PEMETAAN DISTRIBUSI BIOMASSA HUTAN DAN K

Biota Vol. 17 (1): 35−44, Februari 2012
ISSN 0853-8670

Pemetaan Distribusi Biomassa Hutan dan Kaitannya dengan Suhu dan
Intensitas Cahaya Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi
The Mapping of Forest Biomass Distribution and Its Relation with Air Temperature and
Light Intensity through Geographical Information System Approach
Gun Mardiatmoko
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura
Kampus Poka, Jln. Ir. M. Putuhena, Ambon
E-mail: gum_mardi@yahoo.com

Abstract
Information on vegetation distribution and contents of biomass in sequestering carbon is very
important in relation to support Clean Development Mechanism (CDM) and Reducing
Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) project through carbon trade,
and other purposes. A research to study forest biomass distribution by using Geographical
Information System (GIS) has been conducted at forest area of Faculty of Agriculture,
Pattimura University, Ambon. The aim of this research was to know distribution of vegetation,
forest biomass, air temperature, light intensity, and to arrange the database of vegetation and its
biomass contents, air temperature and light intensity through GIS approach. The database can

be used to support CDM or REDD project and efficiency of energy consumption for building
with surrounding vegetation area. The result showed that biomass distribution at the forest area
0.85 ha can be classified at three classes i.e. high biomass 0.39 ha (46%), middle biomass 0.31 ha
(37%), and low biomass 0.15 ha (17%). By using GIS, this forest biomass distribution has been
presented on the map of biomass distribution including map of vegetation, air temperature,
light intensity distribution and its non spatial data.
Key words: biomass distribution, carbon stock, allometric equation, spatial analysis

Abstrak
Informasi mengenai distribusi vegetasi dan kandungan biomassa dalam penyerapan karbon
sangat penting dalam mendukung proyek Clean Development Mechanism (CDM), Reducing
Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) melalui perdagangan karbon dan
tujuan lainnya. Studi mengenai distribusi biomassa hutan dengan Sistem Informasi Geografi
(SIG) telah dilaksanakan pada areal hutan Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon.
Tujuan penelitian adalah mengetahui distribusi vegetasi, biomassa hutan, suhu udara, dan
intensitas cahaya matahari serta menyusun pangkalan data vegetasi hutan berikut kandungan
biomassanya serta suhu udara dan intensitas cahaya matahari melalui pendekatan SIG.
Tesedianya pangkalan data dimaksud akan bermanfaat dalam mendukung proyek CDM atau
REDD dan efisiensi penggunaan energi berbagai gedung yang dikelilingi dengan vegetasi. Hasil
studi menunjukkan bahwa distribusi biomassa pada areal hutan seluas 0,85 ha telah berhasil

diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kelas yaitu sebaran biomasa tinggi 0,39 ha (46%), sedang 0,31
ha (37%), dan rendah 0,15 ha (17%). Melalui penggunaan SIG, distribusi biomassa hutan
tersebut telah dapat disajikan dalam peta distribusi biomassa, termasuk peta distribusi vegetasi,
suhu udara, intensitas penyinaran matahari dan data non spasialnya.
Kata kunci: distribusi biomassa, kandungan karbon, persamaan allometrik, analisis spasial

Diterima: 4 Juli 2011, disetujui: 19 Desember 2011

Pendahuluan
Hutan di berbagai belahan dunia telah
mengalami kerusakan dan menimbulkan banyak

bencana seperti terganggunya tata air suatu
wilayah (terjadinya banjir, kekeringan, erosi,
tanah longsor, dll.) Berkurangnya vegetasi di
permukaan bumi telah telah menyebabkan

