PERMASALAHAN DAN SOLUSI aplikasi PILKADA

PERMASALAHAN DAN SOLUSI PILKADA
I.

PENDAHULUAN

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi
atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah
otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan,
fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah
adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang
merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di
daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan
secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi
terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah
dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada
pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih
kepala daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai
dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32
Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau
gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun
2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang
didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk
mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat
terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan
kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.
Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai
pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya
pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang
memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas
politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka
kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka
peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh
rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga

sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik

(issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk
penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social
walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu
pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di
Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan
salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang
bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan
kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang
sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk
memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena
“politics is the struggle over allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk
memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti
pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi
legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of
government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and
compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai
Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan

persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali
kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial
besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar
untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di
daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang
bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
II.

PERMASALAHAN PILKADA DAN ISU-ISU PILKADA

1.

Daftar Pemilih tidak akurat;
a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan
b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat
c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS
d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal
e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan
sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara
f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.


2.

Proses pencalonan yang bermasalah
a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.
c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap
penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.

e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan
calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun
gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi
mereka.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye :
a. Pelanggaran ketentuan masa cuti
b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik
c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA

d. Money politics
e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
f. Kampanye negative
g. Pelanggaran etika dalam kampanye
h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah
ditetapkan
4.

Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:
a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi
penghitungan suara.
b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU
Kab/kota, dan KPU Provinsi.
c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU
Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.
e. Keterbatasan anggota Panwas mengontrol hasil penghitungan dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara.

5.


Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon.
b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.
c. Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian
administrasi persyaratan calon.
d. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya.
e. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
f.

Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.

6.

Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi

7.

Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU


No. 12 Tahun 2008.
8.

Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.

9.

Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada

10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11.

Sistem pemilihan gubernur.

12.

Sistem pemilihan wakil kepala daerah.

III.


PEMBAHASAN DAN ANALISIS

1.

Daftar Pemilih tidak akurat.

Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para
pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.
Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa
PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih
dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data
pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.
Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai
petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat
diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
2.

Proses pencalonan yang bermasalah

Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu

konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD
dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari
beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam
menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan
calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki
kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat
penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib
menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau

pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di
internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda
dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam permasalahan ini
karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai
politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk
pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan
rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan

alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan
calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan
dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD
tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon
tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang
dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk
mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3.

Pemasalahan pada Masa kampanye.

Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye,
waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan
larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung
mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan
berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk
kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah

ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap
calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon,
menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan
peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi
program.
4.

Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap
tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi,
disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS
yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi
yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak

netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
5.

Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral
a. KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para
anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten. Padahal pengambil-alihan baru dapat
dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan Pilkada.
b. KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon
dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara.
c. Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada
tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang
kalah.

Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan
bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.
Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam
melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU,
KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu
yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan
memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.
6.

Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan
calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda
Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada
beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada
sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana
apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik
Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat,
akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti
permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai

politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.
Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara,
namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun
2008 terkait dengan Pilkada.
a. Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004:
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak
termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun
1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan
pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat
berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam
hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada
meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32
Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan
wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin
independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan
dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI
Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan
memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud
pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang
dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b. Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, namun dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang
dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih
masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila seorang kepala
daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim
berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak
langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis
apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan
majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak
langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945.
Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali
memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu

batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap
satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga
apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa
menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.
8.

Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
a. Penyesuaian tata cara pemungutan suara.
Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada
dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan
dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi
tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda
centang masih banyak yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian suara
ini telah mulai memasyarakat, sehingga agar tidak membingungkan masyarakat, maka
ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian suara perlu
diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009.
b. Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar
sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk
setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD
serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu
Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih.
Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun
2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan
dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009.

9.

Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada

Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun
melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah
membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty,
rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU
32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat
negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya cuti selama
kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud
ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala

daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai
dengan dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.
10.

Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).

Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya Pilkada juga
untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi penggabungan Pilkada.
Optimasi Penggabungan.
1) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 X , yaitu dimulai Tahun
2015.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya
pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di seluruh Indonesia.
c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
2) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun 2013 dan
tahun 2015.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga jalannya
pemerintah daerah menjadi sedikit kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh
Indonesia.
c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
3) Pilkada dilaksanakan secara bersamaan di masing-masing wilayah provinsi 1X sesuai
jadwalnya.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya
pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda.
c) Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
4) Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara
bersamaan.
a) Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah
daerah masih berjalan normal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c) Isu Pilkada merupakan isu lokal.

d)

11.

Dari segi biaya akan dapat dihemat.

Sistem pemilihan gubernur.

Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi
yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan
kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan
Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan
menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system
pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.

Tinjauan yuridis

Berdasar:
1) Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2) Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis",
3) Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak
memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan
gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
b.

