MAKALAH KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PER
MAKALAH KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
PERPAJAKAN
BAB I
PENDAHULUAN
• LATAR BELAKANG
Pajak adalah istilah yang tidak asing lagi bagi kita, peranannyapun dalam pengembangan suatu
Negara juga sangat besar. Karena itu, di Indonesia banyak Undang-Undang maupun peraturan
perundang-undangan yang menjelaskan tentang pajak. Dari periode ke periode peraturan tentang
pajak selalu mengalami perubahan, begitupun di Indonesia. Sehingga muncullah istilah-istilah baru
tentang perpajakan yang harus diketahui oleh orang banyak. Selain itu perlu disadari juga bahwa
sebagian besar penduduk indonesia yang belum mempunyai NPWP, padahal NPWP tersebut sangat
penting bagi pembangunan Negara. Maka dari itu kami membuat makalah ini guna memberi tahu
pembaca tentang NPWP dan menumbuhkan kesadaran pembaca untuk membayar pajak.
• TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai “KETENTUAN UMUM DAN TATA
CARA PERPAJAKAN” ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan. Manfaat penulisan
makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan pembaca tentang masalah Perpajakan.
Selain itu supaya ada kesadaran pada diri kami dan pembaca untuk tertib membayar pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994,
dengan UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang-undang tentang
“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No.
28 tahun 2007 pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban
aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment, yaitu Wajib Pajak diberikan
kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak yang terutang, menyetornya, serta
melaporkan penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan fungsi Direktorat Jenderal pajak
adalah melakukan pengawasan atas sistem self assesment tersebut agar Wajib Pajak
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Penghitungan pajak yang
terutang diatur dalam undang-undang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam UU PPh dan
UU PPN. Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan pelaporan pajak, serta wewenang Direktorat
Jenderal pajak diatur dalam undang-undang formal perpajakan sebagaimana tercantum dalam UU
No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), yang mengatur tentang hak dan
kewajiban Wajib Pajak serta wewenang Direktorat Jenderal Pajak, termasuk sanksi perpajakan
apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
1. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah nomor yang diberikan oleh direktur jendral pajak
kepada wajib pajak sebagai suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakanya . Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib
Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan
dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
C.
SURAT PEMBERITAHUAN
a.
Pengertian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. KUP:pasal 1, angka 11.
b.
Fungsi SPT
1.
Fungsi SPT bagi wajib pajak PPh:
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak;
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak;
2. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak :
a. Sabagai sarana untuk malaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya
3.
Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan
PPn-BM yang seharusnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha
Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
c. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
c. Kewajiban terhadap SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. KUP : Pasal 3
ayat (1)
• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
• Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atas Masa Pajak
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah
saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
• Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan paling
lambat sebelum SPT disampaikan.
• Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di
daerah tertentu paling lama 2 bulan.
d. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda administrasi bunga 2% (dua persen)
sebulan dari pajak terutang dihitung dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat
merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.
D.
TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai
dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan
pelaporan pajak terutang.
a.
Kewajiban Membayar Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
I. Membayar sendiri pajak yang terutang:
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini
dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu
tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun
dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan
bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa,
yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda
dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan
dari masing-masing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 15%
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 25%
di atas Rp 500.000.000,- 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari
penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang
Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh
Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada
bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk
pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan
cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara
lain seperti menggunakan mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp
250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
b. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan
mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi
penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk
memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai
pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh
Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari
masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada
oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak
perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya
dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan
barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di
bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok,
dan otomotif;
Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari
pedagang pengumpul;
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang
dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan
dalam negeri, dan BUT.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service
mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya
kepada WP luar negeri.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty)
yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran
untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau
dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak
dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.
g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau
Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau
jasa kena pajak.
b. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetora pajak yang terhutang dengan mengguanakan Surat
Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan. KUP : Pasal 10 ayat (1)
Tempat pembayaran tersebut adalah:
a. Bank-bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral anggaran;
b. Kantor pos.
