JOKOWI DAN BANJIR TENAGA KERJA CINA
JOKOWI DAN BANJIR TENAGA KERJA CINA
Oleh : Emat S Elfarakani
(Guru Ilmu Sosial di Program Internasional Sekolah Bosowa Bogor)
Berita membanjirnya tenaga kerja Cina ke Indonesia semakin hari semakin menjadi
kontroversi. Banyak pihak menuduh bahwa masuknya tenaga kerja Cina (TKC) ke negeri ini
karena disebabkan oleh kebijakan Jokowi yang pro Cina. Sehingga Jokowi pun harus membuat
klarifikasi, bahwa TKC masuk ke Indonesia berjumlah 21 ribu orang, tidak seperti yang ramai
dibicarakan di media bahwa TKC masuk ke Indonesia berjumlah 10 juta, manakah yang bisa
dipercaya?
Bahkan Jokowi memerintahkan untuk menangkap siapa yang menyebarkan
informasi TKC masuk ke RI berjumlah 10 juta.
Data yang disampaikan oleh Jokowi berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan
yang mencatat jumlah tenaga kerja asing yang ada di Indonesia per November 2016 adalah
74.183 orang, dan dari Cina berjumlah 21.271 tenaga kerja. Itu artinya menjadi negara yang
paling banyak mengirimkan tenaga kerjanya ke Indonesia, dan Jepang berada di posisi kedua
dengan jumlah 12.490 tenaga kerja.
Perang data pun membuat Jokowi berang, sehingga Presiden memerintahkan untuk
menangkap siapa saja yang menyebarkan berita hoax jumlah TKC, karena dianggap
memojokkan pemerintah. Bahkan jokowi sempat membandingkan dengan TKI yang adi luar
negeri, bahwa banyak TKI yang ada di Malaysia sekitar 1.9 juta (sumber BI dan BNP2TKI)
atau di beberapa negara lain, tapi di sana tidak terjadi kegaduhan.
Isu TKC ini menjadi menarik karena dibumbui dengan tingkah laku TKC yang seakanakan Indonesia ini negaranya sendiri. Beberapa kali mereka berulah dengan mengibarkan
bendera Cina di wilayah NKRI, terang saja ini membuat semakin gaduh suasana politik.
Ditambah dengan adanya oknum gubernur beretnis Cina yang didakwa menista agama. Lengkap
sudah sentimen anti Cina di negeri ini.
Migrasi Cina ke negeri ini sudah berabad-abad lamanya, bahkan sebelum Indonesia ada.
Pasang surut hubungn diplomatic dengan Cina sejak Indonesia berdiri biasa terjadi. Pernah
mengalami hubungan baik pada era orde lama dan memburuk pada masa orde baru. Kemudian
membaik kembali setelah reformasi, terutama di era Jokowi sekarang ini.
Masuknya TKC ke Indonesia tentu merupakan akibat dari disahkannya beberapa regulasi,
baik regulasi dalam negeri, bilateral, bahkan multilateral. Artinya regulasi itu tidak berdiri
sendiri, tapi berkaitan dengan regulasi yang lain, baik regulasi itu disahkan pada masa rezim
Jokowi atau rezim-rezim sebelumnya.
Mengarahkan telunjuk semuanya hanya kepada Jokowi adalah tindakan yang tidak tepat
dan hanya akan menjadi isu politik yang akan dimanfaatkan oleh pihak yang mengambil
keuntungan sesaat. Karena regulasi tentang tenaga kerja asing setidaknya sudah dimulai sejak
jaman Orde Baru.
Dampak Putaran Uruguay
Kalau kita coba telusuri kita akan menemukan dengan diawalinya RI menjadi anggota
GATT 24 Februari 1950, kemudian ikur serta dalam putaran Uruguay tahun 1994. Putaran
Uruguay merupakan kelanjutan dari Putaran Jenewa 1947, yang menghasilkan GATT sebagai
cikal bakal dari WTO. Putaran Uruguay diakhiri dengan ditandatanganinya GATT pada tanggal
15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, oleh 124 negara.
Kemudian dilanjutkan pada tanggal 12 November 1994, Indonesia menyetujui
persetujuan pembentukan WTO yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
dengan Lembaran Negara Nomor 57 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Estabilishing
The World Trade Organization. Berdasarkan undang-undang ini, Indonesia telah memenuhi
kesepakatan yang tercantum dalam Final Act serta telah meratifikasi General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) pada tanggal 2 Desember 1994. Sejak tanggal tersebut Indonesia resmi
menjadi anggota WTO yang telah terikat dan harus tunduk serta patuh pada ketentuan-ketentuan
didalamnya. (Vera Nurulhayati:2016)
Di masa Orde Baru Indonesia semakin terlibat dalam Free Trade Area, dan WTO sebagai
lembaga perdagangan dunia memperluas komoditasnya termasuk jasa tenaga kerja, yang
tertuang dalam Final Act General Agreement on Trade in Service (GATS) yang mengatur
liberalisasi perdagangan jasa bagi anggota WTO.
Dampak dari diratifikasi GATT/GATS oleh negara anggota WTO, maka dimulailah Free
Trade Area dengan skala regional, seperti NAFTA, AFTA, FTAA, CAFTA, APEC, The
European Union and its Common Market, dan perdagangan bebas antara US dan Afrika. Sebagai
bentuk keikutsertaan, Indonesia sendiri pernah menjadi tuan rumah APEC pada era Soeharto
tahun 1994. Maka, konsekuensinya siapapun rezim di negeri ini harus melaksankan semua
kesepakatan baik langsung ataupun secara bertahap, baik sebagain atau secara keseluruhan.
Misalkan pada masa rezim Megawati dikeluarkan Kepres No. 48 tahun 2004 tentang pengesahan
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between The Association of
South East Asian Nations and The People’s Republic of China. Inilah salah satu ratifikasi
pemerintah sebelumnya yang mendukung terhadap kebijakan membanjirnya TKC ke Indonesia.
Dalam Framework Agreement, para pihak menyepakati untuk memperkuat dan
meningkatkan kerjasama ekonomi melalui: Penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam
perdagangan barang, liberalisasi secara progresif barang dan jasa, membangun investasi yang
kompetitif dan terbuka dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area. Karena regulasi ini
multinasional, maka tidak mudah suatu rezim untuk membatalkan atau menolak datangnya
tenaga kerja asing ke negeri ini.
Justru di era Presiden Bambang Susilo Yudhoyono kita bisa menemukan data jumlah
tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia mencapai puncak tertingginya pada 2011 sebanyak 77.307
pekerja, yakni pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti diketahui
SBY menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2004-2014. (Katadata.co.id) Kabar
bahwa jutaan TKA asal Cina menyerbu ke Indonesia sepanjang 2016 tidak didukung oleh data.
Faktanya, jumlah pekerja asing yang berada di Indonesia periode Januari-November 2016 hanya
mencapai 74 ribu, menurut izin mempekerjakan tenaga asing yang dikeluarkan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Adapun jumlah TKA yang berasal dari Cina hanya berjumlah 21
ribu. Tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia bekerja sebagai tenaga-tenaga terampil. Untuk TKA
asal Cina, mayoritas bekerja level profesional dengan 7.005 pekerja hingga November 2016.
Sementara 5.973 pekerja Cina bekerja sebagai teknisi di Indonesia. Adapun 195 tenaga asal Cina
menjadi komisaris di Tanah Air. (katadata.co.id)
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 TKA hanya diperbolehkan untuk
mengisi jabatan-jabatan tertentu dengan skill-skill khusus. Mereka dilarang untuk menjadi tenaga
kasar. Hal ini agar tidak menghilangkan kesempatan kerja bagi pekerja lokal. Hingga November
2016 tenaga kerja Cina di Indonesia berjumlah 21.271 orang. Jumlah tersebut sekitar 28 persen
dari total TKA di Tanah Air dan menjadi yang terbesar dibanding negara-negara lainnya. Sekitar
12.763 pekerja Cina di Indonesia dipekerjakan dalam jangka pendek. Sisanya sekitar 8.508
dikontrak dalam jangka panjang.
Kebijakan demi kebijakan semakin mempermudah TKA khusunya Cina. Dengan semakin
banyaknya investor Cina yang bersedia menamakan modalnya di Indonesia. Mereka mendirikan
pabrik-pabrik sekaligus mereka mengangkut tenaga kerjanya. Ditambah dengan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 35 tahun 2015, yang merevisi aturan sebelumnya
yakni Permenaker tahun 16 tahun 2015 tentang tata cara penggunaan tenaga kerja asing, salah
satu revisinya : TKA tidak wajib menguasai Bahasa Indonesia. (Kompas.com 28/10/2015).
Berdasarkan data Indonesia memang merupakan negara dengan populasi etnis Cina
terbesar di dunia yang tinggal di luar Cina. Tidak kurang dari 7,6 juta jiwa etnis cina bermukim
di Indonesia. Thailand menjadi negara nomor dua dengan populasi sekitar 7 juta jiwa.
(katadata.co.id) Kondisi ini diperparah dengan masukknya tenaga kerja Cina Illegal. Jawa Timur
merupakan daerah yang kasus tenaga kerja Illegalnya tertinggi di Indonesia.
Melihat fakta ini, merupakan hal yang wajar apabila bangsa ini merasa terancam dengan
kedatangan tenaga kerja dengan jumlah yang banyak, bahkan ada yang illegal. Karena jumlah
pengangguran di negeri ini pun masih tinggi. Menurut data BPS angka pengangguran masih
berkisar di 7.03 juta orang. Kondisi “merasa terancam” oleh pendatang seperti ini, tidak hanya
terjadi di Indonesia, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris
pun
mengalaminya. Sehingga memunculkan gerakan anti imigran yang menjadi isu kuat
kampanyenya Donald Trump dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Perlu Kesadaran Ideologis
Kondisi rakyat yang merasa terancam dengan banjirnya TKC, merupakan akibat dari
kebijakan Peraturan Presiden No. 21 tahun 2016 tentang bebas visa bagi 169 negara. Walaupun
bukan visa kerja atau menetap, tetap hal ini menimbulkan kekhawatiran penyalahgunaan.
Ditambah lagi dengan isu bahwa TKC selalu akan menjadi ancaman idologis karena bangsa ini
masih menganggap Cina masih kental dengan komunisnya.
Kesadaran akan bahaya laten komunisme yang masih kental dalam diri bangsa ini patut
diapresiasi. Itu artinya secara ideologis bangsa ini masih menyimpan dengan baik bagaimana
komunis ini selalu menjadi duri dalam daging sejak bangsa ini merdeka. Namun polarisasi dunia
sudah berubah. Betul, setelah Perang Dunia II Cina menganut komunisme, tapi setelah runtuhnya
Uni Soviyet, dalam hal ekonomi Cina tidak lagi perpegang teguh terhadap doktrin komunisme,
tapi Cina sudah mengadopsi kapitalisme.
Kapitalisme Cinalah yang sedang dihapadi oleh bangsa ini. Cukup bagi Cina doktrindoktrin komunis berlaku di negerinya. Di tengah melambannya ekonomi negara seperti US dan
Uni Eropa, kapitalisme menjadi spirit bagi Cina untuk menjajah negara-negara dunia menggeser
dominasi mereka. Paham kapitalisme menjadikan negara penganutnya untuk ekspansi ke luar
dalam bentuk penguasaan pasar, sumber daya alam, dan tenaga kerja semurah mungkin.
Perebutan dan penguasaan pasar, sumber daya alam dan tenaga kerja bertujuan untuk menjamin
keberlangsungan penumpukan modal negara asalnya. Proses inilah yang kemudian melahirkan
sejarah penaklukan dan penjajahan (FX. Adji Sameko: 2005).
Kondisi inilah yang menurut Stiglitz (2003), disebut dengan interdependensi yang tidak
simetris antara negara, lembaga dan aktornya. Karena interdependensi antar negara yang seperti
ini lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sehingga
yang muncul adalah dominasi negara kuat terhadap negara-negara berkembang, dengan bahasa
lain munculnya penjajahan gaya baru.
Kesadaran ini menjadi penting agar bangsa ini paham, bahwa kapitalisme ini sama
berbahayanya dengan komunisme. Sebagaimana dipahami,
sebagai lawan
bahwa komunisme justru lahir
dari kapitalisme, ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kapitalis justru akan
menyuburkan komunisme. Berteriak-teriak mengepalkan tangan “ganyang komunis” sambil
menikmati semilir angin kapitalisme adalah sebuah ironi.
Ini era proxy war, bangsa ini khususnya umat Islam harus belajar. Di tahun 1940-1965
adalah era kejayaan komunis di Indonesia, dan kita tahu yang paling lantang menentang
komunisme adalah umat Islam dengan para ulamanya. TNI dan umat Islam bahu membahu
menggagalkan setiap gerakan-gerakan komunisme. Tapi di sisi lain ada invisible hand
kapitalisme yang mengambil keuntungan dari semangat bangsa ini untuk mengusir komunisme.
Invisible hand ini menjadikan umat Islam tameng atau tumbal untuk berhadapan langsung
dengan kekuatan fisik komunis, seraya mereka “tertawa” karena bisa menghajar komunisme
bukan dengan tangan mereka. Kemudian ketika bangsa ini berhasil menggagalkan makar
komunis, para kapitalis dengan leluasa mencengkramkan kukunya untuk menjajah negeri ini
tanpa saingan. Kasus ini pun terjadi di Afganistan, ketika bangsa Afganistan mampu mengusir
Uni Soviyet, maka negara kapitalis bersorak sorai dengan senang hati menjajah Afganistan.
Penutup
Persoalan TKC bukanlah persoalan sesederhana seperti digambarkan oleh Presiden
Jokowi, dengan membandingkan negara-negara lain yang menampung TKI dengan jumlah jutan
tapi tidak gaduh. Ini dua kondisi yang berbeda, TKI yang berbondong-bondong ke luar negeri
tidak membawa misi ekspansi yang membahayakan negara yang didatanginya, mereka hanya
cari makan. Berbeda dengan TKC yang memang mempunyai misi untuk menguasai ekonomi
negeri ini, karena itu merupakan karakter khas dari kapitalisme. Karena itu masalah
membanjirnya TKC merupakan masalah yang ideologis politis, tidak akan selesai dihadapi
hanya dengan emosional apalagi parsial, tapi harus dihadapi secara ideologis dan diselesaikan
secara sistemik.
Oleh : Emat S Elfarakani
(Guru Ilmu Sosial di Program Internasional Sekolah Bosowa Bogor)
Berita membanjirnya tenaga kerja Cina ke Indonesia semakin hari semakin menjadi
kontroversi. Banyak pihak menuduh bahwa masuknya tenaga kerja Cina (TKC) ke negeri ini
karena disebabkan oleh kebijakan Jokowi yang pro Cina. Sehingga Jokowi pun harus membuat
klarifikasi, bahwa TKC masuk ke Indonesia berjumlah 21 ribu orang, tidak seperti yang ramai
dibicarakan di media bahwa TKC masuk ke Indonesia berjumlah 10 juta, manakah yang bisa
dipercaya?
Bahkan Jokowi memerintahkan untuk menangkap siapa yang menyebarkan
informasi TKC masuk ke RI berjumlah 10 juta.
Data yang disampaikan oleh Jokowi berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan
yang mencatat jumlah tenaga kerja asing yang ada di Indonesia per November 2016 adalah
74.183 orang, dan dari Cina berjumlah 21.271 tenaga kerja. Itu artinya menjadi negara yang
paling banyak mengirimkan tenaga kerjanya ke Indonesia, dan Jepang berada di posisi kedua
dengan jumlah 12.490 tenaga kerja.
Perang data pun membuat Jokowi berang, sehingga Presiden memerintahkan untuk
menangkap siapa saja yang menyebarkan berita hoax jumlah TKC, karena dianggap
memojokkan pemerintah. Bahkan jokowi sempat membandingkan dengan TKI yang adi luar
negeri, bahwa banyak TKI yang ada di Malaysia sekitar 1.9 juta (sumber BI dan BNP2TKI)
atau di beberapa negara lain, tapi di sana tidak terjadi kegaduhan.
Isu TKC ini menjadi menarik karena dibumbui dengan tingkah laku TKC yang seakanakan Indonesia ini negaranya sendiri. Beberapa kali mereka berulah dengan mengibarkan
bendera Cina di wilayah NKRI, terang saja ini membuat semakin gaduh suasana politik.
Ditambah dengan adanya oknum gubernur beretnis Cina yang didakwa menista agama. Lengkap
sudah sentimen anti Cina di negeri ini.
Migrasi Cina ke negeri ini sudah berabad-abad lamanya, bahkan sebelum Indonesia ada.
Pasang surut hubungn diplomatic dengan Cina sejak Indonesia berdiri biasa terjadi. Pernah
mengalami hubungan baik pada era orde lama dan memburuk pada masa orde baru. Kemudian
membaik kembali setelah reformasi, terutama di era Jokowi sekarang ini.
Masuknya TKC ke Indonesia tentu merupakan akibat dari disahkannya beberapa regulasi,
baik regulasi dalam negeri, bilateral, bahkan multilateral. Artinya regulasi itu tidak berdiri
sendiri, tapi berkaitan dengan regulasi yang lain, baik regulasi itu disahkan pada masa rezim
Jokowi atau rezim-rezim sebelumnya.
Mengarahkan telunjuk semuanya hanya kepada Jokowi adalah tindakan yang tidak tepat
dan hanya akan menjadi isu politik yang akan dimanfaatkan oleh pihak yang mengambil
keuntungan sesaat. Karena regulasi tentang tenaga kerja asing setidaknya sudah dimulai sejak
jaman Orde Baru.
Dampak Putaran Uruguay
Kalau kita coba telusuri kita akan menemukan dengan diawalinya RI menjadi anggota
GATT 24 Februari 1950, kemudian ikur serta dalam putaran Uruguay tahun 1994. Putaran
Uruguay merupakan kelanjutan dari Putaran Jenewa 1947, yang menghasilkan GATT sebagai
cikal bakal dari WTO. Putaran Uruguay diakhiri dengan ditandatanganinya GATT pada tanggal
15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, oleh 124 negara.
Kemudian dilanjutkan pada tanggal 12 November 1994, Indonesia menyetujui
persetujuan pembentukan WTO yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
dengan Lembaran Negara Nomor 57 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Estabilishing
The World Trade Organization. Berdasarkan undang-undang ini, Indonesia telah memenuhi
kesepakatan yang tercantum dalam Final Act serta telah meratifikasi General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) pada tanggal 2 Desember 1994. Sejak tanggal tersebut Indonesia resmi
menjadi anggota WTO yang telah terikat dan harus tunduk serta patuh pada ketentuan-ketentuan
didalamnya. (Vera Nurulhayati:2016)
Di masa Orde Baru Indonesia semakin terlibat dalam Free Trade Area, dan WTO sebagai
lembaga perdagangan dunia memperluas komoditasnya termasuk jasa tenaga kerja, yang
tertuang dalam Final Act General Agreement on Trade in Service (GATS) yang mengatur
liberalisasi perdagangan jasa bagi anggota WTO.
Dampak dari diratifikasi GATT/GATS oleh negara anggota WTO, maka dimulailah Free
Trade Area dengan skala regional, seperti NAFTA, AFTA, FTAA, CAFTA, APEC, The
European Union and its Common Market, dan perdagangan bebas antara US dan Afrika. Sebagai
bentuk keikutsertaan, Indonesia sendiri pernah menjadi tuan rumah APEC pada era Soeharto
tahun 1994. Maka, konsekuensinya siapapun rezim di negeri ini harus melaksankan semua
kesepakatan baik langsung ataupun secara bertahap, baik sebagain atau secara keseluruhan.
Misalkan pada masa rezim Megawati dikeluarkan Kepres No. 48 tahun 2004 tentang pengesahan
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between The Association of
South East Asian Nations and The People’s Republic of China. Inilah salah satu ratifikasi
pemerintah sebelumnya yang mendukung terhadap kebijakan membanjirnya TKC ke Indonesia.
Dalam Framework Agreement, para pihak menyepakati untuk memperkuat dan
meningkatkan kerjasama ekonomi melalui: Penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam
perdagangan barang, liberalisasi secara progresif barang dan jasa, membangun investasi yang
kompetitif dan terbuka dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area. Karena regulasi ini
multinasional, maka tidak mudah suatu rezim untuk membatalkan atau menolak datangnya
tenaga kerja asing ke negeri ini.
Justru di era Presiden Bambang Susilo Yudhoyono kita bisa menemukan data jumlah
tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia mencapai puncak tertingginya pada 2011 sebanyak 77.307
pekerja, yakni pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti diketahui
SBY menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2004-2014. (Katadata.co.id) Kabar
bahwa jutaan TKA asal Cina menyerbu ke Indonesia sepanjang 2016 tidak didukung oleh data.
Faktanya, jumlah pekerja asing yang berada di Indonesia periode Januari-November 2016 hanya
mencapai 74 ribu, menurut izin mempekerjakan tenaga asing yang dikeluarkan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Adapun jumlah TKA yang berasal dari Cina hanya berjumlah 21
ribu. Tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia bekerja sebagai tenaga-tenaga terampil. Untuk TKA
asal Cina, mayoritas bekerja level profesional dengan 7.005 pekerja hingga November 2016.
Sementara 5.973 pekerja Cina bekerja sebagai teknisi di Indonesia. Adapun 195 tenaga asal Cina
menjadi komisaris di Tanah Air. (katadata.co.id)
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 TKA hanya diperbolehkan untuk
mengisi jabatan-jabatan tertentu dengan skill-skill khusus. Mereka dilarang untuk menjadi tenaga
kasar. Hal ini agar tidak menghilangkan kesempatan kerja bagi pekerja lokal. Hingga November
2016 tenaga kerja Cina di Indonesia berjumlah 21.271 orang. Jumlah tersebut sekitar 28 persen
dari total TKA di Tanah Air dan menjadi yang terbesar dibanding negara-negara lainnya. Sekitar
12.763 pekerja Cina di Indonesia dipekerjakan dalam jangka pendek. Sisanya sekitar 8.508
dikontrak dalam jangka panjang.
Kebijakan demi kebijakan semakin mempermudah TKA khusunya Cina. Dengan semakin
banyaknya investor Cina yang bersedia menamakan modalnya di Indonesia. Mereka mendirikan
pabrik-pabrik sekaligus mereka mengangkut tenaga kerjanya. Ditambah dengan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 35 tahun 2015, yang merevisi aturan sebelumnya
yakni Permenaker tahun 16 tahun 2015 tentang tata cara penggunaan tenaga kerja asing, salah
satu revisinya : TKA tidak wajib menguasai Bahasa Indonesia. (Kompas.com 28/10/2015).
Berdasarkan data Indonesia memang merupakan negara dengan populasi etnis Cina
terbesar di dunia yang tinggal di luar Cina. Tidak kurang dari 7,6 juta jiwa etnis cina bermukim
di Indonesia. Thailand menjadi negara nomor dua dengan populasi sekitar 7 juta jiwa.
(katadata.co.id) Kondisi ini diperparah dengan masukknya tenaga kerja Cina Illegal. Jawa Timur
merupakan daerah yang kasus tenaga kerja Illegalnya tertinggi di Indonesia.
Melihat fakta ini, merupakan hal yang wajar apabila bangsa ini merasa terancam dengan
kedatangan tenaga kerja dengan jumlah yang banyak, bahkan ada yang illegal. Karena jumlah
pengangguran di negeri ini pun masih tinggi. Menurut data BPS angka pengangguran masih
berkisar di 7.03 juta orang. Kondisi “merasa terancam” oleh pendatang seperti ini, tidak hanya
terjadi di Indonesia, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris
pun
mengalaminya. Sehingga memunculkan gerakan anti imigran yang menjadi isu kuat
kampanyenya Donald Trump dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Perlu Kesadaran Ideologis
Kondisi rakyat yang merasa terancam dengan banjirnya TKC, merupakan akibat dari
kebijakan Peraturan Presiden No. 21 tahun 2016 tentang bebas visa bagi 169 negara. Walaupun
bukan visa kerja atau menetap, tetap hal ini menimbulkan kekhawatiran penyalahgunaan.
Ditambah lagi dengan isu bahwa TKC selalu akan menjadi ancaman idologis karena bangsa ini
masih menganggap Cina masih kental dengan komunisnya.
Kesadaran akan bahaya laten komunisme yang masih kental dalam diri bangsa ini patut
diapresiasi. Itu artinya secara ideologis bangsa ini masih menyimpan dengan baik bagaimana
komunis ini selalu menjadi duri dalam daging sejak bangsa ini merdeka. Namun polarisasi dunia
sudah berubah. Betul, setelah Perang Dunia II Cina menganut komunisme, tapi setelah runtuhnya
Uni Soviyet, dalam hal ekonomi Cina tidak lagi perpegang teguh terhadap doktrin komunisme,
tapi Cina sudah mengadopsi kapitalisme.
Kapitalisme Cinalah yang sedang dihapadi oleh bangsa ini. Cukup bagi Cina doktrindoktrin komunis berlaku di negerinya. Di tengah melambannya ekonomi negara seperti US dan
Uni Eropa, kapitalisme menjadi spirit bagi Cina untuk menjajah negara-negara dunia menggeser
dominasi mereka. Paham kapitalisme menjadikan negara penganutnya untuk ekspansi ke luar
dalam bentuk penguasaan pasar, sumber daya alam, dan tenaga kerja semurah mungkin.
Perebutan dan penguasaan pasar, sumber daya alam dan tenaga kerja bertujuan untuk menjamin
keberlangsungan penumpukan modal negara asalnya. Proses inilah yang kemudian melahirkan
sejarah penaklukan dan penjajahan (FX. Adji Sameko: 2005).
Kondisi inilah yang menurut Stiglitz (2003), disebut dengan interdependensi yang tidak
simetris antara negara, lembaga dan aktornya. Karena interdependensi antar negara yang seperti
ini lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sehingga
yang muncul adalah dominasi negara kuat terhadap negara-negara berkembang, dengan bahasa
lain munculnya penjajahan gaya baru.
Kesadaran ini menjadi penting agar bangsa ini paham, bahwa kapitalisme ini sama
berbahayanya dengan komunisme. Sebagaimana dipahami,
sebagai lawan
bahwa komunisme justru lahir
dari kapitalisme, ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kapitalis justru akan
menyuburkan komunisme. Berteriak-teriak mengepalkan tangan “ganyang komunis” sambil
menikmati semilir angin kapitalisme adalah sebuah ironi.
Ini era proxy war, bangsa ini khususnya umat Islam harus belajar. Di tahun 1940-1965
adalah era kejayaan komunis di Indonesia, dan kita tahu yang paling lantang menentang
komunisme adalah umat Islam dengan para ulamanya. TNI dan umat Islam bahu membahu
menggagalkan setiap gerakan-gerakan komunisme. Tapi di sisi lain ada invisible hand
kapitalisme yang mengambil keuntungan dari semangat bangsa ini untuk mengusir komunisme.
Invisible hand ini menjadikan umat Islam tameng atau tumbal untuk berhadapan langsung
dengan kekuatan fisik komunis, seraya mereka “tertawa” karena bisa menghajar komunisme
bukan dengan tangan mereka. Kemudian ketika bangsa ini berhasil menggagalkan makar
komunis, para kapitalis dengan leluasa mencengkramkan kukunya untuk menjajah negeri ini
tanpa saingan. Kasus ini pun terjadi di Afganistan, ketika bangsa Afganistan mampu mengusir
Uni Soviyet, maka negara kapitalis bersorak sorai dengan senang hati menjajah Afganistan.
Penutup
Persoalan TKC bukanlah persoalan sesederhana seperti digambarkan oleh Presiden
Jokowi, dengan membandingkan negara-negara lain yang menampung TKI dengan jumlah jutan
tapi tidak gaduh. Ini dua kondisi yang berbeda, TKI yang berbondong-bondong ke luar negeri
tidak membawa misi ekspansi yang membahayakan negara yang didatanginya, mereka hanya
cari makan. Berbeda dengan TKC yang memang mempunyai misi untuk menguasai ekonomi
negeri ini, karena itu merupakan karakter khas dari kapitalisme. Karena itu masalah
membanjirnya TKC merupakan masalah yang ideologis politis, tidak akan selesai dihadapi
hanya dengan emosional apalagi parsial, tapi harus dihadapi secara ideologis dan diselesaikan
secara sistemik.