PENERAPAN METODE SASTRA DALAM KEGIATAN B (1)

PENERAPAN METODE SASTRA DALAM KEGIATAN
BELAJAR MENGAJAR BERBASIS PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI PESANTREN

Karya Ilmiah
Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Beasiswa
Unggulan Kemendikbud Tahun 2014

Oleh:
Fachriana Hanifiyah
NIMKO: 133306000

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NURUL JADID
2014

1

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Manusia pada umumnya lebih menyukai suatu keindahan yang mereka
alami dan mereka lihat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Adakalanya
keindahan tersebut dihasilkan dari kegiatan yang mereka lakukan yang berkaitan
dengan tingkah lakunya, bahkan keilmuannya. Oleh karena itu, hal ini dapat
dikatakan bahwa mereka cenderung mempersepsikan segala jenis kegiatan yang
mereka lakukan sebagai suatu wujud yang menghasilkan suatu keindahan.
Sebaliknya, sesuatu yang memang tidak baik ataupun rumit untuk dipandang dan
dilakukan terkadang menjadi suatu kendahan. Dalam kasus ini, sebagai
contohnya, seorang anak yang secara tidak sengaja melewati suasana pinggiran
perkotaan yang memiliki suasana yang kotor dan penuh dengan sampah. Anak
tersebut terasa memiliki sebuah imajinasi yang tinggi akan sebuah keindahan;
bahwa yang dia lihat saat itu, bilamana dilukiskan dalam suatu karya yang berupa
gambar akan terasa indah di depan mata.
Berangkat dari pernyataan di atas inilah, sebuah kajian sastra yang sudah
kian dinamai sebagai sebuah keilmuan yang identik dengan keindahan ataupun
nilai estetika telah diterapkan dalam dunia pendidikan juga, khususnya pendidikan
agama Islam. Dalam realitasnya, sebuah lembaga pendidikan yang masih
mengikat pada pengkajian nilai estetika kesastraan pada proses pembelajaran

pendidikan yang berbasis keagamaan adalah pesantren.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang dideskripsikan pada latar belakang tersebut,
penulis bermaksud memberikan rumusan masalah sebagai studi kasus atas
penjelasan yang berkaitan dengan judul karya ilmiah ini. Adapun rumusan
masalah tersebut antara lain:
2

1. Seperti apakah wujud dari pada kajian sastra yang diterapkan pada
pembelajaran keagamaan di pesantren?
2. Bagaimanakah implementasi kajian sastra pada pembelajaran para
santri di pesantren?
3. Bagaimanakah hubungan antara sastra dan pesantren?
C. Tujuan Penulisan
Dalam rangka membangun sebuah pemahaman dan korrespondensi
terhadap permasalahan yang dikaji dalam karya ini, maka penulis mengajukan
beberapa tujuan penulisan karya ilmiah ini. Adapun tujuan penulisan tersebut
antara lain:
1. Untuk mengetahui dan memahami eksistensi sastra dalam ruang
lingkup pesantren

2. Sebagai media informasi bagi para pelajar khususnya yang telah
berdomisili di pesantren (Santri) akan adanya sastra dan nilai sastra di
pesantren
3. Untuk mengetahui penerapan kajian sastra pada pembelajaran para
santri di pesantren
4. Untuk menyempurnakan tujuan pendidikan yang sebenarnya
D. Ruang Lingkup Pembahasan
Untuk menghindari pemikiran yang begitu merumitkan para pembaca,
khususnya para pelajar akan karya ini, maka penulis bermaksud memberikan
ruang lingkup pembahasan sebagai media untuk menyatukan konsep pemikiran
antara penulis dan pembaca dalam rangka pemahaman terhadap isi dan penjelasan
yang dimaksudkan dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis membatasi
karya ilmiah ini pada penerapan ataupun implementasi kajian sastra – meliputi
nilai kesastraan pada pembelajaran (kegiattan keagamaan) para santri di
pesantren.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari karya ilmiah ini antara lain:

3


BAB I

PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis memberikan gambaran keseluruhan
yang singkat dan akurat mengenai apa yang akan dibahas
dalam karya ilmiah ini yang bertujuan untuk mengantarkan
para pembaca kepada rasa ingin tahu yang kuat kepada apa
yang dibahas dalam karya ilmiah ini. Adapun beberapa sub
materi dari bab ini meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup pembahasan, dan
sistematika penulisan.

BAB II

KERANGKA TEORI
Pada bab ini, penulis akan memberikan sekilas tentang
variabel yang ada pada judul karya ilmiah. Kerangka teori
ini merupakan gambaran secara umum tentang pembahasan
variabel – variabel yang menjadi istilah acuan. Adapun sub
materi dalam bab ini meliputi pengertian sastra, fungsi

sastra, pengertian pendidikan, dan fungsi pendidikan.

BAB III

PEMBAHASAN
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan dan menjelaskan
secara umum tentang judul karya ilmiah ini dengan
menyatukannya kepada kerangka teori.

BAB IV

PENUTUP
Bab ini merupakan kesimpulan dari pembahasan yang
merupakan jawaban terhadap masalah serta berisi tentang
saran – saran yang telah direkomendasikan oleh penulis
melalui telaah yang didasarkan pada hasil pembahasan.