Pemetaan Distribusi Biomassa Hutan

naiknya suhu udara. Peningkatan suhu udara

tersebut telah menyebabkan mencairnya es di
kutub yang mengakibatkan meningkatnya tinggi
permukaan laut sehingga menjadi ancaman
serius bagi bangunan hotel, infrastruktur
transportasi, dan areal permukiman yang berada
di tepi pantai, teristimewa penduduk yang
tinggal di pesisir pantai pada pulau-pulau kecil.
Suhu yang tinggi juga memicu meningkatnya
hama dan penyakit yang mengancam kelestarian
tanaman pertanian, perkebunan, hewan ternak,
dll.
Luas hutan pada umumnya semakin
berkurang karena banyaknya lahan hutan yang
beralih fungsi menjadi permukiman, pertanian,
dan perkebunan, pemekaran wilayah perkotaan
serta peruntukan lainnya di luar bidang
kehutanan. Rencana tata ruang perkotaan yang
semula mengalokasikan ruang terbuka hijau
secara cukup namun pada akhirnya menjadi
berkurang karena dijadikan pusat-pusat

pengembangan bisnis baik pengembangan
perkantoran, pusat perbelanjaan dll. Semakin
berkurangnya vegetasi baik di kawasan hutan
maupun non hutan akan terus memicu
terjadinya pemanasan global sehingga perlu
dicarikan solusinya.
Beberapa solusi yang telah dilakukan
diantaranya adalah upaya pengelolaan bencana
berupa tindakan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim yang dikaitkan dengan
perdagangan karbon (carbon trading) yaitu
melalui program Mekanisme Pembangunan
Bersih (Clean Development Mechanism-CDM)
dan pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (Reducing Emissions from
Deforestation and forest Degradation-REDD).
Menurut Tandelilin (2004), negara yang tidak
memiliki lahan memadai untuk konservasi
sumberdaya alam dalam rangka mereduksi
GRK (gas rumah kaca) akan cenderung

mengalami carbon debit (CD) yang berarti
menghasilkan GRK lebih besar dari reduksi
GRK sehingga jika tidak mampu menetralisir
karbon sesuai kesepakatan Protokol Kyoto
akan terkena sanksi. Sebaliknya, akan terdapat
beberapa negara yang mampu mereduksi GRK
lebih besar dari GRK yang dihasilkan sehingga
akan cenderung mengalami carbon credit (CC).
Mekanisme
dalam
Protokol
Kyoto
mengakomodasi
kesulitan
negara-negara

36

industri yang mengalami CD dan kelebihan
negara-negara yang menghasilkan CC melalui

perdagangan kabon.
Dalam Protokol Kyoto para pihak
melaporkan emisi dari sumber dan penyerapan
CO2 dan gas lainnya oleh kegiatan LULUCF
(Land Use, Land Use Change of Forestry)
yaitu aforestasi (A), reforestasi (R) dan
deforestasi (D) yang terjadi sejak tahun 1990.
Berdasarkan Pedoman Praktik yang baik dari
IPCC-NGGIP (2003) untuk LULUCF yang
terkait dengan pengukuran biomassa yaitu
diperlukannya penggunaan citra satelit dalam
mengkaji penutupan lahan untuk memperoleh
pendugaan total area, persentase kelas
penutupan lahan atau batas geografis. Dalam
upaya untuk mengukur, memantau dan
menduga perubahan stok karbon dan emisi gas
non-CO2 dibutuhkan penyusunan baseline,
stratifikasi wilayah proyek dan penyusunan
rencana pemantauan, termasuk jaminan
kualitas dan rencana kendali mutu. Rangkaian

kegiatan tersebut akan dapat dijalankan dengan
baik menggunakan SIG karena sistem ini
mampu mengintegrasikan data dari berbagai
sumber, misalnya untuk mengidentifikasi dan
menstratifikasi wilayah proyek kedalam
beberapa wilayah yang memiliki kesamaan,
perubahan biomassa dari tahun ke tahun dapat
diikuti melalui pembuatan peta digital sehingga
memudahkan dalam pemutakhiran peta
perubahan stok karbon dll.
Solusi lainnya yaitu penambahan jumlah
vegetasi untuk kawasan non hutan terutama di
kawasan metropolitan dan pusat-pusat bisnis.
Saat ini negara maju seperti Amerika, Eropa
Barat, Jepang, dan Korea telah melakukan
pembangunan kota dengan menitikberatkan
pada aspek keberlanjutan (sustainability)
melalui konsep kota kompak (compact city),
kota sehat (healthy city), kota ekologis atau kota
hijau (green city), dll. Keberadaan kota perlu

