MODEL DAN POLA PELAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

MODEL DAN POLA PELAYANAN
BIMBINGAN DAN KONSELING

Paper
Guna memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Bimbingan

Dosen Pengampu
Drs. Suharso, M.Pd.,Kons.
Zakki Nurul Amin, S.Pd.

Oleh
Astrid Pitaloka Putriningrum
1301414047

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

MODEL DAN POLA PELAYANAN
BIMBINGAN DAN KONSELING

A. MODEL-MODEL BIMBINGAN
Istilah model menurut Shertzer dan Stone (1981) yaitu suatu konseptualisasi
yang luas, bersifat teoritis namun belum memenuhi semua persyaratan bagi suatu teori
ilmiah. Adapun model-model yang dikembangkan oleh orang tertentu untuk
menghadapi tantangan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan
pendidikan sekolah, yaitu :
1. Frank Parsons menciptakan model Vocational Guidance yang menekankan ragam
jabatan bimbingan dengan menganalisis diri sendiri, analisis terhadap bidang
pekerjaan,

serta

memadukan

keduanya

dengan

berpikir


rasional

dan

mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan data serta wawancara
konseling.
2. William M. Proctor, (1925) mengembangkan model bimbingan dengan
mengenalkan dua ungsi yaitu fungsi penyaluran dan fungsi penyesuaian
menyangkut bantuan yang diberikan kepada siswa.
3. John M. Brewer, (1932) mengembangkan ragam bimbingan seperti bimbingan
belajar, bimbingan rekreasi, bimbingan kesehatan, bimbingan moral, dan
bimbingan perkembangan.
4. Donal G.Patterson, (1938) dalam konseling yang dikenal dengan metode klinis
menekankan perlunya menggunakan teknik-teknik untuk mengenali konseling
dengan menggunakan tes psikologis dan studi diagnostik.
5. Wilson Little dan Al Champman, (1995) model yang diungkapkan oleh Wilson
dan Champman memanfaatkan bentuk pelayanan individual dan kelompok,
mengutamakan sifat bimbingan preventif dan preservatif dan melayani bimbingan
belajar, jabatan dan bimbingan pribadi.
6. Kenneth B. Hoyt (1962) mendiskripsikan model bimbingan mencakup sejumlah

kegiatan bimbingan dalam rangka melayani kebutuhan siswa di jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
7. Ruth Strabf, (1964) model yang dikemukakan menekankan bentuk pelayanan
individu dan kelompok dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan
dan wawancara konseling.

8. Arthur J. Jones, (1970) model yang dikemukakan menekankan bentuk layanan
individu mengutamakan ragam bimbingan belajar serta bimbingan jabatan dan
memberi tekanan pada komponen bimbingan penempatan pengumpulan data serta
wawancara.
9. Chris D. Kehas, (1970) merumuskan tujuan pendidikan di sekolah memberikan
tekanan pada perkembangan kepribadian peserta didik, namun realitanya hanya
aspek intelektual yang diperhatikan, dengan kata lain tenaga bimbingan hanya
10. Ralp Moser dan Norman A. Srinthall, (1971) mengemukakan bahwa pelayanan
bimbingan tidak hanya dibatasi pada mereka saat menghadapi konselor sekolah,
tetapi sampai pada semua siswa yang mengikuti pendidikan psikologis agar
menunjang perkembangan kepribadian para siswa dengan mengutamakan belajar
dinamika-efektif yang menyangkut perkembangan nilai-nilai hidup serta sikapsikap.
11. Julius Menacker,(1976) model ini menekankan usaha mengadakan perubahan
dalam lingkungan hidup yang menghambat perkembangan yang optimal bagi

