MONITORING DAN EVALUASI PERDA BANGUNAN G
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung adalah sebagai salah satu instrument
dalam penyelenggaraan bangunan gedung di kabupaten/kota, ialah untuk mengingat begitu banyak potensi bahaya dan bencana terkait bagunan gedung. Secara geo-tektonik posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng aktif yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo- Australia, dan Lempeng Pasifik; selain itu secara vulkanologis Indonesia terletak pada jalur Cincin Api Pasifik ( The Pacific Ring of Fire), yang mengakibatkan potensi ancaman bahaya gempa bumi dan letusan gunung berapi yang cukup tinggi di Indonesia. Letak geografis Indonesia yang berada pada posisi khatulistiwa sebagai negara kepulauan dengan iklim tropis lembab, yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga rawan terhadap banjir dan longsor, serta kerusakan bangunan akibat kelembaban, panas, dan air. Begitu juga bahaya lainnya yang memberi dampak luas adalah bahaya kebakaran yang kerap terjadi, yang sering terjadi di kawasan perkotaan yang tingkat kepadatannya tinggi.
Dengan memperhatikan pembangunan daerah serta kemajuan pembangunan khususnya penyelenggaraan bangunan gedung dengan melihat dampak positif dan negatif, maka perlu adanya pengaturan lebih lanjut tentang penyelenggaraan bangunan gedung di daerah dalam bentuk peraturan daerah bangunan gedung untuk mengurangi dampak negatif yang ada dari kemajuan perekonomian dalam suatu wilayah dan mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang lebih tertib.
Adapun kabupaten/kota yang telah menetapkan perda-BG, masih banyak diantaranya yang belum mampu secara teknis dalam mengimplementasikan perda-BG secara menyeluruh di wilayahnya. Oleh karena itu, perlunya peran dari Pemerintah Pusat dan Provinsi dalam membina pemerintah daerah kabupaten/kota beserta aparat agar mampu mengimplementasikan perda-BG terutama terkait dengan IMB, SLF, TABG dan Pendataan Bangunan Gedung untuk pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung.
Dengan tersusunnya perda-BG yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah sehingga melalui Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda-BG dapat mewujudkan pembinaan bangunan gedung yang terarah, efektif, dan efisien.
1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran
1.2.1. Maksud Maksud dari kegiatan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda-BG di
Kalimantan Tengah adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang keandalan bangunan gedung di kabupaten/kota sesuai dengan amanat UU No.28/2002 Kalimantan Tengah adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang keandalan bangunan gedung di kabupaten/kota sesuai dengan amanat UU No.28/2002
1.2.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda-BG di
Kalimantan Tengah agar terpetakannya kondisi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan bangunan gedung terhadap pengaturan di kabupaten/kota, kelembagaan, dan pelaksanaan penyelenggaraannya untuk mewujudkan pembinaan bangunan gedung yang terarah, efektif, dan efisien.
1.2.3. Sasaran Sasaran pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Perda BG
dikabupaten/kota di Kalimantan Tengah yang telah memiliki Perda Bangunan Gedung.
1.3. Ruang Lingkup Pekerjaan Ruang lingkup pekerjaan kegiatan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda
BG terbagi menjadi 2 (dua) yaitu lingkup tigas dan lingkp lokasi, berikut penjabarannya:
1.3.1. Ruang Lingkup Tugas Adapun tugas dari konsultan individual kegiatan Monitoring dan Evaluasi
Implementasi Perda-BG adalah sebagai berikut:
1. Membantu tim swakelola dalam melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota;
2. Membantu tim swakelola dalam melakukan kajian substansial dan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan BG di daerah;
3. Membantu tim swakelola dalam pelaksanaan kegiatan pembahasan dan penyempurnaan produk sesuai masukan yang diberikan;
4. Membantu tim swakelola dalam menyusun pelaporan dan produk sebagaimana dipersyaratkan dalam KAK;
5. Koordinasi dengan pihak terkait;
6. Mengikuti rapat koordinasi pelaksanaan kegiatan.
1.3.2. Ruang Lingkup Lokasi Lokasi kegiatan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda-BG di Kalimantan
Tengah yaitu di Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Lamandau dan Kota Palangka Raya yang telah memiliki perda bangunan gedung.