ditata kembali agar ada keseimbangan antara
daerah ’hijau’ dengan ’non hijau’ sehingga
tercapai lingkungan perkotaan yang layak huni
yaitu dengan mempertahankan dan melestarikan
ruang terbuka hijau (RTH) kota. Sebagai salah
satu unsur kota yang penting khususnya dilihat
dari fungsi ekologis, maka sudah seharusnya
RTH Kota (Urban Green Open Space)
dipandang sebagai salah satu komponen vital

Biota Vol. 17 (1), Februari 2012

Gun Mardiatmoko

pembangunan kota (Anonim, 2010). Teknologi
yang digunakan untuk mewujudkan green city
adalah penerapan teknologi taman atap modern
(roof garden atau green roof). Sistem taman
atap ini berisikan atap bangunan yang
melibatkan sistem pembentukan kedap air yang

tinggi dan penolakan penerobosan akar ke
bagian atap, sistem drainase, lapisan penyaring,
media tumbuh yang ringan serta vegetasi yang
ditanam di atas atap (Anonim, 2009). Taman
atap modern ini tidak saja mempercantik rumah
atau bangunan perkantoran tetapi juga
memberikan nuansa hijau dan menyehatkan
lingkungan di sekelilingnya (Rodgers, 2010).
Dari uraian di atas maka berbagai upaya
untuk penurunan suhu udara di bumi perlu
diusahakan dengan melakukan penambahan
atau penanaman vegetasi baru yang sebanyakbanyaknya baik pada kawasan hutan maupun
non hutan teristimewa wilayah perkotaan.
Berdasarkan kenyataan yang empiris (empirical
data ), dalam kehidupan sehari-hari telah
dirasakan oleh manusia bahwa berjalan ataupun
melakukan kegiatan di hutan akan merasa lebih
sejuk, nyaman karena suhu lebih rendah, mata
tidak silau karena cahaya matahari terhalang
oleh rimbunnya tajuk pohon penyusun hutan

dan dalam nuansa hijau jika dibandingkan
dengan beraktivitas pada daerah tak bervegetasi.
Dari kenyataan empiris tersebut maka proses
menghutankan kembali kawasan hutan dan non
hutan ini perlu dilengkapi dengan pemantauan
dan evaluasi melalui kajian ilmiah yaitu
penelitian mengenai pemetaan distribusi
biomassa dan kaitannya dengan suhu udara dan
intensitas cahaya matahari melalui pendekatan
Sistem Informasi Geografi (SIG). Sistem ini
merupakan sistem yang menekankan pada unsur
“informasi geografis”, yang merupakan bagian
dari spasial atau keruangan. Istilah “informasi
geografis” mengandung pengertian informasi
mengenai tempat-tempat yang terletak di
permukaan bumi, pengetahuan mengenai letak
obyek di permukaan bumi, dan informasi
mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang
terdapat di permukaan bumi yang posisinya
diberikan atau diketahui (Prahasta, 2001).

Penelitian ini bertujuan mengetahui
distribusi vegetasi, biomassa hutan, suhu udara,
dan intensitas cahaya matahari serta menyusun
pangkalan data vegetasi hutan berikut