siswa.
Terdapat beberapa model bimbingan yang berkembangan yang dimulai dari
periode awal sampai periode sekarang. Model-model tersebut yaitu :
1. Model Bimbingan Periode Awal
a. Model Parsonian.
Model ini merupakan buah pikiran atau gagasan dari Frank Parson
yang berupaya menjodohkan karakteristik individu dengan syarat-syarat yang
dituntut suatu pekerjaan. Teori ini menekankan tentang bantuan yang
dilakukan oleh konselor terhadap individu yang akan masuk ke dunia kerja.
Teori yang dikembangkan oleh Frank Parson ini memberikan kontribusi yang
sangat berarti kepada perkembangan bimbingan terutama yang menyangkut
tiga aspek :
1) Kegiatan menganalisis yang dilakukan sebelum memilih pekerjaan
menggunakan tes psikologis untuk memperkirakan karakteristik individu.
2) Bimbingan sebagai suatu program membantu individu sebelum masuk ke
dunia kerja.
3) Bimbingan model Parson memfokuskan pada aspek vokasional/ biro
pekerjaan.

b. Bimbingan Identik dengan Pendidikan

Yang mengemukakan model ini adalah Brewer melalui bukunya
“Education as Guidance” yang dipublikasikan pada tahun 1932.Para ahli lain
yang berpendapat sama sengan Brewer adalah:
1.

Meyer mengemukakan “all education is now regocnized”

2.

Hawkes menyatakan bahwa “education is guidance and guidance is
education”

3.

Hildreth berpendapat bahwa “tidak ada perbedaan yang berarti antara
pendidikan dan bimbingan,baik dalam tujuan,metode,maupun hasil”.
Bimbingan identik dengan pendidikan,karena rangkaian kegiatan-

kegiatannya meliputi semua kegiatan pendidikan.


2. Model Bimbingan Periode Berikutnya
a. Bimbingan sebagai Distribusi dan Penyesuaian
Pada tahun 1930 an, Koos dan Kefauver memperkuat pendapat dari
Proctor yaitu siswa Sekolah Menengah Atas sangat membutuhkan bantuan
dalam memilih studi. Koos da Keufauver mengemukakan bahwa bimbingan
berfungsi distribusif dan penyesuaian dan harus melaksanakan dua fungsi
pokok yaitu :
1) Distribusi. Dalam hal ini konselor berupaya untuk membantu siswa
dalam menyusun tujuan-tujuannya baik dari bidang pekerjaan, sosial
atau lainnya serta membantu untuk menemukan peluang dalam bidang
pendidikan dan pekerjaan. Hal ini bertujuan agar siswa mampu
pemahami dirinya dan lingkungannya.
2) Penyesuaian. Dalam hal ini konselor membantu klien agar dapat
menyesuaikan diri dan memadukan pengetahuan tentang dirinya
dengan lingkungan yangterkait dengan tujuan yang ingin dicapai.
Bimbingan sebagai distribusi dan penyesuaian mempunyai fungsi yaitu:
1)

Membantu siswa agar memperoleh tingkat efisisensi dan kepuasan yang
tinggi dalam melakukan aktivitas.


2)

Membantu siswa untuk membantu memilih kegiatan diluar ssekolah.

3)

Membantu siswa agar dapat merumuskan perencanaan dan tujuan yang
ingin dicapai.

4)

Membantu siswa untuk memperoleh informasi berupa faktor yang harus
diperyimbangkan

dalam

merumuskan

perencanaan,


probabilitas

keberhasilan, kegiatan yang ingin dipilih, program sekolah dan lain-lain.
b. Bimbingan sebagai Proses Klinis.
Bimbingan sebagai proses klinis diperkenalkan pertama kali oleh M.S
Viteles, Donald G. Paterson dan E.GWiiliamson.Model bimbingan sebagai
suatu proses klinis menekankan kepada penggunaan tes psikologis, tes klinis
dan studi diagnostik analitik sehingga konselor dapat memahami kliennya
secara lebih baik dan dapat menentukan masalah-masalah klien secara lebih
akurat dan cepat serta memberikan treatment yang lebih cepat juga. Model ini
bersifat direktif yang hasilnya sring efisien dan ekonomis.
c. Bimbingan sebagai Pengambilan Keputusan
Bimbingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Jones dan Myer. Dalam
model ini, konselor memiliki tugas untuk mendorong siswa untuk memahami
nilai-nilai dan menyertakannya dalam mengambil keputusan dan memberika
informasi tentang peluang-peluang yang bermanfaat dari setiap alternative
yang dipilih. Model ini juga memiliki asumsi bahwa keragaman antar individu
sangat penting, permasalahn tidak dapat diselesaikan dengan sukses tanpa
bantuan orang lain yang professional/konselor.

