau siapa yang menyebabkan ketidakhadiran anak yang dialaminya. Wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang optimis tidak menunjuk dirinya sendiri sebagai penyebab keadaan tersebut. Mereka percaya bahwa hal tersebut disebabkan oleh lingkungan atau orang lain di luar dirinya. Sedangkan wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan yang pesimis akan menunjuk dirinya sendiri sebagai penyebab ketidakhadiran anak yang dialaminya. Mereka memandang keadaan tersebut sebagai ketidakmampuan dirinya.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan berusia 21-45 tahun (usia subur dan belum menopause), belum memiliki anak bukan karena menunda (involuntary childless), dan belum pernah mengalami kehamilan.

D. Metode Sampling

Subjek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan purpossive sampling. Purpossive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011).

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan semiterstruktur yang dimaksudkan agar petanyaan wawancara dapat dikembangkan pada saat pengumpulan data.


(21)

Selain wawancara juga dilakukan observasi terhadap wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan.

F. Teknik Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011), teknik analisis data dalam penelitian kualitatif ialah reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan/verifikasi data (conclusion drawing/verification). Langkah-langkah analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 1.1. Langkah-langkah analisis data: Model InteraktifMiles Huberman (Sugiyono, 2011)

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Data yang dihasilkan dari lapangan jumlahnya banyak, kompleks, dan rumit. Oleh karena itu perlu dilakukan reduksi data, yaitu dengan cara merangkum, memilih hal yang pokok, dan memfokuskan pada hal yang penting.

2. Penyajian Data (Data Display)

Data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan cara membuat uraian singkat, bagan, dan hubungan antar kategori. Melalui penyajian data tersebut maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan mudah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi Data (Conclusion Drawing/Verification)

Tahap verifikasi data yaitu tahap di mana peneliti menarik kesimpulan awal yang bersifat sementara namun kesimpulan akan menjadi

Penarikan

kesimpulan/verifikasi Pengumpulan

Data Penyajian

Data

Reduksi Data


(22)

kredibel bila didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan deskripsi atau gambaran suatu obyek yang diteliti dengan jelas berupa hubungan kausal, hipotesis, dan teori.

G. Pengujian Keabsahan Data

Dalam penelitian ini pengujian keabsahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Triangulasi

Triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu (Sugiyono, 2011). Triangulasi terdiri dari tiga jenis, yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu. Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi waktu dan triangulasi teknik.

a) Triangulasi Waktu

Peneliti mengulang pertanyaan-pertanyaan wawancara di waktu berbeda. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali dalam rentang waktu satu bulan dari wawancara pertama sampai dengan wawancara selanjutnya.

b) Triangulasi Teknik

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang kredibel, peneliti melakukan triangulasi teknik, yaitu data yang telah diperoleh dari hasil wawancara dicek dengan observasi (Sugiyono, 2011).

2. Diskusi dengan Teman Sejawat

Diskusi ini dilakukan dengan dosen pembimbing dan teman-teman sejawat yang menggunakan metode penelitian dan tema yang sama, yaitu metode penelitian kualitatif dan tema mengenai gaya eksplanatori.


(23)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ditinjau dari aspek permanence, kedua subjek memiliki gaya eksplanatori yang berbeda. Subjek S cenderung memandang ketidakhadiran anak sebagai hal yang akan berlangsung lama atau bahkan menetap (permanen) sedangkan subjek D memandang ketidakhadiran anak sebagai hal yang terjadi sementara (temporer). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa S memiliki gaya eksplanatori pesimis dan D memiliki gaya eksplanatori optimis.

2. Ditinjau dari aspek pervasiveness, gaya eksplanatori subjek S mengalami perubahan. Awalnya S memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan untuk memiliki anak namun setelah dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan HSG, S tidak mau mencobanya karena takut sakit dan takut hasilnya


(24)

tidak sesuai dengan harapan. Berbeda dengan subjek D yang telah melakukan program fertilitas di dua rumah sakit. D sempat menghentikan program tersebut karena jadwal program yang berbenturan dengan jadwal kerja. Meski begitu D sudah berencana untuk melakukan program fertilitas lagi hingga berhasil. Maka, dapat disimpulkan bahwa subjek S mengalami perubahan gaya eksplanatori optimis ke arah pesimis sedangkan subjek D memiliki gaya eksplanatori yang optimis.

