Adopsi Inovasi Peternakan Terintegrasi Konsep Baru Meretas Stagnasi Ekonomi Perdesaan - repository civitas UGM

  

BAGIAN - 1 : SELAYANG PANDANG

  Ketersediaan pangan dan energi merupakan isu krusial dan klasik yang dihadapi semua pemerintahan di seluruh negeri, terutama pada bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Permasalahan utamanya terletak pada ketergantungan impor sumber bahan pangan dan adanya kewajiban konstitusional (constitutional obligation) negara untuk memenuhi kebutuhan dasar konsumsi warganya. Kebutuhan pemenuhan konsumsi bahan pangan dan energi terus meningkat seiring waktu, sebagai implikasi terus meningkatnya laju pertumbuhan penduduk suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Pertumbuhan penduduk diproyeksi akan terus tumbuh pesat, disebabkan berbagai variabel sosial ekonomi dihadapi masyarakat.

  Disamping permintaan (demand) atas terpenuhinya kebutuhan bahan pangan yang terus meningkat, ketersediaan energi juga menjadi persoalan mendesak yang harus segera ditemukan penyelesaianya. Tidak lain, hal ini dimaksudkan untuk mendorong aktivitas pengembangan sumber daya potensial menjadi ekonomi riil. Masalah sosial ekonomi yang akan timbul karena tidak tersedianya energi adalah meningkatnya pengangguran dan dampak lebih jauhnya adalah meningkatnya angka kemiskinan. Bangsa-bangsa di dunia ke depan akan berkompetisi untuk mendapatkan sumber penghidupan yang sifatnya (limited) terbatas seperti pangan dan energi.

  Dari sisi regulasi, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, menyebutkan: 1)

  Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber ha- yati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik diolah maupun tidak di- olah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Dalam hal ini termasuk bahan tambahan pangan, bah1an baku pangan, dan bahan lainn- ya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman;

  2) Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal;

  3) Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi beraneka ragam pangan dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat;

  4) Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (BPKP, 2016).

  Pemenuhan pangan (karbohidrat, protein dan vitamin) adalah suatu kondisi sosial-ekonomi yang ditandai dengan adanya kecukupan penyediaan kebutuhan untuk sumber pangan konsumsi masyarakat dan bahan baku industri yang diproyeksikan terus meningkat sangat cepat seirama dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, kesadaran gizi, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi.

  Sementara itu, fakta empiris menunjukan bahwa produksi pangan dalam negeri belum mampu mencukupi dengan meningkatnya permintaan tersebut. Sehingga sampai dasawarsa terakhir ini, “jalan pintas” impor pangan (beras, jagung, kedelai dan daging) terus dilakukan untuk mencukupi pangan dan gizi masyarakat. Data statistik “perihal” kebutuhan pangan nasional dan impor komoditi pangan pokok sumber energi dan protein, berdasarkan data BPS Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini :

Tabel 1.1 Impor Komoditi Pangan Pokok Sumber Energi dan Protein Tahun 2015

  Jumlah Persen- Jumlah Persen- Jumlah Impor (ton) tase Ke- Produksi tase Ke- Kebutuhan Komod- No butuhan (ton) butuhan (ton) itas

  (%) (%) 861.630 2,79 79.171.916 256,06 30.919.317 Beras

  1

  3.500.104 19,99 19,612,435 112,02 17.507.265

  2 Jagung 2.256.931,68 70,40 963.183 30,05 3.205.754,26

  3 Kedelai Daging 82.300 99,37 523,9 0,63 82.823,9 4 sapi

  

Sumber: Diolah dari Outlook Daging Sapi,Beras, Jagung, dan Kedelai 2016

  Secara statistik, data di atas menunjukkan “level” ketahanan pangan Indonesia cukup baik. Untuk sumber pangan berupa beras misalnya, berdasarkan data BPS secara periodik menggambarkan kemampuan produksi para petani kita mencapai 54,15 juta ton pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 66,46 juta ton pada tahun 2010. Sementara pada tahun 2015, capaian produksi gabah kita mencapai 138,898 juta ton atau sekitar 79,171 juta ton dengan angka konversi 0,57.

  Impor bahan pangan hanya ditujukan melengkapi kekurangan 5% sampai 10% kebutuhan konsumsi masing-masing komoditas. Kabar kurang menggembirakan pada komoditas daging sapi yang mana jumlah impor lebih tinggi dibandingkan jenis komoditas lainya untuk mencukupi kebutuhan daging nasional, impor daging sapi dilakukan. Rendahnya perkembangan populasi ternak menjadi penyebab produksi daging, tidak mampu mengimbangi meningkatnya kebutuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut kemudian diselesaikan dengan “jalan pintas” impor, untuk menanggulangi selisih antara kebutuhan konsumsi dan kapasitas produksi daging nasional.

  Jika angka konsumsi beras sebesar 113,5 kg per kapita per tahun, maka total konsumsi beras untuk 245 juta penduduk dibutuhkan sekitar 30,9 juta ton. Artinya Indonesia telah mencapai target surplus beras 49,1 juta ton, ditambah produksi jagung pipilan kering tahun 2015 mencapai 19,83 juta ton.

  Namun demikian, kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas pangan berupa daging sapi dimana selisih antara kapasitas produksi nasional dan tingginya permintaan konsumsi, masih harus diselesaikan dengan jalan impor. Oleh karena itu, dibutuhkan model inovasi yang dapat diterapkan (implementatif), yang secara efektif dapat meningkatkan produktivitas dan memberikan nilai tambah guna mencukupi konsumsi daging nasional, sehingga dapat menekan impor daging maupun ternak hidup dan menghemat pengeluaran pemerintah dan swasta dalam bentuk devisa negara.