d. Bimbingan sebagai Sistem Eklektik.
Bimbingan eklektik merupakan representasi dari pendapat dan teori
Strang, Traxler, Erickson, Froechlich, Darley, Trorne dan lainnya. Model
bimbingan eklektik memiliki beberapa assumsi dasar yaitu : individu
memerlukan bantuan professional secara periodic dalam memahami dirinya
dan memecahkan masalahnya, individu memiliki kemampuan untuk belajar
dan membuat perencanaan, pemberian pelayanan yang berorientasi kepada
teori tunggal memiliki keterbatasan dalam prosedur, teknik atau pandangan
dibandingkan dengan yang bersumber dari beberapa teori.
3. Model Bimbingan Kontemporer
a. Bimbingan sebagai Konstelasi Layanan

Model bimbingan ini diperkenalkan pertama kali oleh Hoyt pada
tahun 1962. Dia mengemukakan bahwa program bimbingan bukan hanya
tanggung jawab konselor tetapi tanggung jawab bersama semua anggota
sekolah, konselor merupakan figur kunci yang bertanggung jawab terhadap
program bimbingan dan pekerjaan konselor yang lebih utama adalah menjalin
kerjasama dengan para guru. Hoyt juga meyakini bahwa tujuan layanan
konseling akan tercapai dengan sukses apabila diintegrasikan dengan tujuan
sekolah.

b. Bimbingan Perkembangan
Model bimbingan ini dikembangkan oleh Wilson Little dan A.L
Chapman yang menyusun buku Developmental Guidance in the Secondary
School, Herman J. Peter dan Gail Farwell yang menyusun buku A
Development Approach serta Robert Mathewson yang menyusun buku
Guidance Policy and Practice. Bimbingan dan konseling yang dipandang
sebagai proses perkembangan menekankan kepada upaya membantu semua
peserta didik atau individu dalam semua fase perkembangannya yang
menyangkut aspek-aspek vokasional, pendidikan, pribadi dan sosial ( Shertzer
& Stone, 1971: 76; Robert D. Myrick dalam Sunaryo K, 1996: 99; dan Dedi
Supardi; 1997;7). Model bimbingan pengembangan ini bersifat konprehensif
meliputi semua rentang kehidupan, tidak hanya terbatas kepada aspek
vokasional dan pendidikan, dan juga bersifat interpretatif.
c. Bimbingan sebagai Ilmu Pengetahuan tentang Kegiatan yang Bertujuan
Metode bimbingan ini diperkenalkan pertama kali oleh Tiedeman dan
Field pada tahun 1962. Menurut Tiedeman dan Field mendefinisikan
bimbingan sebagai kegiatan professional yang menggunakan suatu ilmu
pengetahuan tentang kegiatan yang bertujuan dalam struktur pendidikan yang
spesifik. Pada hakekat pendidikan, posisi konselor sebagai pelengkap dan
bimbingannya pun tidak termasuk ke dalam pendidikan. oleh karena itu,

Tiedeman dan Filed menekankan bahwa bimbingan tersebut harus eksis dalam
proses pendidikan.
d. Bimbingan sebagai Rekostruksi Sosial.
Model bimbingan ini dikembangkan oleh Edward J. Shoben pada
tahun 1962. Dia berpendapat bahwa konselor adalah leader dalam
merenkonstruksi sosial disekolah seperti pengelompokan siswa. Dalam