3. Ditinjau dari aspek personalization, gaya eksplanatori subjek S cenderung intenal, yaitu cenderung menyalahkan diri sendiri atas ketidakhadiran anak yang dialaminya. Sedangkan subjek D mengalami perubahan gaya eksplanatori dari internal ke arah eksternal, yaitu awalnya menunjuk diri sendiri namun kemudian menunjuk pihak lain atas ketidakhadiran anak yang dialaminya. Maka, dapat disimpulkan bahwa subjek S memiliki gaya eksplanatori yang cenderung pesimis sedangkan subjek gaya eksplanatori D mengalami perubahan dari pesimis ke arah optimis.

4. Subjek S memiliki harapan untuk segera dapat membangun keluarga nuklear, yaitu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Begitu juga subjek D memiliki harapan yang sama, yaitu ingin segera memiliki setidaknya satu orang anak saja.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian mengenai gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan terdapat beberapa hal yang perlu direkomendasikan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi pasangan dan keluarga wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan

Agar memberikan dukungan yang besar bagi wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan karena dukungan dari keluarga dapat


(25)

membantu wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan merasa lebih baik mengenai diri mereka, merasa dicintai dan dihargai serta dapat membantu meningkatkan kreativitasnya dalam kemampuan penyesuaian yang adaptif terhadap stres dan rasa sakit yang dialaminya. Dengan demikian, wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan mampu belajar untuk mengembangkan gaya eksplanatori optimis.

2. Bagi wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan

Agar tidak mudah menyerah ketika usaha yang dilakukan belum memberikan hasil yang diharapkan serta sebaiknya memiliki pemikiran yang lebih positif mengenai kemungkinan akan terjadinya kehamilan sehingga wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan akan memiliki optimisme untuk segera mendapatkan keturunan.

Selain itu, wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan dan pasangannya perlu melakukan konseling untuk menghindari perceraian.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan dapat meneliti tema yang sama dengan karakteristik subjek berbeda, yaitu wanita menikah yang mengalami infertilitas sekunder dan wanita voluntary childless yang mulai mengalami kesulitan untuk mendapatkan keturunan setelah memutuskan untuk memiliki keturunan. Selain itu juga, peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode penelitian lain, yaitu kuantitatif dan kuantitatif-kualitatif (mixed methods). Hal tersebut bertujuan agar penelitian selanjutnya dapat memperoleh gambaran berbeda mengenai gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Khalek, A., & Lester, D. (2006). Optimism and Pessimism in Kuwaiti and American College Students. International Journal of Social Psychiatry. 52 (2): 110–126.

Ahmad, Masrokhan Azari. (2007). Bayi Tabung dan Perkembangan Anak dari Hasil Bayi Tabung. [Online]. Tersedia:

http://masrokhan.multiply.com/reviews/item/5?&show_interstitial=1& u=%2Freviews%2Fitem. [19 Januari 2012].

Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi – Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Rajagrafindo Persada Beckmann, C. R. B. , Ling, F. W., Louber, D. W., Smith, R. P., Barzansky, B.

M., Herbert, W. N. P. (2002). Obstetrics and Gynecology. (4th ed). USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Beckmann, C. R. B. , Ling, F. W., Louber, D. W., Smith, R. P., Barzansky, B. M., Herbert, W. N. P. (2010). Obstetrics and Gynecology. (6th ed). USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Benyamini Y, Gozlan M, Kokia E. (2005). Variability in the difficulties experienced by women undergoing infertility treatments. Fertil Steril.; 83 (2): 275-283.

Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2005). Optimism. In C. R. Snyder & S. J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology. (pp. 231-243). New York, NY: Oxford University Press, Inc.

Desmita. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Duvall, E. M. & Brian, C. M. (1985). Marriage and Family Development (6th ed). New York: Harper and Row, publisher Inc.

Family planning: blended learning module for the health extension programme [Module]. (2010). Federal Democratic Republic of Ethiopia: Ministry of Health.


(27)

Fresco, D. M., Rytwinski, M. K., Craighead, L. W. (2007). Explanatory flexibility and negative life events interact to predict depressions symptom. Journal of Social and Clinical Psychology. 26 (5). [Online]. Tersedia: http://proquest.umi.com. [9 Oktober 2011].

Kail. R. V., & Cavanaugh, J, C. (2000). Human Development: A Life Span View (2nd ed). USA: Wadsworth.

Kail. R. V., & Cavanaugh, J, C. (2008). Human Development: A Life Span View (5th ed). USA: Wadsworth.

Larasati, D. (2006). Adopsi Anak Jika Perkawinan Tak “Berbuah”. [Online]. Tersedia:

http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2006/2/26/kel3.html. [7 Oktober 2011].

