PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLI

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLIKATUR
PERCAKAPAN ANTARA PENGUNJUNG
DENGAN MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
Setia Sejahtera A.P.
Andika Dutha Bachari
Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra
Universitas Pendidikan Indonesia
setiasejahtera16@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana dalam suatu tuturan terdapat
pelanggaran prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice. Subjek yang dipilih dalam
penelitian ini adalah percakapan anatara masyarakat di desa adat Kampung Naga, desa
Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat dengan
pengunjung yang berprofesi sebagai mahasiswa. Data yang diteliti berupa rekaman bahasa
Sunda yang telah ditransliterasi ke dalam bahasa Indonesia. Temuan dari percakapan
tersebut terdapat tiga pelanggaran maksim, di antaranya, maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim relevansi. Pelanggaran maksim tersebut selalu diikuti dengan
munculnya implikatur percakapan. Data percakapan tersebut dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pelanggaran terbanyak terdapat pada maksim

kuantitas namun dalam penelitian ini hanya di hadirkan satu kasus dalam setiap
pelanggaran maksim.
Kata Kunci: prinsip kerja sama, implikatur, masyarakat kampung naga, kualitatif deskriptif.

Pendahuluan
Menurut Yule (1996:3) pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur
(atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini
lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan
tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan
dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur.
Tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam
suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan.
Diperlukam suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin

mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan
dalam keadaan apa. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual.
Selanjutnya, Levinson (dalam Suwandi, 2008: 114) mendefinisikan bahwa pragmatik
merupakan penelitian atau kajian tentang kemampuan pemakai bahasa dalam mengaitkan
atau menyesuaikan kalimat-kalimat yang dipakai dengan konteksnya. Dalam hal ini, konteks
yang dimaksud oleh Levinson merupakan interaksi-interaksi yang pernah terjadi dan yang

memungkinkan munculnya interaksi-interaksi berikutnya antarpartisipan untuk seterusnya
akan disebut sebagai ‘penutur dan petutur’.
Jika kita berbicara tentang tiga cabang ilmu linguistik yakni sintak, semantik, dan pragmatik,
terdapat perbedaan mendasar di antara ketiganya. Yang pertama sintak, sintak adalah studi
tentang hubungan antara bentuk-bentuk kebahasaan, bagaimana menyusun bentuk-bentuk
kebahasaan itu dalam suatu tatanan (urutan) dan tatanan mana yang tersusun dengan baik.
Tipe studi ini biasanya terjadi tanpa mempertimbangkan dunia referensi atau pemakai bentukbentuk itu. Yang kedua semantik, semantik adalah studi tentang hubungan antara bentukbentuk linguistik dengan entitas di dunia, yaitu bagaimana hubungan kata-kata dengan
sesuatu secara harafiah. Analisis semantik juga berusaha membangun hubungan antara
deskripsi verbal dan pernyataan-pernyataan hubungan di dunia secara akurat atau tidak, tanpa
menghiraukan siapa yang menghasilkan deskripsi tersebut. Sedangkan pragmatik adalah studi
tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Di antara
tiga bagian perbedaan ini hanya pragmatik sajalah yang memungkinkan orang dalam suatu
analisis.
Seperti yang sudah disebutkan di atas pragmatik merupakan studi tentang maksud penutur
dengan konteks pada saat tuturan tersebut diujarkan. Di dalam tuturan ada yang dinamakan
dengan prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama percakapan dapat dirinci ke dalam empat subprinsip yang disebut dengan maksim. Yang pertama maksim kualitas, di dalam percakapan
mencoba untuk membuat suatu informasi yang benar. Yang kedua maksim kuantitas, jangan
membuat percakapan lebih informatif dari yang dibutuhkan. Yang ketiga maksim relevansi,
artinya harus adanya hubungan saat melakukan percakapan, dan yang terkahir maksim cara,
di dalam percakapan hindari ungkapan yang tidak jelas, hindari ketaksaan, hindari panjanglebar yang tidak perlu.

Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang secara geografis terletak di kampung
Nagaratengah, desa Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa

Barat. Berlokasi kurang lebih 40km atau satu jam perjalanan (darat) dari kota Tasikmalaya ke
arah barat menuju kabupaten Garut. Kampung Naga memiliki sejarah yang sangat panjang,
untuk nama “Naga” sendiri berasal dari akronim “Na Gawir” yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia yakni pada jurang. Nama ini sesuai dengan keadaan geografis
Kampung Naga yang benar-benar berada pada jurang atau lembah yang subur seluas ±1,5ha.
Sejak abad XV, penyebaran agama Islam sangat pesat di pulau Jawa. Tak terkecuali dengan
Jawa Barat yang salahsatunya adalah Kampung Naga yang tak bisa menolak arus penyebaran
agama Islam tersebut. Ada banyak sekali versi tentang berdirinya Kampung Naga ini, tapi
kita tidak akan mengupas tentang sejarah Kampung Naga ini. Penyebaran agama Islam
banyak sekali dari dunia perniagaan, dan tak salah lagi banyak masyarakat Kampung Naga
yang memilih berniaga baik di dalam kampung maupun keluar kampung.
Penelitian ini menggunakan prinsip kerja sama seperti yang baru dijelaskan di atas.
Percakapan yang diteliti merupakan percakapan antara mahasiswa dengan salah satu
masyarakat kampung naga yang berprofesi sebagai pedagang. Dengan menggunakan metode
kualitatif deskriptif, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat pelanggaran-pelanggaran
prinsip kerja sama yang terjadi saat proses percakapan berlangsung antara mahasiswa dengan
pedagang yang berasal dari masyarakat kampung naga.


Kajian Teori
Dalam suatu pembicaraan, penutur dapat menyampaikan gagasannya seandainya lawan
tuturnya bekerjasama. Memang kadang-kadang terjadi kesalahpahaman, tetapi kebanyakan
penutur dan lawan tutur dapat saling memahami maksud tuturan yang mereka buat (Finegan
dalam Nadar 1992:310). Formulasi tentang prinsip umum dalam penggunaan bahasa diajukan
oleh Grice (1975:45) dan istilah yang diberikan untuk prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip
kerjasama.
Rumusan prinsip kerjasama tersebut bunyinya sebagai berikut sebagai berikut: Make your
conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the
accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged (“Berikanlah
kontribusi Anda dalam percakapan sesuai dengan kebutuhan, pada tingkat di mana
percakapan tersebut berlangsung, sesuai dngan maksud dan tujuan dimana Anda terlibat”).

Selanjutnya, prinsip kerjasama ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam empat maksim sebagai
berikut:

a. Maksim Kuantitas
1) Berikanlah informasi Anda sesuai kebutuhan dalam rangka tujuan atau maksud
pertuturan.

2) Jangan memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan.
b. Maksim Kualitas
1) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar.
2) Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara
memadai.
c. Maksim Relevansi
Harap relevan.
d. Maksim Cara
1) Hindari ungkapan yang tidak jelas.
2) Hindari ungkapan yang membingungkan.
3) Hindari ungkapan berkepanjangan.
4) Ungkapkan sesuatu secara runtut.
Untuk menjelaskan maksim-maksim tersebut, Grice (dalam Nadar 1975:47) membuat
ilustrasi sebagai berikut:
a. Kuantitas
Jika Anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi Anda sesuai
kebutuhan, tidak lebih, tidak juga kurang. Misalnya, kalau pada saat tertentu saya
memerlukan empat sekrup, saya ingin Anda memberikan kepada saya empat sekrup
bukannya dua atau enam.
b. Kualitas

Saya mengharapkan kontribusi Anda sungguh-sungguh, bukan palsu. Kalau saya
memerlukan gula sebagai bahan pembuat kue yang Anda minta saya membuatnya saya
tidak mengharapkan Anda memberikan garam kepada saya. Kalau saya memerlukan
sendok, saya ingin sendok sungguhan bukan sendok mainan yang terbuat dari karet.
c. Relevansi
Saya menginginkan kontribusi dari pasangan saya sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan pada setiap tahapan transaksi; seandainya saya sedang membuat adonan kue,
saya tidak mengharapkan diberi buku, atau lampin walaupun kontribusi barang-barang ini
mungkin sesuai untuk tahapan berikutnya.
d. Cara