Biota Vol. 17 (1), Februari 2012

kandungan biomassanya serta suhu udara dan
intensitas cahaya matahari melalui pendekatan
SIG. Pangkalan data tersebut dimanfaatkan
untuk mendukung program CDM atau REDD
dan efisiensi penggunaan energi berbagai
gedung yang dikelilingi dengan vegetasi.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada areal hutan
Fakultas Pertanian Unpatti, Ambon seluas 0,85
ha yang terletak di sekeliling gedung fakultas
dengan metode survei. Obyek penelitian adalah
semua vegetasi hutan dengan bahan serta alat
yang dipakai yaitu label pohon, cat, tally sheet,
kantong plastik, meter rol, GPS, thermohygrometer, light meter, phi band, kompas,
timbangan digital, oven, sekop/cangkul/tropol/
parang/arit, saringan, tali, cawan petrik,
mangkok, ember, gayung, serta perangkat
personal computer dan perangkat lunaknya
(analisis SIG menggunakan Software ArcViewArcInfo) serta penggunaan meja digitizer untuk
pemetaan vegetasi, biomassa, suhu udara, dan
intensitas cahaya.
Tahapan cara kerja yang dilaksanakan
yaitu melakukan orientasi lapangan dan
memetakan lokasi areal hutan Fakultas
Pertanian Unpatti. Melaksanakan timber
cruising 100% semua vegetasi dari tingkat
pertumbuhan semai, sapihan, tiang, dan pohon
menggunakan jalur-jalur transek 20 x 20 m
termasuk pencatatan posisi vegetasinya dengan
GPS. Data distribusi vegetasi yang diperoleh
kemudian dibuat peta titik (point map) dengan
meja digitizer dan dilanjutkan penaksiran
kandungan biomassanya. Biomassa vegetasi
tingkat sapihan, tiang, pohon, dan juga pohon
mati ditaksir dengan persamaan alometrik
dengan peubah diameter setinggi dada. Tata
cara penaksiran biomassa rumput, semak
belukar, semai, dan seresah mengikuti pedoman
LULUCF (IPCC-NGGIP, 2003) yaitu dengan
cara dipanen atau pemotongan vegetasi melalui
penggunaan ring sampel (bentuk lingkaran,
luas 0,5 m2) sekaligus mendigitazi kedudukannya
dengan meja digitizer. Hasil sampel kemudian
dikeringkan, sehingga didapat perhitungan
rasio antara bobot kering terhadap bobot basah
sesuai hasil kering tanur/oven. Menetapkan

37

Pemetaan Distribusi Biomassa Hutan

tempat pengukuran perubahan suhu dan
intensitas
penyinaran
matahari
secara
sistematik dengan jarak 40 x 40 m merata
keseluruh areal hutan dan pengukuran
dilakukan setiap hari pada jam 09.00, 12.00,
dan 15.00. Kedudukan semua tempat
pengukuran tersebut dipetakan dan dari hasil
pengukuran diolah melalui pengoperasian SIG
sehingga diperoleh peta distribusi perubahan
suhu dan peta intensitas penyinaran matahari.
Analisis data yang dilaksanakan sesuai kondisi
hutan di areal studi yaitu hutan tropika basah
menggunakan persamaan alometrik untuk
menduga biomasa pohon bagian atas tanah: Y
= 21,297 - 6,593 * (DBH) + 0,740 * (DBH)2,
(IPCC-NGGIP, 2003). Pengukuran nekromassa
(bagian tanaman mati) pada permukaan tanah
dilakukan dengan pengambilan contoh
nekromassa yang berdiameter 5 30 cm yang
tedapat pada areal studi. Pada umumnya berat
jenis kayu mati itu sekitar 0,4 g/cm3, namun
dapat juga bervariasi tergantung pada kondisi
pelapukannya.
Semakin
lanjut
tingkat
pelapukan kayu, maka berat jenisnya semakin
rendah (Adinugroho, 2006). Persamaan ratarata (mean) untuk menghitung data hasil
pengambilan ring sampel serasah, biomassa
pohon, tiang, pancang, semai, rumput dan
semak belukar serta besaran suhu dan intensitas
sinar matahari yaitu rata-rata hitung:
X = ∑ Xi / n
Melalui analisis data spasial pada SIG, petapeta titik dari vegetasi, biomassa, suhu udara
dan intensitas cahaya dapat diubah menjadi
peta-peta raster melalui cara interpolasi titik
Voronoi Tesselation menjadi peta distribusi
vegetasi, biomassa, suhu udara dan intensitas
cahaya (ILWIS, 2001)

