BAB 1 : KEWAJIBAN MENJAUHI BID’AH - Risalah Ramadhan Full

Yayasan Pesantren Raudlatul Uluum Aek Nabara
Adi Permadi, ST

Risalah Ramadhan

‫صلى ا‬
‫عليه وسلم‬

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR PADA TAHUN 2007
KATA PENGANTAR oleh Ridwan Hamidi Lc
SEPATAH KATA
BAB 1 : KEWAJIBAN MENJAUHI BID’AH
BAB 2 : KEUTAMAAN QIYAMU ROMADHON
BAB 3 : RINGKASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON [koreksi ulang terhadap pelaksanaan sholat malam dalam
rangka tashfiyyah dan tarbiyyah]
BAB 4: ULASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON
Poin 1 : Perintah untuk mengatur shof
Poin 2 : Tidak adanya seruan untuk mendirikan sholat tarawih dan witir
Poin 3 : Dalil sholat tarawih dan witir 11 raka’at
Poin 4 : Cara melaksanakan witir yang 3 raka’at

Poin 5 : Tidak ada do’a khusus disela-sela tarawih
Poin 6 : Bacaan khusus setelah witir
Poin 7 : Larangn Dzikir berjama’ah dan bersuara keras
Poin 8 : Sunnah membaca do’a Qunut dalam sholat witir
Poin 9 : Wajib berniat puasa romadhon semenjak malam hari dan tidak perlu diucapkan dengan lisan
Poin 10 : Perkara penting yang harus di perhatikan oleh imam dan jama’ah sholat
BAB 5: JUMLAH RAKA’AT SHOLAT MALAM DI BULAN ROMADHON
BAB 6: BEBERAPA KESAKSIAN PELAKU SEJARAH MENGENAI JUMLAH RAKA’AT TARAWIH DAN WITIR DALAM BULAN
ROMADHON
BAB 7: APAKAH RAKA’AT SHOLAT MALAM ITU DIBATASI ?
BAB 8: MENELUSURI PENTARJIHAN AL-ALBANI
BAB 9: KASUS HADITS YAZID BIN KHUSAIFAH [ sebuah perbandingan Penilaian terhadap sanad hadits yang dilakukan
oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Al-Anshari ]
BAB 10: ANTARA METODE AT-TARJIH DAN AL-JAM’U TERHADAP
RAKA’AT QIYAMUR ROMADHON
BAB 11: KUMPULAN HADITS-HADITS LEMAH BERKAITAN JUMLAH
RAKA’AT TARAWIH
BAB 12: BOLEHKAH SHOLAT SUNAT SETELAH WITIR ?
BAB 13: STATUS SHOLAT 2 RAKA’AT PEMBUKA
BAB 14: SURAH-SURAH YANG DIBACA DALAM SHOLAT MALAM

BAB 15: PENGERJAAN QUNUT WITIR
BAB 16: BEBERAPA SIFAT SHOLAT MALAM
BAB 17: SEBAGIAN DARI ETIKA QIYAMUL LAIL
BAB 18: MASALAH SHOLAT TARAWIH 4 RAKA’AT 1 SALAM
BAB 19: TANYA JAWAB BERKAITAN QIYAMU ROMADHON
BAB 20: ETIKA MENYIKAPI PERMASALAHAN KHILAFIYAH
BEBERAPA TAMBAHAN DAN KOREKSI
SUMBER IDE & PUSTAKA PENULISAN

……………..Risalah ramadhan ini dikirim oleh Adi Permadi, ST
lewat email dan diedit kembali oleh Abdul Rahman, SP
dalam rangka menyambut Ramadhan di tahun 1428 H
yang akan jatuh sekitar mulai tanggal 13 September 2007.

Kata Pengantar
Pada tahun 2007

Dalam penyempurnaan edisi di tahun 2007, ada beberapa tambahan yang penulis berikan diantaranya :
perluasan pembahasan bid’ah, Ucapan-ucapan yang dibuat-buat disela-sela pelaksanaan sholat tarawih, masalah
bid’ahnya dzikir berjama’ah, bentuk do’a iftitah yang lain dalam sholat malam, atsar – atsar qunut witir di bulan

ramadhan, kaidah-kaidah menambahkan do’a di dalam qunut witir, koreksi atas rawi yang bernama Isa bin Jariyah,
penambahan dalil atas pemahaman keliru bid’ah hasanah, membuat bab baru yakni masalah sholat tarawih 4
raka’at.
Satu hal yang menganehkan, penulis mendapati beberapa orang dari kaum muslimin berkeinginan
menambahkan do’a-doa disela-sela pelaksanaan sholat tarawih dengan maksud pengajaran.
Penulis katakan
Subhanallah, untuk pengajaran !! Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam tidak mengajarkan satu kalimat apapun
secara khusus untuk dibaca disela-sela sholat tarawih. Apa yang ingin Saudara ajarkan? Melainkan bid’ah bukan.
Apakah penulis harus mengingatkan dengan keras kepada saudara-saudaraku seperti pengarang kitab
Shahih Fiqih Sunnah - Syaikh Abu Malik Kamal- yang mengatakan “Tidak disyariatkan, saat istirahat tersebut, dzikirdzikir tertentu atau selainnya, sebagaimana dikerjakan oleh sebagian orang-orang bodoh”. Betapa kerasnya celaan
beliau.
Adapun penulis berpendapat sungguh banyak faktor selain faktor yang disebutkan pengarang Shahih Fiqih
Sunnah diatas yang mendorong mereka melakukan itu seperti adanya tekanan masyarakat, dikucilkan dari
lingkungan pergaulan tertentu atau akan kehilangan masa. Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah mengerjakan
Sunnah Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam. Amiin
Sungguh risalah ini bukan memaksa, pilihan tetap ada di tangan saudara masing-masing. Risalah ini hanya
bersifat mengingatkan dan sebagai bahan tambahan untuk dikaji lebih lanjut.
Hanya saja penulis menyarankan kepada saudaraku-saudaraku itu agar mau belajar lebih giat dalam
mempelajari Islam sebagaimana penulis pun juga mau belajar Islam dan tidak malu.
Penulis khawatir jika sebagian orang menyembunyikan ilmunya baik pura-pura tidak tahu (cuek), atau tidak

menyampaikan kebenaran kepada kaum muslimin karena enggan mengakui kebenaran atau karena takut bid’ahnya
terbongkar lantas tidak memiliki lagi pengikut dan masa ataukah kesenioritasannya hilang karena diungguli oleh anak
baru kemarin sore belajar Islam.
Maka risalah ini penulis tujukan kepada kaum muslimin dimana saja berada untuk mengambil manfaat
darinya dan tidak penulis khususkan bagi satu atau beberapa masjid tertentu. Penulis tidak merasa malu untuk
menarik pendapatnya bila dikemudian hari di dapatkan dalil yang lebih kuat.
Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada guruku Ustadz Ridwan Hamidy Lc
yang sedari awal pembuatan ikut memperhatikan penyusunan risalah ini dan memberi masukan disana-sini. Juga
kepada temanku dan saudaraku Kautsar Amru ST yang saat ini bekerja di PT Medco Energy yang sudi memberi
komentar atas risalah ini.
Penulis menyadari bahwa suatu saat penulis akan menghadap Allah. Penulis sadar banyaknya kesalahan
dan dosa penulis kepada Allah harus diimbangi dengan kebaikan pula sebagaimana dalam sebuah hadits berkualitas
hasan “iringilah perbuatan jelek itu dengan kebaikan agar dapat menghapusnya.” Karenanya penulis berharap
semoga risalah ini membuat Allah mencintai, meridhoi dan memberi ampunan kepada penulis. Allah tahu bahwa
penulis membutuhkan ampunannya dan keridhoannya serta kecintaan dari Muhammad Rasulullah Sholallahu Alaihi
Wasallam.

