EMBATASAN HAK BERSERIKAT DAN BERKUMPUL I (1)

`PEMBATASAN HAK BERSERIKAT DAN BERKUMPUL
Indra Perwira

Para hadirin yang saya muliakan,
Pada tahun 1996, Prof.Dr. H. Rukmana Amanwinata, SH., MH menulis
Disertasi dengan thema “Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan
Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945”. Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul adalah suatu hak asasi manusia yang termasuk ke
dalam golongan hak asasi manusia klasik (klassieke grondrechten) atau hak
asasi manusia generasi pertama. Seperti diketahui, perkembangan konsep hak
asasi mansuaia telah menempuh perjalanan panjang dan mengalami masa
pasang dan masa surut. Menurut Prof. Rukmana, sejarah pengaturan tentang
hak asasi manusia telah telah ada sejak masa Raja Hammuradi di Babylonia,
sekitar 2100 tahun sebelum Masehi sampai dengan Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) pada tahun 1948. Sejak saat itu begitu banyak
dokumen-dokumen dan konstitusi-konsitusi di dunia yang mengatur hak asasi,
khususnya mengenai kebeasan berserikat dan berkumpul.
Di dalam UUD 1945, pada Pasal 28 kita dapati ketentuan yang
menyatakan, bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undangundang. Menurut Penjelasan UUD 1945 (ketika Penjelasan masih menjadi
bagian UUD 1945), ketentuan Pasal 28 tersebut “…memuat hasrat bangsa

Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak
menyelenggarakan keadilan social dan perikemanusiaan. Hal itu merupakan
konsekuensi logis yang menyatakan bahwa “kedaulatan adalah di tangan
rakyat,…” Oleh sebab itu Prof. Rukmana Amanwinata memaknai kemerdekaan
berserikat dan berkumpul tersebut sebagai hak untuk berorganisasi dalam
suatu kekuatan social-politik serta memperjuangkan tujuan-tujuan sosialpolitik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Salah satu bentuk dari kemerdekaan
berserikat dan berkumpul tersebut adalah kebebasan untuk membentuk Partai
Politik.
1

2

Partai politik secara umum dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang
bergabung atas dasar adanya kesamaan visi, orientasi dan persepsi politik.
Ketiga hal itu melahirkan suatu nilai tertentu yang lazim disebut sebagai
”idiologi partai”. Idiologi itu dituangkan dalam sebuah konstitusi partai yang di
kita dikenal sebagai Anggaran Dasar, yang kemudian dijabarkan lebih rinci
dalam flatform perjuangan partai, yang semestinya tergambar dalam
Anggaran Rumah Tangga. Idiologi merupakan sebuah nilai kolektif yang akan
mempengaruhi sikap dan perilaku para anggota, sehingga dari pendirian, sikap

dan perilaku seseorang, semestinya kita dapat menduga dari partai politik
mana dia berasal.
Hadirin yang saya muliakan,
Pada masa itu jumlah partai politik hanya ada tiga, yaitu Partai
Persatuan Pembanguan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan
Golongan Karya, dan yang terakhir itu tidak disebut partai politik. Kenyataan
itulah yang melahirkan pertanyaan bagi Prof. Rukmana, kenapa jumlah partai
politik hanya dibatasi tiga?
Di sisi lain Prof. Rukmana mengakui bahwa hak asasi manusia bukan
tanpa batas, dan batas-batas itu dapat berubah-ubah tergantung dari keadaan,
namun sarana yang dipergunakan untuk membatasi itu adalah hukum.
Sungguhpun dalam Pasal 28 UUD 1945 terdapat anak kalimat, “…sebagaimana
ditetapkan dengan undang-undang.” tetapi dapatkah undang-undang hanya
menetapkan 3 partai politik saja dan melarang orang membentuk partai politik
baru, karena hal itu berarti membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul?.
Dalam Disertasi tersebut terdapat dua masalah pokok yang beliau
sampaikan, yaitu:
1. Dapatkah peraturan perundang-undangan melakukan pembatasan
terhadap implementasi kebebasan berserikat dan berkumpul dalam
Pasal 28 UUD 1945?