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
• Batas Waktu Pembayaran
Batas waktu pembayaran atau penyetoran diatur sebagai berikut :
• Batas Waktu Pembayaran Masa:
No. Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran atau Penyetoran
1 PPh pasal 21 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir
2 PPh pasal 21-impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak bersamaan dengan pembayaran
Bea Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokuman impor
3 PPh pasal 22-Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
4 PPh pasal 22- Bendaharawan Pemerintah Pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran
5 PPh pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina Dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum Suart
Pemerintah Pengeluaran Barang (deliveryn order) ditebus
6 PPh pasal 22 yang dipungut oleh badan tertentu Paling lambat tanbggal 10 bulan takwim
berikutnya
7 PPh pasal 23 dan 26 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat
terutangnya pajak
8 PPh pasal 25 Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak
9 PPN dan PPn-Bm Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnyasetelah masa pajak
berakhir
10 PPN dan PPn-Bm impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak bersamaan dengan
pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokuman impor
11 PPN dan PPn-Bm Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
12 PPN dan PPn-Bm Bendaharawan Paling lambat tanggal 7 bulan takwim berikutnyasetelah
masa pajak berakhir
E. SURAT KETETAPAN PAJAK ( SKP )
Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (skp) hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan
oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh WP.
Fungsi Surat Ketetapan Pajak Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
a) Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi
ketentuan perpajakan.
b) Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c) Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d) Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar e.Sarana untuk
memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
Jenis-Jenis Ketetapan Pajak
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
d) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
e) Surat Tagihan Pajak (STP) Adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan dalam hal : - Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
- Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah
hitung;
- WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;
- Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN, tetapi tidak melaporkan
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; - Pengusaha yang tidak
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak,
- Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat
waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan
dengan Surat Paksa.
- Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak dikeani sanksi.
- Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak
masukan diwajibkan membayar kembali.
F.
PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan
melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak
terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau
Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat
Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya
maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi
pajak yang tidak/belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib
Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila
Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.
3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan
pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib
Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.
G. KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan yaitu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak
yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP
dapat mengajukan keberatan.
1. Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan
syarat:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
c. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak
dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak
diproses.
3. Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB,
SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
a. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan
dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan
Pajak.
b. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos ( harus dengan pos tercatat ), jangka
waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui
Kantor Pos dan Giro.
1. Tata Cara Pengajuan Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, WP dapat
mengajukan banding. kepada badan peradilan pajak, dengan syarat:
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
c. Alasan yang jelas.
d. Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.
Pengajuan permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
2. Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya,
sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding.
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada bpp terhadap :
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan
dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
3. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan
STP;
4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;
Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1. Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
2. Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima
Keputusan yang digugat.
H. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat
final.
a. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib
Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(Empat milyar delapan ratus juta rupiah).
b. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah),
dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto,
dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
c. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri
Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang
terutang.
d. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau
diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus
menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang
bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus
menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
e.Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan
usaha/pekerjaan bebas.
f. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat
tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Perubahan Tahun
Buku Dan Metode Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
I. PEMERIKSAAN
Direktorat pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajaan wajib Pajak dan ujuan antara lain:
1. Pemberian nomr Pokok Wajib Pajak
2. Penghapusan nomr Pokok Wajib Pajak
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
4. Wajib pajak mengajukan keberatan
5. Pengumpulan bahan guna penyususnan Norma Penghitungan Penghaskan Netto
6. Pencocokan data atau alat ketetrangan
7. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak
8. Pemenuhan permintaan informasi dari Negara mitra perjanjian penghindaran pajak Berganda
Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat
dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang
dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan
Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan)
bulan yang dihitung sejak tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan.
J. PENYIDIKAN DAN SANKSI
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk Mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti imembuat terang tindak pidana
di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan
Direktoral Jendral Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana dibidang
perpajakan.
Tindak pidana dibidang perpajakan dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh
wajib pajak. Kealpaan adalah Wajik Pajak Alpa tidak menyampaiakn SPT atau menyampaiakn SPT
tetapi isinya tidak benar atatu tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara. Kealpaan dapat diartikan tidak
sengaja lalai tidak hati-hati atau kurang menindahkan kewajibanya . Kriteria kesengajaan adalah :
1. Tidak mendaftarkan diri atau penyalahgunaan NPWP atau NPPKP
2. Tidak menyampaikan SPT
3. Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidk lengkap
4. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan
5. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu
6. Tidak menyelenggaraka pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan buku catatan atau dokumen lainya atau
7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara.