Yogyakarta, 31 Juli 2007
Adi Permadi ST


Kata Pengantar
Oleh : Ridwan Hamidi Lc

Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan setetes air ditengah kehausan umat akan adanya buku
fiqih Ramadlan yang selalu mengedepankan penggunaan dalil yang shahih. Sebab setiap muslim sepakat bahwa
Alqur’an dan Sunnah merupakan dasar dalam menetapkan setiap persoalan hidup, termasuk Fiqih.
Upaya pemurnian ajaran Islam dari semua yang melekat dalam Islam dan bukan merupakan bagian dari
Islam, perlu terus dihidupkan, agar peningkatan kehidupan beragama ditengah-tengah umat menjadi nyata. Karena
kita semua yakin bahwa umat di zaman manapun tidak akan menjadi baik kecuali dengan pedoman yang telah
menjadikan baik generasi awal umat ini.
Tentu buku ini bukan merupakan satu-satunya buku yang ada ditengah-tengah umat yang membahas
seputar puasa dan hal-hal yang berkaitan dengan bulan Ramadlan. Tapi yang menarik untuk dicermati adalah
ketekunan penulis yang secara sungguh-sungguh mencari kebenaran dan memilih pendapat yang dinilai paling kuat
dengan melihat dasarnya (dalilnya). Ditambah lagi jika kita melihat latar belakang penulis yang saat itu sebagai
mahasiswa jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada dan sedang melaksanakan KKN.
Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang mencari tuntunan puasa dan amalan
seputar Ramadlan.

Yogyakarta, 22 Agustus 2005


Ridwan Hamidi

Sepatah Kata
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan serta ampunan
kepada-Nya, kita berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kita dan keburukan amalan-amalan kita.Barang siapa
yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang
disesatkan oleh Allah maka tak seorang pun yang bisa memberi hidayah kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang haq kecuali Allah saja, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” QS. Ali Imran :102
“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan
dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangkan laki-laki dan perempuan
yang banyak dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” QS.
An-Nisaa:1
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar niscaya Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar.” QS. Al Ahzab :70-71
Amma Ba’du
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah

sholallahu alaihi wasallam. Dan seburuk-buruk urusan adalah perbuatan mengada-ada, setiap perbuatan mengadaada adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat adalah di neraka.
Wa Ba’du
Buku ditangan pembaca budiman adalah buku yang membahas Fiqih Qiyamu Romadhon, merupakan runtutan
tulisan demi tulisan tiap tahunnya dari tahun 1423 H yang sebagian besar kandungannya disusun ketika penulis
menjalankan Kuliah Kerja Nyata. Tentu saja di dalamnya terjadi pergulatan nash-nash, seperti ciri khas dalam Fiqih
yang satu menguatkan kemudian yang lain melemahkan, yang lain menghapus ketentuan syariat yang ditetapkan
oleh nash yang lain, satu nash kita dapati bersifat umum sedangkan nash yang lain kita dapati bersifat khusus.
Begitulah adanya dunia Fiqih, perbedaan pendapat atau ikhtilaf terkadang memang tidak bisa dihindari 1. Disinilah
butuhnya toleransi, namun tentunya sikap nasehat menasehati dalam kebenaran dan saling melihat kekuatan dalil
masing-masing pihak dengan ikhlas dan cermat dengan menjunjung kejujuran serta metodologi ilmiah yang benar
harus didahulukan. Dari pandangan penulis, ilmu Hadits sangat berperan banyak bagi mereka yang memasuki dunia
Fiqih, Reduksi (pengurangan) ikhtilaf terjadi secara besar-besaran dan ini akan sangat membantu kita untuk memilih
pendapat mana yang akan kita ikuti.
Sebelum kita memasuki halaman demi halaman dari buku ini, apakah pembaca budiman sepakat dengan penulis
bahwa Islam dibangun berdasarkan Alqur’an dan Sunnah ? Setujukah bahwa kita harus mendahulukan perkataan
Allah dan Rasulnya dari perkataan siapapun ? Sependapatkah pembaca dengan penulis bahwasanya konstruksi
hukum Islam tidak diperkenankan memakai hadits yang berkualitas lemah (dhaif) apalagi lemah sekali (dhaif
jiddan) ? dan Apakah pembaca sepakat bahwasanya dalam memahami Alqur’an dan As-Sunnah kita perlu melihat
pemahaman para salafush shaleh ? Bila pembaca sejalan dengan hal hal tadi berarti kita bersama-sama berangkat
dari sebuah parameter penilaian yang sama.

Pernah dalam sebuah kesempatan penulis berkesempatan bertukar pikiran dengan seorang ustadz, dimana beliau juga
mengarang buku yang berjudul “Memahami dan mendalami masalah tahajud, tarawih dan witir.” Hanya saja menurut saya
pengambilan-pengambilan kesimpulan beliau dalam buku tersebut sebagian telah jatuh dalam kekeliruan. Pendapat beliau
yang paling ganjil menurut saya adalah:
Pertama, “Sholat nabi saw yang pernah di ikuti oleh para sahabat 2 atau 3 kali belum bisa dijadikan hujjah untuk
menetapkan keharusan jama’ah dalam sholat tarawih, tahajud dan witir, alasannya karena Rasulullah tidak sengaja
menjadi imam sholat malam, dan terjadinya jama’ah jelas dari kemauan sahabat bukan dari kemauan nabi saw. (hal 74).
Beliau juga mengatakan Tidak ada dalil yang jelas untuk menetapkan sholat tarawih dan witir berjama’ah. (hal 81)

Kedua, “bahwa sholat tahajud dan tarawih beliau sholallahu alaihi wasallam, tidak pernah ditampakkan
kepada umatnya, sehingga tidak seorangpun yang mengetahui jumlah atau bilangannya.” (hal 139)
Ketiga, “Cara melaksanakan witir 3 raka’at menurut ijma’us sahabat ialah dengan salam sekali pada raka’at
ketiga. Hadits ke tiga (dalam uraian beliau) memberi pengertian bahwa nabi saw tidak pernah salam pada dua
raka’at witir dalam witir 3, tetapi kalau 2 raka’atnya itu tidak berdiri sendiri dalam witir tujuh, itu diperbolehkan. (hal.
46-47) lihat hadits 3 dan 4 pada hal tsb.2
Untuk masalah pertama, penulis tidak mengetahui dari ulama mana beliau mengikuti pemahaman seperti itu, Bahkan terdapat sabda
Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam yang berbunyi “Sesungguhnya barang siapa yang sholat (qiyamul lail) bersama imam hingga
imam selesai sholat, ia akan mendapatkan ganjaran sholat semalam suntuk.” Juga telah shahih riwayat Umar bin khattab
memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia dalam sholat tarawih 11 raka’at. 3 Pengerjaan Tarawih
secara berjamaah telah masyhur dari generasi ke generasi dan tidak ada yang mempermasalahkan masalah ini.