4

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Pengertian Sastra
Pada hakikatnya, kata “sastra” diintisari dari bahasa sanskerta “shastra”,
yang mempunyai arti teks yang mengandung instruksi ataupun pedoman. Jika kita
cermati dari segi suku katanya, kata “sastra’ akan terpecah menjadi “sas” yang
berarti instruksi ataupun ajaran, dan “tra” yang berarti alat ataupun sarana.
Sehingga, dalam Bahasa Indonesia, kata “sastra” tersebut bisa digunakan untuk
merujuk kepada “kesusastraan” yang memiliki pengertian sebuah jenis tulisan
yang memiliki arti ataupun keindahan tertentu.
Dari pernyataan tersebut, kita dapat mendefinisikan bahwa sastra adalah
jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai – nilai yang telah disepakati
untuk terus menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu masyarakat. Nilai
– nilai tersebut tersirat dalam sebuah bahasa yang menjadi inti dari sastra tersebut,
dikarenakan eksistensi sastra yang tidak jauh dari bahasa.1 Berangkat dari nilai –
nilai itulah, seseorang mampu membaca dan memproyeksikan arti sebuah
kehidupan. Tidak menutup kemungkinan, seseorang akan terasa nyaman dan peka
dalam mempelajari sesuatu jika sesuatu tersebut dihiasi dengan sastra dan
keindahannya.
Dalam ruang lingkup yang sama, sastra tidak bisa lepas dari sebuah karya

sastra yang merupakan buah atau hasil, bahkan bisa menjadi wujud dari sebuah
sastra. Hal ini telah terbukti dengan adanya beberapa karya konkrit sastra yang
telah dicetak menjadi sebuah buku, misalnya novel, pantun, cerita pendek,
dongeng, kisah – kisah zaman dahulu, dan lain sebagainya. Dari pernyataan
tersebut, kita dapat menyimpuulkan bahwa sastra yang semula dikenal sebagai
karya yang sering diekspresikan dengan bahasa lisan, kini telah menjadi karya

1

Sapardi Djoko Damono, Sastra
(Jakarta:HISKI,2007), Cet. 3, Hal. 4

di

sekolah –

Dengan

sastra


menjadi

manusia,

5

yang telah ditulliskan sebagai script yang dengan mudah didapatkan oleh
masyarakat terutama kaum pelajar.

B. Fungsi Sastra
Sastra, pada hakikatnya dibutuhkan oleh manusia di sepanjang sejarah dan
perjalanan hidupnya. Dalam sastra-lah terdapat berbagai filosofi dari kehidupan
manusia. Dalam hal ini, seorang pemikir Romawi yang bernama Horatius,
mengemukakan istilah dulce et utile dalam karyanya yang berjudul Ars Poetica,
yang memiliki makna bahwa sastra memiliki fungsi ganda, yakni menghibur dan
bermanfaat bagi pembacanya. Sastra memang menghibur dengan keindahan,
memberikan makna terhadap kehidupan, ataupun mmeberikan keleluasaan
terhadap dunia imajinasi. 2 Bagi banyak orang, sastra menjadi sarana untuk
menyampaikan pesan tentang kebenaran baik secara tersirat maupun tersurat.
Oleh karena itu, sastra dapat diibaratkan sebagai potret ataupun sketsa kehidupan

secara global.
Dalam hal fungsi, sastra telah mengalami berbagai perubahan dari zaman
ke zaman sesuai dengan kondisi dan keadaan lingkungan pada saat itu. Saat ini,
sastra juga merupakan media komunikasi yang melibatkan tiga komponen di
dalamnya, yaitu pengarang sebagai pembuat karya sastra, karya sastra sebagai
hasil tangan dan buah piker pengarang, dan penerima pesan yang dalam hal ini
pembaca ataupun penikmat karya sastra. 3 Adapun fungsi – fungsi sastra dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Fungsi Rekreatif.
Dalam

hal

ini,

karya

sastra

dapat


memberikan

hiburan

yang

menyenangkan bagi pembaca atau penikmatnya.
2. Fungsi Didaktif

2

Melani Budianta, Membaca Sastra – Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi,
(Magelang:IKAPI,2006), Cet.3, Hal. 19
3
Ibid

6

Dalam fungsi didaktif ini, karya sastra mampu mengarahkan pembaca

untuk bertindak sesuai dengan nilai - nilai kebenaran dan kebaikan. Setiap
karya sastra yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung
memberi hikmah yang dapat kita terapkan dalam kehidupan.
3. Fungsi Estetis
Fungsi estetis adalah bahwa karya sastra mampu menciptakan dan
memberikan keindahan bagi pembacanya. Karya sastra diciptakan dengan
mempertimbangkan sifat keindahannya. Melalui bentuk yang indah inilah
karya sastra dapat hadir dan diterima oleh banyak orang.
4. Fungsi Moralitas
Dalam hal ini, karya sastra mampu mendedikasikan pengetahuan tentang
moral yang baik dan buruk. Melalui karya sastra pembaca dapat
mengetahui moral yang patut dicontoh karena baik dan tidak perlu
dicontoh karena buruk.
5. Fungsi Religious
Dalam fungsi ini, karya sastra juga memperhatikan ajaran-ajaran agama
yang dapat diteladani oleh para pembacanya. Terkadang ajaran itu tidak
dapat diterima secara langsung oleh seseorang lewat khotbah. Akan tetapi,
melalui karya sastra yang dikemas dalam bentuk cerita, maka ajaran itu
dapat tersampaikan dan diterima dengan senang hati tanpa merasa ada
paksaan.