2. Komponen apakah yang dapat dipergunakan sebagai tolok ukur untuk
membatasi implementasi kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut?
2

3

Para hadirin yang saya hormati,
Keberadaan ketiga partai politik tersebut tidak terlepas dari sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan,
sebagai suatu negara baru yang belum berpengalaman, Pemerintah berupaya
untuk membangun infra struktur politik. Upaya tersebut diawali dengan
Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran
Pemerintah kepada masyarakat untuk membentuk partai-partai politik.
Anjuran untuk menumbuh-kembangkan iklim demokrasi itu mendapat
sambutan antusias dari masyarakat, sehingga bermunculan partai-partai politik
baru seperti jamur di musim hujan. Kemudian, dengan terbitnya Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November sistem pemerintahan presidensial bergeser ke
arah sistem pemerintahan parlementer, yang mengakibatkan peran partai
politik semakin dominan, sehingga minat mendirikan partai politik semakin
berkobar.

Kombinasi antara sistem multi partai dan sistem pemerintahan
parlementer dalam periode demokrasi liberal sejak Maklumat Pemerintah
tanggl 14 November 1945 sampai dengan Dekrtit Presiden 5 Juli 1959, telah
melahirkan instabilitas politik. Kabinet jatuh bangun silih berganti, karena
tidak ada partai politik atau koalisi partai politik yang dominan menguasai
parlemen atau DPR. Oleh sebab itulah setelah kembali ke UUD 1945
berkembang gagasan dan semangat untuk membatasi jumlah partai politik.
Dalam hal itu, Prof. Rukmana menolak anggapan umum bahwa
instabilitas pemerintahan pada masa demokrasi liberal disebabkan oleh
diterapkannya sistem pemerintahan parlementer dan sistem multi partai.
Sebab di beberapa negara, seperti Perancis dan Belanda telah diterapkan
sistem pemerintaam parlementer dan multi partai, namun stabilitas
pemerintahan tetap terjaga. Jadi faktor utama instabilitas pemerintahan bukan
pada sistem, melainkan lebih pada belum adanya kesadaran politik dari bangsa
Indonesia.
Penyederhanaan jumlah partai politik dilakukan oleh Presiden Soekarno
pada 31 Desember 1959 melalui PENPRES No.7 tahun 1959 tentang Syarat3

4


syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Berdasarkan PENPRES tersebut
jumlah partai politik tinggal 10, yaitu PNI, NU, PKI, Parkindo, PSII, Partai
Katolik Republik Indonesia, Partai Murba, IPKI, Partindo dan Perti.
Selanjutnya tidak hanya jumlah yang dibatasi, Presiden Soekarno mencoba pula
untuk membatasi peran partai politik. Hal itu dilakukannya dengan cara
membentuk Front Nasional melalui PERPRES No.13 Tahun 1959 tentang Front
Nasional, yang keanggotaannya bersifat perorangan/individual.
Wajar apabila PERPRES tersebut kemudian mendapat kecaman dari
partai-partai politik, sehingga dengan KEPPRES No.653 tahun 1961
keanggotaannya diperluas meliputi golongan karya, partai politik dan
perorangan. Namun demikian, hal tersebut justru lebih menguntungkan
Presiden Soekarno, karena Front Nasional sebagai suatu “partai pemerintah”
sepenuhnya berada di bawah kontrol Presiden Soekarno sejalan dengan konsep
Demokrasi Terpimpin yang dicanangkannya. Selain itu Presiden Soekarno
mengeluarkan PERPRES No.2 tahun 1959 tentang Larangan Kenggotaan Partai
Politik Bagi Pejabat Negeri WNI, yaitu pegawai pemerintah, anggota angkatan
perang dan kepolisian, termasuk anggota direksi/pimpinan badan usaha yang
seluruhnya atau sebagian milik negara.
Hadirin yang saya muliakan,
Kebijakan pembatasan jumlah partai politik tersebut tetap dilanjutkan

pada masa Orde Baru, meskipun dengan alasan yang berbeda. Orde Baru lebih
mengutamakan pembangunan ekonomi daripada politik. Trilogi pembangunan
mensyaratkan adanya stabilitas politik dan keamanan disamping pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan. Pemilu kedua yang digelar di
Indonesia pada tahun 1971 dilaksanakan berdasarkan Undang-undang No.15
Tahun 1969, masih diikuti oleh 10 peserta termasuk golongan karya. Berbeda
dengan Soekarno yang sering melabrak konstitusi, Suharto dalam kebijakankebijakannya selalu mendasakan pada sendi-sendi hukum dan konstitusi.
Penciutan jumlah partai politik pada masa Orde Baru pertama diisyaratkan
dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN. MPR adalah
pelaksana kedaulatan rakyat bahkan dalam Penjelasan UUD 1945 dianggap
4