metode ini, tugas utama bimbingan adalah membantu siswa dalam
mengembangkan potensinya dan menemukan cara mengekspresikan diri
sesuai dengan norma masyarakat. Bimbingan yang dirancang harus sistematis
dan mendorong siswa unruk menelaah nila-nilai dan untuk menjalani
kehidupan yang teruji.
e. Bimbingan sebagai Pengembangan Pribadi.
Model bimbingan ini dikembangkan oleh Chris D. Kehas pada akhir
tahun 1960 an. model ini merupakan tahap awal dalam membangun kerangka
kerja konseling di sekolah. Dalam model bimbingan ini yang menjadi
perhatian utamanya adalah perkembangan individu. Kehas berpendapat bahwa
teaching dan conseling merupakan dua pendekatan yang berhubungan dengan
siswa yang bersifat komplementer dan kolaboratif yang sama-sama penting
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
f. Konseling Keterampilan Hidup.
Konseling keterampilan hidup merupakan suatu model yang intergratif
untuk membantu klien agar mampu mengembangkan keterampilan membantu
dirinya sendiri. Konseling keterampilan hidup dikatakan integratif karena
mengkombinasikan atau memanfaatkan berbagai pendekatan dari para ahli
dalam proses pemberian bantuannya kepada klien. Konseling keterampilan
hidup dalam melaksanakan pendekatan didasarkan empat asumsi dasar yaitu
banyak masalah yang dibawa kepada konselor merupakan refleksi hasil belajar
klien, yang paling berpengaruh terhadap massalah klien adalah kelemahan
klien dalam berpikir dan bertindak untuk mengatasi masalah, konselor yang
efektif adalah mampu menciptakan supportive helping relationship dan
melatih klien agar memiliki keterampilan berpikir dan bertindak, tujuan utama
konseling adalah membantu klien agar mampu mengembangkan keterampilan
berpikir dan bertindak dan dapat mengatasi masalahnya dan mencegah
masalah di masa depan.
g. Konseling Respectful.
Model ini diperkenalkan oleh Michael D. Andrea dan Judy Daniels.
Kerangka kerja konseling ini menekankan tentang perlunya konselor
menyadari bahwa pengembangan psikologis baik dirinya maupun klien yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor multidimensi seperti : spiritual/ identitas
religious (R), Etnik (E), Identitas Seksual (S), Kematangan PSikologis (P),

Kelas Sosial Ekonomi (E), Tentang Kronologis (C), Ancaman (T), Sejarah
Keluarga (F), Keunikan Karakteristik Fisik (U), dan Lokasi Tempat Tinggal
(L) yang dirangkum dalam nama model konseling RESPECTFUL. Model ini
dikembangkan untuk membantu konselor agar mampu berpikir lebih holistik
tentang kliennya dan mendorong para praktisi untuk mempertimbangkan
kerangka kerja mereka dipengaruhi oleh berbagai faktor beragam.
h. Konseling Religius (Islami).
Konseling religius adalah proses pemberian bantuan kepada individu
agar mampu mengembangkan kesadaran dan komitmen beragamanya sebagai
hamba dan khalifah Allah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan
kesejahteraan kebahagiaan hidup bersama, baik secara fisik maupun psikis
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Konseling religius memiliki beberapa
prinsip yaitu kerahasiaan, kepercayaan, kecintaan berbuat baik kepada orang
lain, mengembangkan sikap, persaudaraan atau sikap damai diantara sesame,
memperhatikan masalah-masalah kaum muslimin, memiliki kebiasaan untuk
mendengarkan yang baik, memahami budaya orang lain, adanya kerjasama
antara ulama dan konselor, memiliki kesadaran hukum, bertujuan untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan menjadikan Nabi
Muhammad SAW sebagai model utama dalam kehidupan. Konseling Religius
juga memiliki tujuan yaitu memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai
hamba Allah, memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai
khalifah, memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri secara sehat,
memiliki kebiasaan yang sehat dalam cara makan, tidur dan menggunakan
waktu luang, bagi yang sudah berkeluarga sebaiknya menciptakan iklim
kehidupan keluarga yang fungsional, memiliki komitmen diri untuk senantiasa
mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya, memiliki sikap dan kebiasaan
belajar atau bekerja yang positif, memahami masalah dan menghadapi secara
wajar, tabah dan sabar, memahami faktor yang menyebabkan timbulnya
masalah atau stress, mampu mengubah persepsi atau minat, mampu
mengambil hikmah dari musibah yang dialami, dan mampu mengontrol emosi
dan berusaha meredamnya dengan introspeksi diri.