C. Pengertian Pendidikan
Secara harfiah, pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara
dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan
juga dapat diartikan sebagai sebuah proses pembimbingan manusia dari
kegelapan, kebodohan kepada pencerahan pengetahuan yang hakiki.4 Di samping
itu, pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup

4

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan, (Jakarta:PT
Imperial Bhakti Utama, 2007), Cet.2, Hal.20

7

ataupun mencapai kemajuan yang lebih baik. Apa yang ditekankan dalam
pengertian pendidikan ini ialah sadar dan sistematik. 5
Oada hakikatnya, pendidikan merupakan sarana fundamental upaya
manusia untuk memperoleh kelangsungan hidupnya. Pendidikan juga merupakan
hak asasi setiap manusia dalam proses mempersiapkan dirinya menuju masa
depan yang yang lebih baik, dan yang bermanfaat bagi dirinya maupun bangsa
dan negaranya. Pemerintah juga memberikan dukungan yang penuh terhadap
setiap masyarakat pada umumnya untuk mendapatkan pendidikan yang layak
untuk tujuan bersama. Hal tersebut relah tersirat dan tersurat dalam Muqaddimah
Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Melindungi segenap
bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.6
Sejalan dengan beberapa pengertian tersebut, maka usaha pendidikan
dilaksanakan mulai dari tahapan makro yang meliputi nasional ataupun structural,
meso yang meliputi institusionalm dan mikro yang meliputi instruksional dalam
ruang lingkup fungsi manajerial, operasional, penelitian dan pengembangan, dan
penunjang.
Selanjutnya, argumentasi – argumentasi yang berkaitan dengan pengertian
pendidikan dapat dilihat secara jelas dengan sebuah kajian filosofi bahwa manusia
pada hakikatnya membutuhkan berbagai model – model bimbingan yang akan
mengarahkan mereka pada suatu kebenaran. Kita mengenal istilah “ilmu”, yang
pada umumnya digunakan untuk mendeskripsikan sebuah disiplin pengetahuan
yang sistematis dan logis yang mudah dicerna oleh pikiran manusia. Demikian,
ilmu tersebut harus dihantarkan dan disampaikan oleh seorang subjek dan
tentunya secara adat dan formal pendidikan, diajarkan dalam sebuah lembaga

5

Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, (Yogyakarta:Galang Press,2004), Cet.1, Hal. 1
Prof.Dr.H. Mohamad Surya, Bunga Rampai Guru dan Pendidikan, (Jakarta:Balai Pustaka,2004),
Cet.1, Hal.139
6

8

pendidikan yang di dalamnya terdapat sebuah kurikulum7 yang mengatur jalannya
proses pembelajaran.
D. Pengertian Pesantren
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam Indonesia yang
berbasis sistem pendidikan “tradisional” untuk mendalami bidang ilmu-ilmu Islam
dan mengamalkan ilmu tersebut sebagai pedoman hidup keseharian atau perilaku.
Secara teknis, pesantren adalah tempat di mana para santri tinggal. Dapat
dikatakan bahwa pesantren serupa dengan akademi militer atau biara, dalam artin
bahwa mereka yang berada di pesantren mengalami suatu kondisi totalitas.
Dibandingkan dengan pendidikan parsial yang ditawarkan oleh system pendidikan
public Indonesia sekarang, yang menjadi budaya atau adat pendidikan umum
bangsa, pesantren dengan sendirinya merupakan suatu kultur yang unik. 8
Sebagai lembaga pendidikan non formal, tentunya pendidikan di pesantren
tidak kalah baiknya dengan pendidikan formal lainnya, karena di dalamnya tidak
hanya diajarkan keilmuan agama saja, melainkan keilmuan umum juga diajarkan
– guna menjawab tantangan global dan menyiapkan kader yang Islami dan
berkebangsaan. Hal ini yang membuat pesantren terbagi menjadi dua model, yaitu
pesantren salaf dan pesantren modern.
Namun, hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi pesantren untuk
mendidik dan membimbing para santri menuju jalan kebenaran. Dengan
diadakannya kurikulum pesantren yang membantu proses belajar mengajar di
pesantren, para santi tentunya akan mendapatkan pengetahuan yang terarah sesuai
dengan materi yang diajarkan. Dalam realitasnya, kurikulum tersebut membawa
model – model perencanaan pembelajaran dan pengajaran di pesantren.

7

Kurikulum adalah sebuah rancangan pengajaran dan pembelajaran yang disusun untuk mencapai
suatu matlamat pendidikan serta bertujuan mengarahkan proses pembelajaran. Lihat Dr. Nor
Hashimah Hashim,dkk, Panduan Pendidikan Prasekolah, (Kuala Lumpur:PTS Professional,2003),
Cet.1, Hal.94
8
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi – Esai – Esai Pesantren, (Yogyakarta:LKiS,2001),
Cet.1, Hal. 233

9

BAB III
PEMBAHASAN

A. Eksistensi Sastra dalam Lingkungan Pesantren
Adanya arus globalisasi tidak menutup kesempatan bagi sebuah keilmuan
yang sudah lama dikenal oleh banyak orang dan tentunya masih lekat dengan
tradisional, untuk tetap menampakkan kemurniannya yang penuh dengan
keindahan dan intisari kehidupan. Terdapat banyak orang yang mengatakan
bahwa sastra merupakan ilmu yang bersifat tradisional dan berjaya ketika praglobalisasi dan modernisasi.
Dari pernyataan tersebut, orang – orang telah menganggap bahwa sastra
hanyalah sebatas karya puitis dan sebuah tembang kesenian lagu. Sebaliknya, saat
ini, sastra kian menjadi sebuah media dalam sebuah proses pembelajaran dalam
dunia pendidikan. Artinya, sastra maupun nilai kesastraan mulai ditanamkan
dalam proses belajar mengajar di berbagai lembaga pendidikan 9 , khususnya
pesantren. Hal tersebut dilakukan dalam rangka membimbing dan mengarahkan
para pelajar kepada ilmu yang diajarkan menuju sebuah pemahaman.
Dalam pandangan sejarah, terhitung sejak sekitar awal milennium ke-3,
sastra pesantren di Indonesia menunjukkan geliat yang benar – benar nampak.
Kreatifitas dan produktivitas sastra pesantren meningkat drastic, baik secara
kualitatif maupun secara kuantitatif. Tentunya, hal ini merupakan hal yang
signifikan dan positif, meskipun pasalnya menyimpan komplikasi keunikan
tersendiri di belakangnya. Di satu sisi, fenomena ledakan sastra pesantren
menunjukkan dan mengukuhkan eksistensi pesantren sebagai salah satu unit
peradaban yang tak pernah kering dari penciptaan - penciptaan baru, khususnya
dalam dunia kesusasteraan.
Setiap karya sastra memang sudah mengandung pesan - pesan keagamaan
yang kuat. Sekalipun ia terlepas dari istilah “Sastra Islam atau Islami”. Karena
9