Hasil dan Pembahasan
Hasil timber cruising pada areal hutan
diperoleh jumlah vegetasi tingkat pohon: 95
batang dengan total luas bidang dasar 10,24 m2,
tingkat tiang-sapihan: 16 batang dengan total
luas bidang dasar 0,37m2 yang menyebar secara
kelompok (kluster). Jenis vegetasinya yaitu
Tectona grandis, Samanea saman, Theobroma

38

cacao,
Pterocarpus
indicus,
Fillicium
decipiens, Protium javanicum, Anthocephalus
cadamba, Cassia siamea, Swietenia mahagoni,
Adenanthera
pavonina,
Agathis
alba,
Eusideroxylon zwageri, Casuarina sp. dan
Metroxylon sp. Sebaran luas bidang dasar
tingkat pohon dan tiang-sapihan ini akan
menentukan pula sebaran biomassanya karena
semakin besar diameter atau luas bidang
dasarnya akan memperbesar juga kandungan
biomassa pada vegetasi tersebut.
Distribusi pohon yang berkelompok
menandakan bahwa awal penanaman pohon di
areal
kampus
mengikuti
pola
atau
pengelompokan tertentu. Jenis rumput dan
semak belukar yang mendominasi areal hutan
yaitu Cyperus rotundus, Imperata 38ylindrical,
Catharanthus roseus dan Acalypha australis,
Eupatorium odorarium, Ficum septicum,
Mimosa pudica. Melalui aplikasi SIG sebaran
pohon yang telah diketahui posisi masingmasing dapat dipetakan dan setelah dikaitkan
dengan tutupan tajuk dari citra satelit yang
diperoleh dari Google Earth maka didapatkan
peta distribusi vegetasi, seperti disajikan pada
Gambar 1. Pada gambar tersebut, zona hijau
tua menunjukkan kumpulan vegetasi tingkat
semai, pancang, tiang, dan pohon sedang zona
hijau muda menunjukkan rerumputan dan
semak belukar sedang bidang beraturan disitu
merupakan bangunan gedung fakulltas dengan
kenampakan warna hitam.
Hasil pengukuran biomassa pada areal
hutan diperoleh jumlah biomassa total vegetasi
tingkat pohon 1.557 kg, tingkat tiang-sapihan
16 kg dan penyebarannya juga mengikuti
sebaran vegetasinya yaitu berkelompok
(kluster) sedang total biomassa kayu mati (BJ =
0,7) sebesar 287 kg. Rata-rata kandungan
biomassa semak belukar per petak ukur yaitu
708,4 g/0,5 m2; rumput-rumputan di daerah
terbuka 321,9 g/0,5 m2 dan di bawah tegakan
hutan 207,6 g/0,5 m2; seresah di daerah terbuka
362,5 g/0,5 m2 dan di bawah tegakan hutan
688,5 g/0,5 m2. Berdasarkan hasil pengukuran
biomassa maka kandungan biomassa vegetasi
tingkat pohon paling tinggi diikuti dengan
tingkat tiang-sapihan. Ini menunjukkan dimensi
pohon yang makin besar (misalnya diameter
dan tinggi) akan memiliki kandungan biomassa
yang tinggi pula. Kandungan biomassa rumput