Sedangkan untuk masalah kedua, memang sebagian dari madzhab Syafi’i memandang dalam hadits Aisyah: “Bahwa
Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at baik pada bulan Romadhon maupun
pada bulan lainnya lebih dari 11,” yang dimaksud adalah sholat witir seperti yang disebutkan oleh Al-Qastalani dari
kalangan Syafi’iyah . Pendapat itu jelas-jelas lemah; kalau kita kembali menilik bahwa pernyataan Aisyah tadi adalah
sebagai jawaban dari pertanyaan: ‘bagaimana Rasulullah sholat di bulan Romadhon?” Sholat yang dipertanyakan
disitu meliputi seluruh sholat malam. Bagaimana mungkin bisa ditakwilkan hanya dengan sholat witir tanpa sholat
lainnya? Takwil itu membawa konsekuensi bahwa sholat rasulullah disitu ada dua macam; yang pertama, adalah
sholat malam, dan kita tidak tahu berapa jumlah raka’atnya; yang kedua, adalah sholat witir, yang mana jumlah
raka’atnya paling banyak adalah 11 raka’at. Pendapat begini jelas tak akan dilontarkan oleh orang yang mengerti
sunnah. Disana bertumpuk hadits-hadits yang menunjukkan bahwa sholat malam Rasulullah tidak lebih dari 11
raka’at4.
Untuk masalah ketiga, penulis menduga beliau belum mendapatkan hadits “bahwa nabi sholallahu alaihi wa sallam
biasa memisahkan raka’at genap dan ganjil dengan salam yang dapat kami dengar”. Penukilan ijma sahabat dimana
beliau mengikuti Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar tertolak. Justru ada riwayat shahih yang marfu dari
Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam dan riwayat mauquf Abdullah bin Umar yang menerangkan bahwa Abdullah
bin Umar biasa melakukan witir dengan salam antara dua raka’at pertama dengan satu raka’at terakhir. Disamping
itu Hadits –hadits yang menyatakan bahwa nabi Sholallahu alaihi wa sallam hanya salam diakhir raka’at (dalam witir
3 raka’at) adalah lemah. Diantaranya adalah hadits Ubay bin Ka’ab dengan lafazh: ‘Rasulullah sholallahu alaihi wa
sallam di dalam sholat witir membaca (3 surah ), dan hanya salam pada akhir raka’at.” 5 Penulis berharap semoga
kritik membangun ini merupakan masukan yang berguna bagi beliau dalam melengkapi karya ilmiahnya.6

Kesalahan dalam mengambil sebuah kesimpulan kadang kala bisa terjadi bila seseorang tidak memiliki pengetahuan
yang luas berkaitan ilmu Musthalah hadits , perbendaharaan hadits serta syarah hadits. Walaupun mereka yang
berpengetahuan luas pun tidaklah maksum dari kesalahan. Melalui ilmu Musthalah hadits seorang peneliti bisa
mengetahui derajat sebuah hadits apakah shahih ataukah dhaif dan dalam masalah hal-hal yang berkaitan dengan
hukum Qiyamul Lail ulama tidak memperkenankan seseorang memakai hadits dhaif sebagai dalil. Melalui
perbendaharaan hadits yang mapan maka seorang peneliti mampu menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam
tema yang sama sehingga lebih akurat dalam menarik kesimpulan 7 dan dengan memiliki kekayaan terhadap syarah
hadits maka kita bisa melihat pemahaman ulama-ulama (terutama para salafus sholeh) akan maksud dari hadits
tersebut.
Risalah ini secara umum mendukung kedua pelaksanaan sholat tarawih dan witir, entah itu 11 raka’at atau 23 raka’at bagi
mereka yang memandang atsar Yazid bin Khushaifah dari Saib bin Yazid dipandang shahih.Walaupun demikian, penulis
katakan bahwa mengikuti tuntunan Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam itu tetap lebih utama. Memang penulis melihat
bila kita mau menggunakan metode tarjih (penguatan) tidak dipungkiri lagi hal ini memang terjadi khilaf di dalamnya
dimana salah satu pendapat harus diunggulkan. Namun harus diketahui disini penulis memakai metode jama’ (kompromi). 8
Metode jama’ bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia hadits, sebutlah Ibnu Qutaibah beliau memiliki karya yang bagus
dalam metode jama’ yang berjudul Ta’wil Mukhtalafil Hadits, kemudian At-Thahawi dalam Musykilul Atsar dan Imam AsySyafi’i dengan karyanya Ikhtilaful hadits (beliaulah orang yang pertama membicarakan dan menyusun kitab dalam bidang
jama’ dan tarjih )9. Dalam hal ini penulis telah berusaha untuk melihat kekuatan masing-masing dalil dari kedua pendapat
itu. Inilah yang rajih dalam pandangan penulis. Wallahu a’lam.
Pembaca yang budiman, setiap usaha melakukan pemurnian syariat Islam seperti pelaksanaan qiyamu
romadhon mengikuti sunnah Rasulullah saw salah satunya 10 tidaklah segampang anda membalik telapak tangan

anda, terkadang kita harus berhitung dengan yang namanya “kesiapan masyarakat”. Faktor ini sangat berperan