Sapardi Djoko Damono, Sastra di Sekolah - Dengan Sastra Menjadi Manusia,
(Jakarta:HISKI,2007), Cet.3, Hal.22

10

dalam sebuah karya sastra disamping harus memiliki kesan metafor, rima, dan
estetika yang baik, di dalamnya juga mesti terdapat nilai moral, religiusitas
(apapun bentuknya), dan kekuatan kritis terhadap fakta kemanusiaan. 10 Melihat
asal mula sastra sendiri, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Jika
dilacak jauh ke belakang dengan melihat sejarah sastra, kehadiran unsur
keagamaan dalam sastra sama halnya dengan keberadaan sastra itu sendiri.
Dalam hal ini, Mangunwijaya (1982) mengatakan bahwa pada awal mulanya,
segala sastra adalah religius.
Membicarakan sastra dan agama yang tentunya memiliki hubungan yang
erat dengan jiwa pesantren bisa berarti mempertautkan pengaruh agama dalam
sebuah karya sastra, atau sebuah karya sastra bernafaskan agama. Pertautan dua
hal itu didasarkan pada pandangan bahwa seorang pengarang dari karya sastra
yang mana karyanya telah dikonsumsi tidak dapat terlepas dari nilai – nilai dan
norma – norma yang bersumber dari ajaran agama yang tampak dalam
kehidupan.11 Pandangan itu erat dengan proses penciptaan karya sastra, bahwa ia
tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya.
Dengan demikian, dalam kasus ini, eksistensi sastra dalam pesantren ialah
bagaimana para santri sebagai pelajar Islam memakai asas nilai dan moral yang
terkandung dalam sastra yang berasaskan keislaman. Artinya, proses pada belajar
mengajar suatu keilmuan dalam pesantren harus memiliki visi dan orientasi
kependidikan yang pada dasarnya merupakan suatu penanaman nilai – nilai
keislaman, pengembangan sikap, serta perujukan terhadap perilaku dan tindakan
yang sesuai dengan moral yang agung yang telah disampaikan dan diajarkan oleh
Rasulullah SAW.12

B. Model Penerapan Sastra dalam Pesantren
Pada saat ini, banyak di antara guru dari berbagai lembaga pendidikan
menggunakan berbagai metode pembelajaran yang bervariasi dalam rangka
10
11
12

NU Online oleh D.Zawawi Imron.
Aprinus Salam, Oposisi Sastra Sufi, (Yogyakarta:LKiS,2004), Cet.1, Hal.2
Abd A’la, Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta:Pustaka Pesantren,2006), Cet.1, Hal.31

11

menciptakan suasana kelas yang kondusif, produktif, dan solutif. Salah satu
lembaga pendidikan non formal yang masih lebih edukatif di kalangan masyarakat
Indonesia ialah pesantren.
Pesantren merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan di
Indonesia. Pesantren seyogiyanya perlu dibaca sebagai warisan sekaligus
kekayaan kebudayaan intelektual nusantara. Lebih dari itu, pesantren juga
seharusya dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri.
Pesantren juga memegang sistem pendidikan yang cenderung pada keagamaan,
pemondokan (karantina), serta penerapan pola pendidikan selama 24 jam
merupakan salah satu keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren dianggap
sebagai pengejawantahan local genus pendidikan Nusantara yang sejati.
Kekayaan lektur dan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan
banyaknya kitab - kitab turats 13 yang ditulis oleh para mushannif (pengarang)
berlatar pesantren. Karya - karya ini tidak saja populer di Indonesia, melainkan
juga hingga ke tanah Arab. Di antara para pengarang tersebut antara lain adalah:
Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin alFadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali, Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.
Di samping khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat dengan tradisi
susastra, khususnya puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh
aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan
melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini tidak saja dipelajari,
melainkan juga dihafalkan. Tradisi nadham dan hafalan menjadi dua serangkai
yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar
‘Amrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui
puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghafalkannya sekaligus.
13

Dalam perkembangan sejarahnya, peran kebudayaan yang menonjol dan berpengaruh yang
dimainkan pesantren hingga kini adalah konsentrasi dan kepeloporannya dalam mempertahankan
dan melestarika ajaran Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah serta mengembangkan kajian – kajian
keagamaan melalui khazanah kitab kuning (al-kutub al-qadimah wa kutub at-turats) yang sering
disebut oelh kalangan pesantren sendiri sebagai instrument pokok untuk memperdalam agama
(tafaqquh fid-din). Lihat Dr.K.H.Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial – Mengedepankan
Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi, (Bandung:PT Mizan Pustaka,2006), Cet.1, Hal.204