  1.2 Nawa Cita Ketiga: Membangun Indonesia Dari Pinggiran

  Barangkali sudah menjadi berkah tersendiri bagi spirit demokrasi yang berkembang semakin baik di Indonesia, proses politik selama Pemilihan Presiden (PilPres) 2014 telah mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang menuju kesejahteraan masyarakat melalui pemerintahan dengan slogan nasional “kerja-kerja-kerja”. Pasca terpilihnya bapak Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, secara bersamaan strategi, pola dan prioritas pembangunan ekonomi nasional juga mengalami perubahan arah yang signifikan.

  Kabinet kerja pemerintahan periode 2014-2019 menempatkan: pangan, energi, maritim dan kelautan serta pariwisata sebagai program strategis dan kegiatan prioritas sektoral yang harus diselenggarakan secara sinergis dan terintegrasi. Nawa Cita ketiga yang digagas Presiden Jokowi sebagai bentuk manifestasi dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Lingkup program dan kegiatannya menempatkan desa dan masyarakatnya bukan lagi sebatas obyek pembangunan. Namun lebih dari itu, masyarakat-lah yang menjadi pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan sekaligus penikmat program pembangunan yang dihasilkan dari proses musyawarah masyarakat desa melalui suatu rangkaian proses perencanaan pembangunan yang kita kenal dengan istilah ”MusRemBang” secara rutin setiap tahunnya. Sasaran uatamanya mendorong desa menjadi pusat produksi dan industri pengolahan produk, berbasis komoditas unggulan lokal berdaya saing yang dikelola sumber daya manusia setempat.

  Hal ini diharapkan dampaknya akan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan adanya lapangan kerja dan kesempatan usaha yang lebih luas bagi masyarakat setempat, serta mencegah urbanisasi dan deformasi struktural. Pelaksanaan kebijakan tersebut mengharuskan program prioritas pangan, energi, maritim kelautan, dan pariwisata serta desa sebagai lokus dan masyarakat setempat menjadi fokus pemberdayaan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah sehingga mampu memberikan stimulus yang positif dan signifikan dalam mendukung akseslerasi pembangunan ekonomi nasional.

  Selaras dengan pandangan Lasswell and Abraham

  (1970), menyatakan bahwa perencanaan merupakan serangkaian program yang meliputi: tujuan, nilai dan praktik, sebagai proses keputusan aktif pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik, baik itu rill atau masih direncanakan (imagined). Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menegaskan bahwa pembangunan harus dimulai dari desa, yang bertumpu pada potensi unggulan dan berdasarkan kearifan lokal melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mampu mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya menjadi ekonomi riil secara terintegrasi dengan pendekatan kewilayahan yang terpadu dan sinergis.

  Kebijakan tersebut, di antaranya dalam rangka mewujudkan capaian target dan sasaran pelaksanaan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, yakni terpenuhinya kondisi ketahanan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan cukup jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Operasionalisasinya berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, yang secara spesifik menjelaskan peran pemerintah dalam menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu yang memadai.

  Sebagaimana kita ketahui, bahwa masyarakat perdesaan umumnya mengandalkan sumber pendapatan pada bidang usaha pertanian sebagai mata pencaharian utama, dan ternak merupakan sumber ekonomi “sampingan” dengan pola pemeliharaan yang dikelola secara tradisional, didasarkan pengalaman dan belum mengarah pada pengelolaan manajemen usaha dengan skala ekonomi tertentu. Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia masih mengelola peternakan secara konvensional dan sub-sistem. Hal ini berdampak pada tingkat pendapatan yang masih relatif rendah sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat juga belum maksimal.

  Selain itu, perbedaan kondisi geografis, keunggulan sumber daya alam, ketersediaan sarana prasarana ekonomi (infrastruktur), serta kondisi sosial budaya dan kapasitas sumber daya manusia menyebabkan adanya kesenjangan antar daerah, tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. Hal ini berdampak terhadap deformasi struktural dan urbanisasi. Pengelolaan ternak secara ekonomis ditunjukkan seberapa besar insentif keuntungan diperoleh dari pengembangan usaha ternak. Rendahnya produktivitas dan keuntungan usaha yang diperoleh tergantung pola pemeliharaan ternak. Secara teknis hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pendukung pengelolaan peternakan, seperti: pengetahuan peternak dalam penguasaan teknologi, pengalaman dan keterampilan memadai untuk memilih alternatif model pengelolaan peternakan dan pemanfaatan limbah ternak sebagai potensi ekonomi dalam sistem usaha-tani, serta distribusi dan pemasaran produk yang memberikan keuntungan maksimal.

  Umumnya masyarakat perdesaan belum mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dalam sistem usaha-taninya secara optimal, sehingga usaha peternakan tidak memiliki daya saing secara ekonomi dibanding komoditas lainnya yang dikelola masyarakat (Prawiradiputra, 2004).

  Dengan mengacu pada uraian di atas, maka dapat kita rumuskan beberapa inti permasalahan yang dihadapi oleh sektor peternakan saat ini, yakni sebagai berikut : 1)

  Budidaya ternak yang dikelola secara tradisional dan menjadi kegiatan sampingan, produktivitas dan keuntungan yang diperoleh tidak akan sebanding dengan investasi yang dikeluarkan. Untuk itu dibutuhkan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, mendorong pengelolaan sumber daya lokal skala ekonomi, penciptaan nilai tambah sehingga diperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pola konvensional.

