PERAN BENTUK MANFAAT KENDALA DAN KEBERLA
PERAN, BENTUK, MANFAAT, KENDALA DAN KEBERLANJUTAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM USAHA MENDUKUNG PROGRAM PELESTARIAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh
ANIL FANSYORI
A. Latar Belakang
Isu Lingkungan
Lingkungan hidup adalah kesatuan rung dengan semua benda, dengan keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Annawaty, 2011). Dalam beberapa
tahun belakangan ini, isu-isu permasalahan lingkungan seperti perubahan iklim, deforestasi,
kebakaran hutan, sampah, air bersih, gas rumah kaca dan sebaginya seakan-akan menjadi
primadona dan menjadi topik yang menarik untuk dijadikan sebuah studi. Bahkan dalam
beberapa aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia maupun
internasional, telah menjadikan kajian lingkungan hidup sebagai syarat dalam penyusunan
dokumen perencanaan. Contoh: KLHS menjadi syarat dan landasan dalam penyusunan
rencana tata ruang (RTRW/RDTR). Undang-undang penataan ruang nomor 26/2007 juga
mengamanatkan penyediaan 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam setiap perencanaan
ruang baik pusat maupun daerah. Kebijakan-kebijakan di atas tidak lain untuk menciptakan
lingkungan hidup yang harmonis, berkelanjutan dan nyaman serta sebagai bentuk minimalisir
dampak bencana alam.
Munculnya fenomena-fenomena tersebut merupakan reaksi dari efek pemanasan global yang
mulai dirasakan oleh manusia. Pertanyaannya siapa sajakah pihak-pihak berkontribusi dalam
upaya menjaga keberlangsungan dan pengelolaan lingkungan sebagai langkah nyata
pencegahan atau pengurangan efek perubahan iklim yang semakin dirasakan saat ini?, bentuk
kerjasama seperti apa yang paling efektif ? sejauh mana keterlibatan masyarakat dan kendala
apa saja yang sering ditemukan dilapangan?.
Goverment to Governance
Dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma birokrasi akibat perkembangan dunia
birokrasi. Pergeseran paradigma yang dimaksud adalah pergeseran dari goverment menjadi
governance. Governance merupakan tata pemerintahan, yang tidak hanya dalam pengertian
struktur dan manajemen lembaga eksekutif, tetapi didalam pengertian governance terdapat
dua aktor lain yaitu privat sector (sektor swasta) dan civil society atau masyarakat madani
(Laksana, 2008). Melaui governance, diharapkan terciptanya kolaborasi dalam kesetaraan
dan keseimbangan antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat.
Pelaksanaan governance menuntut pemerintah untuk lebih sering berinteraksi langsung
kepada masyarakat dalam berbagai bidang, mulai dari bidang sosial, ekonomi, politik maupun
yang berkaitan dengan isu lingkungan hidup. Untuk kasus lingkungan hidup, banyak ahli
berpendapat bahwa hanya negara-negara maju saja yang dapat melakukan aksi
penyelamatan lingkungan secara masif, kekuatan finansial dan politik memungkinkan hal itu
tercapai. Tetapi tidak dengan negara berkembang, sebagai negara yang sedang membangun
faktor lingkungan bukan menjadi pertimbangan utama, perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi biasanya selalu menjadi prioritas utama. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang, tetapi bukan berarti Indonesia membangun kekuatan ekonomi
dengan
mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan. Indonesia dianugrahi adat istiadat, tradisi dan
kebiasaan masyarakatnya yang unik, masyarakat Indonesia sejak dahulu telah akrab dan
bersahabat dengan alam ditambah lagi masyarakat Indonesia terkenal ramah, sensitif, tempa
selera dan peduli. Keunggulan sosial masyarakat tersebut seharusnya dapat dimaksimalkan
oleh
pemerintah
untuk
memulai
dan
mengimplementasikan
program-program
pembangunan berbasis lingkungan hidup. Dengan kata lain jika pemerintah ingin ikut
berpartisipasi dalam gerakan penyelamatan lingkungan internasional dan penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia, maka kekuatan terbesarnya adalah pertisipasi masyarakat
(citizen participation).
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam programprogram pembangunan baik itu dalam proses perencanaan, implementasi maupun evaluasi
(Nuring Septyasa Laksana, 2008). Partisipasi dalam arti yang lebih luas bukan hanya sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam setiap program pembangunan tetapi partisipasi juga
bermakna kesadaran masyarakat untuk menciptakan kualitas kehidupannya dengan
melakukan tindakan yang secara tidak sadar telah ikut mendukung program pembangunan
(bottom up approach). Sebagai contoh seorang ibu menanam bunga atau buah-buahan di
perkarangannya dengan maksud untuk menambah keindahan rumah dan lingkungan, tetapi
secara tidak sadar ibu tersebut telah ikut berpartisipasi dalam program pencegahan
perubahan iklim dan konservasi lingkungan.