A. Kabupaten Gunung Mas Kabupaten Gunung Mas dengan ibu kota Kuala Kurun memiliki luas areal 10.804
km² dan merupakan kabupaten terluas keenam dari 14 kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah (7,04% dari luas Provinsi Kalimantan Tengah), dengan batas- batas wilayah: Sebelah Utara : Kabupaten Murung Raya – Kalimantan Tengah Sebelah Timur : Kabupaten Kapuas – Kalimantan Tengah Sebelah Selatan : Kab.Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya – Kalteng Sebelah Barat
: Kabupaten Kotawaringi Timur – Kalimantan Tengah
B. Kabupaten Kotawaringin Timur Kabupaten Kotawaringin Timur dengan ibu kota Sampit memiliki luasan area 16.496
km², merupakan kabupaten terlama di Kalimantan Tengah, dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara : Kabupaten Katingan – Kalimantan Tengah Sebelah Timur : Kabupaten Katingan – Kalimantan Tengah Sebelah Selatan : Laut Jawa Sebelah Barat
: Kabupaten Seruyan – Kalimantan Tengah
C. Kabupaten Lamandau Kabupaten Lamandau memiliki luas wilayah sebesar 6.414 km 2 yang terbagi menjadi
8 wilayah Kecamatan, 3 Kelurahan dan 79 Desa, dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara : Kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat, Seruyan Hulu, Seruyan, dan Arut Utara, Kotawaringin Barat
Sebelah Timur : Kecamatan Arut Utara di Kabupaten Kotawaringin Barat Sebelah Selatan : Kecamatan Arut Selatan dan Kecamatan Balai Riam Sebelah Barat
: Kabupaten Ketapang – Kalimantan Barat
D. Kota Palangka Raya Kota Palangka Raya secara geografis terletak pada 113˚30`- 114˚07` bujur timur
dan 1˚35`- 2˚24` Lintang Selatan, dengan luas wilayah 2.678,51 Km 2 (267.851 Ha) dengan topografi terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari
40%. Secara administrasi Kota Palangka Raya berbatasan dengan : Sebelah Utara : Kabupaten Gunung Mas - Kalimantan Tengah; Sebelah Timur : Kabupaten Gunung Mas - Kalimantan Tengah; Sebelah Selatan : Kabupaten Pulang Pisau - Kalimantan Tengah; Sebelah Barat
: Kabupaten Katingan - Kalimantan Tengah.
1.4. Keluaran Keluaran dari Kegiatan monitoring dan evaluasi implementasi penyelenggaraan
peraturan daerah tentang bangunan gedung yaitu :
1. Tersedianya peta pengaturan di daerah terkait dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung;
2. Tersedianya peta kondisi kelembagaan di kab./kota terkait penyelenggaraan bangunan gedung (perijinan, IMB, SLF, dan TABG);
3. Tersedianya peta kondisi pelaksanaan proses penerbitan IMB, SLF, dan kesadaran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung;
4. Tersedianya strategi pembinaaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung berdasarkan hasil pemetaan penyelenggaraan bangunan gedung di daerah;
5. Terbaruinya data peta penyelenggaraan bangunan gedung dan pembinaanya di dalam sistem informasi pembinaan bangunan gedung (SIPBG).
Gambar 1.1. Bagan Keluaran dari Kegiatan Monev Implementasi Perda BG Sumber : Modul KI Monev, 2016
1.5. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang dari kegiatan monitoring dan
evaluasi perda penyelenggaraan bangunan gedung, maksud, tujuan, sasaran, serta ruang lingkup pekerjaan yaitu lingkup tugas dan lokasi, kemudian menerangkan keluaran yang diharapkan dan sistematika pembahasan
BAB II PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG Bab ini membahas sekilas tentang pengaturan bidang penyelenggaraan
bangunan gedung, ketentuan umum, skema penyelenggaraan bangunan gedung, alur penyelenggaraan bangunan gedung, tata cara penerbitan IMB dan SLF, bagan lingkup pekerjaan TABG, model perda bangunan gedung, dan pemahaman tentang kegiatan monitoring dan evaluasi perda bangunan gedung
BAB III MONITORING DAN EVALUASI Bab ini membahas tentang gambaran umum perda tentang bangunan gedung
di Kalimantan Tengah, orientasi monev implementasi perda bangunan gedung, penilaian kesesuaian subtansi perda bangunan gedung serta pengaturan kelembagaan penyelenggaraan bangunan gedung, pemahaman masyarakat tentang penyelenggaraan bangunan gedung, roadmap dan rekomendasi penanganan.
BAB IV PENUTUP Bab ini membahas tentang kesimpulan dari kegiatan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan perda bangunan gedung serta saran yang dapat menjadi masukan kepada pemerintah daerah.
BAB II PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG
1.6. Pengaturan Bidang Penyelenggaraan Bangunan Gedung
2.2.1. UU yang Melandasi Penyelenggaraan Pekerjaan Umum Kementerian Pekerjaan Umum sebagai sebuah institusi yang bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan pekerjaan umum, bekerja berdasarkan beberapa landasan hukum. Beberapa undang-undang yang melandasi penyelenggaraan pekerjaan umum antara lain:
1. Sebagai payung yang melandasi arahan pembangunan adalah Undang-Undang Nomor
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
2. Sebagai pilar yang melandasi pelaksanaan pembangunan, terdiri dari: Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan; Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman; Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
3. Sebagai pondasi yang melandasi penyelenggaraan pembangunan adalah Undang- Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Untuk lebih jeleasnya mengenai landasan hukum yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pekerjaan umum dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.2. Undang-Undang yang Melandasi Penyelenggaraan Pekerjaan Umum Sumber: Direktorat PBL, 2014
2.2.2. Peran UUJK dan UUBG dalam Industri Konstruksi Undang-undang jasa konstruksi (UUJK) dan undang-undang bangunan gedung
(UUBG) dalam industri konstruksi pada prinsipnya memiliki korelasi yang cukup erat. Dalam melihat keterkaitan antara UUJK dan UUBG maka perlu dilihat tiga pihak yang saling berkaitan dalam industri konstruksi, yaitu pemerintah, penyedia jasa dan pemilik/pengguna jasa. Ketiga pihak tersebut pada prinsipnya memiliki kepentingan masing-masing, yaitu:
1. Pemerintah memiliki landasan hukum yang mendasari kinerjanya, baik berupa UU, PP, Perpres, Permen, maupun Perda.
2. Penyedia Jasa memiliki berbagai landasan kinerjanya, baik berupa kode etik, standar teknis, ataupun anggaran dasar/rumah tangga.