B. POLA-POLA DASAR PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Menurut hasil analisis Edward C. Glanz (1964) dalam sejarah perkembangan
pelayanan bimbingan di institusi pendidikan muncul empat pola dasar yaitu :
1. Pola Generalis, bahwa corak pendidikan dalam suatu institusi pendidikan
berpengaruh terhadap kuantitas usaha belajar siswa, dan seluruh staf pendidik
dapat menyumbang pada perkembangan kepribadian masing-masing siswa.
2. Pola Spesialis, bahwa pelayanan bimbingan di institusi pendidikan harus ditangani
oleh ahli-ahli bimbingan yang masing-masing berkemampuan khusus dalam cara
pelayanan bimbingan tertentu, seperti bimbingan karir,bimbinan konseling.
3. Pola Kurikuler, bahwa kegiatan bimbingan di institusi pendidikan diusulkan
dalam kurikulum pengajaran dalam bentuk pengajaran khusus dalam rangka suatu
kursus bimbingan. Pola ini mempunyai segi positif yaitu terlibat hubungan
langsung dalam seluk beluk pengajaran, sedangkan segi negatifnya adalah
kemajuan dalam pemahaman diri dan perkembangan kepribadian tidak dapat
diukur melalui suatu tes hasil belajar.
4. Pola Relasi-Relasi Manusia dan Kesehatan Mental, bahwa orang akan hidup lebih
bahagia bila menjaga kesehatan mentalnya dan membina hubungan baik dengan
orang lain.
5. POLA 17 PLUS
1. Bidang Pengembangan
a)

Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang
membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat.

b)

Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang
membantu

peserta didik

dalam memahami

dan menilai serta

mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang
harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat.
c)

Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang
membantu peserta didik menegmbangkan kemampuan belajar dalam
rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara
mandiri.

d)

Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta
didik dalam memahami dan menilai informasi serta memilih dan
mengambil keputusan karir.

2. Jenis Layanan.

a) Layanan Orientasi, yaitu layanan yang membantu peseta didik memahami
lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang
dipelajari untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar
peran peserta didik di lingkungan yang baru.
b) Layanan Informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima
dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir, dan
pendidikan lanjutan.
c) Layanan Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu
peserta didik untuk memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di
dalam kelas, kelompok belajar, jurusan, program latihan, magang dan
kegiatan ekstrakurikuler.
d) Layanan Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik
untuk menguasai konten tertentu terutama kompetensi dan kebiasaan yang
berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga dan masyarakat.
e) Layanan Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta
didik dalam pengentasan masalah pribadinya.
f) Layanan Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta
didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial,
kegiatan belajar, karir, dan pengambilan keputusan serta melakukan
kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
g) Layanan Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik
dalam pembahasan dan pengentasab masalah pribadi melalui kelompok.
h) Layanan Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik atau
pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman dan cara-cara yang
perlu dilaksanakan dalam menangani masalah peserta didik.
i) Layanan Mediasi,

yaitu

layanan

yang membantu

peserta didik

menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar peserta
didik.
3. Kegiatan Pendukung.
a) Aplikasi Instrumentasi, yaitu kegiatan pengumpulan data tentang diri
peserta didik dan lingkungannya melalui aplikasi berbagai instrumen baik
melalui tes maupun non tes.