Arnstein, 1996 mengurutkan bentuk partisipasi masyarakat ke dalam 3 tingkatan utama, yaitu
1) no power (tanpa kekuatan); 2) degree of tokenism (pemberi masukan/simbolik) dan 3)
degree of citizen power (kekuatan masyarakat). Pada tingkat no power, masyarakat diberi
pelatihan oleh pemerintah dan tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan karena keputusan
sudah ditentukan oleh pemerintah (top down approach). Pada tingkatan ini, masyarakat
dapat menjadi informan dari isu-isu yang berkembang dan sedikit sekali memberikan
pengaruh terhadap pengambilan keputusan (manipulation, decoration and informing).
Tingkat kedua terdiri dari cansultation, placation dan partnership. Pada tahap ini masyarakat
dapat menjadi informan kunci dan memberikan masukan tetapi tidak akan bayak
berpengaruh terhadap keputusan akhir. Peran terbesar masyarakat pada tingkatan ini adalah
ketika keputusan yang diambil merupakan hasil diskusi bersama antara masyarakat dan
pemerintah. Tingkat tertinggi menurut Arnstein adalah tingkat dimana masyarakat memiliki
kekuatan yang besar. Pada tahap ini pemerintah sebagai penyusun agenda pelaksanaan,
tetapi masyarakat diberikan keleluasaan untuk mengatur beberapa aspek dan memberikan
inisiatif aksi, keputusan merupakan hasil bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pada
tahap tertinggi dari tingkatan partisipasi masyarakat adalah ketika masyarakat diberi
keleluasaan untuk menyusun agenda pelaksanaan, mengatur semua aspek di dalamnya dan
merencanakan sendiri program atau desain pelaksanaan kegiatan partisipasi tersebut.
Tingkat partisipasi masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan konservasi dan
pengelolaan lingkungan sangat bervariasi, dibeberapa kasus ditemukan masyarakat hanya
berpartisipasi pada tingkatan terbawah, peran pemerintah sangat dominan, dilain kasus
dijumpai partisipasi masyarakat telah mencapai tingkat tertinggi, masyarakat bertindak
sebagai inisiator, penggerak, pelaksana bahkan sebagai mentoring. Bahkan terkadang
pemerintah dipaksa untuk belajar kepada masyarakat, bagaimana konsep partisipasi yang
benar dan seperti apa tindakan yang paling efektif dan telah terbukti di lapangan.
B. Pembahasan
Bab pembahasan ini lebih ditekankan pada bagaimana persepsi masyarakat terhadap
pelestarian dan pengelolaan lingkungan, manfaat partisipasi, bentuk-bentuk efektif dari
partisipasi, faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi, kendala yang dihadapi dan
bagaiman menjaga keberlanjutan partisipasi masyarakat terkait pelestarian dan pengelolaan
lingkungan.
Persepsi Masyarakat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat
Asma Lutfhfi dan Atika Wijaya dalam jurnalnya yang berjudul Persepsi Masyarakat Sekaran
Tentang Konservasi Lingkungan, 2011, menyimpulkan bahwa persepsi masyarakat tentang
konservasi lingkungan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas masyarakat sebagai petani.
Mengolah lahan pertanian sebagai aktifitas sehari-hari merupakan bagian dari upaya
melestarikan lingkungan. Persepsi terbentuk dari sejauh mana tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap alam. Pada intinya, perubahan sosial (mata pencaharian) menjadi
barometer perubahan persepsi dan tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat untuk
konservasi lingkungan. Lain halnya dengan kesimpulan yang dikeluarkan oleh Patabang, 2010
dalam tesisnya mengatakan bahwa persepsi partisipasi masyarakat dan tingkat keberhasilan
partisipasi dalam pengelolaan lingkungan kumuh lebih dominan dipengaruhi oleh faktor
kepemimpinan, sumber daya, dan kapasitas organisasi kemasyarakatan. Penguatan faktorfaktor di atas akan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat.
Faktor sosial, kepemimpinan, sumber daya dan kapasitas organisasi kemasyarakatan sangat
mempengaruhi tingkat partisipasi tetapi faktor yang paling penting adalah tingkat kesadaran
masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, tanpa adanya kesadaran program-program
berbasis masyarakat tidak sepenuhnya dapat terealisasi. Kesadaran masyarakat dapat
terbentu dari edukasi yang diberikan atau terbentu dari pengalaman yang dialami oleh
masyarakat itu sendir. Masyarakat korban bencana akan lebih peduli dan sadar akan
pentingnya kelestarian lingkungan.
Manfaat Partisipatif
Manfaat partisipasi masyarakat sangatlah signifikan terhadap upaya pelestarian dan
pengelolaan lingkungan yang baik. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa partisipasi
masyarakat merupakan
tulang punggung pemerintah
dalam upayanya menjaga
keberlangsungan lingkungan hidup di Indonesia. Keterbatasan sumber daya dapat ditutupi
menstimulus kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan,
sehingga nantinya masyarakat dapat melakukan aksi-aksi penyelamatan lingkungan secara
mandiri, tanpa ada paksaan atau bantuan dari pemerintah.
