MITOS DAN FILOSOFI DALAM PEMBUATAN TEMBI

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

2003

MITOS DAN FILOSOFI
DALAM PEMBUATAN TEMBIKAR
(Studi Kasus Tembikar Sungai Janiah
Sumatera Barat)
Mesra
dipublikasikan pada Jurnal Wacana Seni Rupa Vol.3 No.6 2003

Abstrak
Masyarakat pengerajin yang tinggal di desa-desa pedalaman,
umumnya sangat memperhatikan hubungan antara dirinya
dengan alam sekitar. Mereka menyadari bahwa alam memiliki
suatu kekuatan Gaib sebagai penguasa, yang kadangkala memberi
kebaikan kepada manusia, dan sebaliknya jugs memberi bala/
murka kepada manusia. Masyarakat pengerajin menyikapinya
dengan melakukan pemujaan, sebagai bentuk pengabdian, dan
membuat mantra-mantra atau azimat, sebagai perlindungan diri
atau penangkal mara bahaya. Tembikar Tradisional Sungai Janiah,

berangkat dari mitos dan filosofi hidup. Tradisi ini dapat bertahan
sampai sekarang, karena kepercayaan lama animisme/ dinamisme
masih melekat di hati masyarakat, meskipun kepercayaan baru,
yaitu Agama Islam sudah menjadi anu tan seluruh masyarakat.
Nilai-nilai tradisi lama tidak akan hilang begitu saja, ketika
datang tradisi baru. Tetapi secara perlahan-lahan terjadi
pembauran dan tradisi lama mulai ditinggalkan. Perubahan tradisi
bersifat evolusi (perubahan secara lambat) dan bukan revolusi
(perubahan secara cepat).
Kata Kunci: Mitos, filosofi, local genius.

PENDAHULUAN
Kerajinan tradisional pada
umumnya didukung oleh
kekuatan mitos, karena
manusia memandang bahwa
dunia ini penuh dengan
kekuatan gaib yang lebih
1


tinggi, sehingga mereka
melakukan pemujaan
kepada kekuatan tersebut.
Perbuatan mitos seringkali
bertalian dengan perbuatan
magis. Perbuatan magis
sebagai bentuk pengabdian

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

kepada penguasa alam, dan
mitos sebagai usaha
melindungi diri dari
kejahatan alam. Sebagai
contoh mitos adalah manusia
yang sedang mengucapkan
mantra-mantra atau
membuat alat-alat tertentu

yang maksudnya untuk
melindungi diri (Suwaji
Bastomi, 1988: 9).
Kegagalan membuat
tembikar, rusak atau pecah
ketika dibakar, diyakini
sebagai perbuatan jahat
oleh makhluk gaib. Oleh
sebab itu pengerajin
melindungi dirinya dengan
membaca mantra-mantra,
atau dengan membuat
sebuah azimat.
C.A. van Peursen (1988: 37)
mengemukakan bahwa mitos
ialah sebuah cerita yang
memberikan pedoman dan
arah tertentu kepada
sekelompok orang. Mitos
tidak hanya terbatas pada

semacam reportase
mengenai peristiwaperistiwa yang dulu terjadi,
melainkan semacam buku
pedoman bagaimana drama
itu harus dimainkan. Dari
segi filosofis, Nurhadi
Rangkuti (1993: 10)
menjelaskan bahwa secara
filosofis tembikar
melambangkan eratnya
hubungan antara manusia
dengan alam. Benda budaya
itu menggabungkan unsurunsur dasar alam yaitu;
tanah, air, angin, dan api.
Proses kelahiran tembikar
adalah dari tanah hat yang
dicampur air, kemudian
dibentuk, lalu dikeringkan
2