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal & Coping. New York: Springer Publishing Company.

Lee, T. Y., Sun, G. H., Chao, S. C. (2001). The effect of an infertility diagnose on the stress, marital and sexual satisfication between husband and wives in taiwan. Human reproduction, 16 (8), 1762-1767.

Mahlstedt, P. P. (2007). Coping with Infertility: How Family and Friends Can Help [Fact Sheet].

McQuillan, J., Greil. A., White, L., & Jacob, M. (2003). Frustrated fertility: infertility and psychological distress among women. Journal of Marriage and Family. [Online]. Tersedia: http://proquest.umi.com/. [8 Oktober 2011]

Nguyen, R. H. N., Wilcox, A. J., Skjaerven, R., Baird, D. D. (2007). Men’s body mass index and infertility. Human reproduction, 22 (9), 2488-2493.

Nurfita, Eva. (2007). Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Skripsi Sarjana pasa Fakultas Kedokteran USU Medan. [Onlline]. Tersedia: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14288


(28)

Oddens, B. J., den Tonkelaar, I., Nieuwenhuye, H. (1999). Psychosocial experiences in women facing fertility problems—a comparative survey. Human reproduction, 14 (1), 255-261.

Papalia, D., Olds, S., & Feldman, R. (2001). Human Development (8th ed). New York: McGraw-Hill.

Patmonodewo, S., dkk. (2001). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia. Jakarta : Penerbit UI.

Penelitian Kerjasama. (2013). Laporan Penelitian Faktor yang Mempengaruhi Wanita yang Melahirkan pada Kelompok Umur 15-19 Wilayah Jawa Barat – Bandung. BKKBN: Bandung.

Peterson, C., & Steen. (2005). Optimistic explanatory style. In C. R. Snyder & S. J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology. (pp. 244-256). New York, NY: Oxford University Press, Inc.

Peterson, C., Vaillant, G. E, & Seligman, M. E. P. (1988). Pessimistic explanatory style is a risk factor for physical illness: a thirty-five-year longitudinal study. Journal of Personality and Social Psychology. 55 (1), 23-27.

Rusli, D. N. (2010). Explanatory Style pada Individu dalam Menghadapi Penyakit Kanker. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi USU

Medan. [Online]. Tersedia:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/25646

Santrock, J. W., (1995). Life Span Development (Edisi 5). Jakarta: Erlangga. Schuctack, Friedman. (2006). Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern

Jilid I (edisi 3). Erlangga: Jakarta.

Seligman, M. E. P. (2005). Authentic Happiness. Free Press: New York. Seligman, M. E. P. (1990). Learned Optimism: How to Change Your Mind

and Your Life. Simon & Schuster Inc.: New York.

Sher G., Davis, VM., & Stoess, J. (2005). In Vitro Fertilization: The A.R.T of Making Babies (3rd ed.).New York: Facts On File, Inc.


(29)

Shofia, F. (2009). Optimisme Masa Depan Narapidana. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. [Online]. Tersedia: http://etd.eprints.ums.ac.id/3603/

Silvania, I. (2012). Explanatory Style pada Remaja Penyalahguna Narkoba. Skripsi Sarjana pada Jurusan Psikologi UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Siregar, R. H & Siregar, M. G. (2009). Makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi. 4, (1), 10-17.

Sitompul, E. A. (2009). Gambaran Learned Helplessness pada Supir Angkutan di Kota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi USU Medan. [Online]. Tersedia: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14507

Sugiarti, L. (2008). Gambaran Proses Penerimaan Diri Wanita Involuntary Childless. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sultan, S. (2009). Psychological Aspects of Infertility. Doctoral Dissertation of Bahauddin Zakariya University, Multan, Pakistan.

Wiersema, N. J., Drukker, A. J., Mai, B. T. D., Giang, H. N., Nguyen, T. N., &Lambalk, C. B. (2006). Consequences of infertility in developing countries: results of a questionnaire and interview: survey in the south vietnam. Journal of Translational Medicine. [Online]. Tersedia: http://translational-medicine.com/content/4/1/54. [8 Oktober 2011].


(1)

tidak sesuai dengan harapan. Berbeda dengan subjek D yang telah melakukan program fertilitas di dua rumah sakit. D sempat menghentikan program tersebut karena jadwal program yang berbenturan dengan jadwal kerja. Meski begitu D sudah berencana untuk melakukan program fertilitas lagi hingga berhasil. Maka, dapat disimpulkan bahwa subjek S mengalami perubahan gaya eksplanatori optimis ke arah pesimis sedangkan subjek D memiliki gaya eksplanatori yang optimis.