Menurut Thomsen yang dikutip dari Laksana, 2008, manfaat partisipasi masyarakat secara
umum antara lain : a) dapat memperluas basis pengetahuan dan representasi ; b) membantu
terbangunnya transparansi komunikasi dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara
stakeholder; c) meningkatkan pendekatan iteratif dan siklikal dan menjamin solusi didasarkan
pada pemahaman dan pengetahuan; d) dapat mendorong kepemilikan lokal, komitmen dan
akuntabilitas; e) dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial.
Bentuk Partisipatif
Bentuk-bentuk partisipatif yang lazim dilakukan antara lain (Huraerah, 2008 : 102): a)
partisipati buah pikiran; b) partisipasi tenaga; c) partisipasi harta benda; d) partisipasi
keterampilan dan kemahiran; e) partisipasi sosial. Selanjutnya Aprianto Patabang, 2010 dalam
thesisnya mencoba melihat hubungan antara faktor tingkat pendidikan dan mata pencaharian
terhadap bentuk partisipasi yang kesimpulannya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara faktor tingkat pendidikan dan mata pencaharian terhadap bentuk-bentuk partisipasi.
Secara pribadi saya kurang setuju jika dikatakan tidak ada korelasi yang signifikan. Kasus studi
yang diteliti adalah Kelurahan Rappocini dan Kelurahan Pannampu yang keduanya berada di
Kota Makassar. Tingkat pendidikan di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa sangat berbeda,
walaupun kurikulum yang dipakai sama, tetapi pemahaman, pengalaman dan keilmuan
terhadap pendidikan yang telah ditempuh berbeda. Persaingan, keberagaman dan lingkungan
pendidikan di Pulau Jawa sangat ketat dan kompleks sehingga memaksa murid untuk belajar
dan berusaha lebih keras untuk dapat bersaing yang berdampak terhadap tingginya
pemahaman dan keilmuan yang diperoleh. Pendidikan di Pulau Jawa masih menjadi
barometer kualitas pendidikan di Indonesia. Jika penelitian dilakukan dengan cara
membandingkan antara kelurahan di Kota Makassar dan kelurahan di salah satu kota di Jawa
(misal:Bandung), maka hasil yang diperoleh akan lebih valid dan bervariatif.
Kendala atau Hambatan
Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lingkungan berbasis
partisipasi masyarakat, antara lain :
1.
Pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya kelestarian lingkungan dan tata cara
partisipasi masyarakat
2.
Perbedaan status sosial, pendidikan, kesejahteraan, dan pekerjaan (heterogenitas tinggi)
mempengaruhi cara dan proses interaksi sosial (terjadi kesenjangan).
3.
Keterbatasan kapasitas organisasi masyarakat sebagai penggerak partisipasi
4.
Sumber daya manusia dan kepemimpinan, dalam hal ini adalah tokoh masyarakat. Tokoh
masyarakat sangat berpengaruh terhadap kesuksesan partisipasi karena keberadaannya
masih sangat dibutuhkan dan dipandang oleh masyarakat untuk mengarahkan dan
membimbing mereka.
5.
Sistem sosial politik, ketidakstabilan sosial politik suatu daerah atau negara berpengaruh
terhadap keinginan masyarakat untuk ikut berpartisipasi.
6.
Kondisi sosial ekonomi, secara umum hilangnya rasa kebersamaan, gotong royong dan
tanpa pamrih di kawasan perkotaan, ketergantungan terhadap tokoh masyarakat
sehingga masyarakat lebih bersifat pasif, menunggu, kurang inisiatif.
Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat
Dalam jurnalnya yang berjudul Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Di
Kelurahan Taman Sari Kota Bandung, 2014, Halwatul Iman dan Iwan Kustiwan menyimpulkan
beberapa aspek yang berpengaruh terhadap keberlanjutan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan antara lain:
1.
Aspek kelembagaan, meneruskan organisasi yang telah dibentuk dan berjalan dari awal,
tidak membentuk organisasi baru
2.
Aspek pembiayaan, terus merinprovisasi dalam menghimpun dana untuk pembiayaan
pemberdayaan masyarakat secara bertahap, dimilai dari lingkungan sekitar hingga kerja
sama dengan pihak luar (pemerintah dan swasta)
3.
Aspek peraturan, menetapkan peraturan yang tegas, yang di dalamnya terkandung unsur
insentif dan disintensif dan disepakati bersama.
4.
Aspek teknik operasional, mencari metode-metode pengelolaan dan operasional yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Hasil penelitian di atas dapat dijadikan acuan untuk menjaga keberlanjutan program
partisipasi masyarakat khususnya dalam pengelolaan lingkungan.
C. Kesimpulan
Sebagai negara berkembang, kekuatan terbesar Indonesia untuk menciptakan pembangunan
yang berwawasan lingkungan adalah dengan pelibatan masyarakat baik dalam perencanaan,
implementasi maupun evaluasi (citizen participation). Tingkat partisipasi masyarakat
Indonesia bervariatif yang sebagian besar masih berada dalam tahap tokenisme.