3. Pemilik/Pengguna Jasa memiliki kepentingan yang mendasari kinerjanya yaitu berupa program kebutuhan. Terdapat tiga bentuk interaksi antara ketiga pihak tersebut:
a. Hubungan antara Pemerintah dengan Pemilik/Pengguna Jasa. Dimana dalam konteks bangunan gedung, interaksi keduanya banyak diatur dalam UUBG yaitu dalam hal dengan IMB, SLF dan TABG.
b. Hubungan antara Penyedia Jasa dengan Pemilik/Pengguna Jasa. Dimana interaksi keduanya banyak diatur dalam UUJK, yaitu dalam hal hubungan kerjasama (kontrak).
c. Hubungan antara Pemerintah dengan Penyedia Jasa. Dimana interaksi keduanya banyak diatur dalam UUJK dalam hal izin usaha dan sertifikasi serta diikat dengan berbagai ketentuan dalam lingkup asosiasi profesi, asosiasi badan usaha, dan lain-lain.
Secara lebih jelas skema mengenai peran UUJK dan UUBG dalam industri konstruksi dapat dilihat pada gambar beikut ini.
Gambar 2.3. Peran UUJK & UUBG dalam Industri Konstruksi Sumber: Direktorat PBL, 2014
2.2.3. Pengaturan Bangunan Gedung Dalam hal penyelenggaraan bangunan gedung, perangkat pengaturan mengenai
bangunan gedung secara berhirarki dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yaitu dokumen pengaturan bidang bangunan gedung yang berisi norma-norma penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UUBG, yaitu dokumen pengaturan bidang bangunan gedung yang berisi aturan pelaksanaan dari setiap norma dalam UUBG;
3. Peraturan Presiden Nomor 73 tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara, yaitu dokumen pengaturan bidang bangunan gedung negara yang berisi aturan teknis yang secara khusus mengatur mengenai gedung dan rumah negara;
4. Pedoman Teknis dalam bentuk Peraturan Menteri bidang bangunan gedung, yaitu dokumen-dokumen pengaturan yang berisi aturan teknis yang secara khusus mengatur mengenai hal-hal tertentu dalam penyelenggaraan bangunan gedung;
5. Standar Teknis dalam bentuk Standar Nasional Indonesia bidang bangunan gedung, yaitu dokumen-dokumen yang berisi standar teknis hasil penelitian mengenai hal-hal tertentu dalam penyelenggaraan bangunan gedung;
6. Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung, yaitu dokumen pengaturan di daerah yang mengatur norma-norma penyelenggaraan bangunan gedung di daerah yang bersifat spesifik sesuai karakteristik lokal.
Secara lebih jelas skema mengenai pengaturan bangunan gedung di Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.4. Pengaturan Bangunan Gedung Sumber: Direktorat PBL, 2014
2.2.4. Alur Pikir UU-BG Pada umumnya, alur pikir dari Undang - Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Identifikasi kondisi yang ada sebagai dasar pembentukan UUBG, yaitu mengenai penyelenggaraan bangunan gedung, karakteristik bangunan gedung di Indonesia dan berbagai kejadian yang terjadi terkait dengan bangunan gedung (termasuk bencana alam;
2. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, dirumuskan asas dari UUBG, yaitu kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan keserasian.
3. Mengacu pada keempat azas tersebut, dirumuskan lingkup pengaturan dalam UUBG, dimana terdapat 3 kelompok pengaturan utama yaitu Fungsi, Persyaratan dan penyelenggaraan bangunan gedung. Selain itu terdapat 3 kelompok pengaturan yang menunjang operasionalisasi penyelenggaraan bangunan gedung yaitu Peran Masyarakat, Pembinaan dan Sanksi.
4. Keseluruhan lingkup pengaturan tersebut diharapkan dapat menjawab tujuan dari pembentukan UUBG, yaitu tercapainya BG yang fungsional dan efisien, tercapainya tertib penyelenggaraan BG dan tercapainya kepastian hukum dalam penyelenggaraan
BG. Secara lebih jelas skema mengenai alur pikir muatan pengaturan Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.5. Alur Pikir UU BG Sumber: Direktorat PBL, 2014
1.7. Penyelenggaraan Bangunan Gedung
2.2.1. Ketentuan Umum
A. Pengetian Beberapa pengertian yang berkaitan dalam peraturan daerah tentang bangunan
gedung dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
2. Bangunan gedung umum adalah bangunan gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya.
3. Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya.
4. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya.
5. Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
6. Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung.
7. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
8. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
9. Koefisien Daerah Hijau (KDH) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
10. Koefisien Tapak Basemen (KTB) adalah angka persentase perbandingan antara luas tapak basemen dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
11. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah.
12. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTR-KP) adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota ke dalam rencana pemanfaatan kawasan perkotaan.
13. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.
14. Lingkungan bangunan gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem.
15. Pedoman teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah ini dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung.