SANKSI PERPAJAKAN
Dikenal 2 macam sanksi :
1. Sanksi Administrasi : Pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga dan
kenaikan. Seperti Bunga 2% per tahun, Denda administrasi dsb.
2. Sanksi Pidana : Siksaan/Penderitaan merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang
digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Seperti denda pidana, kurungan, dan penjara.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan
suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih
bayar, atau nihil. Berdasarkan pemeriksaan, jenis-jenis ketetapan yag dikeluarkan adalah: Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi
administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.Sanksi administrasi sehubungan dengan
surat ketetapan pajak dan surat taguhan pajak berdasrakan UU No 28 tahun 2007 tentangKetentuan
Umum dan Tata cara Perpajakan.
Tabel sanksi administrasi yang ada dalam surat ketetapan pajak disajikan dalam uraian dibawah ini.
Sanksi denda:
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1 7 (1) SPT Terlambat disampaikan :
a. Masa Rp100.000 atau Rp500.000 Per SPT
b. Tahunan Rp100.000 atau Rp 1.000.000 Per SPT
2 8 (3) Pembetulan sendiri dan belum disidik 150% Dari jumlah pajak yang kurang dibayar
3 14 (4) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak atau
membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; 2% Dari DPP
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara
lengkap 2% Dari DPP
PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak 2% Dari
DPP
Sanksi bunga:
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1. 8 (2 dan 2a) Pembetulan SPT Masa dan Tahunan 2% Per bulan, dari jumlah pajak yang
kurang dibayar
2. 9 (2a dan 2b) Keterlambatan pembayaran pajak masa dan tahunan 2% Per bulan, dari
jumlah pajak terutang
3. 13 (2) Kekurangan pembayaran pajak dalam SKPKB 2% Per bulan, dari jumlah kurang
dibayar, max 24 bulan
4. 13 (5) SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana perpajakan
maupun tindak pidana lainnya 48% Dari jumlah paak yang tidak mau atau kurang dibayar.
5. 14 (3) a. PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah pajak tidak/
kurang dibayr, max 24 bulan
b. SPT kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah pajak tidak/ kurang dibayr, max 24 bulan
14 (5) PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan 2%
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/ kurang dibayr, max 24 bulan
6. 15 (4) SKPKBT diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana
perpajakan maupun tindak pidana lainnya 48% Dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
7. 19 (1) SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan kurang
bayar terlambat dibayar 2% Per bulan, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
8. 19 (2) Mengangsur atau menunda 2% Per bulan, bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan
9. 19 (3) Kekurangan pajak akibat penundaan SPT 2% Atas kekurangan pembayaran pajak
Sanksi kenaikan:
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1. 8 (5) Pengungkapan ketidak benaran SPT sebelum terbitnya SKP 50% Dari pajak yang
kurang dibayar
2. 13 (3) Apabila: SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut dalam surat teguran, PPN/PPnBM
yang tidak seharusnya dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak terpenuhinya Pasal 28 dan 29
a. PPh yang tidak atau kurang dibayar 50% Dari PPh yang tidak/ kurang dibayar
b. tidak/kurang dipotong/ dipungut/ disetorkan 100% Dari PPh yang tidak/ kurang dipotong/
dipungut
c. PPN/PPnBM tidak atau kurang dibayar 100% Dari PPN/ PPnBM yang tidak atau kurang
dibayar
3. 15 (2) Kekurangan pajak pada SKPKBT 100% Dari jumlah kekurangan pajak tersebut
BAB III
PENUTUP
• KESIMPULAN
• Perpajakan diatur dalam Undang-Undang;
• Undang-Undang perpajakan dapat mengalami perubahan sehingga dapat meminbulkan
munculnya isitlah-istilah baru;
• Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sangat diperlukan karena dapat digunakan sebagai identitas
Pengusaha Kena Pajak itu sensiri sdan sebagai sarana pengawasan dalam melaksanakan hak dan
kewajiban PKP di bidang PPN dan PPn-BM;
• Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan
• Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta
dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
• Hak-hak Wajib Pajak antara lain:
• Hak Memperpanjang Jangka Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
• Hak Membetulkan Surat Pemberitahuan
• Hak Mengangsur Atau Menunda Pembayaran Pajak
• Hak Memohon Restitusi
• Hak Memohon Pembetulan Surat Tagihan Pajak/Surat Ketetapan Pajak Yang Salah
• Hak Mengajukan Keberatan
• Hak Mengajukan Banding
• Wewenang dan Kewajiban Aparat Perpajakan antara lain:
• Wewenang Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Wewenang Menerbitkan Surat Tagihan Pajak
Wewenang Melakukan Penagihan Pajak
Wewenang Melakukan Pemeriksaan
Wewenang Melakukan Penyelidikan
Wewenang Melakukan Penyegelan
Wewenang Mengurangkan Atau Menghapuskan Sanksi Administrasi.