2003

dengan angin, dan dibakar
dengan api. Ide kelahiran
tembikar di dalam
"pembakaran", merupakan
sesuatu yang menakjubkan,
karena benda lain seperti
kayu, batu, dan logam akan
berubah/rusak kalau
dibakar. Tetapi tembikar
malah menjadi keras, kuat,
cemerlang, dan tahan lama
setelah dibakar.
Sungai Janiah adalah nama
sebuah Desa, 15 km sebelah
Timur kota Bukittinggi, atau
113 km sebelah Utara kota
Padang Sumatara Barat,
merupakan sentra kerajinan

tembikar semenjak zaman
kolonial. Desa yang sangat
jauh di pedalaman dan sulit
dijangkau dengan
kendaraan, ditambah
dengan tekanan kaum
penjajah ketika itu yang
menghambat ruang gerak
manusianya (terisolasi),
sehingga dalam kondisi yang
demikian muncul kreativitas
mencipta barang tembikar.
Tembikar adalah barang
kerajinan tanah hat yang
dibakar dengan teknik
pembakaran biscuit
(bakaran rendah). Menurut
KBBI (2001: 1166) tembikar
adalah; 1) barang dari tanah
liat yang dibakar dan

berlapis gilup; porselen; 2)
pecahan (pinggan, periuk,
dsb); beling; tembereng.
Dalam bahasa Jawa dikenal
dengan Gerabah.
Berdasarkan pendapat
tersebut maka dalam tulisan
ini yang dimaksud tembikar

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

itu adalah kerajinan
tradisional periuk tanah liat
dengan teknik bakaran
rendah, oleh masyarakat
sungai Janiah Sumatera
Barat.
Koentjaraningrat (1990: 348),

menjelaskan bahwa tembikar
termasuk teknologi
tradisional kebudayaan fisik
dalam bentuk wadah.
Wadah yang paling banyak
mendapat perhatian
terutama dari para ahli
prehistori, adalah yang
dibuat dari tanah hat.
Wadah dari tanah hat itu
kita sebut dengan istilah
"tembikar" atau dalam
bahasa Inggris pottery.
Teknik pembuatan tembikar
pada dasarnya ada empat
macam, yaitu teknik
pembuatan dengan cetakan,
yang kemudian dirusak
(lining technique), teknik
menyusun gumpalangumpalan lempung (tanah

hat) yang ditumpuktumpuk
(coiling technique), teknik
membentuk satu gumpalan
lempung yang besar
(modelling technique), dan
teknik membuat segumpal
lempung yang diputarputar
dengan roda (whell-technique).
Tembikar merupakan alat
wadah untuk tempat
makan/minum, tempat
memasak, dan tempat
barang simpanan.
Masyarakat Sungai Janiah
mengenalnya dengan
Parivak (periuk) yang dibuat
berbagai bentuk dan
ukuran, serta diberi nama
3


2003

sesuai dengan
kegunaannya, diantaranya
adalah Balango Parivak
untuk memasak gulai,
Parivak Nasi untuk
memasak nasi, Parivak
Katan untuk memasak
peganan ketan, Parivak
Galuak untuk merebus air,
Parivak Minggu untuk
menyimpan beras, dan
sebagainya.

MITOS TEMBIKAR SUNGAI
JANIAH
Bermula dari sebuah legenda
"Ikan Sakti", yaitu ikan yang
merupakan penjelmaan dari

sepasang makhluk (manusia
dan jin). Ikan tersebut tidak
boleh diambil untuk dimakan
ataupun dijual, dan
makanannya adalah sama
dengan makanan manusia
(nasi, jagung, krupuk, kacang,
daging, dsb). Kisah
kejadiannya adalah,
seorang bayi perempuan
(usia 8 bin) ditinggal oleh
ibunya di rumah, ketika
hendak pergi ke ladang
bersama suami. Tetapi
setelah kembali dari ladang
ternyata bayinya tersebut
sudah hilang. Setelah dicari
bersama-sama penduduk
hingga malam hari, ternyata
tidak juga diketemukan,
sehingga orang tuanya
menjadi pasrah. Pada malam
harinya ibu tersebut bermimpi
kalau anaknya sudah
menjadi ikan, pada sebuah
telaga kecil yang ada di bawah
bukit (tidal( jauh dari rumah
mereka). Dalam mimpinya
dikatakan, bahwa di sana