16. Standar teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata cara, standar spesifikasi, dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun standar internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
17. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung.
18. Penyelenggara bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, dan pengguna bangunan gedung.
19. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
20. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
21. Tim ahli bangunan gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.
22. Laik fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan.
23. Perencanaan teknis adalah proses membuat gambar teknis bangunan gedung dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana tata ruang-dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
24. Pertimbangan teknis adalah pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran bangunan gedung.
25. Penyedia jasa konstruksi bangunan gedung adalah orang perorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi bidang bangunan gedung, meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi, pengawas/manajemen konstruksi, termasuk pengkaji teknis bangunan gedung dan penyedia jasa konstruksi lainnya.
26. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi.
27. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
28. Pemugaran bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya.
29. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.
30. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
31. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraanbangunan gedung.
32. Gugatan perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memilik kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.
33. Pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.
34. Pengaturan adalah penyusunan dan pelembagaan peraturan perundang- undangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat.
35. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundangundangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum.
36. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37. Pemerintah daerah adalah bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, kecuali untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah gubernur.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
B. Landasan Hukum Dasar hukum kegiatan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda-BG di
Kalimantan Tengah yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;
8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung;
9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung;
10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;
11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2008 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi;
12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2010 tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung;
13. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2010 tentang Pedoman Teknis Pendataan Bangunan Gedung;
14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2014 tentang Pengelolaan Air Hujan pada Bangunan Gedung dan Persilnya;
15. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Hijau.
16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 Tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung
2.2.2. Skema Penyelenggaraan Bangunan Gedung di Indonesia Dalam skema penyelenggaraan Bangunan Gedung secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut : Pembangunan, yang terdiri dari :
a. Perencanaan pembangunan, yang telah dilengkapi dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dilanjutkan dengan Pendataan.
b. Pelaksanaan konstruksi, yang dilengkapi dengan dokumen Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Pemanfaatan, yang diterapkan dengan kegiatan Kajian Teknis; Pelestarian, yang diterapkan dengan kegiatan Kajian Teknis; Pembongkaran, yang didahului dengan dokumen Rencana Teknis Pembongkaran
(RTB) Secara lebih jelas skema umum mengenai penyelenggaraan bangunan gedung dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.6. Skema Umum Penyelenggaraan Bangunan Gedung Sumber: Direktorat PBL, 2014
2.2.3. Alur Penyelenggaraan BG pada Umumnya Dalam skema umum penyelenggaraan bangunan gedung tersebut, maka secara
lebih detail siklus penyelenggaraan bangunan gedung berdasarkan peraturan perundang- undangan yang ada di Indonesia dapat di lihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.7. Skema Penyelenggaraan Bangunan Gedung Pada Umumnya Sumber: Direktorat PBL, 2014
Pada skema diatas dengan skema sebelumnya adalah alur yang dibuat terlihat lebih jelas dan lengkap dan lebih komprehensif. Pada skema ini dapat dilihat bahwa penyelenggaraan bangunan gedung dilaksanakan dengan mengacu pada UU, peraturan, pedoman, standar teknis dan Perda BG. Selain itu dapat dilihat juga bahwa setiap tahapan penyelenggaraan bangunan gedung dapat dilaksanakan dengan melibatkan penyedia jasa
(pihak ketiga). Hal lain yang berbeda juga dapat dilihat pada tahap perencanaan setiap bangunan gedung yang direncanakan harus mengacu pada RTRW, RDTR dan RTBL serta dilengkapi AMDAL dan Persetujuan/Rekomendasi Instansi lain untuk fungsi-fungsi tertentu.
2.2.4. Alur Penyelenggaraan BG Tertentu Dalam PP No.36 Tahun 2005, bangunan gedung tertentu adalah bangunan
gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung denga fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Bangunan gedung tertentu yang cenderung memiliki kompleksitas tertentu, sehingga membutuhkan pengelolaan secara khusus yang berbeda dengan bangunan gedung pada umumnya. Oleh karena itu, detail siklus penyelenggaraan bangunan gedung tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat digambarkan pada skema berikut ini.
Gambar 2.8. Skema Penyelenggaraan Bangunan Gedung Tertentu Sumber: Direktorat PBL, 2014
Secara umum, alur siklus penyelenggaraan bangunan gedung tertentu sama dengan alur siklus penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya, yang membedakan skema ini adalah skema ini dengan skema sebelumnya adalah setiap tahapan (Penyusunan RTBL, Perencanaan, Pelaksanaan, Pemanfaatan, Pelestarian dan Pembongkaran), bangunan gedung tertentu dipersyaratkan untuk melibatkan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) dan mendapatkan rekomendasi dari masyarakat yang terkait.