Kewajiban Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kewajiban Memberikan Keputusan
Kewajiban Memberikan Keterangan
Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Data
• SARAN
Setelah mempelajari makalah ini hendaklah kita sadar akan kewajiban kita untuk membayar pajak,
agar pembangunan di segala sektor yang ada di Negara kita ini dapat berjalan dengan lancar
sehingga bias dinikmati oleh seluruh masayarakat Indonesia.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
administrasi perpajakan yang dipergunkan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Setiap Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan, wajib
mendaftarkan pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal/tempat kedudukan Wajib Pajak untuk di catat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus kepadanya
diberikan NPWP.
Wajib Pajak yang telah terdaftar yaitu Wajib Pajak yang telah terdaftar dalam tata usaha Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dan telah diberikan NPWP yang terdiri dari 15 digit : yaitu 9 digit pertama
merupakan kode Wajib Pajak dan 6 digit berikutnya merupakan kode administrasi pajak. Kartu NPWP
ini diterbitkan oleh KPP.
Masalah kewajiban mendaftarkan diri diawali dari dasar Pasal 2 UU No. 28 Tahun2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan bahwa “ Setiap Wajib Pajak
wajib mendaftar diri pada Kantor Direktoral Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP”.
Kewajiban mendaftarkan diri juga diberlakukan terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak terpisah
dari suami karena hidup terpisah berdasarkan putusan hakim atau kehendak sendiri secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan
perpajakan.
Pasal 1 angka 11 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan
objek pajak dan atau harta dan kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Pengaturan SPT tersebut selanjutnya dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang No.6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan aturan pelaksanaan pada tingkat
dibawahnya seperti peraturan menteri keuangan.
Kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU sehubungan
dengan SPT dikenakan sanksi administrasi dan atau sanksi pidana.
B. SARAN
Setelah mempelajari makalah ini hendaklah kita sadari akan kewajiban kita untuk membayar pajak,
agar pembangunan di segala sektor yang ada di Negara kita ini dapat berjalan dengan lancar
sehingga bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahkuliahstai.blogspot.co.id/2016/04/ketentuan-umum-dan-tata-cara-perpajakan.html?m=1
Waluyo.2011.perpajakan Indonesia.salemba empat
DAFTAR PUSTAKA
1. Waluyo, 2007, perpajakan Indonesia, Buku 1 Edisi 7, Penerbit Salemba Empat , Jakarta :
Salemba Empat
2. Gunadi, John L Hutagool, Richard Burton, Buku 1 ( KUP, PBB, BM ), Jakarta : Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi UI ,1997. bekerja sama dengan Yayasan Pendidikan dan Pengkajian Perpajakan
3. Ngadiman. 2009. Perpajakan. Surakarta: Sebelas Maret University Press
4. http://www.pajak.go.id/content-search?type=article&populate=surat+ketetapan+pajak
5. http://sandijundira.blogspot.com/2014/06/makalah-ketentuan-umum-dan-tata-cara.html
PERPAJAKAN
BAB I
PENDAHULUAN
• LATAR BELAKANG
Pajak adalah istilah yang tidak asing lagi bagi kita, peranannyapun dalam pengembangan suatu
Negara juga sangat besar. Karena itu, di Indonesia banyak Undang-Undang maupun peraturan
perundang-undangan yang menjelaskan tentang pajak. Dari periode ke periode peraturan tentang
pajak selalu mengalami perubahan, begitupun di Indonesia. Sehingga muncullah istilah-istilah baru
tentang perpajakan yang harus diketahui oleh orang banyak. Selain itu perlu disadari juga bahwa
sebagian besar penduduk indonesia yang belum mempunyai NPWP, padahal NPWP tersebut sangat
penting bagi pembangunan Negara. Maka dari itu kami membuat makalah ini guna memberi tahu
pembaca tentang NPWP dan menumbuhkan kesadaran pembaca untuk membayar pajak.
• TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai “KETENTUAN UMUM DAN TATA
CARA PERPAJAKAN” ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan. Manfaat penulisan
makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan pembaca tentang masalah Perpajakan.
Selain itu supaya ada kesadaran pada diri kami dan pembaca untuk tertib membayar pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994,
dengan UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang-undang tentang
“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No.
28 tahun 2007 pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban
aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment, yaitu Wajib Pajak diberikan
kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak yang terutang, menyetornya, serta
melaporkan penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan fungsi Direktorat Jenderal pajak
adalah melakukan pengawasan atas sistem self assesment tersebut agar Wajib Pajak
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Penghitungan pajak yang
terutang diatur dalam undang-undang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam UU PPh dan
UU PPN. Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan pelaporan pajak, serta wewenang Direktorat
Jenderal pajak diatur dalam undang-undang formal perpajakan sebagaimana tercantum dalam UU
No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), yang mengatur tentang hak dan
kewajiban Wajib Pajak serta wewenang Direktorat Jenderal Pajak, termasuk sanksi perpajakan
apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
1. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah nomor yang diberikan oleh direktur jendral pajak
kepada wajib pajak sebagai suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakanya . Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib
Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan
dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
C.
SURAT PEMBERITAHUAN
a.
Pengertian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. KUP:pasal 1, angka 11.
b.
Fungsi SPT
1.
Fungsi SPT bagi wajib pajak PPh:
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak;
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak;
2. Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak :
a. Sabagai sarana untuk malaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya
3.
Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan
PPn-BM yang seharusnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha
Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
c. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
c. Kewajiban terhadap SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. KUP : Pasal 3
ayat (1)
• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
• Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atas Masa Pajak
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah
saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
• Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan paling
lambat sebelum SPT disampaikan.
• Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di
daerah tertentu paling lama 2 bulan.
d. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda administrasi bunga 2% (dua persen)
sebulan dari pajak terutang dihitung dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat
merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.
D.
TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai
dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan
pelaporan pajak terutang.
a.
Kewajiban Membayar Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
I. Membayar sendiri pajak yang terutang:
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini
dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu
tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun
dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan
bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa,
yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda
dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan
dari masing-masing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 15%
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 25%
di atas Rp 500.000.000,- 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari
penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang
Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh
Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada
bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk
pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan
cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara
lain seperti menggunakan mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp
250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
b. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan
mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi
penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk
memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai
pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh
Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari
masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada
oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak
perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya
dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan
barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di
bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok,
dan otomotif;
Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari
pedagang pengumpul;
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang
dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan
dalam negeri, dan BUT.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service
mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya
kepada WP luar negeri.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty)
yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran
untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau
dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak
dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.
g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau
Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau
jasa kena pajak.
b. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetora pajak yang terhutang dengan mengguanakan Surat
Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan. KUP : Pasal 10 ayat (1)
Tempat pembayaran tersebut adalah:
a. Bank-bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral anggaran;
b. Kantor pos.