b) Himpunan Data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan
cara

penegmbangan

peserta

didik

yang

diselenggarakan

secara

berkelanjutan, sistematis, komperhensif, terpadu dan bersifat rahasia.
c) Konferensi Kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik
dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat
memberikan data, kemudahan dan komitmen untuk mengentaskan masalah
peserta didik yang bersifat tertutup dan terbatas.
d) Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan
komitmen untuk mengentaskan masalah peserta didik melalui pertemuan
dengan orag lain atau keluarganya.
e) Tampilan Kepustakaan, yaitu kegiatan yang menyediakan berbagai bahan
pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi,
kemampuan sosial, kegiatan belajar dan karir.
f) Alih Tangan Kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan
masalah

peserta

didik

kepada

pihak

lain

sesuai

keahlian

dan

kewenangannya.
C. ORGANISASI BIMBINGAN DAN KONSELING
1. STRUKTUR ORGANISASI BIMBINGAN DAN KONSELING
Keterangan :
a. Unsur Kan Depdiknas, adalah personil yang bertugas melakukan pengawasan
dan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling
di sekola.
b. Kepala Sekolah ( bersama Wakil Kepala Sekolah ), adalah penganggung
jawab pendidikan pada satuan pendidikan (SLTP, SMA, SMK) secara
keseluruhan, termasuk penanggung jawab dalam membuat kebijakan
pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Koordinator Bimbingan dan Konseling (bersama guru pembimbing/konselor
sekolah), adalah pelaksana utama pelayanan bimbingan dan konseling.
d. Guru ( Mata Pelajaran atau Praktik), adalah pelaksana pengajaran dan
praktik/latihan.
e. Wali Kelas, adalah guru yang ditugasi secara khusus untuk mengurusi
pembinaan dan administrasi (seperti nilai rapor, kenaikan kelas, kehadiran
siswa) satu kelas tertentu.

f. Siswa, adalah peserta didik yang menerima pelayanan pengajaran,
praktik/latihan, dan bimbingan di SLTP, SMA, SMK.
g. Tata Usaha, adalah pembantu kepala sekolah dalam penyelenggaraan
administrasi dan ketatausahaan.
h. Komite Sekolah, adalah organisasi yang terdiri dari unsure sekolah, orang tua
dan tokoh masyarakat, yang berperan membantu penyelenggaraan satuan
pendidikan yang bersangkutan.
2.

PERAN PERSONIL BIMBINGAN DAN KONSELING
Bimbingan dan konseling di sekolah oleh banyak pakar dikatakan dengan
team work (Shetzer dan Stone,1985) tidak hanya oleh guru pembimbing atau
konselor di bawah koordinasi seorang koordinator bimbingan dan konseling
dalam penyelenggaraannya mau tidak mau akan melibatkan personil sekolah
lainnya(kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, wali kelas, staf administrasi)
agar lebih berperan sesuai batas-batas kewenangan dan tanggung jawabnya.
Adapun peran personil sekolah yaitu :
1. Kepala Sekolah
Sebagai penanggung jawab kegiatan pendidikan di sekolah, peran
kepala sekolah yaitu:
a. Mengkoordinasikan seluruh kegiatan pendidikan, yang meliputi kegiatan
pengajaran, pelatihan, dan bimbingan dan konseling di sekolah.
b. Menyediakan dan melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan
dalam kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah.
c. Memberikan kemudahan bagi terlaksananya program kegiatan bimbingan
dan konseling di sekolah.
d. Melakukan supervisi terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling di
sekolah.
e. Menetapkan koordinator guru pembimbing yang bertanggung jawab atas
koordinasi pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah berdasarkan
kesepakatan bersama guru pembimbing (konselor).
f. Membuat surat tugas pembimbing dalam proses bimbingan dan konseling
pada tiap awal semester.
g. Menyiapkan surat pernyataan melakukan kegiatan bimbingan dan
konsleing sebagai bahan usulan angka kredit bagi guru pembimbing
(konselor).