2.2.5. Tata Cara Penerbitan IMB-BG pada Umumnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah izin yang diberikan oleh pemerintah
daerah/provinsi untuk bangunan pribadi maupun bangunan gedung fungsi khusus, kepada pemilik bangunan gedung untuk kegiatan meliputi : Pembangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana bangunan gedung; Rehabilitas/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung, meliputi
perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan/pengurangan; dan Pelestarian/pemugaran Dalam proses penerbitan IMB, Pemerintah daerah maupun Pemerintah Provinsi melaksanakan dengan prinsip pelayanan terpadu, serta mengendalikan penerapan persyaratan administratf dan persyaratan teknis yang telah ditetapkan dalam rencana teknis. Perbedaan antara tata cara penerbitan IMB Bangunan Gedung pada umumnya dengan bangunan gedung khusus untuk kepentingan umum adalah pada proses penerbitan IMB Bangunan Gedung Fungsi Khusus untuk kepentingan umum pemerintah daerah melibatkan, mendengar masukan dan saran dari Tim Ahli Bangunan Gedung dan Masyarakat.
Gambar 2.9. Bagan Tata Cara Penerbitan IMB BG Pada Umumnya Sumber: Direktorat PBL, 2014
Gambar 2.10. Bagan Tata Cara Penerbitan IMB BG Tertentu Untuk Kepentingan Umum Sumber: Direktorat PBL, 2014
2.2.6. Tata Cara Penerbitan SLF Bangunan Gedung Tata cara penerbitan SLF bangunan gedung pada umumnya diberikan untuk
bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan diberlakukan pertama kali untuk bangunan gedung yang baru selesai dibangun yang telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan. Penerbitan SLF bangunan gedung dilakukan setelah pelaksanaan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung dengan hasil pemeriksaan/pengujian terhadap persyaratan administratif, dan persyaratan teknis telah memenuhi persyaratan.
Pemberian sertifikat SLF dapat gagal apabila pada proses pemeriksaan/pengujian persyaratan teknis tidak memenuhi syarat dan apabila pada saat setelah diberikannya rekomentasi/surat pernyataan dan pemeriksaan oleh dinas teknis terkait gagal memenuhi syarat, dapat dilihat pada Gambar 2.11. Untuk tata cara penerbitan SLF-BG fungsi khusus melibatkan Tim Internal. Tim internal yang memiliki sertifikat keahlian untuk bangunan gedung, atau bagian bangunan gedung lainnya yang ditetapkan oleh pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang fungsi khusus (termasuk pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus oleh swasta), sebagai dokumen komplemen pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung, dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.11. Bagan Tata Cara Penerbitan SLF BG Sumber: Direktorat PBL, 2014
Gambar 2.12. Bagan Tata Cara Penerbitan SLF BG Fungsi Khusus Sumber: Direktorat PBL, 2014
2.2.7. Alur Pendataan Bangunan Gedung Dalam Peraturan Menteri PU No.17 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Pendataan Bangunan Gedung, sistem pendataan bangunan gedung yang digunakan merupakan sistem terkomputerisasi. Pendataan bangunan gedung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam seluruh tahapan penyelenggaraan bangunan gedung sehingga aplikasi yang digunakan diarahkan untuk dapat dimanfaatkan pada seluruh alur kerja dalam tata kelola bangunan gedung yaitu meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan serta pembongkaran.
Gambar 2.13. Bagan Pemasukan Database BG Sumber: Direktorat PBL, 2014
2.2.8. Bagan Lingkup Kerja TABG Tim Ahli Bangunan Gedung mempunyai tugas umum memberikan nasihat,
pendapat, dan pertimbangan profesional membantu pemerintah daerah, atau Pemerintah dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung tertentu peranan TABG meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pembongkaran dan pelestarian. TABG dilibatkan dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya, dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.14. Bagan Lingkup Kerja TABG Sumber: Direktorat PBL, 2014
1.8. Model Perda Bangunan Gedung Tujuan dari penampilan Model Perda BG adalah memberikan acuan dan contoh
pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung yang telah mengakomodasi berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, pedoman teknis dan standar teknis di Indonesia. Model Perda BG yang dibuat merupakan acuan dan contoh, sehingga tidak bersifat mengikat dan tidak mengharuskan setiap norma pengaturan untuk sama persis, akan tetapi Model Perda BG dibuat untuk memudahkan dan mempercepat proses penyusunan di daerah yang pada proses penyusunannya berbagai norma pengaturan dalam Model Perda BG perlu ditajamkan dengan kesesuaian muatan lokal yang ada yang berlaku di setiap daerah. Sehingga walaupun pada awalnya mengacu pada Model Perda BG, namun pada akhirnya diharapkan setiap Perda BG yang dihasilkan setiap daerah dapat berbeda satu dengan yang lain dan bersifat spesifik. Berikut penjabaran dalam Model Perda BG antara lain meliputi :
1. Penjelasan dan Contoh pada bagian Judul;
2. Penjelasan dan Contoh pada bagian Pembukaan;
3. Penjelasan dan Contoh pada bagian Batang Tubuh;
4. Penjelasan dan Contoh pada bagian Penutup;
5. Penjelasan dan Contoh pada bagian Penjelasan
6. Penjelasan dan Contoh pada bagian Lampiran (Jika Diperlukan). Sedangkan muatan pengaturan minimal yang dijabarkan di dalam Model Perda BG meliputi 12 bab, yaitu:
1. Bab I Ketentuan Umum;
2. Bab II Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung;
3. Bab III Persyaratan Bangunan Gedung;
4. Bab IV Penyelenggaraan Bangunan Gedung;
5. Bab V Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG);
6. Bab VI Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung;
7. Bab VII Pembinaan;
8. Bab VIII Sanksi Administratif;
9. Bab IX Ketentuan Penyidikan;
10. Bab X Ketentuan Pidana;
11. Bab XI Ketentuan Peralihan; dan
12. Bab XII Ketentuan Penutup.
1.9. Pemahaman tentang Monitoring dan Evaluasi Perda-BG Setelah penetapan Perda-BG di daerah kemudian melaksanakan implementasi
secara menyeluruh tentang bangunan gedung. Mengingat pentingnya Perda-BG dalam pembangunan daerah dan dalam perwujudan fisik serta dalam konteks pembangunan bangunan gedung, maka implementasinya sangat diperlukan. Oleh karena itu, peran pembinaan dari pemerintah kepada pemerintah daerah dalam hal implementasi Perda- BG didaerah masih sangat diperlukan.
Sesuai dengan muatan pengaturan di dalamnya, hal-hal yang perlu di implementasikan dalam perda-BG, yaitu :
a. Penetapan Peraturan Pelaksanaan dalam Bentuk Peraturan Kepala Daerah (Perkada)
Pasca penetapan Perda-BG, pemerintah daerah harus melakukan penetapan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Perkada. Peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan sebagai operasionalisasi Perda-BG adalah beberapa norma pengaturan dalam Perda-BG yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam hal tata laksana atau tata cara. Oleh karena itu, jumlah peraturan pelaksana yang harus disiapkan sangat tergantung jumlah norma pengaturan dalam Perda-BG yang mendelegasikan dibuatnya peraturan pelaksana.
b. Sosialisasi Perda-BG kepada Masyarakat Untuk mendapatkan dukungan peran masyarakat, maka pasca penetapan Perda-BG
pemerintah daerah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi Perda- BG kepada masyarakat dapat dilakukan secara pasif maupun secara aktif. Secara pasif sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai media diseminasi informasi seperti website, baliho, spanduk, banner, leaflet dan lain sebagainya. Sedangkan secara aktif, sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan diseminasi, penyuluhan dan pembimbingan kepada masyarakat.
c. Penetapan Kelembagaan Penyelenggaraan BG Untuk mendukung operasionalisasi Perda-BG, maka pemerintah daerah perlu
menetapkan kelembagaan terkait penyelenggaraan bangunan gedung di daerah.
d. Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai Ketentuan Pasca penetapan Perda-BG maka pemerintah daerah berkewajiban untuk
menyelenggarakan IMB sesuai ketentuan yang ada. Apabila sebelum ditetapkannya Perda-BG penyelenggaraan IMB masih berorientasi pada aspek retribusi, maka pasca ditetapkannya Perda-BG aspek teknis harus diperkuat dalam penerbitan IMB.
Gambar 2.15. Bagan Kewajiban dalam Mendirikan IMB Sumber : Modul KI Monev, 2016
e. Pemeriksaan Kelaikan Fungsi Bangunan Gedung dan Penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Dalam menjamin keandalan bangunan gedung di daerah, pasca penetapan Perda-BG pemerintah daerah harus mulai melaksanakan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung. Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung dilakukan terhadap bangunan gedung yang telah dibangun namun belum dimanfaatkan.
f. Pemeriksaan Berkala BG dan Perpanjangan SLF Sesuai ketentuan dalam Perda-BG, SLF memiliki masa berlaku dan harus
diperpanjang bila sudah habis masa berlakunya. Untuk bangunan hunian tidak sederhana, masa berlaku SLF-nya adalah 20 tahun, sedangkan untuk bangunan gedung untuk kepentingan umum (bukan hunian), masa berlaku SLF-nya adalah 5 tahun.
g. Pengawasan, Penertiban dan Penegakan Hukum dalam Penyelenggaraan BG Melalui upaya inilah tertib penyelenggaraan bangunan gedung dapat dicapai.
Pengawasan pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh Instansi Perizinan dan Teknis dengan melibatkan peran masyarakat. Penertiban dilakukan terhadap berbagai pelanggaran sanksi administratif yang dilakukan oleh pemilik/ pengguna bangunan gedung, penertiban dilakukan oleh Satpol PP. Penegakan hukum dilakukan terhadap berbagai pelanggaran ketentuan pidana yang terjadi. Penegakan hukum dilakukan oleh penegak hukum, baik kepolisian dan kejaksaan, sesuai kewenangannya untuk menjamin keamanan dan ketertiban dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
BAB III MONITORING DAN EVALUASI
3.1. Gambaran Umum Perda-BG di Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah adalah provinsi yang terletak di tengah-tengah pulau
Kalimantan Indonesia. Dengan Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya, yang memiliki luas ±157.983 km², terbagi menjadi 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya.
Berdasarkan data dari www.perdabg.com, situs yang dikelola oleh direktorat penataan bangunan dan lingkungan untuk Provinsi Kalimantan Tengah terdapat 1 kabupaten kota yang yang dalam penyusunan peraturan bangunan gedung sudah pada tahap legalisasi dan 13 Kab/Kota sudah memiliki peraturan bangunan gedung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini.