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
• Batas Waktu Pembayaran
Batas waktu pembayaran atau penyetoran diatur sebagai berikut :
• Batas Waktu Pembayaran Masa:
No. Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran atau Penyetoran
1 PPh pasal 21 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir
2 PPh pasal 21-impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak bersamaan dengan pembayaran
Bea Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokuman impor
3 PPh pasal 22-Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
4 PPh pasal 22- Bendaharawan Pemerintah Pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran
5 PPh pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina Dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum Suart
Pemerintah Pengeluaran Barang (deliveryn order) ditebus
6 PPh pasal 22 yang dipungut oleh badan tertentu Paling lambat tanbggal 10 bulan takwim
berikutnya
7 PPh pasal 23 dan 26 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat
terutangnya pajak
8 PPh pasal 25 Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak
9 PPN dan PPn-Bm Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnyasetelah masa pajak
berakhir
10 PPN dan PPn-Bm impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak bersamaan dengan
pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan atau ditunda, harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokuman impor
11 PPN dan PPn-Bm Direktorat Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
12 PPN dan PPn-Bm Bendaharawan Paling lambat tanggal 7 bulan takwim berikutnyasetelah
masa pajak berakhir
E. SURAT KETETAPAN PAJAK ( SKP )
Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (skp) hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan
oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh WP.
Fungsi Surat Ketetapan Pajak Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
a) Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi
ketentuan perpajakan.
b) Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c) Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d) Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar e.Sarana untuk
memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
Jenis-Jenis Ketetapan Pajak
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
d) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
e) Surat Tagihan Pajak (STP) Adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan dalam hal : - Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
- Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah
hitung;
- WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;
- Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN, tetapi tidak melaporkan
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; - Pengusaha yang tidak
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak,
- Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat
waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan
dengan Surat Paksa.
- Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak dikeani sanksi.
- Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak
masukan diwajibkan membayar kembali.
F.
PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan
melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak
terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau
Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat
Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya
maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi
pajak yang tidak/belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib
Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila
Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.
3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan
pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib
Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.
G. KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan yaitu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak
yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP
dapat mengajukan keberatan.
1. Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan
syarat:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
c. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak
dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak
diproses.
3. Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB,
SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
a. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan
dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan
Pajak.
b. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos ( harus dengan pos tercatat ), jangka
waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui
Kantor Pos dan Giro.
1. Tata Cara Pengajuan Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, WP dapat
mengajukan banding. kepada badan peradilan pajak, dengan syarat:
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
c. Alasan yang jelas.
d. Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.
Pengajuan permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
2. Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya,
sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding.
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada bpp terhadap :
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan
dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
3. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan
STP;
4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;
Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1. Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
2. Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima
Keputusan yang digugat.
H. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat
final.
a. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib
Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(Empat milyar delapan ratus juta rupiah).
b. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah),
dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto,
dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
c. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri
Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang
terutang.
d. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau
diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus
menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang
bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus
menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
e.Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan
usaha/pekerjaan bebas.
f. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat
tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Perubahan Tahun
Buku Dan Metode Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
I. PEMERIKSAAN
Direktorat pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajaan wajib Pajak dan ujuan antara lain:
1. Pemberian nomr Pokok Wajib Pajak
2. Penghapusan nomr Pokok Wajib Pajak
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
4. Wajib pajak mengajukan keberatan
5. Pengumpulan bahan guna penyususnan Norma Penghitungan Penghaskan Netto
6. Pencocokan data atau alat ketetrangan
7. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak
8. Pemenuhan permintaan informasi dari Negara mitra perjanjian penghindaran pajak Berganda
Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat
dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang
dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan
Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan)
bulan yang dihitung sejak tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan.
J. PENYIDIKAN DAN SANKSI
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk Mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti imembuat terang tindak pidana
di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan
Direktoral Jendral Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana dibidang
perpajakan.
Tindak pidana dibidang perpajakan dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh
wajib pajak. Kealpaan adalah Wajik Pajak Alpa tidak menyampaiakn SPT atau menyampaiakn SPT
tetapi isinya tidak benar atatu tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara. Kealpaan dapat diartikan tidak
sengaja lalai tidak hati-hati atau kurang menindahkan kewajibanya . Kriteria kesengajaan adalah :
1. Tidak mendaftarkan diri atau penyalahgunaan NPWP atau NPPKP
2. Tidak menyampaikan SPT
3. Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidk lengkap
4. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan
5. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu
6. Tidak menyelenggaraka pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan buku catatan atau dokumen lainya atau
7. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara.