Peran pemerintah di dalam konsep Good Governance, membuka peluang sebesar-besarnya
bagi masyarakat untuk terlibat dalam setiap program pembangunan. Pemerintah bertindak
sebagai pemerakarsa dan fasilitator antar 3 pihak, pemerintah, swasta dan masyarakat.
Masyarakat diposisikan
sebagai aktor utama program pelestarian dan pengelolaan
lingkungan berbasis masyarakat. Partisipasi dalam arti yang lebih luas bukan hanya sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam setiap program pembangunan tetapi partisipasi juga
bermakna kesadaran masyarakat untuk menciptakan kualitas kehidupannya dengan
melakukan tindakan yang secara tidak sadar telah ikut mendukung program pembangunan
(bottom up approach).
Faktor sosial, kepemimpinan, sumber daya dan kapasitas organisasi kemasyarakatan sangat
mempengaruhi tingkat partisipasi tetapi faktor yang paling penting adalah tingkat kesadaran
masyarakat terhadap kelestarian lingkungan. Kesadaran masyarakat dapat terbentu dari
edukasi yang diberikan atau terbentu dari pengalaman yang dialami oleh masyarakat itu
sendiri. Masyarakat korban bencana akan lebih peduli dan sadar akan pentingnya kelestarian
lingkungan.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lingkungan berbasis
partisipasi masyarakat, diantaranya keterbatasan pengetahuan, perbedaan status sosial,
keterbatasan
kapasitas
organisasi
kemasyarakatan,
ketergantungan
terhadap
kepemimpinan, kesetabilan sosial politik dan hilangnya rasa kebersamaan dan gotong royong
(jati diri bangsa).
Menjaga keberlanjutan program partisipasi masyarakat sama pentingnya dengan memulai
partisipasi itu sendiri. Agar partisipasi dapat terus berjalan dibutuhkan jiwa belajar
(community learning) dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul kemudian. Inovasiinovasi dari komunitas diperlukan untuk membantu peningkatan kapasitas pelaku partisipasi.
Setiap kegiatan yang dilakukan harus berlandaskan kemudahan, tidak mempersulit, untuk itu
dituntut kemampuan pengurus dalam menyediakan fasilitas yang dibutuhkan dan selalu
kreatif dalam menggali potensi sumber pendanaan (Iman, Kustiwan, 2014). Tidak cepat puas
menjadi kunci keberlanjutan partisipasi masyarakat, program pembinaan dapat menambah
kesadaran dan komitmen masyarakat serta dapat meningkatkan kekuatan dan kinerja.
Pemerintah sebagai fasilitator perlu memperkuat kapasitasnya untuk mendukung partisipasi
masyarakat, bentuk dukungan pemerintah dapat diberikan melalui bantuan fasilitasi
pemanfaatan dan pemasaran hasil atau produk yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga
memiliki nilai ekonomis yang menjanjikan.
LAMPIRAN
Tahap Pengorganisasian Komunitas
Sumber: Iman dan Kustiwan, 2014. Dikutip dari Wenger, 1998
DAFTAR PUSTAKA
Patabang, Aprianto, 2010. Faktor-Faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi Masyarakat
pada Pelaksanaan Program NUSSP di Kelurahan Rappocini-Kelurahan Pannampu Kota
Makassar. Tesis Program Pascasarjana Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro, Semarang.
Luthfi, Asma dan Wijaya, Atika, 2011. Jurnal Komunitas : Persepsi Masyarakat Sekaran
Tentang Konservasi Lingkungan. Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Annawaty, Herlina Lusi, 2011. Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta Vol. 6 : Partisipasi
Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Upaya Menciptakan
Permukiman yang Sehat dan Nyaman Huni (Studi di Kelurahan Notoprajan Ngampilan
Yogyakarta): Bappeda Kota Yogyakarta.
Iman, Halwatul dan Kustiwan, Iwan, 2014. Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Berbasis
Masyarakat di Kelurahan Tamansari Kota Bandung. Sekolah Arsitektur, Perencanaan
dan Pengembangan Kebijakan. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Laksana, Nuring Septyasa, 2008. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Desa dalam Program
Desa Siaga di Desa Bandung Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP,
Universitas Airlangga, Surabaya.
McDonough, W. & M. Braungart. 2002. Cradle to Cradle: Remaking the Way We Make
Things. New York : North Point Press.
Argo, Teti Armiati, 2014. Lecture 12 : Remaking Society: Participation, Community Capacity
and Network Society Building. Sumber Daya Lingkungan. Program Pascasarjana Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. ITB, Bandung.
Argo, Teti Armiati, 2014. Lecture 13 : NIMBY Syndrome; What is Community and Community
Organizing. Sumber Daya Lingkungan. Program Pascasarjana Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. ITB, Bandung.