Biota Vol. 17 (1), Februari 2012

Gun Mardiatmoko

di daerah terbuka lebih besar dibanding di
bawah tegakan karena rumput merupakan jenis
suka cahaya sehingga kepadatan rumput di
daerah terbuka lebih besar dibanding di bawah
tegakan hutan. Sebaliknya, seresah di bawah
tegakan hutan lebih besar dibanding di daerah
terbuka karena pohon dalam proses peluruhan
daun, ranting, dan cabangnya saat jatuh ke
tanah memiliki jangkauan yang terbatas dan
lebih banyak terkumpul di bawah tajuk pohon.
Melalui aplikasi SIG, distribusi vegetasi yang
telah dihasilkan pada Gambar 1, dapat diubah
menjadi distribusi biomassa karena data
vegetasi yang semula berupa luas bidang dasar
telah dikonversikan ke biomassa melalui

persamaan allometrik dan hasil pengukuran
biomassa melalui ring sample. Distribusi
biomassa ini kemudian diklasifikasikan
kedalam tiga kelas potensi karbon yaitu tinggi,
sedang, dan rendah. Hasilnya adalah luas
distribusi biomasa tinggi 0,39 ha (46%), sedang
0,31 ha (37%) dan rendah 0,15 ha (17%). Peta
distribusi biomassa tersebut disajikan pada
Gambar 2, warna hijau, putih dan kuning
berturut-turut menunjukkan potensi karbon
tinggi, sedang dan rendah. Bangunan gedung
fakultas pada Gambar 2 sengaja tidak
ditampilkan seperti yang disajikan pada
Gambar 1 karena ingin memperjelas tampilan
klasifikasi potensi karbonnya.

Gambar 1. Peta distribusi vegetasi di areal studi.

Gambar 2. Peta sebaran potensi karbon, sebaran suhu dan
intensitas cahaya.

Biota Vol. 17 (1), Februari 2012

39

Pemetaan Distribusi Biomassa Hutan

Cahaya merupakan faktor penting karena
berperan dalam proses fotosintesis yang
hasilnya dipakai untuk pertumbuhan vegetatif
dan generatif suatu tumbuhan. Pada umumnya
setiap jenis tanaman membutuhkan cahaya
berbeda-beda. Di bidang kehutanan banyak
jenis pohon saat muda tidak membutuhkan
banyak cahaya atau perlu naungan namun
setelah dewasa justru banyak membutuhkan
cahaya. Dengan demikian, salah satu faktor
yang membentuk struktur dan komposisi jenis
vegetasi penyusun suatu hutan adalah cahaya.
Menurut Marjenah (2001) yang mengadakan
penelitian jenis Shorea pauciflora dan Shorea
selanica mengemukakan bahwa pertumbuhan
tinggi dan diameter tanaman dipengaruhi oleh
cahaya, pertumbuhan tinggi lebih cepat pada
tempat ternaung daripada tempat terbuka.
Sebaliknya, pertumbuhan diameter lebih cepat
pada tempat terbuka daripada tempat ternaung
sehingga tanaman yang ditanam pada tempat
terbuka cendrung pendek dan kekar. Sudut
percabangan tanaman lebih besar di tempat
ternaung daripada tempat terbuka.
Hasil pengamatan intensitas penyinaran
matahari dan suhu udara di areal hutan adalah
intensitas penyinaran matahari pada tempat
berhubungan erat dengan curah hujan dan hari
hujan di tempat tersebut. Pada suatu tempat
dalam satu bulan penuh hari hujan dan curah
hujannya tinggi berarti udara selalu tertutup
awan dan sinar matahari terhalang oleh awan
sehingga intensitas penyinarannya lebih
rendah. Secara umum, keadaan iklim pada
lokasi penelitian pada dasarnya sama dengan
iklim di kota Ambon yaitu iklim laut tropis dan
iklim musim dengan data curah hujan rata-rata
tahun 2006 dari Badan Meteorologi dan
Geofisika yang berlokasi di desa Laha yaitu
199,9 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 15,7
hari. Hasil pengamatan intensitas penyinaran
matahari pada areal hutan adalah pengamatan
pada pagi hari jam 09.00, siang hari jam 12.00
dan sore hari jam 15.00 rata-rata intensitas
penyinaran matahari untuk daerah terbuka
sangat berfluktuasi yaitu berturut-turut 439 lux,
522 lux dan 118 lux, untuk daerah sedikit
naungan tidak begitu berfluktuasi dan
cenderung menurun yaitu berturut-turut 192
lux, 124 lux, dan 52 lux. Daerah di bawah
naungan juga relatif stabil yaitu berturut-turut