Tinjauan filosofis
1) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding
dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika
persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung
maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem
tersebut sama.
3) Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional
berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait
dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan
daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga

mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik,
karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di
daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah
yang direpresentasikan oleh DPRD.
5) Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi
Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah
kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan
adanya kesejajaran.
6) Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang
terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui
pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan
oleh melakukan pemilihan langsung.
c.

Tinjauan Politis
1) Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut
bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi
negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya
wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur
yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah
dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan
terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan
dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2) Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota
telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah.
Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur
setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota,
padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan
minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil
pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari
rakyat.

d.

Tinjauan Sosiologis
1) Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat
dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak
menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan

melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon
bersaing secara sehat.
2) Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa
kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program,
pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran
akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan
melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk
memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.

Tinjauan efektifitas dan efisiensi

Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan
kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara
langsung.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur
secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem
perwakilan.
12.

Sistem pemilihan wakil kepala daerah.

UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala
daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala
daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian
dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan
penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan
antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala
daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru
hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah
yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil
kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling
menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan
ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk
perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan
system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi
hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence

Friedmann, bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa
pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum
(legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal
culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum
tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan
konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti
tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum
semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik
yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.

IV.

KESIMPULAN

Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara
umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat partisipasi yang
cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu
dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam
penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1.

Peningkatan akurasi daftar pemilih.

Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU
No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci penyelesaian dari daftar pemilih
yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW secara resmi dan intensif baik dalam up dating data
penduduk maupun perbaikan data pemilih.
2.

Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.

Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai dengan
pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk mengatasi
kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke
pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3.

Masa kampanye yang lebih memadai.

Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai dengan
pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum member! waktu yang cukup, yaitu hanya
14 (empat belas) hari, sehingga tidak cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi
lengkap para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan
kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4.

Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan
suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No. 32 Tahun 2004 masih
mengandung celah terjadi manipulasi pada pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan
suara yang tidak sama dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena
tidak semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan jangkauan
Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu pengumuman hasil
penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari),
sehingga para saksi peserta Pilkada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap
TPS. Untuk itu perlu pengaturan yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para saksi
calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil rekapitulasi hasil
penghitungan suara di setiap tingkatan.
5.

Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral

Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria
dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau sikap mental
yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai
integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan
statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu perlu
penambahan kriteria sikap mental dimaksud dalam system seleksi anggota penyelenggara pemilu.
6.

Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah membatasi kewenangan
pengadilan/mahkamah dalam sengketa Pilkada hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara,
namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu
dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah
kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008
terkait dengan pelaksanaan Pilkada.
a. Putusan MK Nomor 072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada dalam
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
1) Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab kepada
DPRD",
2) Pasal 66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD",
3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4) Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK Nomor No
22/PUU-VII/2009 membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan

Pilkada masalah ini masalah substansi yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur lagi.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih dengan
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden tahun 2009 dalam pemberian suara sudah tidak lagi mencoblos tapi menconteng
serta penggunaan KTP juga sebagai kartu pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan
di masyarakat perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004
terkait dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan
Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam
Pilkada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus aktif.
10.

Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).

Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar kriteria kontinuitas
jalannya pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul
terhadap dan efisiensi biaya didapat alternatif yang memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala daerah
yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan".
11.

Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.

Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan
menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka berdasar tinjauan
yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung sudah
dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif jika pemilihannya dilakukan melalui sistem
perwakilan.
12.

Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.

Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan dengan kepala daerah,
pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam menjalankan tugas
dan fungsi. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan
kepentingan politik menjadikan kedua belah saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan tersebut perlu dilakukan perumusan ulang
sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala

daerah.

V.

PENUTUP

Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan
pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari 5 tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan
dapat menjadi bahan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah memberikan peran politik local cukup
signifikan. Namun penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai
aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi
masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau institusi perlu memperhatikan
pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.
Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan menjadi dasar bagi pembangunan interaksi
di antara mereka. Demikian pula, susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari
peranan yang dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan
kepada masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik
masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah diharapkan menciptakan sistem politik
yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat memberikan kontribusi bagi
terwujudnya sistem politik demokratis di tingkat nasional.
Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang harus merupakan konsensus
untuk menyempurnakan system demokrasi, khususnya pemahaman “legal system” di atas, baik
yang berkaitan dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus
merupakan usaha yang tidak pernah henti (the endless effort). Demokrasi sebagai system politik
harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan banyak tergantung
pada kualtias perundang-undangannya; kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas
sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi masyarakat secara luas.
Penulis juga aktif sebagai:
1. Dosen Pasca Sarjana Hukum & Magister Notariat.
2. Dosen/Nara-Sumber Jimly School and Government
3. Pendiri/Dewan Pakar ISHI (Ikatan Sarjana Hukum Indonesia)
4. Fungsionaris Pusat Partai Golkar.
5. Dll.

REFERENSI
Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-2008.
Sentosa Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia
Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa Aulia.
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien Mediatama.
Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta,
KOMPIP.
OC.Kaligis, 2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan, Bandung, PT.
Alumni.
Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of Intelligence And
Counterintelligence