5

sebagai penjelmaan rakyat. Keputusan-keputusan MPR dengan demikian
adalah pernyataan kehendak rakyat. Berdasarkan Ketetapam MPR tersebut
kemudian keluar Undang-undang No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya. Dalam undang-undang tersebut organisasi kekuatan sosial
politik dikelompokkan menjadi dua partai politik dan satu golongan karya.
Dengan komposisi seperti itu diharapkan dapat menjamin terpeliharanya

persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya
percepatan pembangunan.
Sejak saat itu, meskipun secara formal Indonesia masih menganut
sistem banyak partai (multy party), tetapi dalam kenyataannya menganut
sistem satu partai (mono party), karena sejak pemilu 1977, dan keempat
pemilu berikutnya 1982, 1987, 1992, 1997 senantiasa dimenangkan oleh
Golongan Karya, sehingga Golongan Karya sepenuhnya menguasai MPR/DPR
dan seluruh DPRD. Model Front Nasional pada masa Orde Lama “diadopsi”
kembali, dengan menempatkan Presiden sebagai ketua Dewan Pembina
Golongan Karya.
Hadirin yang saya hormati,
Jika pada masa Orde Lama Presiden menggunakan instrument
Peraturan Presiden (PERPRES) dan Keputusan Presiden (KEPPES) untuk
menjalankan kebijakannya, pada masa Orde Baru Presiden cukup
menggunakan Keputusan Presiden (KEPPRES). Menurut Ketetapan MPR(S)
No.XX/MPRS/1966 Kedudukan KEPPRES secara formal berada di bawah
Peraturan Pemerintah, namun dalam kenyataannya kedudukan KEPPRES jauh
lebih kuat. Legitimasi itu dikembangkan dari logika bahwa kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, kemudian MPR
mengangkat Mandataris yaitu Presiden, lalu Presiden dalam menjalankan

kekuasaanya selaku Mandataris menetapkan Keputusan Presiden, sehingga
disimpulkan bahwa Keputusan Presiden merupakan bentuk peraturan yang
mencerminkan kehendak rakyat. Selain itu KEPPRES dianggap sebagai
peraturan perundang-undangan yang bersifat otonom, yang melekat pada
Presdien selaku penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara,
5

6

keberadaannya tidak perlu atas dasar periuntah undang-undang atau peraturan
yang lebih tinggi, sehingga KEPPRES memiliki kekuataan yang sejajar bahkan
di atas undang-undang. Oleh sebab itu penyangkalan hak asasi manusia pada
masa itu lebih banyak dilakukan dalam bentuk KEPPRES. Menurut Prof.
Rukmana pada masa itu kebebasan berserikat dan berkumpul berdasarkan
Pasal 28 UUD 1945 mengalami masa surut.
Jadi dalam pemikiran beliau pembatasan jumlah partai politik pada
masa itu adalah tidak wajar. Pembatasan implementasi kebebasan berserikat
dan berkumpul sebagai suatu hak asasi manusia, seharusnya memenuhi
beberapa syarat, yaitu:
1. untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak dan kebebasan

orang lain;
2. syarat kesusilaan; artinya pelaksanaan hak asasi manusia tersebut
wajib mengindahkan kaidah-kaidah etika dan kepatutan;
3. syarat kepentingan umum; artinya tidak mengganggu ketenteraman
dan ketertiban umum.
Lebih lanjut Prof. Rukamana mengatakan bahwa implementasi Pasal 28
tidak hanya dilihat dalam konteks hak asasi manusia, melainkan tidak terlepas
dari konteks demokrasi dan negara hukum (rechtstaat). Pengekangan atau
pembatasan yang berlebihan justru menggambarkan corak pemerintahan yang
anti demoktasi atau totaliter dan berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Sebab
salah satu esensi negara hukum yang demokratis adalah “freedom of
expression” dan “freedom of speak” yang menjiwai Pasal 28 UUD 1945
tersebut.
Oleh sebab itu anak kalimat “… ditetapkan dengan undang-undang”
dalam Pasal 28 UUD 1945, tidak boleh diartikan sekedar diatur dengan
undang-undang sesuai dengan apa yang dihendaki penguasa, melainkan hanya
dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
Pertama, kondisi Negara berada dalam keadaaan abnormal atau luar
biasa, karena suatu keadaan bahaya, seperti bencana alam, darurat sipil,
6