SANKSI PERPAJAKAN
Dikenal 2 macam sanksi :
1. Sanksi Administrasi : Pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga dan
kenaikan. Seperti Bunga 2% per tahun, Denda administrasi dsb.
2. Sanksi Pidana : Siksaan/Penderitaan merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang
digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Seperti denda pidana, kurungan, dan penjara.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan
suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih
bayar, atau nihil. Berdasarkan pemeriksaan, jenis-jenis ketetapan yag dikeluarkan adalah: Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi
administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.Sanksi administrasi sehubungan dengan
surat ketetapan pajak dan surat taguhan pajak berdasrakan UU No 28 tahun 2007 tentangKetentuan
Umum dan Tata cara Perpajakan.
Tabel sanksi administrasi yang ada dalam surat ketetapan pajak disajikan dalam uraian dibawah ini.
Sanksi denda:
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1 7 (1) SPT Terlambat disampaikan :
a. Masa Rp100.000 atau Rp500.000 Per SPT
b. Tahunan Rp100.000 atau Rp 1.000.000 Per SPT
2 8 (3) Pembetulan sendiri dan belum disidik 150% Dari jumlah pajak yang kurang dibayar
3 14 (4) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak atau
membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; 2% Dari DPP
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara
lengkap 2% Dari DPP
PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak 2% Dari
DPP
Sanksi bunga:
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1. 8 (2 dan 2a) Pembetulan SPT Masa dan Tahunan 2% Per bulan, dari jumlah pajak yang
kurang dibayar
2. 9 (2a dan 2b) Keterlambatan pembayaran pajak masa dan tahunan 2% Per bulan, dari
jumlah pajak terutang
3. 13 (2) Kekurangan pembayaran pajak dalam SKPKB 2% Per bulan, dari jumlah kurang
dibayar, max 24 bulan
4. 13 (5) SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana perpajakan
maupun tindak pidana lainnya 48% Dari jumlah paak yang tidak mau atau kurang dibayar.
5. 14 (3) a. PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah pajak tidak/
kurang dibayr, max 24 bulan
b. SPT kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah pajak tidak/ kurang dibayr, max 24 bulan
14 (5) PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan 2%
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/ kurang dibayr, max 24 bulan
6. 15 (4) SKPKBT diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana
perpajakan maupun tindak pidana lainnya 48% Dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
7. 19 (1) SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan kurang
bayar terlambat dibayar 2% Per bulan, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
8. 19 (2) Mengangsur atau menunda 2% Per bulan, bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan
9. 19 (3) Kekurangan pajak akibat penundaan SPT 2% Atas kekurangan pembayaran pajak
Sanksi kenaikan:
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1. 8 (5) Pengungkapan ketidak benaran SPT sebelum terbitnya SKP 50% Dari pajak yang
kurang dibayar
2. 13 (3) Apabila: SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut dalam surat teguran, PPN/PPnBM
yang tidak seharusnya dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak terpenuhinya Pasal 28 dan 29
a. PPh yang tidak atau kurang dibayar 50% Dari PPh yang tidak/ kurang dibayar
b. tidak/kurang dipotong/ dipungut/ disetorkan 100% Dari PPh yang tidak/ kurang dipotong/
dipungut
c. PPN/PPnBM tidak atau kurang dibayar 100% Dari PPN/ PPnBM yang tidak atau kurang
dibayar
3. 15 (2) Kekurangan pajak pada SKPKBT 100% Dari jumlah kekurangan pajak tersebut
BAB III
PENUTUP
• KESIMPULAN
• Perpajakan diatur dalam Undang-Undang;
• Undang-Undang perpajakan dapat mengalami perubahan sehingga dapat meminbulkan
munculnya isitlah-istilah baru;
• Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sangat diperlukan karena dapat digunakan sebagai identitas
Pengusaha Kena Pajak itu sensiri sdan sebagai sarana pengawasan dalam melaksanakan hak dan
kewajiban PKP di bidang PPN dan PPn-BM;
• Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan
• Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta
dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
• Hak-hak Wajib Pajak antara lain:
• Hak Memperpanjang Jangka Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
• Hak Membetulkan Surat Pemberitahuan
• Hak Mengangsur Atau Menunda Pembayaran Pajak
• Hak Memohon Restitusi
• Hak Memohon Pembetulan Surat Tagihan Pajak/Surat Ketetapan Pajak Yang Salah
• Hak Mengajukan Keberatan
• Hak Mengajukan Banding
• Wewenang dan Kewajiban Aparat Perpajakan antara lain:
• Wewenang Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Wewenang Menerbitkan Surat Tagihan Pajak
Wewenang Melakukan Penagihan Pajak
Wewenang Melakukan Pemeriksaan
Wewenang Melakukan Penyelidikan
Wewenang Melakukan Penyegelan
Wewenang Mengurangkan Atau Menghapuskan Sanksi Administrasi.