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

terdapat dua ekor ikan (yang
satu betina adalah anak ibu
tersebut dan yang satu lagi
pasangannya, yaitu
penjelmaan dari jin). Sang
ibu membuktikannya pada
esok hari dengan membawa
makanan nasi dan lauk
pauk serta memanggilnya
dengan mencicitcicit (sesuai
petunjuk mimpi). Sang ibu
harus menerima kenyataan
pahit itu sebagai bentuk
hukuman dari penguasa
alam.
Kejadian yang menimpa
keluarga tersebut dipandang
oleh masyarakat sebagai
petunjuk, bahwa setiap ibu
harus merawat anaknya
dengan baik, apalagi kalau
meninggalkannya dalam
waktu yang cult-up lama.
Kutukan alam akan datang
menimpa setiap orang yang
tidak menjalankan
kewajibannya secara baik.
Semenjak kejadian itu
pemuka masyarakat
memutuskan bahwa kaum
ibu tidak dibolehkan lagi ikut
ke ladang, dan sebagai
penggantinya mereka bekerja
di rumah membuat tembikar
ataupun menenun, (Rivai,
Pk. Maruhun). Bersamaan
dengan aturan tersebut, maka
kaum laki-laki tidak diizinkan
ikut membuat tembikar,
karena tugasnya adalah ke
sawah dan ladang. Terjadi
pemisahan kerja antara
laki-laki dan perempuan
sebagai bentuk pemerataan
kesempatan kerja (agar lakilaki tidak menguasai semua
lahan pekerjaan).
4

2003

Awalnya pembuatan
tembikar hanyalah untuk
keperluan sehari-hari sebagai
wadah memasak makanan,
dan wadah makanminum,
yang dipenuhi secara
sendirisendiri atau keluarga.
Tetapi semenjak adanya
aturan seperti di atas (setiap
kaum ibu menjadi
pengerajin tembikar), maka
produksi menjadi melimpah
melebihi kebutuhan.
Kelebihan produksi ini
akhirnya harus dijual
kepada orang lain.
Kemudian timbullah usaha
perdagangan, yang ternyata
berdampak baik bagi
keluarga untuk menambah
penghasilan.
FILOSOFI TEMBIKAR
SUNGAI JANIAH
Kerajinan tembikar yang
ditandai dengan hilangnya
seorang anak dan menjadi
ikan, yang mengharuskan
kaum ibu hanya bekerja di
rumah masing-masing
sebagai pengerajin
tembikar, menjadi filosofi
"Ibu dan Anak" dalam
pembuatan tembikar.
Betapa kecintaan seorang
ibu terhadap anaknya yang
hilang, terimplikasikan
dalam pekerjaan membuat
tembikar.
Pembentukan tembikar
dilakukan dengan cara
memeluknya, dengan
menggunakan kedua tangan
dan alat bantu sederhana
(sebilah papan kecil untuk
mengetok dan batu bulat
untuk bandulnya). Teknik ini

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

kemudian dikenal dengan
teknik tataplandas,
(R.Soelcmono,1973: 56 ).
Beberapa tahap pembentukan
tembikar diasosiasikan
sebagai seorang ibu sedang
mengasuh anaknya. Tahaptahap itu diberi nama seperti
bakanak, maambuai,
maambuang, maurak,
mangguliak, dan maubek
(beranak, dibuaikan,
dilambung-lambungkan,
dibukakan/pakaiannya,
digolekgolelckan/ bermain,
dan diobati/jika sakit).
Pekerjaan ini dilakukan
dengan teliti dan penuh
kesabanan menunggu hasil
yang diharapkan. Hal ini
diibaratkan pertumbuhan
seorang anak yang memakan
waktu lama, untuk menjadi
besar dan membalas jasa
orang tuanya.
Kerajinan tembikar pada
mulanya tidak dipandang
sebagai mata pencahanian,
meskipun dapat
mendatangkan hasil.
Kerajinan tembikar hanya
sebagai sambilan bagi kaum
ibu, yang tugas utamanya
adalah mengurus rumah
tangga. Kerajinan tembikar
diibaratkan seorang ibu yang
memiliki anak, dia bukan
memproduksi anak untuk
komersial, tetapi anak adalah
penyambung keturunan.
Begitu pula halnya dengan
tembikar yang berfungsi
sebagai peyambung hidup
dan bukan mencari
keuntungan yang besar.
Namun dikemudian hari
kerajinan tembikar itu juga,
5