3. Ditinjau dari aspek personalization, gaya eksplanatori subjek S cenderung intenal, yaitu cenderung menyalahkan diri sendiri atas ketidakhadiran anak yang dialaminya. Sedangkan subjek D mengalami perubahan gaya eksplanatori dari internal ke arah eksternal, yaitu awalnya menunjuk diri sendiri namun kemudian menunjuk pihak lain atas ketidakhadiran anak yang dialaminya. Maka, dapat disimpulkan bahwa subjek S memiliki gaya eksplanatori yang cenderung pesimis sedangkan subjek gaya eksplanatori D mengalami perubahan dari pesimis ke arah optimis.

4. Subjek S memiliki harapan untuk segera dapat membangun keluarga nuklear, yaitu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Begitu juga subjek D memiliki harapan yang sama, yaitu ingin segera memiliki setidaknya satu orang anak saja.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian mengenai gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan terdapat beberapa hal yang perlu direkomendasikan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi pasangan dan keluarga wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan

Agar memberikan dukungan yang besar bagi wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan karena dukungan dari keluarga dapat


(2)

membantu wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan merasa lebih baik mengenai diri mereka, merasa dicintai dan dihargai serta dapat membantu meningkatkan kreativitasnya dalam kemampuan penyesuaian yang adaptif terhadap stres dan rasa sakit yang dialaminya. Dengan demikian, wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan mampu belajar untuk mengembangkan gaya eksplanatori optimis.

2. Bagi wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan

Agar tidak mudah menyerah ketika usaha yang dilakukan belum memberikan hasil yang diharapkan serta sebaiknya memiliki pemikiran yang lebih positif mengenai kemungkinan akan terjadinya kehamilan sehingga wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan akan memiliki optimisme untuk segera mendapatkan keturunan.

Selain itu, wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan dan pasangannya perlu melakukan konseling untuk menghindari perceraian.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan dapat meneliti tema yang sama dengan karakteristik subjek berbeda, yaitu wanita menikah yang mengalami infertilitas sekunder dan wanita voluntary childless yang mulai mengalami kesulitan untuk mendapatkan keturunan setelah memutuskan untuk memiliki keturunan. Selain itu juga, peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode penelitian lain, yaitu kuantitatif dan kuantitatif-kualitatif (mixed methods). Hal tersebut bertujuan agar penelitian selanjutnya dapat memperoleh gambaran berbeda mengenai gaya eksplanatori wanita menikah yang belum dikaruniai keturunan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Khalek, A., & Lester, D. (2006). Optimism and Pessimism in Kuwaiti and American College Students. International Journal of Social Psychiatry. 52 (2): 110–126.

Ahmad, Masrokhan Azari. (2007). Bayi Tabung dan Perkembangan Anak dari Hasil Bayi Tabung. [Online]. Tersedia:

http://masrokhan.multiply.com/reviews/item/5?&show_interstitial=1& u=%2Freviews%2Fitem. [19 Januari 2012].

Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi – Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Rajagrafindo Persada Beckmann, C. R. B. , Ling, F. W., Louber, D. W., Smith, R. P., Barzansky, B.

M., Herbert, W. N. P. (2002). Obstetrics and Gynecology. (4th ed). USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Beckmann, C. R. B. , Ling, F. W., Louber, D. W., Smith, R. P., Barzansky, B. M., Herbert, W. N. P. (2010). Obstetrics and Gynecology. (6th ed). USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Benyamini Y, Gozlan M, Kokia E. (2005). Variability in the difficulties experienced by women undergoing infertility treatments. Fertil Steril.; 83 (2): 275-283.

Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2005). Optimism. In C. R. Snyder & S. J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology. (pp. 231-243). New York, NY: Oxford University Press, Inc.

Desmita. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Duvall, E. M. & Brian, C. M. (1985). Marriage and Family Development (6th ed). New York: Harper and Row, publisher Inc.

Family planning: blended learning module for the health extension programme [Module]. (2010). Federal Democratic Republic of Ethiopia: Ministry of Health.


(4)

Fresco, D. M., Rytwinski, M. K., Craighead, L. W. (2007). Explanatory flexibility and negative life events interact to predict depressions symptom. Journal of Social and Clinical Psychology. 26 (5). [Online]. Tersedia: http://proquest.umi.com. [9 Oktober 2011].