Saya mengharapkan pasangan saya menjelaskan kontribusi apa yang diberikannya dan
melaksanakan tindakannya secara beralasan.
Menurut Black (dalam Putrayasa: 2014), Prinsip Kerja Sama merupakan seperangkat aturanaturan dasar yang dijalankan ketika mengucapkan dan menafsirkan ucapan. Sebuah
percakapan harus memenuhi perangkat aturan tersebut agar terjalin kesepahaman interpretasi
antara penutur dan petutur. Akan tetapi, umumnya penutur banyak melakukan pelanggaran
terhadap aturan-aturan tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya sebagai
strategi untuk menyembunyikan atau menyiratkan ihwal-ihwal tertentu.
Sperber dan Wilson (dalam Nadar 1986:2) berargumentasi bahwa membahas masalah
komunikasi antara peserta pertuturan tidak akan terlepas dari pertanyaan dan sekaligus

permasalahan bagaimana sesungguhnya komunikasi itu dapat terlaksana. Selanjutnya
dijelaskan bahwa komunikasi yang berhasil bukanlah pada saat lawan tutur mengetahui
makna linguistik tuturan penutur, melainkan pada saat lawan tutur tersebut dapat menangkap
maksud penutur yang sesungguhnya lewat tuturan-tuturannya (Sperber dan Wilson dalam
Nadar 1986:23).
Nababan (1987:28) menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi
kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep ini kemudian digunakan
untuk menerangkan perbedaan antara hal ‘yang diucapkan’ dengan hal ‘yang diimplikasikan’.
Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu
yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak (Rahardi. 2003:85). Pembahasan tentang
implikatur mencakupi pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur,
dan implikasi suatu tuturan. Di dalam teori implikatur menyebutkan tiga jenis implikatur,
yaitu implikatur konvensional, implikatur nun konvensional, dan praanggapan. Selanjutnya
implikatur nun konvensional dikenal dengan nama implikatur percakapan. Selain ketiga
macam implikatur itu, terdapat dua macam implikatur percakapan, yaitu implikatur
percakapan khusus dan umum (Grice, 1975:43-45 dalam Rustono, 1999:83).
1) Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata,
bukan dari prinsip percakapan.
2) Implikatur nun konvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang
tersirat di dalam suatu percakapan. Di dalam komunikasi, tuturan selalu menyajikan satu


fungsi pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itu terimplikasi satu maksud atau tersirat
fungsi pragmatik lain yang dinamakan implikatur percakapan.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif yang
sering digunakan tidak dikaitkan dengan tingkatan penelitian, tetapi dimaksudkan bahwa sifat
penelitian kualitatif selalu menyajikan temuannya dalam bentuk deskriptif kalimat yang rinci,
lengkap dan mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi (Sutopo,
2007:139). Maksudnya data yang terkumpul berupa kata atau gambar bukan angka.
Instrumen penelitian berupa data-data ujaran hasil observasi secara langsung terhadap wacana
komunikasi yang terdapat di kampung Naga. Observasi dilakukan secara massal oleh
mahasiswa kelas B Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2013, Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI). Dari segi teknis, setiap mahasiswa diharuskan menyimak untuk
memperoleh data-data tuturan dari siapapun orang yang ditemukan di wilayah kampung
Naga. Kemudian, hasil menyimak tersebut ditranskripsikan dan diklasifikasikan sesuai
dengan topik yang dibahas oleh masing-masing mahasiswa.

Temuan Penelitian dan Pembahasan
1) Pelanggaran Maksim Kuantitas

Konteks: dua orang mahasiswa yang sedang membeli makanan yang dijual oleh salah
seorang masyarakat kampung Naga, lalu perbincangan berlangsung di tengah-tengah
mereka. Perbincangan tersebut sedang membahas mengenai penduduk yang ada di
kampung Naga.

P1

: Kalau di sini ada pemuda-pemudinya enggak bu?