2003

berubah tujuannya sehingga
lebih mengutamakan tujuan
komersial.
KEUNIKAN TEMBIKAR
SUNGAI JANIAH
Kerajinan etnis memang
bervariasi bentuknya karena
adanya perbedaan sumber
daya alam dan lokal genius
penciptanya. Edi Sedyawati
(1986: 186) mengemukakan
bahwa local genius dapat
dibedakan dalam dua
pengertian, (1) segala nilai,
konsep dan teknologi yang
telah dimiliki suatu bangsa
sebelum mendapat
"pengaruh asing", (2) daya
yang dimiliki suatu bangsa
untuk menyerap,
menafsirkan, mengubah, dan
mencipta sepanjang
terjadinya pengaruh asing.
Bertolak dari poin pertama di
atas maka dalam konteks
budaya etnis, lokal genius'
dapat diartikan sebagai
keterampilan khusus yang
dimiliki masyarakat sebagai
ciri budaya lokal.
Ciri lokal yang dibawa oleh
kerajinan tembikar Sungai
Janiah adalah :
1. Dibentuk di atas
pelukan
2. Bentuk
tembikar bulat
seperti
duapertiga
bola
3. Tembikar semetris dan
tipisnya merata
4. Warna tembikar
alami tanpa zat
pewarna

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

Pembentukan tembikar di
atas pelukan pengerajin
dengan duduk berselunjur.
Kaki pengerajin ditutupi
karung goni, dan di atasnya
tembikar dibentuk dengan
kedua tangan. Alat bantu
utamanya yaitu bingkai
(lingkar) dari akar
tumbuhan hutan, sebagai
pola pembentuk permukaan
periuk. Tanah dibuat
berbentuk cakram dan
dipasangkan pada lingkaran.
Kemudian cakram didorongdorong dengan kepalan tinju
sehingga membentuk
cembung ke suatu sisi dan
cekung di sisi lain.
Selanjutnya dibentuk dengan
memukulmukul pakai papan
kecil dari luar dan alas batu
bulat dari dalam. Teknik ini
kemudian dikenal dengan
teknik tatap-landas.
Kemudian dijemur dengan
posisi telungkup sampai
kekeringan tertentu,
kemudian dilanjutkan pada
tahap pembentukan
berikutnya. Tahap pertama
ini di sebut bakanak
(beranak).
Bentuk tembikar bulat
seperti duapertiga bola, dan
permukaannya diberi bibir
(ada yang sedikit saja bulat,
melebar keluar, lebartegak, pakai leher dan
bibir, dan pakai telinga).
Karena alas tembikar bulat,
maka penggunaannya
harus pakai pengganjal
supaya tidak oleng, ganjal
ini disebut laka dan
senggan. Laka adalah
anyaman rotan atau akar
dengan lebar 3 -5 cm
6

2003

dibentuk melingkar sesuai
alas tembikar. Senggan
adalah anyaman rotan
berbentuk bakul berkaki,
disesuaikan dengan ukuran
alas tembikar, sehingga
tembikar bisa diletakkan di
atasnya.
Meskipun tembikar dibuat
dengan tangan dan alat-alat
sederhana, dengan posisi
ditidurkan di atas pelukan
perajin, namun simetrisnya
bagus sekali seperti
produksi mesin. Kemudian
ketebalan tembikar juga
merata antara 3 - 5 mm,
disesuaikan dengan
besarnya tembikar.
Permukaan tembikar licin
dan tidak merembes air.
Pewarnaan tembikar
dilakukan secara alami,
ketika dibangkit dan
pembakaran (teknik tungku
ladang). Tembikar panas
dan pembakaran diletakkan
di tanah, kemudian
dipercikkan sekam sedikit
demi sedikit, sehingga
sekam yang menempel pada
tembikar ikut terbakar dan
menimbulkan warna bintikbintik hitam pada
permukaan tembikar.
Warna lain yaitu hitam
sebelah, cars membuatnya
adalah tembikar panas
ditidurkan pada sekam,
sehingga permukaan yang
menempel pada sekam itu
menjadi hitam, dan
sebelahnya tetap merah
(terakota). Ada pula yang
diluarnya merah dan
dalamnya hitam, dan