Kewajiban Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kewajiban Memberikan Keputusan
Kewajiban Memberikan Keterangan
Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Data
• SARAN
Setelah mempelajari makalah ini hendaklah kita sadar akan kewajiban kita untuk membayar pajak,
agar pembangunan di segala sektor yang ada di Negara kita ini dapat berjalan dengan lancar
sehingga bias dinikmati oleh seluruh masayarakat Indonesia.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
administrasi perpajakan yang dipergunkan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Setiap Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan, wajib
mendaftarkan pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal/tempat kedudukan Wajib Pajak untuk di catat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus kepadanya
diberikan NPWP.
Wajib Pajak yang telah terdaftar yaitu Wajib Pajak yang telah terdaftar dalam tata usaha Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dan telah diberikan NPWP yang terdiri dari 15 digit : yaitu 9 digit pertama
merupakan kode Wajib Pajak dan 6 digit berikutnya merupakan kode administrasi pajak. Kartu NPWP
ini diterbitkan oleh KPP.
Masalah kewajiban mendaftarkan diri diawali dari dasar Pasal 2 UU No. 28 Tahun2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan bahwa “ Setiap Wajib Pajak
wajib mendaftar diri pada Kantor Direktoral Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP”.
Kewajiban mendaftarkan diri juga diberlakukan terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak terpisah
dari suami karena hidup terpisah berdasarkan putusan hakim atau kehendak sendiri secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan
perpajakan.
Pasal 1 angka 11 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan
objek pajak dan atau harta dan kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Pengaturan SPT tersebut selanjutnya dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang No.6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan aturan pelaksanaan pada tingkat
dibawahnya seperti peraturan menteri keuangan.
Kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU sehubungan
dengan SPT dikenakan sanksi administrasi dan atau sanksi pidana.
B. SARAN
Setelah mempelajari makalah ini hendaklah kita sadari akan kewajiban kita untuk membayar pajak,
agar pembangunan di segala sektor yang ada di Negara kita ini dapat berjalan dengan lancar
sehingga bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahkuliahstai.blogspot.co.id/2016/04/ketentuan-umum-dan-tata-cara-perpajakan.html?m=1
Waluyo.2011.perpajakan Indonesia.salemba empat
DAFTAR PUSTAKA
1. Waluyo, 2007, perpajakan Indonesia, Buku 1 Edisi 7, Penerbit Salemba Empat , Jakarta :
Salemba Empat
2. Gunadi, John L Hutagool, Richard Burton, Buku 1 ( KUP, PBB, BM ), Jakarta : Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi UI ,1997. bekerja sama dengan Yayasan Pendidikan dan Pengkajian Perpajakan
3. Ngadiman. 2009. Perpajakan. Surakarta: Sebelas Maret University Press
4. http://www.pajak.go.id/content-search?type=article&populate=surat+ketetapan+pajak
5. http://sandijundira.blogspot.com/2014/06/makalah-ketentuan-umum-dan-tata-cara.html