12

Di samping itu, silsilah akar sastra di pesantren yang lainnya adalah diba’.
Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan
seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Diba’, bahkan secara “magis”, juga
dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan doa keselamatan.
Berangkat dari hal tersebut, tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Tradisi
keilmuan di pesantren tidak kalah baiknya dengan tradisi keilmuan di lembaga –
lembaga pendidikan yang lainnya. 14 Bahkan, ada pula yang telah sampai pada
kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang asli Nusantara
dengan khazanah intelektual yang luar biasa.
Di samping itu, dalam hal pendidikan yang berkaitan dengan penyampaian
materi keagamaan, pesantren tidak lepas dari kitab – kitab yang bernuansa Islami
yang cenderung digunakan sebagai buku pedoman (handbook) oleh kaum santri.
Kitab – kitab tersebut tentunya mengandung sebuah unsur kesastraan mengenai
sejarah maupun karya dari pengarang kitab – kitab tersebut. Tambahnya, sastra
tidak hanya terdapat dalam kitab – kitab tersebut, melainkan sastra telah
digunakan dan diserap serta diterapkan nilainya oleh banyak guru dalam sebuah
pesantren untuk mengantarkan dan membimbing para santri sebagai murid kepada
suatu pemahaman keilmuan yang dimaksudkan dalam suatu kitab.
Dewasa ini pun apabila kita melirik ke beberapa pesantren atau pusatpusat perkembangan agama Islam, maka akan mendengar atau menyaksikan hasilhasil karya sastra di kalangan pesantren. Bentuk karya sastra tersebut ada berupa
Nazam atau Nazaman, Drama, Puisi, dan Syair - Syair hafalan mengenai ilmu
tertentu. Dalam kasus ini, sebagai contoh ialah kitab Amtsilatut Tashrif yang
ditulis oleh Ma’sum bin Ali, menjadi sebuah kitab pada pembelajaran Ilmu Alat
(Nahwu dan Shorrof) yang mana dalam implementasinya menggunakan irama
sholawat serta sistem hafalan agar murid mampu menangkap dan mengingat

14

M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta:Pustaka Pesantren,2005),
Cet.1, Hal.131

13

dengan baik apa yang terkandung dan dimaksudkan dalam pelajaran dan kitab
tersebut.15
Dalam mempelajari ilmu, penggunaan teknik hafalan16 lebih bersifat dasar
alasan, bukan asas tujuan. Karena, tujuan utamanya adalah memahami, sementara
hafalan, yang tentu saja dimaksudkan untuk lebih mudah mengingat, juga menjadi
referensi sebagai argumen, siapa tahu suatu saat dibutuhkan sebagai jawaban.
Pada umumnya, yang dihafalkan oleh para santri ini adalah syi’ir atau nadham
yang berkaitan dengan bidang keilmuan yang mereka pelajari di pesantren.
Dari segi estetika, tradisi transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi
ataupun nazam merupakan keistimewaan. Bahkan merupakan acuan paling dasar
dari semua pembicaran tentang silsilah ataupun referensi ilmiah di pesantren.
Berbagai disiplin ilmu pengetahuan diturunkan melalui puisi, mulai dari teoriteori hukum fiqh, gramatika, teori rima dan matra, hingga linguistik.
Dengan demikian, masih terdapat banyak corak dan fenomena penerapan
kajian kesastraan beserta nilai – nilainya dalam kegiatan belajar mengajar di
pesantren sebagai proses transformasi keilmuan dari kitab pegangan para murid.
Kajian kesastraan yang berkomposisi berbagai kitab – kitab sebagai karya sastra
itulah yang mengantarkan para santri kepada pemahaman suatu ilmu agama yang
diajarkan dalam pesantren.
C. Hubungan antara Sastra dan Pesantren
Di lingkungan Pesantren, sekalipun mata pelajaran sastra tidak diajarkan
secara khusus, instrument - instrumen pemahaman sastra dan pendekatan sastrawi
dalam praktek pendidikan ala Pesantren sesungguhnya menjadi metode yang
sangat kuat berakar. Secara teoritik mungkin hal ini tidak disadari sebagai bagian
dari metode. Pada kenyataannya, gaya dan suasana, tradisi dan pola belajar
mengajar di Pesantren sangat mengedepankan pendekatan - pendekatan sastrawi.

15
16

KH.MA.Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta:LKiS,1994), Cet.1, Hal.263
Ibid, Hal.138

14

Tradisi melantunkan dan menghafal bait - bait nadhom sebagai penghantar
mata pelajaran ilmu alat seperti nahwu dan shorof memudahkan mereka mencerna
pemahaman atas ilmu itu sendiri. Kajian - kajian atas kitab kuning karya ulama
dan shalaf al-shalih lainnya, untuk sebagian di antara kitab-kitab tersebut ditulis
dengan tekstur sastrawi dan berunsur puitik, seperti kitab Zubad, misalnya, cara
mengkajinya pun dimulai dari melantunkan dan menghafal bait demi bait isi dari
kitab tersebut, betapapun materi dari kitab-kitab itu berisi ajaran - ajaran tasawuf,
teologi maupun kaidah - kaidah fiqhiyah dan ilmu - ilmu alat (pengetahuan
gramatika bahasa Arab). 17 Kebiasaan sedemikian, secara tradisional membuat
lingkungan Pesantren dan para santri khususnya, begitu akrab dengan syair syair, nyanyian - nyanyian, puji - pujian yang menjadi penghantar mereka dalam
menghafal pelajaran dari mana pemahaman dan pengetahuan agama mereka
ditransferensikan.
Metode sastrawi pada akhirnya menjadi jiwa dari tradisi dan pola belajar
mengajar di lingkungan Pesantren itu sendiri. Sekalipun para santri tidak secara
teoritik belajar sastra, dunia sastra itu sendiri bukan sesuatu yang asing di
lingkungan mereka. Kegiatan-kegiatan haflah (pertemuan para santri) yang secara
periodik dilakukan biasa ditampilkan pula pementasan - pementasan kesenian
khas Pesantren seperti; kasidah, terbangan, pentas rebana dan lain - lain. Bahkan
di waktu - waktu tertentu pula selalu ada kegiatan lomba seperti; membaca kitab
al-Barzanji dan hafalan bait-bait alfiyah Ibnu Malik dan sebagainya.
Tradisi dan kultur Pesantren yang akrab dengan dunia sastra itu dari tahun
ke tahun, seperti tak habis-habisnya melahirkan para pegiat sastra baik yang
berkecimpung di tingkat lokal maupun nasional seperti; Faizi El sael, Ahmad
Syubanudin Alwi, Haqqi al-Anshory, Arief Fauzi Marzuki, Acep Zamzam Nur,
D. Zawawi Imran, Ahmad Tohari, Ragil Suwarna Pragolapati (Alm.), Zaenal
Arifin Thoha (Alm.), KH. Maman Imanul Haq, Ahmad Zaky (Zaky Zarung),
Mahbub Jamaluddin, Sachree M. Daroini, Kaje Habib, Nor Ismah (Ismah Kajee),