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

sebaliknya. Kemudian ada
pula yang dihitamkan
semuanya.

PEMBAHASAN
Legenda Ikan Sakti,
merupakan sebuah mitos
yang diyakini masyarakat
secara turun-temurun
sampai hari ini. Kerajinan
tembikar mendapat
kekuatan dan mitos
tersebut, sehingga tembikar
dianggap sebagai benda
yang mulia. Semenjak dan
persiapan bahan tanah liat,
pembentukan, pembakaran
dan penggunaan tembikar
senantiasa didukung oleh
kepercayaan (magi) dan
mitos.
Teknik pembentukan
tembikar di Sungai Janiah
Sumatera Barat memiliki
perbedaan dan daerah lain,
karena tembikarnya
dipangku (dibentuk di atas
pelukan si pengerajin) yang
duduk berselunjur. Duduk
berselunjur dianggap sebagai
sikap yang paling sopan bagi
pengerajin, dimana menurut
etika masyarakat setempat,
bahwa kedua lutut atau kaki
perempuan harus selalu
rapat.
Proses pembuatan tembikar
diyakini sebagai upaya
mengenang tragedi hilangnya
bayi (yang menjadi ikan).
Proses pembentukan
tembikar identik dengan
mengasuh bayi (momongan),
sehingga beberapa tahapan
pembentukan tembikar
7

2003

diberi nama sama dengan
aktifitas mengasuh bayi, sbb
:
1) Bakanak (beranak/
melahirkan) adalah
pembentukan awal
dengan cara
melengketkan tanah liat
pada bingkai (lingkaran
dari anyaman akarakaran) membentuk
seperti cakram.
Kemudian diangkat ke
atas pelukan (perajin
dengan posisi duduk
berselunjur) dengan
posisi cakram berdiri
(sejajar dengan kaki) dan
dipegang dengan tangan
kiri. Selanjutnya dengan
tangan kanan yang
dikepalkan, menekannekan tanah liat secara
perlahan-lahan sehingga
menggelembung ke salah
satu sisi (seperti bola
dibelah dua).
2) Maambuai
(membuaikan) adalah
kelanjutan dari bakanak,
yaitu dipukulpukul
secara perlahan (karena
tanahnya masih basah)
dengan teknik tataplandas, sehingga
ketebalannya merata,
kemudian di jemur.
3) Maambuang
(diangkat/dilambunglambungkan) adalah
kelanjutan dari
maambuai yaitu setelah
agak kering pada
bagian dasar (yang

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

tadinya dijemur) kembali
dipukul-pukul dengan
tenik tatap di atas
pelukan perajin, guna
mendapatkan bentuk
alas tembikar sedikit
agak datar (agar tidak
mengguling, ketika
diletakkan) dan
sekaligus memadatkan
partikel tanah hat. Pada
saat ini disempurnakan
bentuk dasar tembikar
sebagaimana yang
diinginkan. Bagian
samping dan
permukaan tembikar
masih dibiarkan
(bingkai masih
terpasang). Kemudian
kembali di jemur dengan
posisi terbuka ke atas.
4) Maurak (membuka) adalah
lanjutan dari maambuang
yaitu tembikar yang
tadinya dijemur, setelah
agak kering bingkai
dibuka, dan bagian
samping tembikar
kembali dipukul-pukul
dengan teknik tatap
untuk mencapai
seberapa cembungnya
yang diinginkan
sekaligus memadatkan
partikel tanah hat serta
meratakan ketebalan
tembikar dan meratakan
permukaannya (bibir)
dengan pisau.
5) Mangguliak (mengolekgolekkan). Tembikar yang
sudah terbakar
sempurna akan berwarna
merah. Untuk
mendapatkan warna
8