Agusta, Yudi, 2007. Lecture 13, Metode Penelitian
DALAM USAHA MENDUKUNG PROGRAM PELESTARIAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh
ANIL FANSYORI
A. Latar Belakang
Isu Lingkungan
Lingkungan hidup adalah kesatuan rung dengan semua benda, dengan keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Annawaty, 2011). Dalam beberapa
tahun belakangan ini, isu-isu permasalahan lingkungan seperti perubahan iklim, deforestasi,
kebakaran hutan, sampah, air bersih, gas rumah kaca dan sebaginya seakan-akan menjadi
primadona dan menjadi topik yang menarik untuk dijadikan sebuah studi. Bahkan dalam
beberapa aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia maupun
internasional, telah menjadikan kajian lingkungan hidup sebagai syarat dalam penyusunan
dokumen perencanaan. Contoh: KLHS menjadi syarat dan landasan dalam penyusunan
rencana tata ruang (RTRW/RDTR). Undang-undang penataan ruang nomor 26/2007 juga
mengamanatkan penyediaan 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam setiap perencanaan
ruang baik pusat maupun daerah. Kebijakan-kebijakan di atas tidak lain untuk menciptakan
lingkungan hidup yang harmonis, berkelanjutan dan nyaman serta sebagai bentuk minimalisir
dampak bencana alam.
Munculnya fenomena-fenomena tersebut merupakan reaksi dari efek pemanasan global yang
mulai dirasakan oleh manusia. Pertanyaannya siapa sajakah pihak-pihak berkontribusi dalam
upaya menjaga keberlangsungan dan pengelolaan lingkungan sebagai langkah nyata
pencegahan atau pengurangan efek perubahan iklim yang semakin dirasakan saat ini?, bentuk
kerjasama seperti apa yang paling efektif ? sejauh mana keterlibatan masyarakat dan kendala
apa saja yang sering ditemukan dilapangan?.
Goverment to Governance
Dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma birokrasi akibat perkembangan dunia
birokrasi. Pergeseran paradigma yang dimaksud adalah pergeseran dari goverment menjadi
governance. Governance merupakan tata pemerintahan, yang tidak hanya dalam pengertian
struktur dan manajemen lembaga eksekutif, tetapi didalam pengertian governance terdapat
dua aktor lain yaitu privat sector (sektor swasta) dan civil society atau masyarakat madani
(Laksana, 2008). Melaui governance, diharapkan terciptanya kolaborasi dalam kesetaraan
dan keseimbangan antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat.
Pelaksanaan governance menuntut pemerintah untuk lebih sering berinteraksi langsung
kepada masyarakat dalam berbagai bidang, mulai dari bidang sosial, ekonomi, politik maupun
yang berkaitan dengan isu lingkungan hidup. Untuk kasus lingkungan hidup, banyak ahli
berpendapat bahwa hanya negara-negara maju saja yang dapat melakukan aksi
penyelamatan lingkungan secara masif, kekuatan finansial dan politik memungkinkan hal itu
tercapai. Tetapi tidak dengan negara berkembang, sebagai negara yang sedang membangun
faktor lingkungan bukan menjadi pertimbangan utama, perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi biasanya selalu menjadi prioritas utama. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang, tetapi bukan berarti Indonesia membangun kekuatan ekonomi
dengan
mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan. Indonesia dianugrahi adat istiadat, tradisi dan
kebiasaan masyarakatnya yang unik, masyarakat Indonesia sejak dahulu telah akrab dan
bersahabat dengan alam ditambah lagi masyarakat Indonesia terkenal ramah, sensitif, tempa
selera dan peduli. Keunggulan sosial masyarakat tersebut seharusnya dapat dimaksimalkan
oleh
pemerintah
untuk
memulai
dan
mengimplementasikan
program-program
pembangunan berbasis lingkungan hidup. Dengan kata lain jika pemerintah ingin ikut
berpartisipasi dalam gerakan penyelamatan lingkungan internasional dan penyelamatan
lingkungan hidup di Indonesia, maka kekuatan terbesarnya adalah pertisipasi masyarakat
(citizen participation).
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam programprogram pembangunan baik itu dalam proses perencanaan, implementasi maupun evaluasi
(Nuring Septyasa Laksana, 2008). Partisipasi dalam arti yang lebih luas bukan hanya sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam setiap program pembangunan tetapi partisipasi juga
bermakna kesadaran masyarakat untuk menciptakan kualitas kehidupannya dengan
melakukan tindakan yang secara tidak sadar telah ikut mendukung program pembangunan
(bottom up approach). Sebagai contoh seorang ibu menanam bunga atau buah-buahan di
perkarangannya dengan maksud untuk menambah keindahan rumah dan lingkungan, tetapi
secara tidak sadar ibu tersebut telah ikut berpartisipasi dalam program pencegahan
perubahan iklim dan konservasi lingkungan.