dalam penerimaan dakwah yang dilakukan oleh para da’i dan sejumlah konflik baik besar maupun kecil akibat respon
masyarakat terhadap usaha pemurnian tersebut. Disinilah kita mulai berpikir bagaimana usaha atau menciptakan
daya dukung terhadap pemurnian syariat. Apa saja yang telah kita lakukan ? Sudahkah kita berusaha
mendakwahkan ajaran Islam baik dengan memperbanyak kajian Islam, kultum, ceramah, dakwah perseorangan atau
sejenisnya ? Sudahkah kita berlemah lembut dalam menyampaikan kepada mereka yang benar-benar awam dalam
Islam dan berdiskusi serta menjawab keragu-raguan mereka yang menentang ? Sudahkah kita memohon kepada
Allah agar memberi kekuatan kepada diri kita untuk bisa mengamalkan dakwah yang kita serukan dan memohon
keberkahan atas dakwah ini serta memohon hidayah kepada-Nya agar masyarakat mudah menerima ? 11
Terakhir kalinya saya berharap mudah-mudahan dengan risalah ini adalah sarana mencapai terwujud
persatuan Islam karenanya saya menyertakan 1 bab yang berkaitan dengan permasalahan khilafiyah agar
dipahami, itulah yang kami harapkan dan bukan sebaliknya. Saya mengucapkan jazakumullahu khairan dan
rasa hormat kepada “guru-guruku” yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengajariku melalui
karya-karya tulisnya, diantaranya :
Ustadz Ridwan Hamidi Lc, Ustadz Abu Hamzah Al-Sanuwi Lc, MAg, Ustadz Dzulqarnain Bin
Muhammad Sunusi Al-Atsary, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Ustadz Abu Nu’aim AlAtsary, Ustadz Drs. Zainul Muttaqin rahimahullahu ta’ala 12 , Ustadz Hariyadi Lc, Ustadz Abu
Ahmad Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc, Ustadz Drs Muhammad Thalib, Ustadz Prof. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA, Ustadz Abu Ubaidah Al Atsari, Ustadz Iman Sulaiman Lc, Ustadz Arman
bin Amri Lc, Ustadz Abul Mundzir Ja’far Shalih, Ustadz Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, Lc, Ustadz
Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Ustadz Abu Umar Basyir dan mereka-mereka yang belum sempat
saya sebutkan disini
Penulis belum sempat meminta izin dengan memuat karya tulisnya dimana pembaca menduga seolaholah itu adalah hasil diri penulis sendiri. 13 Tidak!, ini adalah Ekstrak (saripati) karya tulis puluhan
ulama yang malam serta siang mereka disibukan dengan penelaahan, pengkajian dan dakwah atas
kitab-kitab Hadits, Biografi rawi, Jarh wa ta’dil, Syarah dan Tafsir, Ushul dan Fiqih. Semoga jerih payah
mereka Allah balas dengan kedudukan di Jannah. Amiin. Akhir ucapan kami adalah Alhamdulillah.

Yogyakarta, 22 Agustus 2005
Adi Permadi

Bab 1

K

ewajiban menjauhi Bid’ah

S

uatu amal perbuatan tidak akan diterima oleh Allah kecuali jika dilakukan dengan ikhlas dan
mengikuti Sunnah Rasulullah SAW yang shahih. Yang sudah menjadi ketetapan para ulama
pentahqiq, bahwa semua ibadah yang dilakukan tidak disyari’atkan oleh Rasulullah saw dan
tidak juga beliau lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ibadah tersebut jelas
bertentangan dengan sunnahnya. Sebab sunnahnya terdiri dari dua bagian: Sunnah fi’liyyah (sunnah
dalam bentuk perbuatan) dan sunnah tarkiyyah (yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw). Dan ibadah
yang beliau tinggalkan, maka sunnah pula untuk ditinggalkan 14 Karena itu perlu kita menghindari suatu
ibadah yang dibangun dengan bersandarkan hadits-hadits dhaif dan maudhu atau hadits yang tidak
mempunyai dasar, beberapa ijtihad dan istihsan yang dikeluarkan dari beberapa ahli fiqih 15, khususnya
dari orang-orang yang datang kemudian, dimana mereka tidak melandasinya dengan satu dalil
syariatpun. Tetapi, mereka menyitirnya dari pembawaan kebanyakan kaum muslimin, sehingga menjadi
sunnah yang harus di ikuti. Kemudian berbagai tradisi dan khurafat yang tidak pernah diajarkan oleh
syari’at sama sekali, serta tidak juga diterima oleh akal sehat. Perkara-perkara diatas tadilah yang
biasanya menjadi referensi setiap bid’ah. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah menolak
taubat setiap pelaku bid’ah sehingga dia meninggalkan bid’ahnya.” 16
Berkata Sufyan Ats-Tsauri : “Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada kemaksiatan, pelaku
maksiat masih ingin bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku bid’ah tidak ada keinginan untuk
bertaubat dari kebid’ahannya.17
Dampak negatif bahaya bid’ah 18
Bid’ah mempunyai dampak negative, akibat, dan bahaya fatal dan menghancurkan. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
Pertama. Berkata atas nama Allah tanpa ilmu.
Orang yang memperhatikan perjalanan hidup orang-orang yang suka menciptakan bid’ah akan melihat
bahwa mereka adalah manusia yang paling banyak berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya. Padahal,
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mengada-adakan perkataan dusta atas nama-Nya. Allah berfirman:
“seandainya ia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar
kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”19
Nabi Sholallahu alaihi wa Sallam melarang berdusta atas nama beliau dan beliau mengancam orang
yang berbuat demikian dengan adzab yang keras. Beliau bersabda:
“Barang siapa senganja berdusta atas nama diriku. Maka silakan mengambil tempat duduknya dari api
neraka.”20
Kedua.Kebencian ahli bid’ah terhadap As-Sunnah dan Ahli Sunnah
Hal ini sebagai bukti atas bahayanya bid’ah. Imam ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullahu
berkata, “adapun tanda-tanda ahli bid’ah yang paling nyata dan mencolok ialah bahwa mereka sangat
memusuhi dan merendahkan orang-orang yang membela sunnah Nabi Sholallahu Alaihi Wa Sallam.” 21
Ketiga. Terbaliknya pemahaman ahli bid’ah