Gambar 3.16. Status Peraturan Bangunan Gedung di Kalimantan Tengah Sumber: Subdit PBL-Ditjen CK, 2016
Tabel 3.1. Status Peraturan Bangunan Gedung di Kalimantan Tengah
No Kab/Kota
Status Perda BG
Nama Perda
1. Palangka Raya
Perda-BG No.16/2009 2. Barito Selatan
Perda-BG No.9/2006 3. Barito Timur
Perda-BG No.6/2005 4. Barito Utara
- 5. Gunung Mas
Perda-BG No.32/2011 6. Kapuas
Perda-BG No.4/2015 7. Katingan
Perda-BG No.12/2011
Status Perda BG
No Kab/Kota
Nama Perda 8. Kotawaringin Barat
Perda-BG No.19/2007 9. Kotawaringin Timur
Perda-BG No.6/2010 10. Lamandau
Perda-BG No.15/2012 11. Murung Raya
Perda-BG No.6/2015 12. Pulang Pisau
Perda-BG No.25/2015 13. Seruyan
Perda-BG No.11/2007 14. Sukamara
Perda-BG No.7/2015 Sumber: Subdit PBL-Ditjen CK, 2016
Berdasarkan penjabaran diatas telah menunjukan kondisi status peraturan bangunan gedung di lingkup Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun kegiatan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda BG di Provinsi Kalimantan Tengah, akan dilakukan di Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Kotawaringi Timur, Kabupaten Lamandau dan Kota Palangka Raya, untuk meninjau Implementasi Perda Bangunan Gedung.
3.2. Orientasi Wilayah Monitoring dan Evaluasi Implementasi Perda-BG Orientasi wilayah monitoring dan evaluasi implementasi perda bangunan gedung
di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat 8 (delapan) kab/kota, namun dalam pelaporan ini memuat 4 kab/kota yaitu adalah Kabupaten Gunung Mas, , Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Lamandau, dan Kota Palangka Raya
karakteristik wilayahnya terdapat banyaknya perbedaan signifikan terhadap pengembangan spasial ditiap-tiap kab/kota wilayah monev, sehingga dapat dijabarkan bahwa daerah pinggir daerah Provinsi Kalimantan Tengah menunjukan perkembangan perkotaan dan pertumbuhan bangunan gedung yang tidak terlalu tinggi seperti Kabupaten Gunung Mas dan Kabuaten Lamandau, namun berbanding terbalik dengan kabupaten yang telah lama ditetapkan sebagai kab/kota (bukan pemekaran suatu wilayah kab/kota), seperti Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kota Palangka Raya. Untuk lebih jelasnya letak wilayah monitoring dan evaluasi implementasi perda bangunan gendung dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Wilayah Orientasi Monev : Kabupaten Gunung Mas (A)
Kota Palangka Raya (B) Kabupaten Kotawaringin Timur
(C) Kabupaten Lamandau (D)
Gambar 3.17. Wilayah Orientasi Lokasi Monitoring dan Evaluasi di Kalimantan Tengah
3.2.1. Gambaran Wilayah Kabupaten Gunung Mas Kabupaten Gunung Mas adalah salah satu Kabupaten di
Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kapuas dengan ibu kota Kuala Kurun memiliki luas areal 10.804 km² dan merupakan kabupaten terluas keenam dari 14 kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah (7,04% dari luas Provinsi Kalimantan Tengah), terletak pada ± 0° 18’ 0’ - 01° 40’ 30’’ LS dan ± 113 ° 01’ 0’ - 114° 01’ 0’ BT, dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara : Kabupaten Murung Raya – Kalimantan Tengah Sebelah Timur : Kabupaten Kapuas – Kalimantan Tengah Sebelah Selatan : Kab.Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya – Kalteng Sebelah Barat : Kabupaten Katingan – Kalimantan Tengah
Wilayah Gunung Mas termasuk dataran tinggi yang memiliki potensi untuk dijadikan daerah perkebunan, wilayah Kabupaten Gunung mas terbagi menjadi kawasan hutan belantara, kawasan permukiman, sungai, danau, rawa dan daerah pertanian.
Gambar 3.18. Kondisi Eksisting Kabupaten Gunung Mas dalam Pembangunan
3.2.2. Gambaran Wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur Kabupaten Kotawaringin Timur adalah salah satu kabupaten di
provinsi Kalimantan Tengah. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sampit. Kabupaten i ni memiliki luas wilayah 16.496 km² terdiri dari 13 kecamatan, 132 desa dan 12 kelurahan, terletak di antara 111°0’50” - 113°0’46” BT dan 0°23’14”- 3°32’54” LS, dengan batas-batas wilayah : Sebelah Utara : Kabupaten Katingan - Kalimantan Tengah; Sebelah Timur : Kabupaten Katingan- Kalimantan Tengah; Sebelah Selatan : Laut Jawa; Sebelah Barat
: Kabupaten Seruyan - Kalimantan Tengah.