Arnstein, 1996 mengurutkan bentuk partisipasi masyarakat ke dalam 3 tingkatan utama, yaitu
1) no power (tanpa kekuatan); 2) degree of tokenism (pemberi masukan/simbolik) dan 3)
degree of citizen power (kekuatan masyarakat). Pada tingkat no power, masyarakat diberi
pelatihan oleh pemerintah dan tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan karena keputusan
sudah ditentukan oleh pemerintah (top down approach). Pada tingkatan ini, masyarakat
dapat menjadi informan dari isu-isu yang berkembang dan sedikit sekali memberikan
pengaruh terhadap pengambilan keputusan (manipulation, decoration and informing).
Tingkat kedua terdiri dari cansultation, placation dan partnership. Pada tahap ini masyarakat
dapat menjadi informan kunci dan memberikan masukan tetapi tidak akan bayak
berpengaruh terhadap keputusan akhir. Peran terbesar masyarakat pada tingkatan ini adalah
ketika keputusan yang diambil merupakan hasil diskusi bersama antara masyarakat dan
pemerintah. Tingkat tertinggi menurut Arnstein adalah tingkat dimana masyarakat memiliki
kekuatan yang besar. Pada tahap ini pemerintah sebagai penyusun agenda pelaksanaan,
tetapi masyarakat diberikan keleluasaan untuk mengatur beberapa aspek dan memberikan
inisiatif aksi, keputusan merupakan hasil bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pada
tahap tertinggi dari tingkatan partisipasi masyarakat adalah ketika masyarakat diberi
keleluasaan untuk menyusun agenda pelaksanaan, mengatur semua aspek di dalamnya dan
merencanakan sendiri program atau desain pelaksanaan kegiatan partisipasi tersebut.
Tingkat partisipasi masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan konservasi dan
pengelolaan lingkungan sangat bervariasi, dibeberapa kasus ditemukan masyarakat hanya
berpartisipasi pada tingkatan terbawah, peran pemerintah sangat dominan, dilain kasus
dijumpai partisipasi masyarakat telah mencapai tingkat tertinggi, masyarakat bertindak
sebagai inisiator, penggerak, pelaksana bahkan sebagai mentoring. Bahkan terkadang
pemerintah dipaksa untuk belajar kepada masyarakat, bagaimana konsep partisipasi yang
benar dan seperti apa tindakan yang paling efektif dan telah terbukti di lapangan.
B. Pembahasan
Bab pembahasan ini lebih ditekankan pada bagaimana persepsi masyarakat terhadap
pelestarian dan pengelolaan lingkungan, manfaat partisipasi, bentuk-bentuk efektif dari
partisipasi, faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi, kendala yang dihadapi dan
bagaiman menjaga keberlanjutan partisipasi masyarakat terkait pelestarian dan pengelolaan
lingkungan.
Persepsi Masyarakat dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat
Asma Lutfhfi dan Atika Wijaya dalam jurnalnya yang berjudul Persepsi Masyarakat Sekaran
Tentang Konservasi Lingkungan, 2011, menyimpulkan bahwa persepsi masyarakat tentang
konservasi lingkungan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas masyarakat sebagai petani.
Mengolah lahan pertanian sebagai aktifitas sehari-hari merupakan bagian dari upaya
melestarikan lingkungan. Persepsi terbentuk dari sejauh mana tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap alam. Pada intinya, perubahan sosial (mata pencaharian) menjadi
barometer perubahan persepsi dan tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat untuk
konservasi lingkungan. Lain halnya dengan kesimpulan yang dikeluarkan oleh Patabang, 2010
dalam tesisnya mengatakan bahwa persepsi partisipasi masyarakat dan tingkat keberhasilan
partisipasi dalam pengelolaan lingkungan kumuh lebih dominan dipengaruhi oleh faktor
kepemimpinan, sumber daya, dan kapasitas organisasi kemasyarakatan. Penguatan faktorfaktor di atas akan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat.
Faktor sosial, kepemimpinan, sumber daya dan kapasitas organisasi kemasyarakatan sangat
mempengaruhi tingkat partisipasi tetapi faktor yang paling penting adalah tingkat kesadaran
masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, tanpa adanya kesadaran program-program
berbasis masyarakat tidak sepenuhnya dapat terealisasi. Kesadaran masyarakat dapat
terbentu dari edukasi yang diberikan atau terbentu dari pengalaman yang dialami oleh
masyarakat itu sendir. Masyarakat korban bencana akan lebih peduli dan sadar akan
pentingnya kelestarian lingkungan.
Manfaat Partisipatif
Manfaat partisipasi masyarakat sangatlah signifikan terhadap upaya pelestarian dan
pengelolaan lingkungan yang baik. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa partisipasi
masyarakat merupakan
tulang punggung pemerintah
dalam upayanya menjaga
keberlangsungan lingkungan hidup di Indonesia. Keterbatasan sumber daya dapat ditutupi
menstimulus kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan,
sehingga nantinya masyarakat dapat melakukan aksi-aksi penyelamatan lingkungan secara
mandiri, tanpa ada paksaan atau bantuan dari pemerintah.