17

KH.Muhammad Solikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani,
(Yogyakarta:Mutiara Media,2009), Cet.1, Hal.56

15

Ma’rifatun Baroroh, Pijer Sri Laswiji, Ully, dan tentunya masih banyak lainnya
yang tidak sempat disebut di sini.
Pengalaman dan keakraban bersastra yang melekat dalam tradisi dan pola
belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu menjadikan sastra tak ubahnya jiwa
dari kehidupan Pesantren itu sendiri. Sastra seperti menemukan rumahnya yang
nyaman. Kegiatan sastra begitu nyata dihidupkan, tapi juga barangkali masih malu
- malu untuk diakui sebagai bagian dari tradisi Pesantren itu sendiri. Karenanya,
proses mengembangkan sastra di lingkungan Pesantren pada akhirnya harus terus
menerus dilakukan, bukan semata - mata karena sastra menjadi jembatan
penghubung pembelajaran ilmu - ilmu agama. Lebih dari itu, usaha ini dilakukan
sebagai bentuk pertanggung jawaban religi atas nilai - nilai agama itu sendiri.
“Innallaha jamilun yuhibbu al-jamal.” Yang artiya Allah lah yang terindah. Dia
yang menyintai keindahan. Dan, puncak dari segala yang bernama keindahan
adalah kembali ke asal mula keindahan dengan cara-cara yang sarat keindahan
pula (khusnul khotimah).
Sastra merupakan jalan pembebasan. 18 Ia hadir di tengah carut marut
kehidupan dan sistim sosial yang mampat. Sastra juga menjadi kunci pembuka
kebuntuan akibat ketatnya aturan - aturan yang memancing kreativitas dan
kebebasan individu. Sastra di lingkungan Pesantren menjadi jalam pembebasan
dari kebuntuan memahami pelajaran dan pendalaman ilmu-ilmu agama. Sastra
diakui atau tidaki telah menjadi wasilah (penghubung) internalisasi pendalaman
pengetahuan di bidang agama.
Dalam sudut pandang lain, perlu dikemukakan pula di sini, lingkungan
Pesantren pada umumnya miskin pengakuan dan cenderung ‘alergi’ terhadap
sastra. Bahkan, sastra dianggap sebagai bidang keilmuan yang tidak penting
diajarkan. Kecenderungan ini berawal dari munculnya anggapan bahwa sastra
akan mendekatkan seseorang pada aspek-aspek ‘ma’ashiy’ (sesuatu yang bersifat
maksiat) dan karena itu bersastra (baca: berkesenian) sebagai sesuatu yang tabu
18

Bagi kita menjadi jelas bahwa sastra bisa menjadi sarana bukan Cuma buat mengungkapkan
ketegangan jiwa – suatu protes terapi psikologis – melainkan juga menjadi jalan pemebebasan
jiwa. Lihat Mohamad Sobary, Singgasana dan Kutu Busuk, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka
Utama,2004), Cet.1, Hal.332

16

bagi para santri yang sedang menempuh pendidikan agama. Walaupun sebetulnya
bukan sastra itu sendiri tetapi lebih pada persoalan sosiologis. Bahwa sastra,
dalam pengertian dunia seni misalnya, cenderung berdampak pada kegiatankegiatan yang secara normatif melanggar kaidah - kaidah ajaran agama.
Namun demikian, lingkungan Pesantren tidaklah memungkiri peranan
metode sastrawi dalam transferensi ilmu - ilmu keagamaan. Pada kasus ini tampak
adanya pola hubungan sebagaimana telah dikemukakan. Di satu pihak, sastra
tidak dianggap sebagai unsur penting dalam pengajaran, sementara di pihak lain
sastra digunakan sebagai instrumen pola belajar mengajar di lingkungan
Pesantren.
Secara teoritik mereka tidak perlu mengerti apa itu sastra. Hidup dan
aktivitas sehari - hari mereka di lingkungan Pesantren selama bertahun - tahun
pada akhirnya justru menjadi jalan sastra itu sendiri. Mereka adalah lakon dalam
pentas laku sastra di lingkungan Pesantren. Jadi, sastra di lingkungan Pesantren
bukanlah sesuatu yang menempel dan atau ditempelkan begitu saja. Jalan sastra
yang lahir dari tradisi panjang itu merupakan sesuatu yang sudah ratusan tahun
melekat. Sejarahnya begitu panjang sebagaimana Pesantren itu sendiri. Sastra, dan
dengan demikian metode sastrawi di lingkungan Pesantren diakui atau tidak
hakikatnya adalah ‘nalar religi’ lain yang dikembangkan Pesantren secara ‘given’
atau dalam bahasa Pesantrennya sesuatu yang bersifat ‘laduniyah’.
Seiring dengan perkembangan zaman, sastra telah menjadi ‘living
tradition (Tradisi yang Hidup)’ di lingkungan Pesantren yang tidak lekang di
makan waktu. Bilamana mereka telah menjadi bagian dari kehidupan yang lebih
umum metode sastrawi ini menjelma dalam kebiasaan kerja - kerja kultural
mereka di masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sisi keluwesan dan
kelenturan orang-orang Pesantren yang tentunya menerima hal - hal baru tanpa
merasa perlu menjadi bagian dari kebaruan itu sendiri. Dalam arti, semodern
apapun orang Pesantren bukan hal mudah bagi mereka untuk mengubah kultur
kepesantrenan mereka. Menjadi modern bukan berarti menjadi orang lain yang
sama sekali baru.