  2) Pengembangan peternakan yang tidak berorientasi ramah lingkungan (zero waste), tidak mendapatkan nilai tambah dari potensi sumberdaya yang tersedia sebagai sumber daya ekonomi. Adopsi inovasi pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dan energi terbarukan melalui proses biogas, mendorong pengembangan potensi unggulan lokal lainnya dan bernilai ekonomi. Manfaatnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendukung perkembangan ekonomi daerah.

  3) Pengelolaan peternakan bersifat sub-sistem dan parsial, tidak mampu berkontribusi optimal dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan penyediaan sumber pangan pokok nasional dari dalam negeri. Adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi yang dikelola secara komprehensif

  • integratif - berkelanjutan, dapat mengoptimalkan potensi unggulan lokal menjadi bernilai tambah dan mendorong kemandirian masyarakat dalam penyediaan pangan dan peningkatan ekonomi secara berkelanjutan.

  Keberhasilan capaian target pembangunan pertanian khusunya sub sektor peternakan, dengan kompleksitas pernasalahan sosial masyarakat dan teknis pengelolaan sangat ditentukan oleh peran aktif pemerintah, dalam tata kelola pengembangan peternakan terintegrasi untuk pemenuhan kebutuhan pangan hewani maupun nabati dalam mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Selain itu, peran masyarakat dalam menyelenggarakan produksi, penyediaan, perdagangan, distribusi sekaligus sebagai konsumen. Diperlukan dukungan penguatan teknologi dan pembiayaan melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional (kerjasama: Swasta-Pemerintah-Perguruan Tinggi), khususnya untuk riset dan pengembangan dasar skala industri yang didukung pendanaan pemerintah juga menjadi faktor yang ikut menentukan keberhasilan suatu program.

  Bercermin pada pengalaman pilihan komoditas unggulan lokal dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, data Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT) mengungkapkan bahwa komoditas yang dipilih sebagian besar (60-70%) adalah ternak. Demikian juga untuk Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) bahwa semua lokasi kegiatan ingin diterapkannya sistem usaha pertanian yang melibatkan ternak sebagai basis dalam sistem usaha pertaniannya (Kusnadi et al. 2005).

  Dengan demikian, sub sektor peternakan berperan sangat penting sebagai pilihan komoditas utama dalam pengembangan kegiatan peternakan-pertanian terintegrasi, karena ternak sebagai potensi sumber daya lokal yang tersedia dan terbiasa dilakukan masyarakat perdesaan, serta sangat prospektif sebagai penghasil sumber pangan, sumber ekonomi, sumber energi terbarukan dan pendorong pengembangan potensi sumberdaya lokal lainnya.

  Keberhasilan usaha ternak atau besar kecilnya keuntungan yang diperoleh tergantung pola pemeliharaan ternak, pengelolaan dengan cara tradisional yang didasarkan pengalaman, sub-sistem dan belum mengarah pada manajemen usaha dengan skala ekonomi tertentu, mengakibatkan perkembangan sektor peternakan tidak sesuai dengan biaya yang diinvestasikan. Mengutip pandangan Manwan dan Oka (1991), penyebab rendahnya produktivitas peternakan adalah kemampuan kreativitas dan keterampilan teknis, serta pendidikan dan kondisi sosial ekonomi peternak yang masih sangat rendah.

  Selain itu, Suradisastra dan Lubis (2014) menyatakan, bahwa terbatasnya sumber daya modal dan sempitnya lahan untuk penyediaan pakan ternak menyebabkan pengelolaan peternakan yang dilakukan masyarakat dalam skala usaha kecil, serta rendahnya harga produk yang dihasilkan mengakibatkan minat peternak semakin rendah dan dampaknya usaha budidaya ternak di perdesaan tidak berkembang dengan baik.

  Produktivitas ternak secara ekonomis, ditunjukkan oleh seberapa besar insentif keuntungan yang diperoleh dari pengembangan usaha ternak, dalam hal ini aspek teknis sangat dipengaruhi oleh faktor pendukung pengelolaan peternakan di antaranya kemampuan peternak dalam penguasaan teknologi, pengalaman dan keterampilan memadai untuk memilih model kegiatan terintegrasi. Sehingga jika Pengelolaan peternakan diinterintegrasikan dengan budidaya tanaman, keuntungan hasil usaha yang diperoleh dipastikan lebih banyak dibandingkan secara parsial.

  Ciri utama model integrasi ternak - tanaman pangan ialah memunculkan nilai tambah dan terbangun lingkungan ekonomi hijau, atas pengelolaan limbah ternak menjadi pupuk organik, sumber energi terbarukan dalam proses biogas, media jamur, pakan olahan ikan, yang dapat mengurangi bahkan menghentikan praktek penggunaan input produksi non- organik yang merusak lahan, mengganggu lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pemanfaatan limbah tanaman juga dapat meningkatkan “ketahanan pakan ternak”, yang mampu menekan biaya tenaga kerja mencari rumput. Pada saat musim kemarau, limbah tersebut dapat menyediakan pakan berkisar 33,3 % dari total rumput yang dibutuhkan (Kariyasa, 2003).

  Memperhatikan uraian tersebut di atas diperlukan model inovatif kegiatan terintegrasi dalam mengelola potensi unggulan lokal berbasis peternakan, sehingga usaha masyarakat yang bertumpu pada sumber daya ekonomi lokal berbasis pada aktivitas sosial ekonomi peternakan lebih maju dan menguntungkan dengan dihasilkannya produk berkualitas, bernilai tambah dan berdaya saing tinggi di pasaran.

  Buku ini diangkat dari hasil sebuah disertasi, yang tentu saja memenuhi prasyarat ilmiah untuk bisa diakui sebagai karya akademik, dimana gagasan dan konsepsi yang terkandung di dalamnya dapat diterapkan (implemented) dalam kehidupan riil di lapangan. Sebagai bahan perbandingan (comparison), konsepsi baru tentang adopsi inovasi yang ditawarkan dalam buku ini, ada baiknya untuk kita melihat beberapa fakta empiris dan hasil penelitian terdahulu.

  Penelitian dengan topik “Inovasi Teknologi Pada Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Peternakan” yang “digarap” oleh Budi Haryanto (Balai Penelitian Ternak), yang mana fokus penelitian ini adalah menganalisis pemanfaatan jerami padi sebagai pakan melalui proses fermentasi dan pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi, serta penerapan sistem integrasi pengelolaan tanaman dan peternakan. Dalam teori Roger tentang adopsi inovasi digunakan untuk melihat pengaruh perubahan sosial dan ekonomi, terhadap inovasi sistem integrasi tanaman pangan dan ternak sapi. Hasilnya terjadi peningkatan produktivitas padi dan pendapatan petani.

  Penelitian lain dengan topik “Difusi Inovasi Pengolahan Kotoran Ternak Menjadi Kompos Pada Kelompok Peternak Sapi Potong Sido Rejo Dan Sido Mulyo Di Kabupaten Bantul” yang dikerjakan Oleh: Emiliana Anggriyani. Hasilnya sebagian besar anggota kelompok memilih sumber informasi personal, semakin tinggi tingkat kosmopolitan seperti di Kelompok Sido Rejo cenderung menyukai sumber informasi non-personal. Kelompok peternak Sido Mulyo yang memiliki pengetahuan tinggi cenderung mempunyai afeksi positif, sedangkan kelompok Sido Rejo yang memiliki afeksi tinggi cenderung mengadopsi pembuatan kompos.

  Teori difusi Rogers digunakan dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi kelompok peternak dalam mengadopsi inovasi kompos, yakni opinion leader dipegang oleh ketua kelompok masing-masing.

  Penelitian dengan topik “A model of the diffusion of

  

technology into sme’s Oleh: Thomas Brychan. Difusi teknologi

  baru atau perbaikan, transmisi pengetahuan atau keahlian teknis dikaji relevansi inovasi dalam mengembangkan model di tingkat UKM termasuk sumber eksternal, saluran transfer teknologi, dan mekanisme yang terlibat dalam transfer teknologi ke UKM yang inovatif. Model ini tidak hanya berkaitan dengan “praktek terbaik”, tetapi juga untuk kasus-kasus di mana kegiatan kecil dapat ditingkatkan. Kesimpulan hasil penelitian membawa implikasi antara kebijakan, teknologi dan kewirausahaan, bahwa terjadinya perubahan sosial menimbulkan efek secara langsung untuk mengembangkan teknologi ditingkat UKM, yakni dengan difusi inovasi menghasilkan transfer teknologi yang dapat mengembangkan secara internal maupun eksternal.

  Penelitian-penelitian tersebut bersifat parsial dan belum menunjukkan capaian konsep pengembangan peternakan terintegrasi (hulu-hilir), yakni introduksi paket teknologi dan manajemen budidaya peternakan dan budidaya tanaman belum terkelola secara komprehensif dan integratif sebagai upaya peningkatan produktivitas dan nilai tambah ekonomi.

  Konsep pengembangan peternakan terintegrasi, memandang ternak bukan hanya merupakan bagian integral usaha pertanian, tapi juga sebagai sumber pangan (protein) dan komoditas ekonomi yang menciptakan nilai tambah dari hasil samping berupa kotoran ternak dapat diolah menjadi produk yang tidak menyisakan limbah, berupa: pupuk organik, sumber energi terbarukan (biogas), serta pembuatan pakan olahan. Hasil produk limbah tersebut, dapat diintegrasikan dengan budidaya tanaman untuk meningkatkan produktivitas, produk sehat, bernilai ekonomi tinggi dan berdaya saing di pasaran. Penelitian yang sudah dilakukan hanya mencapai pada hubungan pengaruh dan faktor-faktor (causality) yang mempengaruhi adopsi inovasi di bidang pertanian, dan bersifat merangkum terkait analisis adopsi inovasi secara umum.

  Perbedaan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menganalisis proses adopsi inovasi dan peta kegiatan integrasi vertikal dan horizontal sebagai acuan penyusunan model pengembangan kegiatan terintegrasi yang menjadikan peternakan sebagai basis kegiatan usaha, sehingga mampu mendorong pengembangan potensi unggulan lokal lainnya sebagai sumber pendapatan. Keberhasilan proses integrasi vertikal dan horizontal yang telah dicapai oleh para pelaku usaha yang bertumpu pada sumber daya ekonomi lokal pada wilayah tertentu, akan mampu mendorong “cerita sukses” yang sama pada wilayah lainya di Indonesia, apabila konsep adopsi inovasi ini diterapkan secara massif dan konsisten menjadi satu pola pengembangan ekonomi perdesaan secara nasional.

  Orisinalitas gagasan baru dan konsep adopsi inovasi dengan pola pengelolaan dan pengembangan secara terintegrasi yang ditawarkan dalam buku ini disebut dengan istilah Bio-

  

Cycles Farming. Konsep ini menekankan pada pemanfaatan

  secara maksimal seluruh potensi sumber daya yang “timbul” dari aktivitas sosial ekonomi di sektor peternakan-pertanian. Maksimalisasi pemanfaatan segala potensi sumber daya dengan model siklus zero waste, yang mana tidak ada (zero) sumber daya yang terbuang percuma (waste) di dalam satu alur mata rantai pengolahan.

  Proses adopsi inovasi ini dilakukan secara terintegrasi dengan menggabungkan dan menghubungkan seluruh jaringan- jaringan aktivitas sosial-ekonomi dimana sektor peternakan menjadi inti dari semua aktivitas (the core of the all activities) masyarakat. Konsep ini merupakan gagasan baru yang dimaksudkan untuk menjawab adanya masalah “kronis” belum terintegrasinya proses sosial ekonomi pada banyak masyarakat pedesaan dan daerah pinggiran di Indonesia yang mengandalkan aktivitas peternakan-pertanian dan perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama disamping pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

  Masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar para petani dan peternak kita ialah para pelaku usaha masih mengerjakan “cabang-cabang” aktivitas ekonomi pertanian dan peternakan secara terpisah, atau dalam usaha yang belum terintegrasi. Sementara kita tahu, bahwa di sektor ekonomi primer ini sebagian besar (majority) dari rakyat Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran banyak menggantungkan hajat hidup dan penghidupanya.

  Oleh karena itu dibutuhkan satu konsep baru dalam pengelolaan dan pemanfaatan beragam potensi sumber daya ekonomi lokal, sebagai langkah strategis mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional. Adapun alur siklikal proses Bio-

  

Cycles Farming yang diharapkan dapat menjadi satu jalan keluar

  solutif dari masalah ketahanan pangan yakni sebagai berikut:

Gambar 1.1. Siklus Proses Zero Waste dengan konsep Bio-Cycle Farming (dokumen olahan pribadi)

  Konsepsi baru ini digagas karena melihat fakta empiris di lapangan, bahwa proses pengelolaan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya ekonomi lokal di Indonesia belum dikerjakan secara terintegrasi menjadi satu kesatuan proses dengan banyak manfaat ekonomi. Kendatipun proses dan alur kerjanya tetap mempehatikan kearifan lokal (Local Wisdom) masyarakat setempat, sebagai warisan tradisi turun-temurun dari para generasi pendahulu, namun oleh karena belum terintegrasi antara proses pengelolaan satu pelaku dengan pelaku ekonomi lainya, antara pemanfaatan limbah sektor pertanian sebagai bahan pakan bagi bidang peternakan, dan antara produsen di sektor pertanian dan peternakan dan kelompok-kelompok usaha perdagangan hasil pertanian-peternakan yang umumnya berbasis pada koperasi, sehingga capaian yang diperoleh masih belum maksimal.

  Ditambah lagi, mode produksi yang digunakan oleh pelaku usaha hingga saat ini masih banyak yang belum mengadopsi teknologi modern sebagai hasil dari inovasi dan invensi atas kerjasama kemitraan strategis antar pemerintah, sektor swasta dan perguruan tinggi. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses informasi bagi para pelaku usaha di sektor pertanian-peternakan, mengenai penerapan dan penggunaan teknologi baru untuk menunjang peningkatan output sektor pertanian-peternakan. Selain oleh karena memang belum tersedianya tenaga fasilitator handal dalam jumlah memadai yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat yang mencakup seluruh bidang dan wilayah, dimana basis-basis produksi dan penyediaan bahan pangan hasil bidang peternakan di Indonesia berada. Imbasnya, cita-cita pembangunan ekonomi nasional di bidang penyediaan bahan pangan khususnya daging sapi sebagai contoh masih belum menunjukan tanda-tanda positif.

  Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi pemerintah desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Sudah lama diakui bahwa pembangunan pedesaan merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ada manfaat langsung dan tidak langsung dari pembangunan prasarana yang sangat signifikan, baik dalam penciptaan kesempatan kerja maupun strategi yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan pedesaan juga merupakan suatu strategi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.

  Investasi dalam prasarana pedesaan berbasis sumber daya setempat dengan jelas memberikan manfaat yang signifikan bagi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat pedesaan. Berbagai indikator ekonomi seperti peningkatan penghasilan, kesempatan kerja, produktifitas dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Manfaat sosial meliputi penghematan waktu, akses yang lebih mudah ke sekolah dan sarana kesehatan serta semakin baiknya arus informasi.

  Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif, ternyata tidak dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja.

  Dorodjatun Kuntjorojati (1994) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok masyarakat desa terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih tepat disebut masalah struktur yang menampilkan diri dalam wujud makin buruknya perbandingan antara luas tanah dan jumlah individu dan pola pemilikan atas tanah. Hal ini mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung maupun terbuka, serta berlakunya upah yang rendah. Di Indonesia, terdapat beberapa masalah nasional mendasar yang menjadi pangkal problema pembangunan pedesaan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

  1) Pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi pembangunan desa yang berlawanan, yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas dengan pola strategi perencanaan dari bawah;

  2) Masyarakat desa menghadapi masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidaktahuan; 3) Masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian, yang mendorong tingginya tingkat pengangguran dan urbanisasi;

  4) Potensi pembangunan Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila dilaksanakan dengan konsisten, maka pembangunan desa akan mampu mendorong akselerasi pemecahan masalah nasional yang multidimensi.

  Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam pembangunan prasarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa merupakan “stimulan” yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala lebih besar.

  Prasyarat yang perlu diketahui untuk memberdayakan masyarakat desa adalah realita kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masyarakat desa itu. Adapun kekuatan- kekuatan masyarakat desa, meliputi : 1) Masyarakat desa memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotong-royon9gan yang kuat, menjunjung tinggi semangat kebersamaan berdasarkan prinsip musyawarah dan mufakat;

  2) Masyarakat desa sangat religius, berperilaku sesuai dengan norma-norma agama yang dianut sehingga mereka lebih jujur, sabar dan ulet;

  3) Menghargai atau patuh terhadap pimpinan baik formal maupun non-formal; 4) Menjunjung tinggi dan mempertahankan tradisi sehingga mereka kurang terbuka terhadap perubahan. 5) Masyarakat desa mudah diajak kerjasama untuk membangun desa, terutama pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah keseharian mereka.

  Kelemahan-kelemahan masyarakat pedesaan dimaksud, meliputi: 1) Kelemahan yang mendasar adalah rendahnya kualitas

  SDM, tingkat pendidikan mereka sangat rendah. Akibatnya, masyarakat desa menjadi tidak berdaya memanfaatkan atau memobilisir SDA untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sisi lain yang berkaitan dengan penyebab rendahnya kualitas SDM di pedesaan adalah terjadinya arus urbanisasi angkatan kerja muda yang memiliki pola pikir dinamis dan rasional untuk bekerja pada industri-industri yang dipusatkan di kota. Akibatnya, SDM yang tinggal di desa adalah mereka yang pola pikirnya statis, tradisional, dan sulit mengadopsi inovasi;

  2) Kemiskinan primer; yaitu suatu keadaan di mana penghasilan yang mereka peroleh dari hasil usaha tani tidak cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk hidup sebagai manusia yang layak. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian hampir tidak ada di pedesaan;

  3) Posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produksi usaha tani. Mereka selalu di dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya;

  4) Masyarakat desa tidak mau atau sering menolak inovasi, kalaupun ada hanya terbatas pada beberapa orang saja.

  Hal ini berhubungan dengan kehidupan mereka yang terikat pada tradisi. Mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah yang terbaik. Pola pikir mereka sangat lokalita.

  Rekomendasi penerapan konsep adopsi inovasi peternakan terintegrasi, merupakan suatu gagasan yang dimaksudkan untuk “mengisi” ruang dalam proses pembangunan ekonomi perdesaan. Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah memberikan satu payung hukum yang jelas bagi penerapan ide-ide baru dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi desa. Dalam pasal 78 disebutkan bahwa, “Pembangunan

  

desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan

kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan

  

sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi

lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan

secara berkelanjutan.

  Secara konseptual, penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah merupakan upaya sistematis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi sumber daya ekonomi lokal, sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 78 tersebut di atas. Dengan kata lain, gagasan konseptual yang terkadung dalam buku ini, sesungguhnya dimaksudkan untuk dijakan satu role model pengembangan ekonomi perdesaan di Indonesia. Dengan harapan besar, penerapan model ini dapat menjadi satu rujukan dalam setiap aktivitas pembangunan ekonomi desa, khususnya kegiatan dalam rangka pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat desa di seluruh pelosok Indonesia.

BAGIAN - 2 : RELEVANSI TEORI DAN IM- PLEMENTASI

  Adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide- ide dari satu pihak disampaikan kepada pihak lain, sampai ide tersebut diterima masyarakat sebagai pihak kedua. Adopsi juga didefinisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar dan mengetahui inovasi sampai akhirnya mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan mengadopsi inovasi atau ide baru tersebut (Rogers, 1983).

  Senada dengan itu, Suprapto dan Fahrianoor (2004) mengungkapkan bahwa adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak paling baik, sehingga keputusan inovasi merupakan proses mental dan tipe pengambilan keputusan yang khas, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya, kemudian mengukuhkannya. Menurut Rogers (2003), model proses adopsi terdapat 5 tahap yang dilalui sebelum seseorang mengadopsi inovasi, yaitu: 1) sadar (awreness); 2) minat (interest); 3) menilai (evaluation);

  4) mencoba (trial); dan 5) adopsi (adoption). Secara skematik, tahapan proses adopsi digambarkan sebagai berikut:

  Tingkat Adopsi Indikator Tahap Adopsi

Gambar 2.1 Tingkat Adopsi dan Indikator Tahap Adopsi (sumber: Agus, 2014)

  Penjelasan tingkat adopsi dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama: Tahap Sadar, yaitu sasaran telah mengetahui informasi, tetapi informasi tersebut dirasa kurang. Pada tahap ini sasaran mulai sadar adanya inovasi yang ditawarkan fasilitator, dan sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal baru yang aneh atau tidak biasa. Kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung kekeliruan, cara baru tersebut dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatannya serta dapat mengatasi kesulitan yang sering dihadapi. Tahapan mengetahui adanya inovasi dapat diperoleh seseorang dari mendengar, membaca atau melihat, tetapi pengertian seseorang tersebut belum mendalam.

  Kedua: Tahap Minat, yaitu sasaran mencari informasi

  atau keterangan lebih lanjut mengenai informasi tersebut. Pada tahap ini sasaran mulai bertanya-tanya ingin mengetahui lebih banyak perihal baru tersebut, dan menginginkan keterangan- keterangan lebih rinci lagi.

  Ketiga: Tahap Menilai, yaitu sasaran sudah menilai

  dengan cara value atau bandingkan inovasi terhadap keadaan dirinya saat itu dan dimasa akan datang, serta menentukan apakah petani sasaran mencoba inovasi atau tidak. Tahap ini sasaran mulai berpikir dan menilai keterangan-keterangan perihal baru, juga menghubungkan hal baru itu dengan keadaan pribadi sasaran (kesanggupan, resiko, modal). Pertimbangan-pertimbangan atau penilaian terhadap inovasi dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu : teknis, ekonomis dan sosiologis.

  Keempat: Tahap Mencoba, yaitu sasaran sudah

  mencoba meskipun skala kecil untuk menentukan angka dan kesesuaian inovasi atau tidak. Tahap ini sasaran sudah mulai mencoba dalam luasan atau jumlah sedikit dan sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran dan percakapan-percakapan) sepak- terjang tetangga atau instansi yang mencoba hal baru itu (dalam pertanaman percobaan atau demonstrasi).

  Kelima: Tahap Adopsi atau Menerapkan, yaitu sasaran

  sudah meyakini kebenaran inovasi tersebut, dan dirasa bermanfaat baginya. Tahap ini sasaran menerapkan dalam jumlah atau skala lebih besar, karena sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu. Oleh karena itu sasaran menerapkan anjuran secara luas dan berkelanjutan (continue), sehingga dapat saja sesuatu tahap dilampaui karena tahap tersebut dilaluinya secara mental, tidak semua orang mempunyai waktu, kesempatan, ketekunan, kesanggupan dan keuletan sama untuk menjalani, kadang-kadang mengulangi proses adopsi sampai akhir dan mendapat kesuksesan.

  Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau penggunaan suatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi melalui penyuluhan. Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya. Adopsi dalam penyuluhan pada hakekatnya diartikan sebagai proses penerimaan inovasi atau perubahan perilaku, berupa: pengetahuan, sikap, keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada petani atau masyarakat sasarannya.

  Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku berupa pengetahuan (cognitive), sikap ( affective) maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak mengenal inovasi sampai memutuskan mengadopsinya setelah menerima inovasi. Dalam adopsi inovasi, terdapat 5 (lima) kategori perbedaan individu atau kelompok yang harus diperhatikan, yaitu:

  Pertama: Para pembaharu atau pioner/perintis

  

( innovators), mereka paling cepat mengadopsi inovasi dalam

  masyarakat. Mereka tergolong proaktif dan senang mencari ide-ide dan gagasan baru yang relevan, serta aktif mencoba menerapkan metode baru itu dalam lingkungan sosialnya. Menjadi inovator perlu beberapa persyaratan, antara lain harus mempunyai sumber keuangan cukup kuat, karena suatu kali mungkin mereka akan menderita kerugian sebab inovasi tidak berhasil. Selain itu, harus memiliki kemampuan daya pikir yang cerdas untuk dapat menerapkan dan memahami pengetahuan teknik yang rumit. Nilai paling menonjol dari inovator adalah pemberani karena senang menyerempet bahaya, berani mengambil resiko dan seorang petualang (Rogers dan Shoemaker, 1971).

  Tingkatan adopsi inovator biasanya seseorang yang memiliki kedudukan penting atau terkadang seseorang pemimpin yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Kelompok ini prosentasenya sangat kecil, sekitar 2,5% sebagai individu pertama mengadopsi inovasi, dengan ciri-ciri pribadi: petualang, berani ambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.

  Kedua: Para adopter awal atau pelopor (early adopters), orang-orang yang tergolong cepat mengikuti kelompok inovator.

  Mereka kelompok rasional yang telah melihat beberapa perubahan kearah lebih baik, namun selalu mempertimbangkan keputusannya dan berfikir kritis ketika telah memutuskan suatu keputusan, sehingga keputusan tersebut sudah benar diyakini dan mantap untuk segera diaplikasikan. Pelopor biasanya meneliti terlebih dahulu inovasi sebelum memutuskan menggunakannya, kelompok ini seringkali terdiri para pemuka pendapat. Anggota sistem sosial lainnya calon adopter biasanya mencari pelopor ini, untuk meminta nasehat dan keterangan mengenai suatu inovasi. Kelompok tersebut umumnya dicari para agen pembaru untuk menjadi teman penyebaran inovasi dalam mempercepat proses adopsi, karena pelopor atau adopter pemula ini tingkat keinovatifannya tak jauh berbeda dengan rata-rata anggota sistem lain, ia cocok menjadi modal tauladan bagi sebagian besar anggota sistem (Rogers dan Shoemaker, 1971).

  Tingkatan adopsi early adopters merupakan seseorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab penuh atas semua keputusannya, karena dapat berpangaruh pada pengikutnya. Kelompok ini kira-kira 13,5% dari total yang menjadi perintis penerimaan inovasi, ciri-cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang dihormati, akses di lingkungannya tinggi.

  Ketiga: Para kelompok mayoritas awal atau pengikut

  dini (early mayority), yaitu kelompok kebanyakan yang mau meniru cara baru apabila telah benar-benar berhasil. Mereka menerima ide-ide baru setelah banyak berinteraksi dengan anggota sistem lainnya yang berhasil, karena tidak mau mengambil resiko dan cenderung mengadopsinya secara massal. Penganut dini biasanya jarang ada diantara mereka untuk memegang posisi kepemimpinan. Sebelum menerima inovasi penganut dini terlebih dahulu berulangkali mempertimbangkannya (Rogers dan Shoemaker, 1971).

  Tingkatan adopsi early majority adalah seseorang yang cerdas, terbuka terhadap hal-hal baru tetapi tidak terlalu berfikiran kritis dan penuh pertimbangan. Segala sesuatu hanya berfikir disisi positifnya atau dapat dikatakan selalu mengikuti

  

trend terbaru yang sedang popoler, orang tersebut bukan seorang

pemimpin tetapi pengikut yang senang dengan hal-hal baru.

  Kelompok ini berjumlah kirakira 34% yang menjadi para pengikut awal, ciri-cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.

  Keempat: Kelompok mayoritas akhir atau pengikut

  akhir (late mayority), kelompok massal umumnya ragu terhadap pengetahuan baru, mereka cenderung skeptis walaupun akhirnya mau menerima inovasi tersebut setelah sebagian besar anggota sistem sosial melakukannya. Pengadopsian tersebut mungkin terjadi karena kepentingan ekonomi atau bertambah kuatnya tekanan sosial, intinya baru percaya pada ide baru jika norma- norma sistem jelas-jelas menerima inovasi itu (Rogers dan Shoemaker, 1981). Tingkatan adopsi late majority adalah orang- orang yang tergolong kurang tanggap terhadap munculnya suatu inovasi, jika sudah banyak masyarakat menggunakan inovasi tersebut terbukti baik dan aman untuk digunakan akhirnya baru ikut gunakan inovasi tersebut. Kelompok ini kira-kira 34% menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi, ciri-cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati.

  Kelima: Adopter akhir atau kolot (laggard adopters),

  kelompok sangat skeptis dan senantiasa resisten terhadap perubahan. Mereka sangat tradisional dalam berpikir, cenderung menolak dan mengadakan “perlawanan” terhadap inovasi yang ditawarkan. Sehingga merupakan orang paling akhir mengadopsi suatu inovasi, hampir tidak ada diantara mereka ini menjadi pemuka pendapat.

  Mereka paling sempit pandangan dan wawasannya diantara semua kelompok adopter, banyak diantaranya hampir terasing. Referensi bagi kelompok laggard adalah masa lalu, keputusan yang dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang dilakukan generasi masa lalu (Rogers dan Shoemaker, 1971). Tingkatan adopsi laggards/avoiders adalah sesorang bersikap tertutup terhadap hal-hal baru, dapat juga dikatakan seorang fanatik terhadap cara yang sudah ada sebelumnya atau senang dengan cara lama, terlalu kriktis terhadap hal-hal baru, tidak antusias dalam menggunakan teknologi baru, dan orang tersebut akan menggunakan/mengikuti sebuah inovasi jika adanya suatu tekanan dan semua orang sudah lama menggunakannya. Kelompok ini kira-kira 16 %, ciri-cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders, sumber daya terbatas.

Gambar 2.2. Pengkategorian Adopter berdasarkan Keinovatifan

  Kondisi riil dilapangan, tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat akan menjumpai berbagai kelompok sebagaimana klasifikasi di atas. Oleh karena itu, penting bagi tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat untuk bisa mengenal dan memahami karakteristik dari masing-masing kekompok adopter tersebut.

  Proses adopsi inovasi pada umumnya tidak berjalan mulus dan tanpa hambatan. Setiap suatu ide baru pertama kali diperkenalkan ke tengah-tengah masyarakat, seringkali akan ditemukan berbagai hambatan dalam proses sosialisasinya. Para tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat juga harus mengenali hambatan-hambatan tersebut. Menurut Mosher (1970) terdapat 3 (tiga) hambatan utama yang berpotensi timbul dalam proses adopsi inovasi, yaitu hambatan sifatnya:

  1) mental block barriers, yaitu hambatan yang lebih

  disebabkan sikap mental, seperti: a) salah persepsi atau asumsi; b) cenderung berpikir negatif; c) dihantui kecemasan dan kegagalan; d) tidak mau mengambil resiko terlalu dalam; e) malas; f) saat ini berada pada daerah “nyaman dan aman”; g) cenderung resisten atau menolak terhadap setiap perubahan;

  

2) culture block (hambatan budaya), hal ini lebih dilatar-

  belakangi: a) adat yang sudah mengakar dan mentradisi;

  b) taat terhadap tradisi setempat; c) ada perasaan berdosa bila merubah “tatali karuhun”;

  3) social block (hambatan sosial), yaitu hambatan inovasi

  sebagai akibat dari faktor sosial dan pranata masyarakat sekitar, antara lain: a) perbedaan suku dan agama ataupun ras; b) perbedaan sosial ekonomi; c) nasionalisme yang sempit; d) arogansi primordial; e) fanatisme daerah yang kurang terkontrol.

  Berbagai hambatan tersebut, sangat mungkin “melekat” pada masyarakat Indonesia yang ada di wilayah pedesaan dan pinggiran, khususnya kelompok masyarakat yang bertumpu aktivitas sosial ekonomi pada sektor pertanian dan peternakan. Oleh karena itu, seorang tenaga fasilitator pemberdayaan dituntut mampu merumuskan suatu kerangka pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan dan hambatan-hambatan tersebut.

  Inovasi adalah gagasan, praktek, atau benda yang dianggap atau dirasa baru oleh individu. Definisi ini menjadi kata penting, karena kemungkinan suatu ide, praktek atau benda dianggap sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak dan tergantung apa yang dirasakan individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut (Rogers, 1962). Kata baru di sini bukan berarti harus suatu ide yang baru muncul, tetapi lebih pada ide baru dan dianggap baik untuk diperkenalkan ke suatu sistem sosial tertentu. Kata baru yaitu inovasi pada suatu sistem sosial yang belum diputuskan sikapnya, apakah menerima atau menolak.

  Inovasi merupakan perubahan sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan diamati sebagai sesuatu yang baru bagi sekelompok orang (Zaltman dan Duncan, 1973). Inovasi bukan merupakan kegiatan satu kali pukul (one