Menurut Thomsen yang dikutip dari Laksana, 2008, manfaat partisipasi masyarakat secara
umum antara lain : a) dapat memperluas basis pengetahuan dan representasi ; b) membantu
terbangunnya transparansi komunikasi dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara
stakeholder; c) meningkatkan pendekatan iteratif dan siklikal dan menjamin solusi didasarkan
pada pemahaman dan pengetahuan; d) dapat mendorong kepemilikan lokal, komitmen dan
akuntabilitas; e) dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial.
Bentuk Partisipatif
Bentuk-bentuk partisipatif yang lazim dilakukan antara lain (Huraerah, 2008 : 102): a)
partisipati buah pikiran; b) partisipasi tenaga; c) partisipasi harta benda; d) partisipasi
keterampilan dan kemahiran; e) partisipasi sosial. Selanjutnya Aprianto Patabang, 2010 dalam
thesisnya mencoba melihat hubungan antara faktor tingkat pendidikan dan mata pencaharian
terhadap bentuk partisipasi yang kesimpulannya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara faktor tingkat pendidikan dan mata pencaharian terhadap bentuk-bentuk partisipasi.
Secara pribadi saya kurang setuju jika dikatakan tidak ada korelasi yang signifikan. Kasus studi
yang diteliti adalah Kelurahan Rappocini dan Kelurahan Pannampu yang keduanya berada di
Kota Makassar. Tingkat pendidikan di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa sangat berbeda,
walaupun kurikulum yang dipakai sama, tetapi pemahaman, pengalaman dan keilmuan
terhadap pendidikan yang telah ditempuh berbeda. Persaingan, keberagaman dan lingkungan
pendidikan di Pulau Jawa sangat ketat dan kompleks sehingga memaksa murid untuk belajar
dan berusaha lebih keras untuk dapat bersaing yang berdampak terhadap tingginya
pemahaman dan keilmuan yang diperoleh. Pendidikan di Pulau Jawa masih menjadi
barometer kualitas pendidikan di Indonesia. Jika penelitian dilakukan dengan cara
membandingkan antara kelurahan di Kota Makassar dan kelurahan di salah satu kota di Jawa
(misal:Bandung), maka hasil yang diperoleh akan lebih valid dan bervariatif.
Kendala atau Hambatan
Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lingkungan berbasis
partisipasi masyarakat, antara lain :
1.
Pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya kelestarian lingkungan dan tata cara
partisipasi masyarakat
2.
Perbedaan status sosial, pendidikan, kesejahteraan, dan pekerjaan (heterogenitas tinggi)
mempengaruhi cara dan proses interaksi sosial (terjadi kesenjangan).
3.
Keterbatasan kapasitas organisasi masyarakat sebagai penggerak partisipasi
4.
Sumber daya manusia dan kepemimpinan, dalam hal ini adalah tokoh masyarakat. Tokoh
masyarakat sangat berpengaruh terhadap kesuksesan partisipasi karena keberadaannya
masih sangat dibutuhkan dan dipandang oleh masyarakat untuk mengarahkan dan
membimbing mereka.
5.
Sistem sosial politik, ketidakstabilan sosial politik suatu daerah atau negara berpengaruh
terhadap keinginan masyarakat untuk ikut berpartisipasi.
6.
Kondisi sosial ekonomi, secara umum hilangnya rasa kebersamaan, gotong royong dan
tanpa pamrih di kawasan perkotaan, ketergantungan terhadap tokoh masyarakat
sehingga masyarakat lebih bersifat pasif, menunggu, kurang inisiatif.
Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat
Dalam jurnalnya yang berjudul Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Di
Kelurahan Taman Sari Kota Bandung, 2014, Halwatul Iman dan Iwan Kustiwan menyimpulkan
beberapa aspek yang berpengaruh terhadap keberlanjutan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan antara lain:
1.
Aspek kelembagaan, meneruskan organisasi yang telah dibentuk dan berjalan dari awal,
tidak membentuk organisasi baru
2.
Aspek pembiayaan, terus merinprovisasi dalam menghimpun dana untuk pembiayaan
pemberdayaan masyarakat secara bertahap, dimilai dari lingkungan sekitar hingga kerja
sama dengan pihak luar (pemerintah dan swasta)
3.
Aspek peraturan, menetapkan peraturan yang tegas, yang di dalamnya terkandung unsur
insentif dan disintensif dan disepakati bersama.
4.
Aspek teknik operasional, mencari metode-metode pengelolaan dan operasional yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Hasil penelitian di atas dapat dijadikan acuan untuk menjaga keberlanjutan program
partisipasi masyarakat khususnya dalam pengelolaan lingkungan.
C. Kesimpulan
Sebagai negara berkembang, kekuatan terbesar Indonesia untuk menciptakan pembangunan
yang berwawasan lingkungan adalah dengan pelibatan masyarakat baik dalam perencanaan,
implementasi maupun evaluasi (citizen participation). Tingkat partisipasi masyarakat
Indonesia bervariatif yang sebagian besar masih berada dalam tahap tokenisme.