Kail. R. V., & Cavanaugh, J, C. (2000). Human Development: A Life Span View (2nd ed). USA: Wadsworth.

Kail. R. V., & Cavanaugh, J, C. (2008). Human Development: A Life Span View (5th ed). USA: Wadsworth.

Larasati, D. (2006). Adopsi Anak Jika Perkawinan Tak “Berbuah”. [Online]. Tersedia:

http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2006/2/26/kel3.html. [7 Oktober 2011].

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal & Coping. New York: Springer Publishing Company.

Lee, T. Y., Sun, G. H., Chao, S. C. (2001). The effect of an infertility diagnose on the stress, marital and sexual satisfication between husband and wives in taiwan. Human reproduction, 16 (8), 1762-1767.

Mahlstedt, P. P. (2007). Coping with Infertility: How Family and Friends Can Help [Fact Sheet].

McQuillan, J., Greil. A., White, L., & Jacob, M. (2003). Frustrated fertility: infertility and psychological distress among women. Journal of Marriage and Family. [Online]. Tersedia: http://proquest.umi.com/. [8 Oktober 2011]

Nguyen, R. H. N., Wilcox, A. J., Skjaerven, R., Baird, D. D. (2007). Men’s body mass index and infertility. Human reproduction, 22 (9), 2488-2493.

Nurfita, Eva. (2007). Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Skripsi Sarjana pasa Fakultas


(5)

Oddens, B. J., den Tonkelaar, I., Nieuwenhuye, H. (1999). Psychosocial experiences in women facing fertility problems—a comparative survey. Human reproduction, 14 (1), 255-261.

Papalia, D., Olds, S., & Feldman, R. (2001). Human Development (8th ed). New York: McGraw-Hill.

Patmonodewo, S., dkk. (2001). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia. Jakarta : Penerbit UI.

Penelitian Kerjasama. (2013). Laporan Penelitian Faktor yang Mempengaruhi Wanita yang Melahirkan pada Kelompok Umur 15-19 Wilayah Jawa Barat – Bandung. BKKBN: Bandung.

Peterson, C., & Steen. (2005). Optimistic explanatory style. In C. R. Snyder & S. J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology. (pp. 244-256). New York, NY: Oxford University Press, Inc.

Peterson, C., Vaillant, G. E, & Seligman, M. E. P. (1988). Pessimistic explanatory style is a risk factor for physical illness: a thirty-five-year longitudinal study. Journal of Personality and Social Psychology. 55 (1), 23-27.

Rusli, D. N. (2010). Explanatory Style pada Individu dalam Menghadapi Penyakit Kanker. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi USU

Medan. [Online]. Tersedia:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/25646

Santrock, J. W., (1995). Life Span Development (Edisi 5). Jakarta: Erlangga. Schuctack, Friedman. (2006). Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern

Jilid I (edisi 3). Erlangga: Jakarta.

Seligman, M. E. P. (2005). Authentic Happiness. Free Press: New York. Seligman, M. E. P. (1990). Learned Optimism: How to Change Your Mind

and Your Life. Simon & Schuster Inc.: New York.

Sher G., Davis, VM., & Stoess, J. (2005). In Vitro Fertilization: The A.R.T of Making Babies (3rd ed.).New York: Facts On File, Inc.


(6)

Shofia, F. (2009). Optimisme Masa Depan Narapidana. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. [Online]. Tersedia: http://etd.eprints.ums.ac.id/3603/

Silvania, I. (2012). Explanatory Style pada Remaja Penyalahguna Narkoba. Skripsi Sarjana pada Jurusan Psikologi UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Siregar, R. H & Siregar, M. G. (2009). Makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi. 4, (1), 10-17.

Sitompul, E. A. (2009). Gambaran Learned Helplessness pada Supir Angkutan di Kota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi USU Medan. [Online]. Tersedia: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14507

Sugiarti, L. (2008). Gambaran Proses Penerimaan Diri Wanita Involuntary Childless. Skripsi Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sultan, S. (2009). Psychological Aspects of Infertility. Doctoral Dissertation of Bahauddin Zakariya University, Multan, Pakistan.

Wiersema, N. J., Drukker, A. J., Mai, B. T. D., Giang, H. N., Nguyen, T. N., &Lambalk, C. B. (2006). Consequences of infertility in developing countries: results of a questionnaire and interview: survey in the south vietnam. Journal of Translational Medicine. [Online]. Tersedia: http://translational-medicine.com/content/4/1/54. [8 Oktober 2011].