7

darurat militer dan keadaan perang. Dapat juga dilakukan dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa seperti yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.
Pembatasan atau penyangkalan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul
dalam kondisi negara seperti itu dibenarkan sesuai dengan asas “solus publica
supreme lex” (kepentingan umum berada di atas undang-undang). Pada saat
kepentingan negara menjadi taruhan, maka UUD 1945 dapat disampingkan.
Kedua, pembatasan tersebut tidak permanen, melainkan hanya bersifat
sementara selama Negara berada dalam kondisi abnormal. Artinya, ketika
kondisi negara kembali normal, kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut
harus dikembalikan.
Hadirin yang saya hormati,
Seperti kita ketahui, setelah tahun 1998 (Reformasi) suasana kehidupan
sosial politik berubah drastis. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah
harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Semua sistem yang dibangun pada
masa pemerintahan Orde Baru mendapat stigma “totaliter” dan memperoleh
anti-thesa, demikian pula halnya dengan aturan kepartaian. Masyarakat
menginginkan sistem kepartaian yang lebih terbuka, demokratis dan

transparan.
Undang-undang No.3 Tahun 1975 tentang Kepartaian dan Golongan
Karya yang membatasi jumlah partai politik segera diganti dengan UU No.2
Tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan Partai
Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk
memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara
melalui pemilihan umum. Sementara syarat untuk membentuk sebuah Partai
Politik cukup mudah, yaitu sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga
negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat
membentuk Partai Politik. Didirikan dengan Akta Notaris sebagaimana
layaknya suatu badan hukum, dan didaftarkan ke Departemen Kehakiman.
Memiliki kepengurusan di 1/3 dari jumlah Provinsi, dan dari setiap provinsi itu
memiliki kepengurusan di separuh jumlah kabupaten/kota yang ada. Akibatnya
7

8

jumlah partai politik membengkak sampai lebih dari seratus dan pada Pemilu
anggota MPR, DPR dan DPRD tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik yang
lolos verifikasi.
Hadirin yang saya hormati,
Banyak pihak menilai periode antara 1999 sampai 2004 merupakan
masa “legislative tragedy” karena Pemilu tahun 1999 telah berhasil
menempatkan orang-orang yang kurang berkualitas untuk duduk di kursi MPR,
DPR dan DPRD. Hal itu tampak dalam sikap dan perilaku mereka yang kurang
patut. Sebagai contoh, ada satu Kabupaten di Jawa Barat yang mengalokasikan
1/3 APBD digunakan untuk gaji anggota DPRD. Korupsi, kolusi dan nepotisme
bergeser dari eksekutif ke legislatif. Fenomena tersebut melahirkan kesadaran
bahwa implementasi penuh dari kebebasan berserikat dan berkumpul ternyata
tidak serta merta membawa kesejahteraan rakyat, bahkan sebaliknya membuat
rakyat semakin menderita, sehingga sering kali dikatakan bahwa reformasi
telah kebablasan, dan muncul gagasan serta pikiran untuk membatasi jumlah
partai poltik.
Setelah Perubahan UUD 1945, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32
tahun 2002, dan terakhir diganti dengan Undang-undang Nomor 2 tahun
2008. Persyaratan-persyaratan administratif mengenai pembentukan,
penggabungan, dan pembubaran partai politik diatur lebih terperinci, tetapi
pembatasan jumlah partai politik model Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975
tampaknya tidak dapat diterima.
Upaya pembatasan jumlah partai politik tersebut justru diatur undangundang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD
dan DPRD. Dalam Pasal 142 dinyatakan:
“Partai Politik Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% (dua
persen) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah)
jumlah provinsi dan di ½ (setengah) kabupaten/kota seluruh Indonesia,
8

9

ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun
1999.”
Selanjutnya, dalam Pasal 143 ditegaskan bahwa partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan pasal 142 tidak boleh ikut dalam pemilihan umum
berikutnya (2004), kecuali bergabung dengan partai politik lain.dengan cara :
1. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 1999 yang
memenuhi ketentuan Pasal 142;
2. Bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, dengan menggunakan nama
dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung;
3. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dengan menggunakan nama
dan tanda gambar baru.
Dengan cara ini, yang dikenal sebagai “parliament threshold” tersebut, jumlah
perserta pemilu tahun 2004 menciut menjadi 24 partai politik, dan diharapkan
dalam pemilu berikutnya secara alamiah jumlah partai politik tersebut akan
semakin mengerucut. Dari hasil perolehan suara peserta pemilu 2004
diperkirakan pada pemilu berikutnya hanya akan diikuti sekitar tujuh partai
politik. Namun demikian, pada tahun 2008 undang-undang Nomor 12 Tahun
2003 tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008,
ketentuan mengenai parliament threshold tetap dipertahankan, bahkan
diperberat.
Dalam Pasal 315 dinyatakan:
“Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh
sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi
yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi
seluruh Indonesia, atau memperolehsekurang-kurangnya 4% (empat
perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia,
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun
2004.”
9