Peran pemerintah di dalam konsep Good Governance, membuka peluang sebesar-besarnya
bagi masyarakat untuk terlibat dalam setiap program pembangunan. Pemerintah bertindak
sebagai pemerakarsa dan fasilitator antar 3 pihak, pemerintah, swasta dan masyarakat.
Masyarakat diposisikan
sebagai aktor utama program pelestarian dan pengelolaan
lingkungan berbasis masyarakat. Partisipasi dalam arti yang lebih luas bukan hanya sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam setiap program pembangunan tetapi partisipasi juga
bermakna kesadaran masyarakat untuk menciptakan kualitas kehidupannya dengan
melakukan tindakan yang secara tidak sadar telah ikut mendukung program pembangunan
(bottom up approach).
Faktor sosial, kepemimpinan, sumber daya dan kapasitas organisasi kemasyarakatan sangat
mempengaruhi tingkat partisipasi tetapi faktor yang paling penting adalah tingkat kesadaran
masyarakat terhadap kelestarian lingkungan. Kesadaran masyarakat dapat terbentu dari
edukasi yang diberikan atau terbentu dari pengalaman yang dialami oleh masyarakat itu
sendiri. Masyarakat korban bencana akan lebih peduli dan sadar akan pentingnya kelestarian
lingkungan.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lingkungan berbasis
partisipasi masyarakat, diantaranya keterbatasan pengetahuan, perbedaan status sosial,
keterbatasan
kapasitas
organisasi
kemasyarakatan,
ketergantungan
terhadap
kepemimpinan, kesetabilan sosial politik dan hilangnya rasa kebersamaan dan gotong royong
(jati diri bangsa).
Menjaga keberlanjutan program partisipasi masyarakat sama pentingnya dengan memulai
partisipasi itu sendiri. Agar partisipasi dapat terus berjalan dibutuhkan jiwa belajar
(community learning) dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul kemudian. Inovasiinovasi dari komunitas diperlukan untuk membantu peningkatan kapasitas pelaku partisipasi.
Setiap kegiatan yang dilakukan harus berlandaskan kemudahan, tidak mempersulit, untuk itu
dituntut kemampuan pengurus dalam menyediakan fasilitas yang dibutuhkan dan selalu
kreatif dalam menggali potensi sumber pendanaan (Iman, Kustiwan, 2014). Tidak cepat puas
menjadi kunci keberlanjutan partisipasi masyarakat, program pembinaan dapat menambah
kesadaran dan komitmen masyarakat serta dapat meningkatkan kekuatan dan kinerja.
Pemerintah sebagai fasilitator perlu memperkuat kapasitasnya untuk mendukung partisipasi
masyarakat, bentuk dukungan pemerintah dapat diberikan melalui bantuan fasilitasi
pemanfaatan dan pemasaran hasil atau produk yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga
memiliki nilai ekonomis yang menjanjikan.
LAMPIRAN
Tahap Pengorganisasian Komunitas
Sumber: Iman dan Kustiwan, 2014. Dikutip dari Wenger, 1998
DAFTAR PUSTAKA
Patabang, Aprianto, 2010. Faktor-Faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi Masyarakat
pada Pelaksanaan Program NUSSP di Kelurahan Rappocini-Kelurahan Pannampu Kota
Makassar. Tesis Program Pascasarjana Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro, Semarang.
Luthfi, Asma dan Wijaya, Atika, 2011. Jurnal Komunitas : Persepsi Masyarakat Sekaran
Tentang Konservasi Lingkungan. Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Annawaty, Herlina Lusi, 2011. Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta Vol. 6 : Partisipasi
Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Upaya Menciptakan
Permukiman yang Sehat dan Nyaman Huni (Studi di Kelurahan Notoprajan Ngampilan
Yogyakarta): Bappeda Kota Yogyakarta.
Iman, Halwatul dan Kustiwan, Iwan, 2014. Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Berbasis
Masyarakat di Kelurahan Tamansari Kota Bandung. Sekolah Arsitektur, Perencanaan
dan Pengembangan Kebijakan. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Laksana, Nuring Septyasa, 2008. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Desa dalam Program
Desa Siaga di Desa Bandung Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP,
Universitas Airlangga, Surabaya.
McDonough, W. & M. Braungart. 2002. Cradle to Cradle: Remaking the Way We Make
Things. New York : North Point Press.
Argo, Teti Armiati, 2014. Lecture 12 : Remaking Society: Participation, Community Capacity
and Network Society Building. Sumber Daya Lingkungan. Program Pascasarjana Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. ITB, Bandung.
Argo, Teti Armiati, 2014. Lecture 13 : NIMBY Syndrome; What is Community and Community
Organizing. Sumber Daya Lingkungan. Program Pascasarjana Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. ITB, Bandung.
Agusta, Yudi, 2007. Lecture 13, Metode Penelitian