2003

hitam, maka ketika dia
masih panas lalu
digolek-golekkan ke atas
sekam padi), dan
sebagian
dari sekam tersebut
dimasukkan ke dalam
tembikar tadi. Sekam
akan terbakar oleh
panasnya tembikar, dan
tembikarnya akan
berwarna hitam.
Sedangkan untuk
mendapatkan tembikar
yang memiliki warna
alami ( m er ah a k i b at
p emb a ka ran ) t i d a k
digolekkan ke dalam
sekam (habis dibakar
lalu biarkan saja
sampai dingin). Untuk
mendapatkan variasi
warna biasanya
pengerajin tidak
menggolekkan
sepenuhnya ke atas
sekam, tetapi sebelah
saja, atau bagian
luarnya saja, atau
hanya menyemburkan
sedikit sekam pada
permukaan tembikar
yang panas itu. Hasil
yang dicapai adalah
bervariasi warna seperti;
merah ash (polos), hitam
sebelah-merah sebelah,
bintik-bintik hitam di
atas merah, dan hitam
polos.
6)
Maubek (mengobati),
sehabis dibakar dan
didinginkan, biasanya
tembikar yang berwarna
hitam diobati kembali
dengan menggosok-gosok
pakai daun kacang atau

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

daun labu. Hasilnya adalah
hitam mengkilat, sekaligus
mengisi poripori tanah hat
dan melapisi permukaan
(seperti email).

KESI MPU LAN
Tembikar tradisional pada
umumnya
ditopang
oleh
kekuatan magi atau mitos.
Masyarakat
pengerajin
Tembikar
Sungai
Janiah
sangat mempercayai kekuatan
alam,
sehingga
mereka
mengabdikan
hidupnya
kepada kekuatan tersebut.
Kepercayaan animisme dan
dinamisme masih mewarnai
sistem religius masyarakat,
meskipun sudah mendapat
pengaruh
agama
Hindu/Budha dan Islam.
Sekarang semua masyarakat
Sungai Janiah beragama
Islam,
namun
bentuk
keyakinan lama masih ada

9

2003

melekat
dihati
mereka,
sehingga
tembikar
tradisionalnya
masih
bertahan
seperti
dulu.
Teknik pembuatan tembikar
yang
demikian
terusmenerus
dipertahankan
(pelestarian tradisi), karena
kuatnya filosofi "Ibu dan
Anak"
sebagai
penopang
konsep kekriyaannya.
Sikap
duduk
pengerajin
tembikar
Sungai
Janiah
ketika membentuk tembikar
(berselunjur),
merupakan
bentuk penerapan nilai-nilai
adat masyarakat tradisional,
yang dijunjung tinggi oleh
pengerajin,
yaitu
"kaki
perempuan
harus
rapat
kedua lututnya". Norma adat
yang demikian seharusnya
berlaku
dalam
seluruh
aktivitas
perempuan,
namun dewasa ini hal itu
sudah berubah terutama bagi
generasi mudanya.

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003

Mitos dan Filosofi Dalam Pembuatan Tembikar

2003

DAFTAR PUSTAKA
Bastomi, Suwaji. 1988. Apresiasi Kesenian Tradisional. IKIP Semarang
Press.
Peursen, C.A. van.1988.
Yogyakarta.

Strategi

Kebudayaan.

Penerbit

Kanisius.

Rangkuti, Nurhadi.1993. Alam Tembikar
Indonesia. Dalam Ganesha-Ghaneshi, Seni Tembikar Kreasi
F.Widayanto.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar llmu Antropologi. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebuayaan Indonesia 1.
Penerbit Kanisius.Yogyakarta,
Pk. Maruhun, Riva'i. Asal Usul Ikan Sakti Sungai Janiah. Padang.

10

Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003