Ahli bid’ah melihat kebaikan sebagai kejelekan dan kejelekan sebagai kebaikan. Ia melihat Sunnah
sebagai Bid’ah dan Bid’ah sebagai Sunnah. Hudzaifah bin Yaman ra berkata: “Demi Allah, sungguh
bid’ah-bid’ah itu akan tersebar luas hingga jika ada satu bid’ah yang ditinggalkan, merekapun berkata
“waduh, Sunnah telah ditinggalkan.”22
Keempat. Bid’ah dapat menyebabkan pelakunya mendapat laknat Allah
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra dari nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam bahwa
beliau bersabda mengenai orang yang membuat perkara baru di Madinah,
“Barang siapa membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) di dalamnya atau melindungi orang yang
membuat bid’ah (dosa dan maksiat), maka ia akan memperoleh laknat Allah, para malaikat, dan seluruh
umat manusia. Allah tidak akan menerima amalan wajibnya dan tidak pula amalan sunnahnya.” 23
Kelima. Ahli bid’ah tidak diperbolehkan meminum air dari telaga Nabi Sholallahu alaihi wa Sallam
Sahl bin Sa’d ra meriwayatkan hadits dari nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:
“aku akan mendahului kalian menuju telaga. Barang siapa mendatanginya, ia pasti meminumnya dan
barang siapa meminumnya, ia tidak akan haus selam-lamanya. Sungguh akan ada sekelompok orang
yang mendatangiku. Aku mengenal mereka dan mereka pun mengenalku. Kemudian mereka dihalangi
untuk sampai kepadaku.” 24
Dalam lafazh lain disebutkan
Kemudian aku berkata, ‘mereka termasuk umatku”. Kemudian dikatakan,”sesungguhnya kamu tidak tahu
apa yang mereka ada-adakan ( dalam urusan agama) sepeninggalmu.” Kemudian aku berkata, “jauh,
jauh (dari telagaku ini) orang-orang yang suka mengubah (ajaran agamaku) sepeninggalku.” 25
Keenam. Ahli bid’ah suka menyembunyikan kebenaran dari para pengikut mereka
Allah telah mengancam mereka yang suka mennyembunyikan kebenaran dan orang-orang yang
sehaluan dengan mereka bahwa mereka akan mendapat laknat. Allah berfirman:
“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keteranganketerangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-kitab,
mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” 26
Imam Yang Empat Mengikuti Sunnah Dan Membenci Bid’ah
Seluruh ulama dan imam madzhab empat sepakat untuk mengikuti sunnah dan meninggalkan kebid’ahan
dalam beragama dalam hal sekecil apapun sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Sufyan Ats tsauri
ketika menukil perkataan fuqoha: “tidak akan lurus suatu ucapan kecuali disertai dengan perbuatan, tidak
akan lurus ucapan dan perbuatan kecuali harus disertai dengan niat yang ikhlas dan tidak akan lurus
ucapan, perbuatan dan niat yang ikhlas melainkan harus sesuai dengan sunnah.” 27
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80-150H)
“apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” 28
“tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui
darimana kami mengambilnya.” 29
“jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah
sholallahu alaihi wasallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” 30
Imam Malik bin Anas (92-179 H)

“sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah
pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan Sunnah, ambilah dan setiap yang tidak
sesuai dengan alkitab dan Sunnah, tinggalkanlah.” 31
“tidak ada seorang pun setelah Nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam kecuali dari perkataannya itu ada yang
diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali nabi Sholallahu Alaihi wa Sallam.” 32
“Janganlah kamu menentang sunnah dan terimalah dengan sepenuh hati.” 33
“Sunnah laksana perahu nabi Nuh as. Siapa yang naik maka akan selamat dan siapa yang tidak naik
maka akan tenggelam.”34
“Siapa pun diantara umat ini yang mengada-adakan perkara baru dalam agama yang tidak terdapat
petunjuk pada generasi Salaf maka ia telah menuduh bahwa Muhammad telah berkhianat terhadap
risalah karena Allah telah berfirman: “pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al-Maidah :3),
sehingga segala perkara agama yang tidak terdapat petunjuk dari Nabi maka sampai kapanpun tidak
termasuk bagian dari agama.”35
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-205 H)
“Tidak seorang pun, kecuali harus bermadzhab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya.
Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari
Rasulullah sholallahu alaihi wasallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda
Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam. Inilah ucapanku.” 36
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah
Sholallahu Alaihi wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti
perkataan seseorang.”
“Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah
Sholallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullah Sholallahu Alaihi wa Sallam
dan tinggalkanlah apa yang aku katakan37.”
Imam Ahmad bin Hambal (164-241H)
“Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Sholallahu Alaihi wa Sallam, maka sesungguhnya ia telah
berada di tepi kehancuran.”
“termasuk prinsip dan manhaj Ahli Sunnah adalah berpegang teguh dan mengikuti ajaran para shahabat
Rasulullah Sholallahu alaihi wa Sallam dan meninggalkan bid’ah karena seluruh bid’ah adalah sesat,
tidak berdebat dan duduk dengan ahli ahwa’ dan tidak adu mulut, berdebat serta berdiskusi dengan
mereka dalam masalah yang berkaitan dengan agama.” 38

Bab 2

K

EUTAMAAN QIYAMU ROMADHON

Sudah sepantasnya sebagai seorang muslim kita berusaha mendekatkan diri kepada Allah
dengan mengerjakan amal-amal yang difardhukan Allah lalu setelah itu kita mengerjakan amal-amal
sunnah. Sungguh bulan Romadhon merupakan bulan yang penuh kebaikan jangan sampai diri kita tidak
mendapatkan kebaikan yang besar di dalamnya. Kebaikan-kebaikan itu diantaranya dapat diperoleh
dengan melaksanakan Qiyamu Romadhon pada malam-malamnya. Saya akan menyebutkan keutamaan
Qiyamu Romadhon yakni pelaksanaan sholat tarawih dan witir di malam-malam bulan romadhon
berdasarkan hadits-hadits.
Pertama
“Barang siapa mengerjakan Qiyam (sholat tarawih) pada bulan Romadhon karena keimanan dan
mengharap pahala niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” 39
Maksud Qiyam Romadhon, secara khusus, menurut Imam An-Nawawi adalah Sholat Tarawih. Hadits ini
memberitahukan, bahwa sholat tarawih itu bisa mendatangkan ampunan dan bisa menggugurkan semua
dosa, tetapi dengan syarat dengan berlandaskan iman,membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh
Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar adat kebiasaaan. 40
Kedua
“Sesungguhnya barang siapa yang sholat (qiyamul lail) bersama imam hingga imam selesai
sholat, ia akan mendapatkan ganjaran sholat semalam suntuk.” 41
Hadits selengkapnya :
Abu Dzar menceritakan : “kami dahulu melakukan puasa bersama Rasulullah sholallalhu alaihi wasallam
di bulan Romadhon. Namun beliau tidak turut sholat bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan
tersebut. Saat itu baru beliau sholat bersama kami hingga berakhir sepertiga malam. Pada saat bersisa
enam hari lagi dari bulan Romadhon, beliau kembali tidak sholat bersama kami. Sementara pada saat
tinggal tersisa lima hari lagi, beliau sholat bersama kami hingga berakhir separuh malam. Kami berkata :
“wahai Rasulullah, andaikata engkau sudi menghabiskan sisa malam ini dengan sholat sunnah bersama
kami?” Beliau menanggapi : “sesungguhnya barang siapa yang sholat (qiyamul lail) bersama imam
hingga sholat usai, Allah akan menuliskan baginya pahala sholat satu malam suntuk.” Dalam riwayat
lain : “akan dituliskan baginya pahala sholat satu malam suntuk.” Ketika tinggal tersisa empat hari lagi,
beliau kembali tidak sholat bersama kami. Saat Romadhon tinggal bersisa tiga hari, beliau
mengumpulkan seluarga beliau dan istri-istri beliau, lalu sholat bersama kami hingga kami khawatir
tertinggal waktu falah.” Aku bertanya : “apa yang dimaksudkan dengan waktu falah?” Beliau menjawab :
“waktu sahur.” Kemudian, pada hari-hari yang tersisa, beliau kembali tidak sholat bersama kami lagi.”
Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran agar melakukan sholat tarawih secara berjamaah
dan mengikuti imam hingga selesai sholat. An-Nawawi menegaskan : “para ulama bersepakat
bahwa sholat tarawih itu dianjurkan. 42 Tidak diragukan lagi bahwa sholat tarawih itu hukumnya
sunnah muakkad, yang pertama kali menetapkan sunnahnya dengan ucapan dan perbuatan
Rasulullah sholallahu alaihi wasallam.43
Ketiga
“Sesungguhnya Romadhon adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku
menyunnahkan qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barang siapa berpuasa Romadhon dan Qiyam

