PROGRAM PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MAS

PROGRAM PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
(P3MD)
KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN
TRANSMIGRASI
I. PENGANTAR
Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagaimana yang tertulis dalam BAB I, Pasal 1 Penjelasan
12, Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, adalah upaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui
penetapan kebijakan, program, kegiatan dan pendampingan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
Di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada BAB XIV, pasal 112 ayat 3
juga disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:
a. Menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat
guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
b. Meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan; dan
c. Mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat
Desa.
Pemberdayaan masyarakat Desa bertujuan memampukan Desa dalam melakukan aksi

bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga
kemasyarakatan Desa dan lembaga adat serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, forum musyawarah Desa, lembaga kemasyarakatan Desa, lembaga
adat Desa, BUM Desa, badan kerja sama antar-Desa, forum kerja sama Desa, dan kelompok
kegiatan masyarakat lain yang dibentuk untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya.
Pemberdayaan masyarakat Desa dilakukan dengan:
a. Mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan Desa yang
dilaksanakan secara swakelola oleh Desa;
b. Mengembangkan program dan kegiatan pembangunan Desa secara berkelanjutan
dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di
Desa;

c. Menyusun perencanaan pembangunan Desa sesuai dengan prioritas, potensi, dan nilai
kearifan lokal;
d. Menyusun perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga
miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal;
e. Mengembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa;

f. Mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat;
g. Mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan
melalui musyawarah Desa;
h. Menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia
masyarakat Desa;
i. Melakukan Pendampingan Desa yang berkelanjutan; dan
j. Melakukan pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan
pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa.
Secara legal formal, dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 112 ayat 4
diamanatkan bahwa pemberdayaan masyarakat Desa dilaksanakan dengan pendampingan
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan
Perdesaan. “Pendampingan” termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping dan
manajemen. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa junto Peraturan
Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43
tahun 2014 Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah
memandatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan
masyarakat Desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan.
Pendampingan Desa secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan

masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga.
II. PENDAMPINGAN DESA
1. Konsep Pendampingan Desa
Intisari Pendampingan Desa adalah memfasilitasi dan mendampingi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Fasilitasi dapat dilakukan dengan
cara-cara yang kreatif dan inovatif dengan berpedoman kepada Undang-undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa beserta seluruh aturan pelaksanaannya.
Masyarakat Desa difasilitasi untuk belajar agar mampu mengelola kegiatan pembangunan
secara mandiri. Berbagai pelatihan dan beragam kegiatan pengembangan kapasitas diberikan
oleh pendamping kepada masyarakat Desa. Pengembangan kapasitas di Desa dikelola
langsung oleh masyarakat sebagai bagian proses belajar sosial.

Dalam bangunan kerangka pikir pemberdayaan masyarakat Desa, penerapan Undang-undang
No. 6 tahun 2014 tentang Desa ini harus dikawal oleh tenaga pendamping profesional yang
bertugas mensosialisasikannya kepada masyarakat Desa. Pendampingan dan pelatihan dari
pendamping kepada masyarakat Desa ini diharapkan mempercepat proses internalisasi
Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa sebagai sebuah proses pembiasaan sosial
dalam diri masyarakat Desa. Selain itu, tenaga pendamping profesional juga bertugas
mendampingi warga Desa meningkatkan daya tawar dalam mengakses sumberdaya yang

dibutuhkan masyarakat Desa sehingga program dan kegiatan pembangunan mampu dikelola
masyarakat Desa itu sendiri.
Tenaga Pendamping profesional bukan pengelola proyek pembangunan di Desa. Kerja
Pendampingan Desa difokuskan pada upaya memberdayakan masyarakat Desa melalui
proses belajar sosial. Dengan demikian, pendamping tidak dibebani dengan tugas-tugas
pengelolaan administrasi keuangan dan pembangunan Desa, karena berdasarkan peraturan
perundang-undangan hal tersebut sudah menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah Desa.
Kerja Pendampingan bukanlah melakukan kontrol dan “mobilisasi partisipasi” terhadap
warga Desa dalam rangka menjalankan prosedur-prosedur kerja yang serba dirancang dari
kepentingan luar Desa. Kerja pendampingan lebih tepat dimaknai sebagai proses fasilitasi
terhadap warga Desa agar berdaya dalam memperkuat Desanya sebagai komunitas yang
memiliki pemerintahannya sendiri (self governing community).
Gambaran self governing community tercermin dari definisi Desa dalam Undang-undang No.
6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu bahwa Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kewenangan Desa untuk mengatur dan mengurus adalah aktualisasi dari kedudukan Desa

sebagai self governing community, berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 6 Tahun 2014
tentang Desa meliputi: kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala
Desa.
Kewenangan Desa dikelola dalam tata pemerintahan Desa yang demokratis dengan bertumpu
pada empat komponen utama yaitu: musyawarah Desa, pemerintah Desa, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat Desa. Kewenangan Desa sejatinya merupakan
kuasa rakyat yang ditopang oleh adanya kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan
dalam bingkai pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Hal penting yang harus dicermati dalam Tata Kelola Desa yang Demokratis adalah
disebutkannya dalam Pasal 54 Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa
Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk
memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Hal yang bersifat strategis dimusyawarahkan di dalam musyawarah Desa meliputi: penataan
Desa; perencanaan Desa; kerja sama Desa; rencana investasi yang masuk ke Desa;

pembentukan BUM Desa; penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan kejadian luar biasa.
Musyawarah Desa ini diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa dan diikuti oleh
Pemerintah Desa dan unsur masyarakat yaitu antara lain: tokoh adat; tokoh agama; tokoh

masyarakat; tokoh pendidikan; perwakilan kelompok tani; kelompok nelayan; kelompok
perajin; kelompok perempuan; dan kelompok masyarakat miskin.
Dalam rangka mewujudkan Desa sebagai self governing community, fokus kerja
Pendampingan Desa diarahkan pada proses kaderisasi masyarakat Desa. Pemberdayaan
masyarakat Desa adalah bagian dari proses transformasi sosial yang digerakkan oleh kaderkader Desa yaitu warga Desa yang dengan kebebasannya memilih untuk secara sukarela
terlibat menjadi penggerak pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di Desanya. Kader
Desa adalah orang kunci yang mengorganisir dan memimpin rakyat Desa bergerak menuju
pencapaian cita-cita. Kader Desa hadir sebagai penggerak, para penggerak pembangunan
Desa, tokoh-tokoh masyarakat, pengelola organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa,
kader-kader perempuan maupun para pemuda yang akan menjadi generasi penerus di
Desanya. Tenaga pendamping profesional memfasilitasi dan mendampingi warga Desa untuk
mengorganisir diri, mengkonsolidasikan seluruh sumber daya, bersama-sama merekrut,
melatih dan membentuk kader-kader Desa.
2. Landasan Hukum bagi Kerja Pendampingan Desa
Tenaga pendamping profesional memfasilitasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
Desa dengan berbekal keahlian diri sebagai pendamping profesional. Kreativitas dan
kemampuan diri untuk melakukan pembacaan kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya
yang ada di setiap Desa menjadi bekal utama dalam melakukan pendampingan bagi
masyarakat Desa. Aturan dasar yang mengikat kerja pendampingan Desa adalah peraturan
hukum tentang Desa. Oleh sebab itu, ketaatan tenaga pendamping profesional kepada produk

hukum tentang Desa yang ditetapkan Negara akan sangat menentukan kualitas pendampingan
itu sendiri. Landasan hukum yang menjadi dasar tindak pendampingan Desa, wajib untuk
dipahami dan dimengerti oleh para tenaga pendampingan Desa meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumberkan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumberkan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa;

g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Kepala Desa;
h. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa;

i. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pembangunan Desa;
j. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1
Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa;
k. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 2
Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan
Musyawarah Desa;
l. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3
Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa;
m. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Desa;
n. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor
21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 dan
o. Peraturan Pelaksanaan lainnya.
Aturan pelaksanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa akan terus berkembang
dengan dinamis, sehingga terbuka peluang untuk munculnya produk hukum baru maupun
revisi terhadap produk hukum yang sudah ada. Oleh karena itu, pendamping juga harus
senantiasa memperbaharui diri dengan belajar secara terus-menerus dan mengikuti dinamika

perkembangan pengaturan Desa. Dengan demikian, pendamping akan mampu memfasilitasi
masyarakat Desa dalam menjalankan aturan hukum tentang Desa maupun dalam
merumuskan produk hukum Desa yang taat kepada produk hukum negara.