10

Dengan ketentuan tersebut, semestinya jumlah peserta pemilu 2009
akan semakin kecil, tetapi faktanya jumlah peserta pemilu pada bulan April
2009 yang lalu diikuti oleh 44 (empat puluh empat) partai politik ditambah 6
(enam) partai local di Aceh. Upaya membatasi jumlah partai politik melalui
Pasal 315 menjadi tidak efektif karena Pasal 316 telah membunuh Pasal 315.
Dalam Pasal 316 dikatakan:
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan
Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya
menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik
yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk
partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga
memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai
Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang
Poin a, b, dan c persis sama dengan ketentuan Pasal 143 undang-undang No.12
tahun 2003, tetapi poin “d” justru menghapus makna 3% perolehan jumlah
kursi DPR yang disyarakatkan. Artinya partai politik yang hanya memiliki satu
kursi di DPR tetap berhak ikut pemilu. Sementara untuk poin “e” persyaratan
verifikasi ditetapkan sendiri oleh KPU beradasarkan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Jadi Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2008 telah membuat “blunder”, tetapi tentu hal itu harus kita
maklumi karena suatu undang-undang pada hakekatnya merupakan suatu
kesepakatan politik dari kekuatan sosial politik baik yang ada di DPR maupun
di luar DPR. “Blunder” itu dapat dibaca bahwa sekalipun berkembang gagasangagasan untuk membatasi jumlah partai politik di kalangan akademisi,
cendikiawan, LSM dan sebagainya, tetapi konstelasi politik yang ada di DPR
yang notabene unsur partai politik, tidak atau belum menghendakinya.
10

11

Hadirin yang saya hormati,
Dalam 10 tahun terakhir ini sebagaian dari kita, termasuk Prof.
Rukmana mungkin mulai menyadari bahwa demokrasi itu ternyata
membutuhkan biaya mahal, dan biaya tersebut tidak sebanding dengan hasil
yang dicapai. Setidak-tidaknya hal itu tergambar dari indikator-indikator
pembangunan yang digunakan, kita tidak beranjak jauh dari kondisi pada awal
Reformasi. Kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk kebebasan
membentuk partai politik pada kenyataannya tidak memperbaiki keadaan
apabila partai sekedar menjadi kendaraan untuk meraih kekuasaan.
Tujuan partai politik memang meraih kekuasaan sesuai dengan aturan
main yang ada, dan lalu mengelola kekuasaan tersebut selama mungkin.
Kekuasaan, meski punya sifat cenderung bersalah guna, tetapi bukan suatu
yang

haram.

membangun

Sejarah
peradaban,

membuktikan,
atau

dengan

sebaliknya

kekuasaan

menghancurkan

itu

manusia

peradaban.

Keberadaan partai politik sangat dibutuhkan sebagai sarana meraih kekuasaan
secara elegan, tertib dan bermartabat. Sejalan dengan itu, semestinya partai
politik berfungsi sebagai:
a. pendidikan politik kepada masyarakat sesuai dengan plateform
perjuangan parpol;
b. menyiapkan kader pemimpin melalui sebuah program pembinaan yang
terencana dan bertahap, dan menawarkan calon pemimpin itu kepada
rakyat;
c. mengawasi jalannya pemerintahan, melalui kritik-kritik dan tawaran
solusi alternatif;
d. mengembangkan program-program konkrit di tingkat akar rumput

sebagai stimulan perubahan sekaligus sebagai upaya menarik simpati
rakyat.
Sayangnya fungsi itu belum berjalan sebagaimana seharusnya. Seperti
yang kita saksikan saat ini, partai politik menjadi sekedar gerbong kekuasaan.
11

12

Kalah atau menang dalam pemilu bukan persoalan. Sebab partai politik yang
menang dan kalah semua akan duduk bersama dalam kursi kekuasaan.
Mungkin inilah yang menjadi akar masalah, seperti yang dikemukakan Prof.
Rukmana dalam disertasinya bahwa persoalannya bukan pada sistem, tetapi
pada manusia Indonesia yang belum mempunyai kesadaran politik.
Jika demikian halnya, maka jumlah partai politik tidak penting, tetapi
jika nanti tercapai permufakatan politik untuk membatasi jumlah partai,
kiranya indikator dan parameter yang menjadi dasar pembatasan tersebut perlu
dirumuskan terlebih dahulu. Oleh sebab itu disertasi yang ditulis sekitar 15
tahun yang lalu masih relevan, sekalipun suasana sosial politik sekarang
berbeda dengan suasana dan semangat ketika disertasi tersebut ditulis.

12