Romadhon karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana
pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.”44
Ke empat
Suatu ketika datang seseorang dari Qudha’ah berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila aku
bersaksi bahwa tidak ada yang patut di ibadati kecuali Allah, dan bahwa engkau Rasulullah, dan saya
melakukan sholat yang lima, puasa Romadhon, dan sholat malam di bulan Romadhon, dan saya
menunaikan zakat?’ Rasulullah saw bersabda,”barang siapa yang wafat di atas (amalan) ini maka ia
termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.”45
Kelima
“Barang siapa yang melaksanakan sholat dimalam lailatul Qodar ( kemudian ia mendapatkannya),
dengan keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” 46

Pada masa Nabi Saw tidak ada istilah sholat tarawih. Nabi Saw dalam hadits-haditsnya juga tidak pernah
menyebutkan kata-kata tarawih. Pada masa Nabi Saw, sholat sunnah pada malam Romadhon ini dikenal
dengan Qiyam Romadhon. Tampaknya istilah tarawih itu muncul dari penuturan Aisyah istri Nabi Saw
seperti diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Aisyah mengatakan, “Nabi Saw sholat malam empat raka’at,
kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian sholat lagi panjang sekali. Al-Shan’ani

Bab 3

R

INGKASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON

Koreksi ulang terhadap pelaksanaan sholat malam dalam rangka tashfiyah dan tarbiyah
1. Setelah selesai kultum (bila ada), hendaklah imam bersiap melakukan Sholat Tarawih dengan
menghadap kepada jama’ah untuk merapatkan, mengatur dan merapikan shof. Jama’ah serentak
berdiri untuk sholat tarawih. Lihat poin Pertama.
2. Tidak perlu mengucapkan “Shollu sunatan tarawihi arba’a… dst.” Dan tidak perlu pula menjawab
dengan Laa ila ha illallah. Ini perkara yang tidak ada contohnya dari Rasulullah sholallahu alaihi
wasallam.Juga tidak perlu mengucap Shollu sunatan witri…. Dst. Sebagai gantinya setiap selesai
sholat imam menghadap jama’ah untuk mengatur (meluruskan dan merapatkan) shof. Lihat poin
kedua

3. Qiamur Romadhon dilakukan dengan 11 raka’at (dengan perincian 8 raka’at tarawih dan 3 raka’at
witir) dan diperkenankan pula melakukannya dengan 23 raka’at. 47 Mengenai pelaksanaan sholat
tarawih 8 raka’at dapat dikerjakan dengan 4 raka’at 1 salam ataupun dengan 2 raka’at 1 salam.
Hanya saja menurut penyusun, sholat tarawih dengan 2 raka’at 1 salam lebih baik. Lihat poin ketiga
dan keempat
4. Tidak ada do’a khusus yang harus dibaca setelah tarawih, jadi setelah salam sholat tarawih
hendaknya jama’ah bersegera berdiri untuk melakukan sholat tarawih berikutnya dan telah benar
mengenai adanya do’a khusus setelah witir. Hendaknya dibaca sendiri-sendiri tanpa mengeraskan
suara. Contoh bacaan setelah witir “Subhaanal malikil Quddus” ( 3 X ). Lihat poin kelima, keenam
dan ketujuh
5. Disunnahkan bagi Imam untuk membaca do’a Qunut dalam sholat witir. Lihat poin kedelapan.
6. Petunjuk yang benar adalah tidak melafalkan ataupun mengeraskan niat puasa Romadhon. Jadi
tidak perlu mengeraskan membaca “nawaitu Shouma Ghodin…dst.” Lihat poin kesembilan
7. Bagi imam hendaklah memperbagus sholat dengan membaca tartil ayat-ayat Alqur’an,
menyempurnakan ruku’ dan sujud sehingga kaum muslimin dapat melakukan sholat dengan khusu’.
Lihat poin kesepuluh

Bab 4

U

LASAN PELAKSANAAN QIYAMU ROMADHON

Poin Pertama : Perintah untuk mengatur shof
Kami katakan setelah kultum bila ada maksudnya bahwa kultum bukanlah sesuatu yang harus ada dalam kegiatan
tarawih, meyakininya bahwa kultum harus ada adalah kekeliruan yang berakibat kepada bid’ah yaitu membuat
sebuah ajaran Islam yang baru yang tidak pernah diajarkan Rasulullah saw.
Kemudian hendaknya Imam memerintahkan makmum meluruskan dan merapatkan shaf.
Seperti dalam sebuah hadits Rasulullah melakukan demikian, Rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersabda :
“Rapatkanlah barisanmu (3X). Demi Allah, kalian akan menegakkan barisan, atau Allah akan membuat hati kalian
saling berselisih.”48
Begitupula Umar bin Khattab, beliau mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir
sehingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata,
“maju wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”49
Salah satu kesalahan yang sering terjadi. Seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara
lantang,”Rapat dan luruskan Shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak
tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami
semua orang?!
Anas bin Malik berkata, “adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki
kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, “aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu
kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagikan
keledai liar ( tidak suka dengan hal itu, pen).”50
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa maksud dari meluruskan dan merapatkan shof adalah :
1.

Menempelkan bahu seseorang dengan orang lain yang ada disampingnya, menempelkan kaki dengan kaki
temannya, lutut dengan lutut temannya, dan menempelkan mata kaki dengan mata kaki temannya.

2.

Selalu menjaga dalam merapatkan bahu, leher dan dada, sehingga lehernya sejajar, bahunya sejajar dan
dadanya juga sejajar

Ibnu Taimiyah berpendapat wajib perbuatan meluruskan shaf berdasarkan hadits-hadits yang ada.51 Syaikh
Muhammad bin shalih Al-Utsaimin menyatakan : “yang benar dalam persoalan ini adalah bahwa meluruskan shaf
adalah wajib. Yakni bahwa apabila jama’ah sholat tidak meluruskan shaf mereka, maka mereka berdosa.
Sedangkan ucapan Nabi sholallahu alaihi wasalam dalam memerintahkan pelurusan shaf ada beberapa macam
diantaranya :
-Aqiimuu shufuu fakum wataroshshuu
Tegakkan dan rapatkanlah shaf kalian52
- Aqiimuu shufuu fakum ( 3 kali )
Tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian, tegakkanlah shaf kalian53
-Atimmuu shufuuf
Sempurnakanlah shaf54
-Ahsinuu iqoomatash shufuuf