Gambar 3.19. Kondisi Eksisting Kabupaten Kotawaringin Timur dalam Pembangunan
3.2.3. Gambaran Wilayah Kabupaten Lamandau Kabupaten Lamandau adalah salah satu kabupaten baru hasil
pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat, memiliki luas wilayah sebesar 6.414 km 2 yang terbagi menjadi 8 wilayah Kecamatan, 3
Kelurahan dan 79 Desa, terletak pada 1 °9’ - 3°36’ LS dan 110°25’ - 112°50’ BT dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara : Kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat, Seruyan Hulu,
Seruyan, dan Arut Utara, Kotawaringin Barat
Sebelah Timur : Kecamatan Arut Utara di Kabupaten Kotawaringin Barat Sebelah Selatan : Kecamatan Arut Selatan dan Kecamatan Balai Riam Sebelah Barat : Kabupaten Ketapang – Kalimantan Barat
Gambar 3.20. Kondisi Eksisting Kabupaten Lamandau dalam Pembangunan
3.2.4. Gambaran Wilayah Kota Palangka Raya Kota Palangka Raya secara geografis terletak pada 113˚30`-
114˚07` bujur timur dan 1˚35`- 2˚24` Lintang Selatan, dengan luas 2
wilayah 2.678,51 Km (267.851 Ha) dengan topografi terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Secara administrasi Kota Palangka Raya berbatasan dengan : Sebelah Utara : Kabupaten Gunung Mas - Kalimantan Tengah; Sebelah Timur : Kabupaten Gunung Mas - Kalimantan Tengah; Sebelah Selatan : Kabupaten Pulang Pisau - Kalimantan Tengah; Sebelah Barat : Kabupaten Katingan - Kalimantan Tengah.
Pola penggunaan lahan di Kota Palangka Raya dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun. Kota Palangka Raya yang sebagai salah satu kotamadya dari Provinsi Kalimantan Tengah yang umumnya didominasi oleh kawasan terbangun yang terdiri dari perumahan, fasilitas umum dan fasilitas perkantoran (Pemerintah). Perumahan dan perdagangan jasa yang berada pada Kota Palangka Raya memiliki luasan yang relatif lebih mendominasi daripada komponen tata guna lahan lainnya, khususnya terdapat pada kawasan pusat kota yang meliputi Kecamatan Pahandut dan Kecamatan Jekan Raya. Sedangkan pada Kecamatan Sabangau, Kecamatan Bukit Batu dan Kecamatan Rakumpit lebih mendominasi kegiatan pertambangan dan galian, karena sebagaian besar kawasan pada kecamatan ini adalah kawasan tidak terbangun dengan permukiman penduduk. Kota Palangka Raya dapat dilihat sebagai sebuah Kota yang memiliki 3 (tiga) wajah yaitu wajah perkotaan, wajah pedesaan dan wajah hutan.
Gambar 3.21. Kondisi Eksisting Kota Palangka Raya dalam Pembangunan
3.3. Kesesuaian Substansi Peraturan Daerah tentang Banguanan Gedung Sesuai kebijakan utama dalam bidang penataan bangunan dan lingkungan :
“Penyelenggaraan Penataan Bangunan dan Lingkungan yang Andal dan Berkelanjutan”, melalui kebijakan tersebut dalam hal ini memalui monitoring dan evaluasi penyelenggaraan bangunan gedung, dilakukanlah penilaian terhadap kesesuaian substansi Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung di Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah yaitu Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Lamandau dan Kota Palangka Raya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.
Tabel 3.2. Tinjuan Subtansi Perda-BG
Perda-Bg Subtansi Perda - BG
Model Perda-BG
Perda-BG Kabupaten
Lamandau Raya Struktur Batang Tubuh Bab
Gunung Mas
14 Bab Bab Bagian
24 Bagian Bagian Paragraf
39 Paragraf Paragraf Pasal
110 Pasal Pasal
Jangkauan, Arah, Pengaturan Ketentuan Umum
Pasal Pasal Fungsi dan Klasifikasi BG
Pasal Pasal Persyaratan BG
Pasal Pasal Penyelenggaraan BG
Pasal Pasal Tim Ahli Bangunan Gedung
Pasal Pasal Peran Masyarakat dlm Peny.BG
Pasal Pasal Pembinaan
Pasal Pasal Sanksi Administratif
Pasal Pasal Ketentuan Pidana
Pasal Pasal Ketentuan Penyidikan
Pasal Pasal Ketentuan Peralihan
Pasal Pasal Ketentuan Penutup
Pasal Pasal Total:
Pasal Pasal
Pendelegasian Kepada Perda /
Pasal Pasal Perbup
Sumber : Hasil Penilaian dan Rekap Data,2016
Tabel 3.3. Kesesuaian Uraian Substansi Perda-BG Kab.Gunung Mas
No.
Kesesuaian % Ketidak Sesuaian % 1. Bab I Ketentuan Umum
Uraian pokok substansi
73.33 26.67 2. Bab II Fungsi Dan Klasifikasi Bangunan Gedung
38.46 61.54 3. Bab III Persyaratan Bangunan Gedung
12.31 87.69 4. Bab IV Penyelenggaraan Bangunan Gedung
7.02 92.98 5. Bab V Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG)
17.65 82.35 6. Bab VI Peran Masyarakat dalam Peny. Bangunan Gedung
3.03 96.97 7. Bab VII Pembinaan
28.57 71.43 8. Bab VIII Sanksi Administratif
No.
Ketidak Sesuaian % 9. Bab IX Ketentuan Pidana
Uraian pokok substansi
Kesesuaian %
14.29 85.71 10. Bab X Ketentuan Penyidikan
0 100 11. Bab XI Ketentuan Peralihan
0 100 12. Bab XII Ketentuan Penutup