17

D. Hubungan antara Sastra dan Pendidikan Moral
Sastra sangat terkait erat dalam kehidupan manusia dan merupakan potret
kehidupan manusia. 19 Sastra pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra seperti
pisau tajam, bahkan jauh lebih tajam, yang mampu merobek - robek dada dan
menembus ulu hati, bahkan jiwa dan pemikiran. Pisau tajam ini juga mampu
menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan yang
paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling halus hingga
mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada
kekuatannya.
Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang
penting dan menarik untuk dibahas secara komprehensif. Sastra berisi manusia
dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya mempunyai hubungan yang rapat
dengan kehidupan sastra. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah
kehidupan manusia. Bilamana seseorang berimajinasi dengan menggunakan sastra
bahkan nilai – nilai sastra, seseorang itu akan mengerti bahkan memahami
kehidupan kemasyarakatan yang terjadi pada saat itu pula. Berangkat dari opini
tersebut, diperlukanlah pencitraan diri manusia.20
Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter
manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda. Sejarah menuliskan
bagaiman sosok seorang Umar bin Khatthab yang punya kepribadian keras
akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya kekuatan sastra ayat - ayat Al-Qur’an.
Goresan luka dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya menangis. Hantaman
pukulan dan tendangan dari algojo terkuat dan terkejam sekalipun takkan sanggup
menggoyahkan ketegarannya. Ancaman pembunuhan dan kematian tidak sedikit
pun membuatnya merinding ketakutan.
Kini sudah saatnya dunia pendidikan tidak melihat sastra sebelah mata.
Sastra bukan barang langka yang hanya tersimpan di museum. Sastra bukan
19

Melani Budiana,dkk, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi),
(Yogyakarta:IKAPI,2008), Cet.1, Hal.23
20
Septiawan Santana K. Menulis Ilmiah – Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia,2007), Cet.1, Hal.25

18

mahluk asing yang hanya diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan
identitas. Dunia pendidikan di negara kita harus sudah memisahkan sastra dari
pelajaran Bahasa Indonesia, mendalami sastra secara lebih luas, melahirkan
sastrawan-sastrawan besar dari pendidikan formal dan memfungsikan dengan
maksimal kekuatan sastra untuk mendidik generasi dan kehidupan berbangsa.
Sejatinya, sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu
memberikan

wajah

manusiawi,

unsur-unsur

keindahan,

keselarasan,

keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sumbilmasi dalam setiap
gerak kehidupan manusia dalam menciptakan peradaban. Jika sastra tercerabut
dari akar kehidupan manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar hewan berakal.
Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan.
Terlepas dari hal tersebut, dalam konteks pendidikan moral, nilai estetika
kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur) karya sastra, tetapi juga dalam
isinya (tema dan amanat). Nilai moral akan terlihat dalam sikap terhadap apa yang
akan diungkapkan dalam sebuah karya sastra dan dalam cara pengungkapannya.
Nilai konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan
terhadap masalah yang diungkapkan di dalam karya sastra. Djokosujatno
(2002:263) berpendapat bahwa sastra populer pada setiap zaman mempunyai
peran luhur untuk mengantarkan pendidikan moral dan etika. 21 Dalam sebuah
pengertian bahwa karya sastra harus secacra eksplisit maupun implicit
menyampaikan dan menyisipkan pesan – pesan moral di dalamnya.
Dewasa ini, seorang pendidik hal ini dianggap paling penting untuk masa
sekarang. Kita banyak melihat kemerosotan moral siswa di dalam kehidupan
sehari-hari yang sudah sangat mengkhawatirkan, bukan saja oleh kita para
pendidik tetapi juga oleh masyarakat. Setiap hari kita menyaksikan, baik secara
langsung maupun taklangsung kebobrokan moral siswa. Misalnya tawuran
antarpelajar yang semakin marak dan menimbulkan korban jiwa, pemakaian
narkoba, pencurian, pembajakan dan perampokan yang dilakukan oleh siswa,
serta sopan santun siswa terhadap guru dan orang tua yang rnernprihatinkan. Hal
tersebut merupakan bukti nyata kelunturan moral siswa sudah mengkhawatirkan.
21

Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, (Yogyakarta:Kanisius,2002), Cet.1, Hal.263

19

Hubungan kemerosotan moral siswa dengan sastra adalah untuk mencoba
menggantungkan harapan perbaikan moral siswa pada pelajaran sastra. Mungkin
hal ini sudah berulang-ulang dibicarakan, tetapi sekali lagi mencoba
mengingatkan bahwa pengajaran sastra dapat juga diandalkan untuk memperbaiki
moral terutama moral siswa.22 Harapannya adalah pada pelajaran sastra ini tentu
harus disesuaikan dengan cara atau metode dan tujuan pengajaran sastra yang
tepat. Tanpa itu semua harapan itu akan sia - sia.
Dalam pengajaran sastra tersebut, tidak luput dari peran sebuah karya
sastra bersumber dari kenyataan kehidupan yang ada di dalam masyarakat. Karya
sastra tidak terlahir dari kekosongan tradisi – yang berupa buku pedoman ataupun
buku

pegangan para pelajar.