Tegakkan shaf dengan baik55
-Sawwuu shufuu fakum fa inna taswiyatash shufuufi min iqoomatish sholaat
Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat (berjamaah) 56
-Sawwuu shufuu fakum fa inna taswiyatash shufuufi min tamaamish shalaat
Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk menyempurnakan sholat (berjamaah)57
Ragam yang lain beserta dalil-dalilnya bisa pembaca temui dalam buku Imam dalam sholat menurut Alqur’an dan
As-Sunnah tulisan DR. Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani

Perlu pembaca ketahui pula bahwa ucapan imam tadi tidak perlu dijawab oleh makmum dengan sami’naa wa
atho’naa (kami mendengar dan kami taat) karena tidak dituntunkan.
Poin Kedua : Tidak adanya seruan untuk mendirikan sholat tarawih dan witir
Tidak pernah Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatnya meneriakkan “shollu sunatan tarawihi
arba’a rak’atan jami’atar rahimakumullah atau shollu sunatan witri…” kemudian dijawab dengan “laa ilaha illallah.” Ini
perkara yang tidak ada contohnya dari Rasulullah (bid’ah), sehingga harus ditinggalkan.Kebanyakan mereka yang
mengamalkan hal ini telah membuat bacaan do’a secara khusus, yang tidak bersandar kepada satu dalilpun, dan
tidak pernah diajarkan oleh para ulama salaf maupun imam sunnah. 58 Orang-orang yang melakukan itu haruslah
dinasehati agar meninggalkannya dan sebagai gantinya imam mengatur shaf.
Beberapa seruan yang tidak ada dasarnya dari Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya
diantaranya ketika sebagian kaum muslimin yang mengerjakan sholat tarawih 20 raka’at mereka mengucapkan
“Ash Shalaatut taraawiihi rahimahullahu”
Kemudian pada raka’at ke 8 bilal membaca: “Al khalifatul –uula amiirul mu’miniina sayyidunaa Abuu bakrinish
shiddiiq”
Lalu jama’ah menjawab : “Radhiyallahu anhu”
Seruan dan jawaban ini terulang kembali pada rakaat ke 12 dengan bacaan “Al khalifatuts tsaniyatu amiirul
mu’miniina sayyidunaa Umarab nil khaththaab”
lalu pada raka’at ke 16 dengan bacaan “Al khalifatuts tsaalitsatu amiirul mu’miniina sayyidunaa Utsmaanab ni’ Affan”
lalu pada raka’at ke 20 dengan bacaan “Al khalifatuts raabi’atuamiirul mu’miniina sayyidunaa Aliyyib ni Abii Thaalib. 59
Bid’ah ini banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik dan sunnah, padahal hal
tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.60 Padahal setiap cara ibadah dan praktek
agama yang tidak ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah.
Rasulullah saw bersabda, “barang siapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan
merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak.”61
Seruan untuk mendirikan sholat selain adzan dan iqomat untuk sholat fardhu tidak ditemukan dalam sholat sunat
kecuali pada sholat sunat gerhana, dimana disunatkan untuk menyuarakan Ash sholatu jaamiah. 62
Poin ketiga : Dalil Sholat Tarawih dan witir 11 raka’at
Dalil sholat tarawih63 dan witir 11 raka’at, ditunjukkan oleh hadits aisyah. Dari Abi Salamah bin Abdirrahman, ia
pernah bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana sholat Rasulullah sholallahu alaihi wasallam di bulan Romadhon.
Aisyah berkata: “Rasulullah tidak pernah menambah sholat malam itu, baik ketika bulan Romadhon atau lainnya dari
11 raka’at. Beliau sholat 4 raka’at 64 jangan ditanya baik dan panjangnya. Kemudian sholat lagi 4 raka’at, jangan
ditanya baik dan panjangnya, lalu sholat juga 3 raka’at. … dst. 65 Ini menjadi landasan bahwa sholat malam dapat
dikerjakan dengan tarawih 4 raka’at 1 salam, 4 raka’at 1 salam dan 3 witir. 66 Ibnu Hajar berkata, “jelas sekali, bahwa
hadits ini menunjukkan sholatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”

Diterima pula secara Shahih, dari Ibnu Umar : Bahwa seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah Sholallahu
alaihi wasallam tentang sholat malam, maka beliau Sholallahu alaihi wasallam menjawab: “sholat malam itu 2 raka’at,
2 raka’at. Apabila seorang diantara kamu takut kedahuluan shubuh, maka hendaklah ia berwitir 1 raka’at menutup
sholat-sholat sebelumnya itu.”67
Syaikh Abdul Aziz bin Baz68 mengomentari hadits Aisyah ra tentang 4 raka’at, 4 raka’at itu, “maksudnya adalah
beliau (Rasulullah) salam disetiap 2 raka’at, dan maknanya bukan beliau langsung mengerjakan 4 raka’at dengan 1
salam berdasar hadits yang lalu dan telah tsabit dari nabi Sholallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau berkata:
“sholat malam itu dua dua.” Sebagaimana yang telah lalu. Hadits-hadits itu saling membenarkan dan saling
menjelaskan, Maka setiap muslim wajib mengambil keseluruhannnya dan hendaknya menafsirkan hadits yang
bersifat mujmal (global) dengan hadits yang bersifat Mubayyan (lebih rinci).69
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin 70 berkomentar : Penuturan Aisyah : “…beliau sholat 4 raka’at, kemudian
sholat lagi 4 raka’at,” menunjukkan bahwa ada pemisah antara 4 raka’at pertama dengan yang kedua dan tiga
raka’at yang terakhir. Pada masing-masing 4 raka’at, beliau melakukan salam setelah 2 raka’at.”71
Berkata Al Hafizh Muhammad bin Nashar Al-Mirwazi Rahimahullah menyatakan dalam qiyamul lail (hal.119) : “yang
menjadi pilihan kami, untuk orang yang sholat malam baik pada bulan Romadhon atau bulan yang lain; hendaknya ia
bersalam pada setiap 2 raka’at. Sampai kalau dia mau sholat witir yang 3 raka’at, hendaknya dia membaca
Sabbihisma Rabbika pada raka’at pertama, Qul yaa ayyuhal kafirun pada raka’at kedua, lalu pada raka’at yang
kedua itu dia bertasyahud dan salam. Kemudian dia bangkit dan sholat 1 raka’at dengan membaca al fatihah, qul
huwallahu ahad, dan mu’awwidzatain ( An-Naas dan Al-Falaq).”72
Inilah mengapa saya (penulis) lebih menyukai dilaksanakan dua-dua, walaupun empat-empat juga tidak mengapa
melihat dzahir hadits aisyah tersebut. Penulis mempunyai beberapa alasan lagi terhadap sholat tarawih secara duadua, yaitu:

1. Aisyah meriwayatkan pula hadits mengenai sholat malam Rasulullah dengan tata cara yang berbeda, yakni
sholat 8 raka’at dengan setiap 2 raka’at Rasulullah ber tahiyyat, kemudian berwitir 5 raka’at.73