P2

: Ada. Kalau yang udah besar-besar biasanya suka keluar sekolah, ngebantubantu keluarga, seperti membuat kerajinan seperti ini

Kutipan percakapan di atas jika dihubungkan dengan teori yang dikemukakan oleh
Grice, P2 (pedagang) telah melanggar maksim kuantitas dengan memberikan melebihi
yang dibutuhkan. Jika dilihat dari kutipan percakapan di atas P1 (mahasiswa) hanya
menanyakan mengenai adanya keberadaan pemuda-pemudi di kampung Naga,
sebenarnya P2 hanya perlu menjawab dengan iya atau tidak. Implikatur dari kutipan
percakapan di atas terdapat pada tuturan P2 yang ingin memberitahu bukan hanya
mengenai adanya keberadaan pemuda-pemudi di sana, namun P2 ingin memberitahu

kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pemuda-pemudi tersebut.
2) Pelanggaran Maksim Kualitas
Konteks: dua orang mahasiswa yang sedang membeli makanan yang dijual oleh salah
seorang masyarakat kampung Naga, lalu perbincangan berlangsung di tengah-tengah
mereka. Perbincangan tersebut sedang membahas mengenai hal-hal mistis dan tabu
menurut adat-istiadat di kampung Naga.
P2

: Iya kaya lagi hamil, udah empat sore enggak boleh keluar

P1

: Kenapa itu bu?

P2

: Enggak tahu neng, kalau kata orang di sini enggak boleh, yaudah enggak
boleh.

Di dalam maksim kualitas yang dikemukakan oleh Grice, jangan mengatakan sesuatu

yang tidak benar dan jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat
dibuktikan secara memadai. Dalam kutipan percakapan di atas, tuturan P2 yang
mengatakan “enggak tahu neng, kalau kata orang di sini enggak boleh, yaudah enggak
boleh.” P2 menjawab dengan kalimat tersebut karena sebelumnya P1 bertanya
mengenai mantra-mantra yang terdapat di kampung naga. Karena kampung Naga yang
notabene masih memegang teguh adat istiadat membuat masyarakat mengikuti aturan
yang ada, bahkan tanpa mengetahui alasan mengapa hal tersebut harus dilakukan,
masyarakat di sana tetap taat. Implikatur yang muncul pada percakapan di atas adalah
P2 mengisyaratkan bahwa dirinya tidak ingin memberikan informasi yang lebih lanjut
kepada P1 karena P2 menganggap bahwa tuturan tersebut dianggap tabu di daerahnya.
3) Pelanggaran Maksim Relevansi
Konteks: dua orang mahasiswa yang sedang membeli makanan yang dijual oleh salah
seorang masyarakat kampung Naga, lalu perbincangan berlangsung di tengah-tengah
mereka.

P1

: Ini buat nambah-nambah penghasilan keluarga?

P2

: Iya kalau ada rombongan, ibu jualan, kalau enggak ada rombongan ibu
jarang jualan, soalnya kalau orang sini jarang ada yang beli

Maksim relevansi mengharuskan percakapan yang terjadi harus ada saling
keterkaitan. Seperti yang sudah dicontohkan Grice di atas seandainya saya sedang
membuat adonan kue, saya tidak mengharapkan diberi buku, atau lampin walaupun
kontribusi barang-barang ini mungkin sesuai untuk tahapan berikutnya. P1 mencoba
menggali informasi kebutuhan untuk menambah penghasilan keluarga, namun
jawaban yang diberikan oleh P2 tidak ada relevansinya sama sekali. Implikatur yang
muncul pada percakapan di atas adalah P2 ingin memberitahukan bahwa dirinya
hanya berjualan pada saat-saat tertentu, yang jika ditarik kesimpulan maka penghasil
dari berjualan tersebut hanyalah penghasilan tambahan untuk keluarganya.

Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang telah didapat dan telah melalui proses transliterasi dari bahasa
Sunda ke bahasa Indonesia, yang kemudian telah dilakukan analisis menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Terdapat pelanggaran maksim kuantitas dengan memberikan informasi
berlebihan melebihi yang dibutuhkan, juga terdapat pelanggaran maksim kualitas dengan
mengatakan sesuatu yang kebenaranya tidak dapat dibuktikan, dan temuan yang terakhir
adalah pelanggaran maksim relevansi dengan memberikan jawaban yang tidak ada
hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan. Namun dari pelanggaran-pelanggaran
maksim yang terjadi dari percakapan antara mahasiswa dan pedagang tersebut menghadirkan
implikatur yang dapat dianalisis dari beberapa contoh kutipan percakapan.

Daftar Pustaka
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Grice, H.Paul. 1991. Logic and Conversation dalam Davis S. Paragmatics: A Reader.
New York: Oxford University Press.
Putrayasa, I. B. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Nadar, F.X. 2013. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Nababan, PWJ. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdibud.