TAFSIR TEMATIK KONSEP KEUNTUNGAN DAN IMP
TAFSIR TEMATIK KONSEP KEUNTUNGAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENETAPAN HARGA
Muchamad Ridho Hidayat (Mata Kuliah Tafsir Hadis Ekonomi)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
I.1 LatarBelakang
I.2 Kerangka Pemikiran
I.3 Metode Tafsir Maudhu’i
I.4 Sistematika Penulisan
BAB II : KAJIAN TEORITIS
II.1 Mekanisme Pasar Islami
II.1.1 Pengertian Pasar
II.1.2 Prinsip Pasar Islami
II.1.3 Harga Pasar
BAB III : PEMBAHASAN
III.1 Konsep Islam Tentang Keuntungan
III.1.1 Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 16
III.1.2 Riwayat-Riwayat Tentang Keuntungan dalam Al-Hadis
III.1.3 Konsep Keuntungan Menurut Ahli Fikih
III.1.4 Ayat-Ayat Tentang Kerugian dalam Al-Qur’an
III.2 Macam-Macam Keuntungan
III.2.1 Keuntungan Duniawi
III.2.2 Keuntungan Ukhrawi
III.3 Perbedaan Antara Laba dan Riba
III.3.1 Definisi Riba
III.3.2 Konsep Keuntungan yang Halal
BAB IV : IMPLEMENTASI
IV.1 Penetapan Harga Berdasarkan Penetapan Laba
IV.2 Batas Penetapan Laba
IV.3 Dampak Terhadap Pasar dan Konsumen
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
V.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I : PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Seluruh aktivitas manusia dimaksudkan untuk motif tertentu. Diantara
motif-motif tersebut adalah motif ekonomi. Dalam ilmu ekonomi, motif seseorang itu dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (maksimal). Pemahaman seperti inilah yang diajarkan dan berkembang dimasyarakat. Manusia mengejar keuntungan finansial meskipun harus menghalalkan segala cara. Asumsi dari pemahaman ini mereka beranggapan bahwa keuntungan finansial adalah tujuan hidup yang harus dicapai. Sehingga munculkan peradaban yang kapitalistik-material. Peradaban ini terbukti menghasilkan manusia-manusia yang egois, serakah dan menindas (dzalim).
Belum lama ini masyarakat diresahkan oleh melonjaknya harga daging sapi. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Tadjuddin Noer Said mengatakan 1 , “Ada semacam jaringan perusahaan besar yang gelap dan telah
menjadi kartel dalam pasar peredaran daging di nusantara.” Sementara itu, para pejabat ada yang terkena dugaan kasus suap impor daging sapi. Gambaran ini adalah gambaran manusia-manusia yang mencari keuntungan finansial pribadi atau kelompoknya saja. Mereka tidak memperhatikan dampak perbuatannya terhadap masyarakat luas. Seorang muslim dan pedagang yang baik, berdagang untuk mencari keuntungan yang halal dan berkah.
I.2. Kerangka Pemikiran Dr. Husein Syahatah mengutip sebuah riwayat dari kitab Ihya’ ‘Ulumuddin
karangan Abu Hamid al-Ghazali tentang Ibnu al-Munkadir 2 . Ketika sedang pergi, pakaiannya yang senilai lima dirham dijual oelh anaknya dengan harga sepuluh
1 http://www.lensaindonesia.com/2013/02/06/waduh-kppu-endus-kartel-perdaran-daging- indonesia.html#r=tkait_thumb_bawah (diakses 5 Maret 2013)
2 Husein Syahatah, hlm. 160.
dirham. Setelah mengetahui hal itu, Ibnu al-Mukadir langsung mencari si pembeli. Setelah sepanjang hari mencari ia menemukan si pembeli yang dimaksud. Ibnu al- Mukadir berkata kepadanya, “Anak saya itu sungguh telah salah menjual kepada Anda, ia telah menjual barang seharga lima dirham dengan sepuluh dirham.” Si pembeli berkata, “Saya merelakannya.” Berkata Ibnu al-Munkadir, “Kalau Anda ridha, tetapi saya tidak ridha kepada Anda, kecuali apa yang kita ridhai untuk kita bersama. Maka pilihalah salahsatu dari tiga pilihan: 1) saya kembalikan kepada Anda yang lima dirham, 2) Anda kembalikan barang saya dan Anda ambil lagi dirham Anda, atau 3) Anda mengambil pakaian yang berharga sepuluh dirham.” Si pembeli berkata, “kembalikan saja yang lima dirham lagi.”
Membaca kisah diatas tentu saja menjadi menarik jika dikaitkan dengan konsep keuntungan. Ibnu al-Mukandir adalah seorang pedagang yang sengaja bersusah payah mengembalikan kelebihan keuntungan yang sudah diperolehnya. Pedagang seperti Ibnu al-Mukandir bukan tidak memiliki motif profit-oriented. Akan tetapi, sebagai dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam kitab tersebut, bahwa siapa yang qana’ah (merasa cukup) dengan laba yang kecil maka akan laris
dagangannya. Orang tersebut akan beruntung karena terjadi banyak transaksi 3 . Bagaimanakah konsep keuntungan seperti yang dijelaskan oleh Al-Ghazali?
Bagaimanakah Al-Qur’an dan Al-Hadis menjelaskan tentang keuntungan? Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang konsep keuntungan menurut Islam. Makalah ini juga akan mengulas implikasi konsep tersebut terhadap perdagangan, khususnya dalam hal penetapan harga.
I.3 Metode Tafsir Maudhu’i Makalah ini ditulis menggunakan metode tafsir maudhu’i. Tafsir Maudhu’i adalah suatu cara menafsirkan al-Quran secara integral dan komprehensif mengenai tema tertentu dengan mengambil berbagai ayat yang terkait dengan
3 Ibid 3 Ibid
Tafsir Maudhu’i sebagai satu metode penafsiran al-Quran, bertujuan hendak mencari jawaban ayat-ayat al-Quran tentang satu permasalahan tertentu 5 . Ayat-
ayat yang menunjuk kepada permasalahan yang sama tersebar dalam surat-surat al-Quran, dihimpun lalu dipahami lewat ilmu-ilmu bantu sesuai dengan konteksnya menuju jawaban-jawaban ayat-ayat tersebut (dilalah) berkenaan dengan masalah yang telah ditetapkan 6 .
Dalam prakteknya, metode ini ada dua macam. Yang pertama, seperti yang digunakan oleh Mahmud Syaltut dalam Tafsir al-Quran al-Karim, yaitu pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh, utuh, dan cermat. Metode ini disebut Tafsir Maudhu’i karena menganggap bahwa satu surat dalam al-Quran pada hakikatnya merupakan satu tema dan mengarah pada satu tujuan. Sekalipun ia mengandung banyak makna dan bagian, pada hakikatnya ia merupakan satu
kesatuan yang bagian-bagian-nya tidak bisa dipisah-pisahkan 7 .
4 Didin S. Buchari, hlm. 222 5 Didin S. Buchari memaparkan beberapa Kaidah dalam Tafsir Maudhu’i. Menurutnya setiap mufassir yang melakukan penafsiran al-Quran secara maudhu’i harus memperhatikan kaidah- kaidah berikut ini:
1. Tugas pokok mufassir adalah menafsirkan ayat dengan ayat (tafsir bilma’tsur), menjelaskan lafadz atau ayat masing-masing; ia harus memfokuskan pada tujuan yakni menafsirkan secara tematis; 2. Tidak menyimpang dari masalah pokok pembahasan. Segala aspek dan rahasia sejauh yang ditunjukkan ayat hendaklah dibahas dan digali; 3. Ingat bahwa al-Quran menetapkan hukum secara berangsur-angsur, karena itu memperhatikan sebab turun ayat akan menolong menghindari kekeliruan pemahaman dibanding dengan hanya memperhatikan lafadznya saja; 4. Penafsiran hendaklah mematuhi langkah-langkah seperti yang telah ditetapkan dan kaidah-kaidah lainnya untuk menghindari kekeliruan yang mungkin terjadi; 5. Tidak memilih-milih ayat tertentu atau sebaliknya menolak ayat lainnya berdasarkan keinginan atau untuk kepentingan justifikasi teori atau konsep sendiri.; 6. Untuk menghindari keterlibatan pemikiran (ar-ra’yu) yang terlalu jauh didalam penafsiran, al-Quran harus dijadikan rujukan atau mengujinya dengan konsep ilmu yang sudah mapan (al-ilm as-shahih). Lihat, Didin S. Buchari, hlm.225-226.
6 Didin S. Buchari, hlm. 222. 7 Ibid, hlm. 222-223.
Kedua, penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama dalam arti membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian mufasir mulai memberikan keterangan dan mengambil kesimpulan. Metode kedua inilah yang sekarang banyak dipakai. Bila kita mendengar istilah tafsir maudhu’i maka yang kita fahami pada umumnya adalah bentuk yang kedua
ini 8 . Didin S. Buchori menjelaskan beberapa langkah yang ditempuh dalam
penerapan metode tafsir maudhu’i, yaitu 9 :
1) Menerapkan masalah atau judul pembahasan. Untuk hal ini beberapa kitab dapat menjadi rujukan, seperti kitab al-Mu’jam al-Mufahrasy li alfadz al- Qur’an karya M. Fuad Baqi, dan kitab al-Hayat karya Muhammad Reza Hakimi, dkk.
2) Menghimpun ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. Misalnya ketika kita sudah menetapkan tema zakat, maka selanjutnya kita humpun seluruh ayat yang menyangkut zakat.
3) Menyusun ayat-ayat tersebut sesuai dengan urutan masa turunnya (makiyah dan madaniyah) dilengkapi sebab nuzul (bila ada).
4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5) Melengkapi pembahasan dengan hadit-hadis yang berkaitan sehingga tafsir yang kita garap menjadi semakin jelas dan lengkap.
6) Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sistematis.
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan, dengan memprihatinkan pengertian-pengertian yang sama atau berlawanan, mengkompromikan antara ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, yang
8 Ibid, hlm. 223. 9 Ibid, hlm. 224-225.
ditopang oleh ilmu-ilmu lainnya, sehingga lahirlah suatu kesimpulan yang sesuai dengan dilalah suatu kesimpulan yang sesuai dengan dilalah ayat tanpa ada semacam pemaksaan dala mpemberian arti.
8) Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah yang diabaikan.
Metode tafsir maudhu’i ini memiliki kelebihan dapat memberi jawaban secara langsung pada persoalan yang ingin dicari jawabannya 10 . Disamping itu pula,
metode
I.4 Sistematika Penulisan Makalah ini akan disusun dengan urutan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN Terdiri dari Latar Belakang, Kerangka Teori, Metode Tafsir Maudhu’i dan Sistematika Penulisan BAB II : KAJIAN TEORITIS Menjelaskan tentang Teori Keuntungan, Teori Ekonomi Mikro Islam, Teori Penawaran dan Permintaan dalam Islam, Mekanisme Pasar Islami, dan Distorsi Pasar Menurut Islam BAB III : PEMBAHASAN Merumuskan Konsep Islam Tentang Keuntungan, melalui Tafsir Surat Al- Baqarah Ayat 16, Konsep Keuntungan Menurut Ahli Fikih, dan Konsep Kerugian dalam Al-Qur’an. Makalah ini juga akan membahas macam-macam keuntungan dan perbedaan antara Laba dan Riba BAB IV : IMPLEMENTASI Pada Bab ini Konsep Keuntungan Islami akan diimplementasikan dalam Penetapan Harga. Kemudian akan dilihat dampaknya terhadap pasar dan konsumen. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Makalah ini ditutup dengan kesimpulan dan saran untuk berbagai pihak yang terkait. DAFTAR PUSTAKA
10 Ibid, hlm. 228
BAB II : KAJIAN TEORITIS
II.1 Mekanisme Pasar Islami
II.1.1 Pengertian Pasar Pasar (market) secara umum merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa. Pasar (market) adalah temapt dimana terjadinya penawaran dan permintaan antara penjual yang ingin menukarkan barang-barangnya dengan uang dan pembelian yang ingin menukarkan uanganya dengan barang dan jasa.Menurut Stanton dalam Sopiandi, Pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta kemauan untuk membelanjakannya 11 .
Sopiandi juga mengutip Mustafa E. Nasution, mengartikan pasar sebagai pertemuan anatara calon pembeli dan calon penjual barang dan jasa. Pembeli datang dengan fungsi permintaan dan penjual dengan fungsi penawaran suatu barang. Dengan demikian terjadilah mekanisme pasar.Hasil pertemuan tersebut memungkinkan terjadinya kesepakatan tingkat harga dan jumlah barang dalam transaksi 12 .
Adapun menurut kajian ilmu ekonomi, pasar adalah suatu tempat atau proses pertemuan antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari suatu barang atau jasa tertentu, sehingga akhirnya dapat menetapkan harga keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang diperdagangkan. Jadi, setiap proses pertemuan antara pembeli dan penjual akan membentuk harga yang disepakati
(harga pasar) antara pembeli dan penjual 13 .
11 Endis Sopiandi, hlm. 13. 12 Ibid, hlm. 13-14 13 Ikhwan Abidin Basri, hlm. 134
II.1.2 Prinsip Dasar Pasar Islami Pasar memiliki peran yang cukup signifikan dalam menggerakan roda
perekonomian. Perputaran barang dan jasa, serta fluktuasi harga yang terdapat di dalamnya dapat mencerminkan aktivitas ekonomi yang sedang berjalan. Dalam Islam, pasar tidak boleh lepas dari norma-norma dan aturan syariah.
Pentingnya pasar dalam Islam tidak terlepas dari fungsi pasar sebagai wadaha bagi berlangsungnya kegiatan jual-beli. Sedangkan jual-beli itu sendiri merupakan aktivitas yang dibenarkan dalam Islam. Dalam Surat al-Baqarah ayat 275, Allah SWT menegaskan kehalal jual-beli (berdagang) dan mengharamkan riba.
Menurut Sopiandi, konsep pasar dalam ekonomi Islam adalah sebuah mekanisme yang dapat mempertemukan pihak penjual dengan pihak pembeli. Adapun penentuan harga ditentukan oleh kekuatan-kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan (demand) dan kekuatan penawaran (supply). Sedangkan pertemuan antara harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut 14 :
a) Ar-Ridha, yakni segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau saling rela antara masing-masing pihak. (lihat, QS An- Nisaa ayat 29)
b) As-Sidq, yakni bersikap dan berbuat jujur serta tidak melakukan kecurangan. (lihat, QS. Al-An’aam ayat 152)
c) Al-‘Adl, yakni sesuai pada aturan dan tidak mendzalimi pihak lain. (lihat, QS An-Nisaa ayat 135)
d) Transparancy, yakni tidak ada hal yang ditutup-tutupi sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam transaksi.
e) Fair Competition, yakni bersaing secara sehat. Tidak menghalalkan segala cara serta merusak pasar.
14 Endis Sopiandi, hlm. 36-39
II.1.3 Harga Pasar Harga menjadi suatu yang sangat penting dalam transaksi jual-beli. Karena
harga merupakan nilai nominal suatu barang yang diwujudkan dala mbentuk uang sebagai kompendsasi nilai instrinsik yang ada pada barang tersebut. Harga juga menjadi ukuran bagi konsumen dalam menilai mutu suatu produk yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Apabila yang diinginkan konsumen adalah barang dengan mutu yang baik, maka tentu harga barang tersebut akan sesuai dengan mutunya 15 .
Buchari Alma dalam Sopiandi mengatakan bahwa dalam teori ekonomi, pengertian harga (price) adalah nilai suatu barang yang dinyatakan dengan uang 16 .
Menurut Adiwarman Karim, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan- kuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut 17 .
Penentuan harga menurut Yusuf Qaradhawi mempunyai dua bentuk ada yang halal dan ada yang haram 18 . Qaradhawi mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah
yang berusaha menggabungkan dua pendapat dalam persoalan penentuan harga 19 . “Penetapan harga ada yang zalim, itulah yang diharamkan dan ada yang adil,
itulah yang dibolehkan,” demikian Ibnu Taimiyah seperti dikutip Qaradhawi. Lebih lanjut Qaradhawi menjelaskan bahwa penetapan harga menjadi haram
jika memaksa penjual untuk harga yang tidak mereka ridhai. Sedangkan jika
15 Ibid, hlm. 39-40 16 Ibid, hlm. 40 17 Adiwarman Karim, hlm. 236 18 Yusuf Qaradhawi, hlm. 257 19 Ada pendapat yang membolehkan, ada pendapat yang mengharamkan 15 Ibid, hlm. 39-40 16 Ibid, hlm. 40 17 Adiwarman Karim, hlm. 236 18 Yusuf Qaradhawi, hlm. 257 19 Ada pendapat yang membolehkan, ada pendapat yang mengharamkan
Berdasarkan logika ekonomi, harga, jika terlalu murah akan merugikan penjual. Sebaliknya, jika harga terlalu mahal akan merugikan pembeli. Harga pasar adalah batas keseimbangan diantara keduanya, sehingga tidak ada yang didzalimi.
Dalam masalahh ini, para ahli fikih juga telah memberikan rumusan dengan istilah ‘thaman al mithl’ sebagai ‘the price of the equivalent’. Konsep ‘the price of the equivalent’ ini mempunyai implikasi penting dalam ilmu ekonomi, yaitu keadaan pasar yang kompetitif. Inilah yang disebut tingkat keseimbangan pasar, dimana terjadi perpotongan antara kurva supply dan demand dalam keadaan ‘an
taraddim minkum 21 .
20 Yusuf Qaradhawi, hlm. 257 21 Adiwarman Kariem, hlm. 152
BAB III : PEMBAHASAN
III.1 Konsep Islam Tentang Keuntungan Istilah ‘keuntungan’ dalam makalah ini adalah sinonim dengan istilah ‘laba’ (indonesia), ‘profit’ (inggris) dan ‘ribh’ (arab).
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ‘laba’ adalah keuntungan atau hasil dari penjualan; manfaat, guna 22 . Sedangkan menurut Al-Mushlih dan
Ash-Shawi, Laba adalah selisih lebih hasil penjualan dari harga pokok dan biaya operasi. Kalangan ekonomi mendefinisikannya sebagai, selisih antara total penjualan dengan total biaya. Total penjualan, yakni harga barang yang dijual, dan total biaya operasional adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam penjualan,
yang terlihat dan tersembunyi 23 . Dalam Kamus Ekonomi Uang & Bank, ‘profit’ didefinisikan sebagai
kelebihan pendapatan atas total biaya. Profit bisa juga diartikan kelebihan harga jual atas harga produk 24 . Raghib Al-Ashafani dalam Mufradaatu Alfaadz al-
Qur’aan mendefinisikan ‘Ribh’ dengan ‘ziyaadatu al-haasilah fie al-mubaaya’ah’ atau tambahan pendapatan dalam perdagangan 25 .
Untuk mengetahui konsep Islam tentang keuntungan perlu diketahui terlebih dahulu tentang perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadis secara utuh. Berikut ini adalah pembahasan ayat Al-Qur’an dan riwayat Hadis seputar keuntungan.
III.1.1 Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 16 Didalam Al-Qur’an, ayat yang berbicara tentang ‘ribh’ hanya ada 1, yaitu surat Al-Baqarah ayat ke-16, yang isinya:
22 EM Zulfajei & Ratu Aprilia Senja, hlm 505 23 Abdullah Al-Mushlih & Shalah Ash-Shawi, hlm. 78 24 Sudarsono & Edilius, hlm. 224 25 Raghib Al-Ashfahani, hlm. 338
“mereka Itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (QS 2:16)
Berikut ini akan dipaparkan pendapat para mufassir tentang ayat tersebut.
a) Tafsir Ibnu Katsir As-Saddi (As-Suda) di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik,
dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.” Yang dimaksud ialah
mereka mengambil kesesatan dan menginggalkan hidayah 26 . Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad Ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah
atau Sa’id Ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk,” yakni membeli kekufuran dan keimanan 27 . Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah pada mulanya mereka beriman, kemudian kafir 28 . Qatadah
mengatakan, maksudnya ialah mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah (petunjuk) 29 .
Kesimpulan dari semua pendapat tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Katsir ialah ‘orang-orang munafik itu menyimpang dari jalan pentunjuk dan
menempuh jalan kesesatan, mereka menukar hidayah dengan kesesatan’ 30 . Selanjutnya Allah Swt. Berfirman: “...Maka tidaklah beruntung perniagaan
mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” Maksudnya, perniagaan
26 Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, hlm. 266 27 Ibid, 267 28 Ibid 29 Ibid 30 Ibid 26 Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, hlm. 266 27 Ibid, 267 28 Ibid 29 Ibid 30 Ibid
Ar-Rifa’i menambahkan, “Yakni, akad jual beli mereka itu tidak beruntung dan tidak
mendapat petunjuk dalam perbuatannya itu. Sesungguhnya mereka telah keluar dari petunjuk kepada kesesatan, dari persatuan kepada perpecahan, dari keamanan kepada ketakutan, dan dari sunnah kepada bid’ah.” 32
b) Tafsir Al-Jami li Ahkamil Qur’an karangan Abdullah Muhammad Al- Qurthubi
Yaitu pada firman Allah ْﻢُﮭُﺗَرﺎَﺠِﺗ ْﺖَﺤِﺑَر ﺎَﻤَﻓ. Allah mendasarkan pengertian laba dagang itu pada kebiasaan bangsa Arab seperti pada ucapan mereka,
ﻚﻌﭙﺑ ﺢﺑر “beruntung daganganmu”, “merugi transaksimu.” Kedua
ungkapan ini berarti “kamu beruntung dan merugi dalam jual beli kamu.” 33
c) Tafsir An-Nasafi karangan Abdullah bin Ahmad An-Nasafi Dikatakan bahwa laba itu ialah kelebihan dari modal pokok dan perdagangan
itu ialah pekerjaan si pedagang. Si pedagang ialah orang yang membeli dan menjual untuk mencari laba. Menyandarkan laba pada perdagangan hanyalah penyandaran metafora (majazi). Karena, arti kalimat ْﻢُﮭُﺗَرﺎَﺠِﺗ ْﺖَﺤِﺑَر ﺎَﻤَﻓ ialah
“perdagangan itu tidak beruntung.” Dengan adanya susunan “membeli kesesatan dengan kebenaran (petunjuk)” sebagai kiasan (majazi), kemudian langsung diikuti dengan menyebutkan laba dan dagang serta mereka tidak mendapat petunjuk dalam perdagangan mereka, seperti para pedagang yang selalu merasakan keuntungan dan kerugian dalam daganganya. Jelasnya, tujuan para pedagang ialah menyelamatkan modal pokok dan meraih laba. Sementara itu, orang-orang yang dicontohkan dalam ayat di atas menyia-
31 Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, hlm. 268 32 Nasib Ar-Rifa’i: hal.88 33 Husein Syahatah, hlm. 145. Lihat, al-Jami’ li Ahkami Al Qur’an pada kitab as-Syu’ab).
nyiakan semua itu, yaitu modal utama mereka al huda (petunjuk), tetapi petunjuk itu tidak tersisa pada mereka karena adanya dhalala (penyelewengan) atau kesesatan dan dan tujuan-tujuan duniawi. Jadi, yang dimaksud dengan ad-dhall ialah orang yang merugi karena orang tersebut tidak dapat menyelamatkan modal utamanya, maka orang seperti ini tidak
bisa dikatakan orang yang beruntung 34 .
d) Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha Dikatakan bahwa sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu lebih
memilih kesesatan (dhalalah) daripada petunjuk (al-huda) demi suatu keuntungan yang mana mereka yakin bisa mendapatkannya dari oranglain. Bentuknya adalah barter antara kedua belah pihak dengan tujuan untuk mendapatkan laba. Inilah makna isytirak (partnership) dan syira’ (membeli) di dalam laba dan membeli. Adapun menyandarkan laba pada perdagangan adalah jelas sekali karena laba itu ialah pertambahan pada hasil dagang. Proses barter ini akan menumbuhkan laba. Karenanya, maksud ayat di atas, seolah- olah dikatakan bahwa tidak ada pertambahan dalam perdagangan mereka, atau mereka tidak mendapat petunjuk dalam perdagangan itu, karena mereka telah menjual petunjuk dan ajaran yang telah diberikan Allah kepada mereka dengan kegelapan taklid, kesesatan hawa nafsu, serta bid’ah-bid’ah yang telah
mengendalikan diri mereka 35 .
e) Tafsir Ruhul Ma’ani karangan Syihabuddin Muahmud Al-Alusi Imam al-Alusi berkata tentang tafsir ayat ini, “Perdagangan itu ialah
pengelolaan terhadap modal pokok untuk mencari laba. Laba itu ialah hasil pertambahan pada modal pokok.” 36
f) Tafsir Al-Quran karangan T. M. Hasbi Ash Shiddieqy
34 Ibid, hlm.145-146] 35 Ibid, hlm.146. Lihat, Tafsir al-Manar) 36 Ibid. Lihat, Ruhul Ma’ani fi Tafsir Al-Quran Al-Karim)
Yakni : Mereka tidak menyukai petunjuk dan perjalanan yang lurus. Mereka condong kepada kesesatan dan memilihnya. Perniagaan mereka adalah membeli kesesatan dengan menjual petunjuk; dan perniagaan itu tidak akan menguntungkan, karena mereka menghilangkan modalnya yaitu bibit iman yang sejahtera dan mereka tidak mengetahui jalan-jalan memperoleh
keuntungan dari perniagaan itu 37 . Orang yang masih mempunyai modal, walaupun rugi, lain kali mungkin akan memperoleh keuntungan. Adapun
orang yang kehabisan modal, tiadalah mungkin berniaga lagi, untuk memperoleh keuntungan 38 .
g) Tafsir Al-Muyassar (1) karangan Hikmat Basyir et. all. Orang-orang munafik itu telah menjual diri mereka dalam sebuah akad jual
beli yang merugi. Mereka menukar iman dengan kekufuran sehingga mereka tidak meraih apapun. Bahkan mereka kehilangan hidayah, dan ini merupakan
kerugian yang sangat fatal 39 .
h) Tafsir Al-Asas karangan Said Hawa. Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa orang munafik menyimpang dari
petunjuk menuju kesesatan, atau mengganti petunjuk dengan kesesatan. Artinya, mereka membayarkan petunjuk yaitu keimanan sebagai harga dari kesesatan yaitu kekafiran. Baik mereka yang pernah beriman kemudian kafir, ataupun mereka yang pada dasarnya cenderung mengikuti kesesatan dan menjauhkan diri dari petunjuk dan hatinya belum pernah disentuh keimanan, walaupun mereka berpura-pura berimana. Transaksi mereka tidak beruntung dan apa yang mereka lakukan bukanlah perbuatan orang-orang yang dapat petunjuk. Qatadah mengatakan: “Demi Allah, barangkali Anda melihat mereka (orang munafik) keluar dari petunjuk menuju kesesatan, dan dari
37 Ash Shiddieqy, 84-85 38 Ibid: 85 39 Hikmat Basyir, hlm.11
Sunnah menuju bid’ah.” Mereka mungkin saja mendapatkan keuntungan duniawi, namun sebenarnya mereka adalah merugi 40 .
i) Tafsir Al Mishbah karangan M. Quraish Shihab 41 Isyarat jauh itulah yang digunakan pada awal ayat ini, mengesankan bahwa
kesesatan mereka, yang disebut sifat-sifatnya dalam ayat-ayat yang lalu, sangat jauh merasuk ke dalam jiwa mereka. Mereka itu yang membeli kesesatan dengan petunjuk, yakni menanggalkan fithrah keberagamaan dan menggantikannya dengan kekufuran. Itu berarti, tidak beruntung perniagaan mereka, dan sejak dahulu sebelum kerugian itu tidaklah mereka termasuk kelompok orang-orang yang mendapat petunjuk dalam perdagangan mereka, atau petunjuk keagamaan,. Itu karena mereka tidak menyiapkan diri untuk menerima dan memanfaatkan petunjuk itu, atau sejak semuala mereka bukanlah orang yang mengetahui seluk-beluk perniagaan, sehingga akhirnya mereka tidak memperoleh keuntungan.
Yang dimaksud dengan kata ( اوﺮﺘﺷا ) isytarau/ membeli adalah menukar.
Akar katanya adalah ( يﺮﺷ ) syara yang berarti “menjual”. Ayat ini
bermaksud menggambarkan keadaan kaum munafik yang bergaul dengan kaum muslimin dengan menampakkan keimanan dan mengenakan pakaian hidayat, tetapi ketika ia menyendiri dengan rekan-rekannya yang durhaka, ia menukan pakaian itu dengan pakaian yang lain yaitu pakaiaan kesesatan. Penukaran itu diibaratkan dengan jual beli untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan itu terlaksana dengan kerelaan sebagaimana layaknya semua jual-beli. Selanjutnya karena setiap jual beli pasti dimotivasi oleh perolehan keuntungan, maka ditegaskan bahwa perniagaan mereka itu tidak menghasilkan keuntungan.
40 Said Hawa, hlm87-88 41 Qurasy Shihab, hlm.109-110
Firman-Nya: ( ) maa kaanuu muhtadin, ada juga yang tidak memahaminya dalam arti tidak mendapat petunjuk dalam usaha mereka menukar, bukan dalam arti tidak mempuanyai pengetahuan tentang seluk beluk perdagangan. Seakan-akan yang ditekankan adalah kesalahan memilih barang dagangan, bukan ketidakmampuan berdagang.
Ayat ini dapat juga diartikan bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan dalam perniagaan mereka, bahkan mereka rugi dan kehilangan modal. Modal yang dimiliki oleh setiap orang adalah fithrah kesucian. Ini mereka abaikan, padahal seharusnya modal tersebut mereka manfaatkan guna memperoleh keuntungan berupa amal-amal shaleh, tetapi nyatanya, jangankan sekedar tidak memperoleh keuntungan, modal pun lenyap karena keimanan tidak menghiasi jiwa mereka.
j) Tafsir Muyassar karangan ‘Aidh Al-Qarni 42 Orang-orang munafik telah menolak petunjuk yang dibawa oleh Muhammad
Saw. sebagai harga dari kesesatan yang mereka beli dan mereka sukai. Sesungguhnya mereka itu telah mengganti sesuatu yang baik dengan sesuatu yag lebih hina.
Sungguh –demi Allah, alangkah buruknya perdagangan mereka itu, dan betapa meruginya transaksi dan perniagaan mereka tersebut. Barangsiapa mengikuti jalan hidup seperti ini, niscaya ia tidak akan pernah mendapatkan hidayah dan petunjuk untuk selama-lamanya.
k) Tafsir Al-Qur’an (1) : Surat Al-Fatihah – Ali ‘Imran karangan Abdurrahman Nashir As-Sa’di 43
“Mereka itulah,” maksudnya orang-orang munafik yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut, “orang yang membeli kesesatan dengan petunnjuk,”
42 Al-Qarni, hlm.17 43 As-Sa’di’, hlm.92 42 Al-Qarni, hlm.17 43 As-Sa’di’, hlm.92
Apabila seseorang mengeluarkan uang dinarnya utnuk mendapatkan uang dirham maka ia pasti rugi. Lalu bagaimanakah orang yang mengeluarkan permata untuk mendapatkan uang dirham? Dan bagaimanakah orang yang mengeluarkan petunjuk untuk mendapatkan kesesatan? Ia lebih memilih kesengsaraan daripada kebahagiaan, serta lebih suka terhadap perkara-perkara yang tidak berarti dengan meninggalkan perkara-perkara yang berguna. Akhirnya tidak beruntunglah perdaganganya tersebut, bahkan ia merugai dalam hal itu dengan kerugian yang paling besar. Mereka itulah orang-orang yang rugi diri mereka dan keluarga mereka pada Hari Kiamat. Camkanlah, bahwa itulah kerugian yang nyata.
l) Tafsir Al-Maraghi karangan Ahmad Mushthafa Al-Maraghi 44 Mereka benar-benar telah membenci petunjuk dan jalan lurus. Bahkan
mereka lebih suka bergelimang dalam kesesatan yang dibeli dengan harga berapa pun juga. Namun, pada kenyataannya perdagangan mereka ini tidaklah membawa keberuntungan. Sebab modal fitrah yang dibawa sejak lahir telah hilang dan dirusak oleh diri mereka sendiri. Selain itu, naluri yang bisa
44 Al-Maraghi,: hlm.90-91 44 Al-Maraghi,: hlm.90-91
Pada dasarnya, orang-orang yang berkelakuan demikian itu tidak mengetahui masalah “perdagangan”. Sebab, jika seorang pedagang mengalami kebangkrutan, ia akan bisa bangkit kembali selama masih mempunyai modal. Tetapi jika modal itu sendiri telah habis dari tangan lantaran kerugian yang diderita, mustahil ia akan bangkit kembali di dalam mencari keuntungan.
III.1.2 Riwayat-Riwayat Tentang Keuntungan dalam Al-Hadis Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan laba, diantaranya,
“Seorang mukmin itu bagaikan seorang pedagang; dia tidak akan menerima laba sebelum ia mendapatkan modal pokoknya. Demikian juga, seorang mukmin tidak akan mendapatkan amalan-amalan sunnahnya sebelum ia menerima amalan-amalan wajibnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis ini, Rasulullah mengumpamakan seorang mukmin dengan seorang pedagang, maka seorang pedagang tidak bisa dikatakan beruntung sebelum ia mendapatkan modal pokoknya. Begitu juga halnya seorang mukmin tidak bisa mendapatkan balasan atau pahala dari amalan-amalan sunnahnya kecuali ia telah melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada amalan fardhunya 45 .
Kata ‘ribhun’ dalam kitab Shahih Bukhari 46 dapat ditemukan dalam banyak tempat. Diantaranya adalah:
(Shahih Bukhari No. 1972) : Telah menceritakan kepada kami Ishaq telah menceritakan kepada kami Habban telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu Al Khalil dari 'Abdullah bin Al Harits dari Hakim bin Hizam radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah". Hammam berkata: "Aku
45 Husein Syahatah, hlm.147 46 Teks (Terjemah) Hadis dan penomoran ayat diambil dari LIDWA (Software Hadis 9 Imam) 45 Husein Syahatah, hlm.147 46 Teks (Terjemah) Hadis dan penomoran ayat diambil dari LIDWA (Software Hadis 9 Imam)
(Shahih Bukhari No. 3370) : Telah bercerita kepada kami 'Ali bin Abdullah telah mengabarkan kepada kami Sufyan telah bercerita kepada kami Syabib bin Gharfadah berkata, aku mendengar orang- orang dari qabilahku yang bercerita dari 'Urwah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah satunya dijual seharga satu dinar, lalu dia menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. Maka beliau mendoa'akan dia keberkahan dalam jual belinya itu". Sungguh dia apabila berdagang debu sekalipun, pasti mendapatkan untung". Sufyan berkata; "Adalah Al Hasan bin 'Umarah yang datang kepada kami dengan membawa hadits ini darinya (dari Syabib). Katanya (Al Hasan); " Syabib mendengar hadits ini dari 'Urwah, maka aku (Sufyan) menemui Syabib lantas dia berkata; "Aku tidak mendengarnya dari 'Urwah". Syabib berkata; "Aku mendengarnya dari orang-orang yang mengabarkan hadits darinya namun aku mendengar dia berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kebaikan senantiasa terikat dengan ubun-ubun kuda hingga hari qiyamat". Dia Syabib berkata; "Sungguh aku telah melihat di rumahnya ada tujuh puluh ekor kuda". Sufyan berkata; "Dia ('Urwah) membeli seekor kambing untuk beliau shallallahu 'alaihi wasallam sepertinya untuk keperluan hewan kurban".
(Shahih Bukhari No. 3644) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Humaid dari Anas radliallahu 'anhu berkata; "Ketika Abdurrahman bin 'Auf tiba di Madinah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mempersaudarakan dia dengan Sa'ad bin Ar Rabi' Al Anshari, lalu Sa'ad menawarkan membagi dua diantara dua istri dan hartanya. Lantas Abdurrahman bin 'Auf berkata; "Semoga Allah memberkahimu pada keluarga dan hartamu. Beritahukanlah pasarnya kepadaku." Lalu dia berjualan dan mendapat keuntungan dari berdagang minyak samin dan keju. Setelah beberapa hari, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihatnya dalam keadaan mengenakan baju dan wewangian. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya
keadaanmu, wahai 'Abdurrahman?" Abdurrahman menjawab; "Aku telah menikah dengan seorang wanita Anshar." Beliau bertanya lagi: "Berapa jumlah mahar yang kamu berikan padanya?" Abdurrahman menjawab; "Perhiasan seberat biji emas atau sebiji emas." Lalu
kepadanya:
"Bagaimana "Bagaimana
Dalam Shahih Muslim terdapat pula riwayat yang menjelaskan tentang keuntungan (ribh). Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abu Shafwan Al Amawi. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan Harmalah bin Yahya keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, keduanya dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Ibnu Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sumpah itu dapat melariskan barang dan menghilangkan barakah keuntungan." (Shahih Muslim No. 3014)
Dari hadis diatas diketahui bahwa laba itu ialah bagian yang berlebihan setelah menyempurnakan modal pokok. Pengertian ini sesuai dengan keterangan tentang laba dalam bahasa Arab maupun al-Qur’an, yaitu pertambahan
(kelebihan) dari modal pokok 47 .
III.1.3 Konsep Laba Menurut Ahli Fikih Para ulama fikih sangat konsen pada bahasan laba dari segi pengertian dan ukurannya, terutama pada studi syirkah (kerjasama), fiqh murabahah (pembagian hasil), dan fikih zakat. Berikut ini dipaparkan beberapa pendapat ulama dalam bidang muamalah:
Berkata Ibnu Quddamah, “Laba dari harta dagangan ialah pertumbuhan pada modal, yaitu pertambahan nilai barang dagang.” Dari pendapat ini bisa dipahami bahwa laba itu ada karena adanyan pertambahan (kelebihan) pada nilai harta yang telah ditetapkan untuk dagang 48 .
Berkata Ibnu Al-Arabi, “Setiap mu’awadhah (barter) merupakan perdagangan terhadap apa pun bentuk barang penggantinya. Si pelaku barter hanya menginginkan kualitas (sifat) barang atau jumlahnya, sedangkan laba adalah kelebihan yang diperoleh oleh seseorang atas nilai barang pengganti.” Dari
47 Husein Syahatah, hlm.147 48 Ibid: hlm.148 (Lihat, al-Mughni Ibnu Quddamah) 47 Husein Syahatah, hlm.147 48 Ibid: hlm.148 (Lihat, al-Mughni Ibnu Quddamah)
Di dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun dikatakan, “Perdagangan ialah usaha untuk mewujudkan pertumbuhan atau pertambahan harta dengan membeli barang dengan murah kemudian menjualnya dengan harta mahal. Apapun jenis barangnya, jumlah pertambahan itualah yang disebutkan laba. Adapun usaha untuk mendapatkan laba itu adalah dengan menumpan barang dan menunggu perubahan pasar dai harga yang murah hingga harga yang mahal sehingga labanya akan lebih besar atau juga dapat dilakukan dengan membawa barang tersebut ke daerah lain yang disana bisa dijual denga harga yang lebih mahal dari harga daerah asal, maka labanya akan lebih besar 50 .
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa laba itu ialah salahsatu jenis pertumbuhan, yaitu pertambahan pada modal pokok yang dikhususkan untuk perdagangan. Dengan kata lain, laba ialah suatu pertambahan pada nilai yang terdapat antara harga beli dan harga jual. Tujuan si pedagang dalam perdagangan ialah untuk menyelamatkan modal pokok dan mendapatkan laba. Jadi, orang yang tidak mendapatkan modal pokoknya tidak bisa dikatakan berlaba atau beruntung 51 .
III.1.4 Ayat-Ayat Tentang Kerugian dalam Al-Qur’an Untuk lebih memahami konsep keuntungan, perlu dijelaskan pula antonim dari ‘laba’, yaitu ‘rugi’. Secara bahasa, ‘rugi’ ialah hancur, binasa, dan hilang, seperti halnya dikatan, “Si Pedagang itu merugi dalam perdagangannya,” berarti kehilangan atau lepas. (lihat, Lisan al-‘Arab karya Ibnu Mandzur). Jadi khasarah (rugi) adalah berkurangnya modal pokok 52 .
Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang didalamnya terdapat lafal khasarah. Diantaranya sebagai berikut:
49 Ibid: hlm.148 50 ) Ibid, hlm.148] (Lihat, Muqaddimah Ibnu Khaldun) 51 Ibid, hlm.148-149 52 Ibid, hlm.149
Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS Al- Muthaffifiin: 3)
Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orang- orang yang merugikan; (Asy-Syu’araa: 181)
Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS Arrahman: 9)
Ayat-ayat tersebut diatas maknanya kurang lebih adalah ‘kurang dari yang semestinya’. Dalam tafsir ayat-ayat ini ada beberapa makna yang berkaitan dengan muamalah, diantaranya: khusr (ﺮﺴﺧ ), khasran ناﺮﺴﺧ ( ), dan khasarah (ةرﺎﺴﺧ) ialah kekurangan atau kerugian pada modal pokok; kemudian digunakan
istilah khasarah (kerugian) itu kepada manusia 53 . Juga ada beberapa ayat lain yang mengandung lafal khasarah dengan pengertian hancur, hilang, kurang,
binasa, sperti yang terdapat dalam ayat-ayat ini:
(1). Demi masa. (2). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, (3). kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(QS Al-Ashr: 1-3)
53 Ibid, hlm.151
Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS Az-Zumar: 15)
(103). Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" (104). Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik- baiknya. (QS Al-Kahfi: 103-104)
Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, Maka Itulah orang- orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami. (QS Al-A’raf: 9)
(68). Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal. (69). (keadaan kamu Hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti Keadaan orang- orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia (68). Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal. (69). (keadaan kamu Hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti Keadaan orang- orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, Maka merekalah orang-orang yang merugi. (QS Al-A’raf: 178)
Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka Itulah orang-orang yang merugi. (QS Al-Ankabut: 52)
Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An-Nisaa: 119)
Dari ayat-ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian khasarah (rugi) menurut Al-Qur’an ialah kehancuran, kehilangan, kekurangan, serta kebinasaan, baik di dunia maupun di akhirat. Adapun dalam muamalah, khasarah berarti kekurangan atau penyusutan pada modal pokok, atau kekurangan pada timbangan dan takaran 54 .
III.2 Macam-Macam Keuntungan Keuntungan terkadang disamakan dengan konsep lainnya yaitu ‘Pertumbuhan’ atau ‘Pertambahan’. Konsep Pertumbuhan, meskipun memiliki irisan makna dengan ‘keuntungan’ akan tetapi sering digunakan untuk hal yang
54 Ibid, hlm.153 54 Ibid, hlm.153
Dalam istilah fikih, pertumbuhan diistilahkan dengan nama’. Yang dimaksud dengan nama’(pertumbuhan) ialah pertumbuhan pada pendapatan atau pada harta dalam jangka waktu tertentu 55 .
Menurut ulama Malikiyah, nama’; terbagi menjadi tiga macam, yaitu 1) Ribh Tijari, 2) Ghallah, 3) Faidah.:
Ar-Ribh at-Tijari (Laba Usaha) Dari hubungan antara laba dan nama’, ribh tijari dapat diartikan sebagai
pertambahan pada harta yang telah dikhususkan untuk perdagangan sebagai hasil dari proses barter dan perjalanan bisnis. Dalam hal ini, ia termasuk laba hakiki sebab laba itu muncul karena proses jual beli. Dalam bentuk ini, laba juga termasuk nama’ yang berkaitan dengan asal harta 56 .
Al-Ghallah Yaitu pertambahan yang terdapat pada barang dagangan sebelum penjualan 57 .
Al-Faidah Yaitu pertambahan pada barang milik yang ditandai dengan perbedaan
antara harga waktu pembelian dan harga penjualan, yaitu sesuatu yang baru dan berkemban dari barang-barang milik 58 .
III.2.1 Keuntungan Duniawi Keuntungan ini adalah keuntungan yang telah disebutkan oleh para Mufasir berupa laba dari hasil usaha, bertambahnya harta, tumbuh berkembangnya bisnis
55 Ibid.155] 56 Ibid.156-157] 57 Ibid.157] 58 Ibid.157] 55 Ibid.155] 56 Ibid.156-157] 57 Ibid.157] 58 Ibid.157]
III.2.2 Keuntungan Ukhrawi Para Mufasir sudah menjelaskan bahwasanya fitrah manusia adalah modal pokok. Maka siapa saja yang kehilangan fitrahnya, ia merugi. Keuntungan secara ukhrawi adalah keuntungan yang hakiki, karena lebih kekal dan lebih besar hasilnya. Kerugian diakhirat digambarkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai kerugian yang besar. Termasuk dalam keuntungan ini adalah amal shalih dan ketakwaan.
III.3 Perbedaan Antara Laba dan Riba
III.3.1 Definisi Riba Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti ziyaadah wa Fadhl
(tambahan dan kelebihan). 59 M. Umer Chapra menukil dari Ibnul Manzhur di dalam kitab Lisaan al-'Arab menulis, ”riba secara literal berarti bertambah,
berkembang atau tumbuh". 60 Allah SWT berfirman, "Lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras." (QS. al-Haqqah:10.)
Yang artinya bertambah terus siksanya. Di dalam ayat lain Allah menyebutkan,
"Kemudian apabila telah kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu, subur dan menumbuhlah berbagai macam tumbuh-tubuhan." (QS. Al-Hajj: 5)
Yakni bertambah besar dan bertambah tinggi. 61 Adapun dalam Istilah syara', riba merupakan tambahan yang didapatkan
atas harta pokok yang diberikan sebagai pinjaman sebagai kompensasi atas
59 A.W Munawwir, Kamus Al Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002, hlm. 469. 60 M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 2000, hlm. 22. 61 Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, hlm. 339.
perbedaan waktu yang ada. 62 Menurut Umar Chapra, riba mengacu kepada pembayaran "premi" yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi
pinjaman di samping pengembalian pokok sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas tempo. 63 al-Mushlih dan ash-Shawi menambahkan, tambahan
khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. 64
Di dalam literatur klasik dapat ditemukan beragam definisi yang dipaparkan oleh ulama Islam berkenaan dengan riba ini. Syafi'I Antonio mengemukakan
beberapa definisi tersebut sebagai berikut: 65
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang kitab Umdatul Qari Syarh Shahih al- Bukhari mengatakan, "prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil."
2. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi mengungkapkan, "riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut."
3. Raghib al-Ashfahani memandang, riba adalah penambahan atas harta pokok.
4. Imam An Nawawi dari mazhab as Syafi'I menjelaskan bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang oleh al Qur'an dan as Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah berkata, "riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan."
6. Zaid bin Aslam berpendapat, yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang
62 Sa'ad Marthon, hlm. 136. 63 M. Umer Chapra, hlm.22 64 Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, hlm. 339. 65 M. Syafi'I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik: hlm. 39-40.
memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata, "bayar sekarang atau tambah!."
7. Mujahid berpendapat, "mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberikan "tambahan" atas tambahan waktu."
8. Ja'far as-Shadiq dari kalangan syi'ah berkata ketika ditanya, mengapa Allah mengharamkan riba?, "supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan". Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia."
9. Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hambali. Ketika beliau ditanya tentang riba, ia menjawab, "sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau akan membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan." Dari sekian pandangan tentang riba seperti yang telah disebutkan diatas
dapat disimpulkan bahwa riba mengandung empat unsur penting. Pertama, tambahan dari pokok harta. Kedua, tempo atau jangka waktu antara dua transaksi. Ketiga, adanya pemberlakuan syarat terhadap tambahan tersebut. Keempat, tidak adanya iwadh (imbalan atau ganti) tertentu.
III.3.2 Konsep Keuntungan yang Halal Melihat ciri-ciri riba, maka ia termasuk dalam pertumbuhan harta. Secara bahasa seolah-olah tidak berbeda antara riba dengan laba. Oleh karena itu Allah SWT menjelaskan perbedaan diantara keduanya dengan ketetapan syar’i. Allah SWT berfirman,
َﻚِﺌَﻟوُﺄَﻓ َدﺎَﻋ ْﻦَﻣَو ِﻪﱠﻠﻟا َﱃِإ ُﻩُﺮْﻣَأَو َﻒَﻠَﺳ ﺎَﻣ ُﻪَﻠَـﻓ ﻰَﻬَـﺘْـﻧﺎَﻓ ِﻪ ﱢﺑَر ْﻦِﻣ ٌﺔَﻈِﻋْﻮَﻣ ُﻩَءﺎَﺟ
( ٢٧٥ ) َنوُﺪِﻟﺎَﺧ ﺎَﻬﻴِﻓ ْﻢُﻫ ِرﺎﱠﻨﻟا ُبﺎَﺤْﺻَأ