h. Mengadakn kerjasama dengan instansi lain yang terkait dengan
pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling.
i. Melaksanakan layanan bimbingan dan konseling terhadap minimal 40
siswa bagi kepala sekolah yang berlatar belakang pendidikan bimbingan
dan konseling.
2. Wakil Kepala Sekolah
Wakil kepala sekolah bertugas membantu kepala sekolah dalam hal:
a. Mengkoordinasikan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling
kepada semua personil sekolah
b. Melaksanakan kebijakan pimpinan sekolah terutama dalam pelaksanaan
bimbingan dan konseling.
c. Melaksanakan bimbingan dan konseling terhadap minimal 75 siswa, bagi
wakil kepala sekolah yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan
konseling.
3. Koordinator Guru Pembimbing (Konselor)
Peran coordinator bimbingan dan konseling adalah sebagaiberikut:
a. Mengkoordinasikan

para

guru

pembimbing

(konselor)

dalam:

Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling, Menyusun
program,

Melaksanakan

program,

Mengadministrasikan

kegiatan

bimbingan dan konseling, Menilai program, Mengadakan tindak lanjut.
b. Membuat

usulan

kepada

kepala

sekolah

dan

mengusahakan

terpenuhinya,tenaga, sarana dan prasarana.
c. Mempertangggungjawabkan

pelaksanaan

kegiatan

bimbingan

dan

konseling kepada kepala sekolah.
4. Guru Pembimbing (Konselor)
Adapun peran guru pembimbing atau konselor :
a. Memasyarakatkan kegiatan bimbingandan konseling
b. Merencanakan program bimbingan dan konsleing
c. Melaksanakan persiapan kegiatan bimbingan dan konseling
d. Melaksanakan layanan pada berbagai bidang bimbingan terhadap sejumlah
siswa yang menjadi tanggung jawabnya
e. Melaksanakan kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling
f. Mengevaluasi proses dan hasil kegiatan layanan bimbingan dan konseling
g. Menganalisis hasil evaluasi

h. Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil analisis evaluasi
i. Mengadministrasikan kegiatan bimbingan dan konseling
j. Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan kepada koordinator guru
pembimbing.
5. Guru Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran berperan dalam:
a. Membantu memasyarakatkan layanan bimbingan dan konseling kepada
siswa.
b. Melakukan kerjasama dengan guru pembimbing dalam mengidentifikasi
siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
c. Mengalihtangankan siswa yang memerlukan bimbingan kepada guru
pembimbing
d. Mengadakan upaya tindak lanjut layanan bimbingan (program perbaikan
dan program pengayaan).
e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh layanan
bimbingan dan konseling dari guru pembimbing.
f. Membantu mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam rangka
penilaian layanan bimbingan.
g. Ikut serta dalam program layanan bimbingan.
h. Berpartisipasi dalam kegiatan pendukung seperti konferensi kasus.
i. Berpartisipasi dalam upaya pencegahan munculnya masalah siswa dalam
6. Wali Kelas
Wali kelas mempunyai peran :
a. Membantu guru pembimbing melaksanakan layanan yang menjadi
tanggungjawabnya.
b. Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa untuk
mengikuti layanan bimbingan.
c. Memberikan

informasi

tentang

siswa

di

kelas

yang

menjadi

tanggungjawabnya untuk memperoleh layanan bimbingan.
d. Menginformasikan kepada guru mata pelajaran tentang siswa yang perlu
diperhatikan khusus.
e. Ikut serta dalam konferensi kasus.
7. Staf Tata Usaha/Administrasi
Staf tata usaha mempunyai peran sebagai berikut :

a. Membantu guru pembimbing dan koordinator dalam mengadministrasikan
seluruh kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah.
b. Membantu mempersiapkan seluruh kegiatan bimbingan dan konseling.
c. Membantu menyiapkan sarana yang diperlukan dalam layanan bimbingan
dan konseling.
d. Membantu melengkapi dokumen tentang siswa seperti catatan kumulatif
siswa.

DAFTAR PUSTAKA

http://tariyuza.blogspot.com/2012/01/model-dan-pola-pelayanan-bimbingan-dan.html
http://syifahanifati.wordpress.com/2014/01/15/model-dan-pola-dalam-layanan-bimbingandan-konseling/