2. Riwayat Zaid bin Kholid Al Juhani, yang menceritakan keingintahuannya tentang sholat Rasulullah
Sholallahu alaihi wasallam. Ia berkata: “beliau sholat 2 raka’at ringan kemudian beliau sholat 2 raka’at
panjang lalu 2 raka’at panjang,…dst.74

3. Seandainya saya melakukan tarjih maka akan saya katakan bahwa 4 raka’at – 4 raka’at adalah pengabaran
Aisyah sedangkan yang 2 raka’at – 2 raka’at adalah sabda nabi Saw, mana mungkin beliau saw
mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang beliau sabdakan. Atau kita akan menempuh
seperti yang dilakukan kedua Syaikh (bin Baz dan Al-utsaimin) dimana mereka meletakkan hadits 4 raka’at
– 4 raka’at sebagai dalil yang bersifat umum sedangkan 2 raka’at – 2 raka’at diletakkan diposisi yang
khusus. Sehingga yang 4 raka’at – 4 raka’at harus dijelaskan dengan yang 2 raka’at – 2 raka’at.75
Namun saya melakukan metode jama’ (kompromi) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam An-Nawawi serta
disetujui oleh Al-Albani dalam hal ini yakni dzahir hadits menunjukkan bolehnya sholat dengan hitungan 4 raka’at 1
salam walaupun mengerjakan 2 raka’at 1 salam lebih utama 76. Sehingga dengan cara ini tidak ada pemahaman
hadits yang digugurkan dan keduanya bisa dipakai. Wallahu a’lam
4.

Dengan melakukan sholat tarawih 2 raka’at 1 salam maka akan menghindari permasalahan apakah ada
duduk tasyahud pada raka’at ke-2 bila dikerjakan 4 raka’at 1 salam.

Poin ke empat : Cara melaksanakan witir yang 3 raka’at
Witir yang sebanyak 3 raka’at dapat dilakukan 2 cara.
Pertama, 3 raka’at sekaligus dengan satu salam dan tanpa duduk tasyahud pada raka’at ke-2, agar tidak serupa
dengan sholat maghrib. Dasarnya : Hadits Ubai bin Ka’ab, pada raka’at pertama Rasul membaca surah Al A’la,
raka’at kedua membaca surah al Kafirun dan raka’at ketiga membaca surah al Ikhlas. 77 Juga berdasarkan riwayat
Ibnu Abbas ra.78 Sedangkan dalam riwayat Abdul Aziz bin Juraih, pada raka’at ketiga Rasulullah membaca surah Al
Ikhlas, Al Falaq dan Annas.79

Kedua, 3 raka’at dikerjakan dengan 2 raka’at 1 salam lalu 1 raka’at 1 salam. “Jangan samakan (sholat witir) dengan
sholat maghrib.”80 Tidak diragukan lagi, bahwa sholat itu dapat lebih tidak serupa lagi dengan maghrib, apabila ada
salam pemisah antara 2 raka’at pertamanya dengan 1 raka’at terakhirnya. Imam Ahmad pernah ditanya oleh Al
Muhanna, “apa pendapat kamu tentang sholat witir, apakah kamu bersalam pada raka’at kedua ? Beliau menjawab:
“iya”. Aku bertanya lagi: “apa alasannya?” Beliau menjawab lagi: “karena hadits-haditsnya dari nabi Sholallahu alaihi
wasallam lebih banyak dan lebih kuat.” Imam Ahmad pernah ditanya tentang sholat witir, beliau menjawab: “dengan
salam pada raka’at kedua, kalau tanpa salam, aku harap juga sah.”81
Poin kelima : Tidak ada do’a khusus disela-sela tarawih
Tidak ada do’a khusus yang dibaca setelah sholat tarawih. 82 Akan kami paparkan 3 ragam do’a yang popular dibaca
setelah sholat tarawih beserta kritik kami atasnya.

1. “Allahumma innaka afuwun tuhibbul afwa fa’fu annii.” Do’a ini berasal dari hadits Aisyah ra, dia berkata :
“aku bertanya, ya Rasulullah! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan lailatul Qodar (terjadi), apa yang harus
aku ucapkan?” beliau menjawab, “ucapkanlah Allahumma innaka afuwun…. 83 Do’a ini bisa dibaca pada
malam-malam 10 hari akhir bulan Romadhon, kapan saja dalam waktu itu. Jadi bukan bacaan yang dibaca
secara khusus setelah sholat tarawih maupun witir.

2. “Subbuhun Quddus Rabbul malaa ikati warruuh”84 Penulis mendapati dzikir ini dibaca setelah setelah ruku’
dan sujud bukan bacaan setelah sholat malam. Karena itu sudah sepantasnya diletakkan pada tempat
semestinya.
3.

“Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Astaghfirullah, As alukal jannata wa Audzubika minan naar.” Pendasaran
bacaaan ini dari hadits Salman, namun dinilai lemah oleh ulama-ulama hadits. Haditsnya sebagai berikut:
“Wahai sekalian manusia, telah menaungi kalian suatu bulan yang sangat agung. Bulan yang di dalamnya
terdapat kebaikan melebihi kebaikan seribu bulan. Allah telah menjadikan puasanya fardhu dan qiyam pada
malamnya tathawwu’. Siapa saja yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan kebaikan, maka ia
bagaikan orang yang menjalankan fardlu pada selain bulan tersebut. Sedangkan orang yang mengamalkan
fardhu pada bulan itu bagaikan orang yang menjalankan tujuh puluh fardlu pada selain bulan itu. Inilah
bulan kesabaran, dan sabar berpahalakan surga. Dan juga bulan santunan, bulan yang didalamnya
terdapat tambahan rezeki bagi seorang mukmin. Siapa saja yang memberi makan orang yang sedang
berpuasa, maka baginya ampunan atas dosa-dosanya dan pembebasan dari api neraka, dan baginya pula
pahala bagi orang yang berpuasa tanpa dikurangi sedikitpun. Para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah,
tidak semua kami berkemampuan untuk memberi makan orang yang berpuasa,” beliau menjawab: “Allah
memberikan pahala tersebut kepada siapa saja yang memberi makan berupa air susu yang dicampur
dengan air, atau buah kurma, atau hanya air. Dan siapa saja yang mengenyangkan orang yang berpuasa,
maka Allah akan meminumkannya air dari telaga sekali minum dan tidak akn pernah merasa haus
selamanya hingga ia masuk ke dalam surga. Itulah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya
ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Karena itu hendaknya kalian memperbanyak
melakukan empat hal, dua hal sangat di ridloi Allah, dan dua hal lainnya kalian tidak mungkin
mengabaikannya. Dua hal yang sangat di ridloi –Nya adalah mengucap syahadat bahwa tiada tuhan selain
Allah dan memohon ampunan kepada-Nya. Sedangkan dua hal yang sangat kal