40

20 lux, 15 lux, dan 16 lux. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin suatu daerah itu tertutup oleh
vegetasi akan semakin kecil intensitas
penyinaran karena banyak sinar matahari yang
terhalang oleh tajuk hutan. Sebagai ilustrasi,
disajikan distribusi intensitas cahaya pada jam
12.00 (Gambar 3). Distribusi intensitas cahaya
rendah disajikan dengan warna yang lebih
gelap seperti biru tua, biru muda, hijau, dan
semakin tinggi intensitasnya disajikan dengan
warna kuning ke merah. Dari distribusi
intensitas cahaya tersebut secara umum mirip
dengan distribusi vegetasi maupun kandungan
biomassanya. Lokasi distribusi intensitas
cahaya yang rendah berada pada lokasi vegetasi
yang padat dan lokasi kandungan biomassa
yang tinggi dan sebaliknya pada lokasi
distribusi intensitas cahaya yang tinggi berada
pada lokasi vegetasi yang jarang (rerumputan
dan semak belukar).
Hasil pengamatan suhu pada areal hutan
adalah pengamatan pada pagi hari jam 09.00,
siang hari jam 12.00 dan sore hari jam 15.00
rata-rata suhu udara sangat berfluktuasi baik
pada daerah terbuka, sedikit naungan maupun
di bawah naungan. Rata-rata suhu udara untuk
daerah terbuka yaitu berturut-turut 30oС, 36oС,
dan 35oС. Daerah sedikit naungan yaitu
berturut-turut 29oС, 35oС, dan 33oС. Daerah di
bawah naungan yaitu berturut-turut 27oС, 34oС,
dan 31oС. Meskipun suhu udara berfluktuasi
dari pagi, siang, dan sore hari namun suhu
udara pada daerah yang terbuka selalu lebih
tinggi dari daerah di bawah naungan baik di
pagi, siang, dan sore hari. Hal ini menunjukkan
bahwa vegetasi penyusun hutan sangat
berperan dalam penurunan suhu udara yang
didukung dengan adanya intensitas cahaya
yang makin rendah pada areal hutan. Pada areal
hutan secara keseluruhan, rata-rata suhu udara
bergerak meningkat dari pagi hari dan
mencapai puncaknya pada siang hari jam 12.00
dan setelah itu menurun lagi pada sore hari jam
15.00. Meskipun rata-rata suhu udara pada sore
hari jam 15.00 tersebut menurun namun relatif
masih lebih tinggi jika dibanding rata-rata suhu
udara pada pagi hari jam 09.00. Sebagai
ilustrasi, disajikan distribusi suhu udara pada
jam 12.00 pada Gambar 4.
Peta distribusi suhu udara ini tidak jauh
berbeda dengan peta distribusi intensitas

Biota Vol. 17 (1), Februari 2012

Gun Mardiatmoko

cahaya. Distribusi suhu udara rendah disajikan
dengan warna yang lebih gelap seperti biru tua,
biru muda, hijau dan semakin tinggi suhunya
disajikan dengan warna kuning ke merah. Dari
distribusi suhu tersebut secara umum mirip
dengan distribusi vegetasi maupun kandungan
biomassanya. Lokasi distribusi suhu yang
rendah berada pada lokasi vegetasi yang padat
dan lokasi kandungan biomassa yang tinggi dan
sebaliknya pada lokasi distribusi suhu yang
tinggi berada pada lokasi vegetasi yang jarang
(rerumputan dan semak belukar). Pardede
(2010) telah memetakan sebaran suhu dan
hubungannya terhadap penutupan lahan (land
cover ) menggunakan data citra satelit Landsat
TM 5 di kota Medan dan Kabupaten Deli
Serdang. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa suhu permukaan >29,38oC memusat di
kota Medan dan suhu permukaan