Akan tetapi,

karya

sastra

tidak

hanya

mengungkapkan realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif itu. Karya
sastra bukan semata-mata meniru alam (imitation of nature) atau meniru
kehidupan (imitation of life), tetapi merupakan penafsiran - penafsiran tentang
alam dan kehidupan itu (interpretation of life).
Dengan demikian, sebuah karya sastra yang baik, mengajak orang
terutama para pelajar untuk turut serta merenungkan masalah - masalah hidup
yang musykil. Mengajak orang untuk berkontemplasi, menyadarkan dan
membebaskannya dari segala belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Karya sastra
mengajak orang untuk mengasihi manusia lain. Berangkat dari hal pengkondisian
dan perbaikan moral siswa melalui karya sastra dan pembelajaran sastra, bahwa
implementasi nilai – nilai kesastraan tersebut tidak hanya dilakukan di lingkungan
kelas formal, akan tetapi harus dipraktekkan dengan diadakannya kegiatan
ekstrakulikuler yang dapat mengasah kemampuan para pelajar serta memahami
apa yang terkandung di dalam kegiatan tersebut.

22

Erwan Juhara,dkk, Cendekia Berbahasa (Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Kelas XII
SMA/Aliyah Program Bahasa, (Jakarta:PT Setia Purna), Hal.286

20

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sastra memang banyak dikenal oleh masyarakat sebagai suatu keilmuan
yang berbau seni dan sejarah, yang di dalamnya terdapat banyak intisari
kehidupan manusia. Dengan sastra, manusia mampu mengekspresikan isi jiwanya
ke dalam bentuk karya sastra yang telah dikenal saat ini. Dengan sastra pula,
sebuah ilmu dapat ditransformasikan kepada objeknya. Melihat hal tersebut,
pendidikan mulai merekomendasikan sastra sebagai media pembelajaran pada
lemabaga – lembaga pendidikan. Bahkan, ada pula lembaga pendidikan yang
dengan sendirinya mengangkat sastra sebagai mata pelajaran.
Dalam hal ini, sebuah lembaga pendidikan non formal yang disebut
pesantren masih melekat dengan apa yang disebut sastra yang mempunyai nilai
guna dan nilai estetikanya. Dengan demikian, sastra yang digunakan dalam proses
pembelajaran dan pengajaran di pesantren adalah karya dan nilai estetika dari
sastra tersebbut, sehingga mampu menghasilkan sebuah pemahaman terhadap
materi yang diajarkan.
B. Saran
Pelaksanaan maupun penerapan keilmuan sastra beserta nilai – nilai yang
tekandung di dalamnya diharapkan menjadi penunjang dan factor pendukung
kepada para santri dalam kegiatan belajar mengajarnya di pesantren. Hal tersebut
tidak lepas dari berbagai elemen yang berada di pesantren, yang meliputi ustadz
ataupun ustadzah sebagai guru, pengurus pesantren, para santri, dan bahkan orang
tua para santri. Elemen – elemen tersebut diharapkan memperhatikan tindakan
dan perilaku santri sebagai implementasi ataupun wujud dari ilmu yang
didapatnya di pesantren.

21

DAFTAR PUSTAKA

Djoko Damono, Sapardi. (2007). Sastra di sekolah – Dengan sastra menjadi
manusia. Jakarta:HISKI,2007.
Budianta, Melani. (2006). Membaca Sastra – Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. Magelang:IKAPI.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI. (2007). Ilmu & Aplikasi
Pendidikan. Jakarta:PT Imperial Bhakti Utama.
Darmaningtyas. (2004).
Press.

Pendidikan yang Memiskinkan. Yogyakarta:Galang

Surya, Mohamad. (2004). Bunga Rampai Guru dan Pendidikan. Jakarta:Balai
Pustaka.
Hashimah Hashim, Nor,dkk. (2003). Panduan Pendidikan Prasekolah. Kuala
Lumpur:PTS Professional.
Djoko Damono, Sapardi. (2997). Sastra di Sekolah - Dengan Sastra Menjadi
Manusia. Jakarta:HISKI.
A’la, Abd. (2006). Pembaruan Pesantren. Yogyakarta:Pustaka Pesantren.
Wahid, Abdurrahman. (2001). Menggerakkan Tradisi – Esai – Esai Pesantren.
Yogyakarta:LKiS.
Salam, Aprinus. (2004). Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta:LKiS
Aqil Siroj, Said. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial – Mengedepankan Islam
sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi. Bandung:PT Mizan Pustaka
Nuruzzaman, M. (2005). Kiai Husein Membela Perempuan. Yogyakarta:Pustaka
Pesantren
Solikhin, Muhammad. (2009). 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syeikh ‘Abdul
Qadir Al-Jailani. Yogyakarta:Mutiara Media
Sobary, Mohamad. (2004). Singgasana dan Kutu Busuk. Jakarta:PT Gramedia
Pustaka Utama
Mahfudz, Sahal. (1994). Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta:LKiS

22

Budiana, Melani, dkk. (2008). Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra
untuk Perguruan Tinggi). Yogyakarta:IKAPI
Santana K. Septiawan. (2007). Menulis Ilmiah – Metode Penelitian Kualitatif,.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Budiman, Hikmat. (2002). Lubang Hitam Kebudayaan,. Yogyakarta:Kanisius
Juhara, Erwan, dkk. Cendekia Berbahasa (Bahasa dan Sastra Indonesia untuk
Kelas XII SMA/Aliyah Program Bahasa. Jakarta:PT Setia Purna

23