GERAKAN SERIKAT TANI NASIONAL DAN KEPEMI

GERAKAN SERIKAT TANI NASIONAL DAN KEPEMIMPINANNYA
Rizal Sopian1
Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran

Corresponding Author : anthroperz_id@yahoo.com

ABSTRACT

This research on social movements at the Serikat Tani Nasional (STN) organization in
Sumedang. In this study described the social movement and the leadership that is run by the organization.
The study aims to explain the strategy pursued in the fight organization goals of the organization, namely
the welfare of farmers. This research method is a case study using a qualitative approach. The research
location is located in the Village tiles Sukasari District of Sumedang regency, West Java.
Based on the research findings, STN Sumedang as a social movement organization whose
members are farmers implement strategies adapted from the guidelines of the organization. The strategy
is built on the scientific assessment and deliberation by all levels of the organization committee. The
method used to set the agenda of the organization is by consensus. Although the consensus but the lowest
level in the hierarchy of the organization, a group of farmers will be implementing activities. This is
caused by the consideration that the farmer should have an understanding of the resistance against the
oppressive class farmers economically and politically.

To run the program organization, funding for the program is needed. Source of funding will
determine the orientation of organization. To strengthen the organizational state of the economy, STN
Sumedang build productive agricultural cooperatives. Meanwhile, on the other hand the education of
members continue to be provided either in the form of theory and practice.
The conclusion of this study is STN Sumedang as a social movement has a pattern of struggle that
respond to policy related to the responsibility of the state to the people, especially farmers and workers
poor farmers. Agrarian Reform into the struggle of the platform of the National Farmers Union in
general. Run formal leadership, in the sense bound by the rules applicable in the organization.
Leadership is instructive and centrally run from top to bottom, in the sense that every command of the
District Leadership Committee must be run by a Governing Committee of the Village.

Keywords: social movements, agrarian reform, strategies, farmer groups, leadership, instructive,
centralized.
1

penulis

1

Gerakan merupakan usaha atau kegiatan di lapangan sosial politik (KBBI, 1994).

Gerakan Sosial merupakan tindakan atau agitasi terencana yang dilaksanakan oleh kelompok
masyarakat disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan
perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada (KBBI, 1994).
Untuk sebuah perubahan yang mendasar mutlak membutuhkan tiga syarat yaitu, adanya ideologi
alternatif, organisasi yang kuat sebagai penopang dukungan rakyat, dan adanya momentum yang
tepat (Mahardika, 2000, 31). Sebagai suatu gerakan, gerakan petani merupakan reaksi kolektif
terhadap “kedudukan rendah”, sebagai kelompok masyarakat yang tersubordinasi oleh kelompok
penguasa. Perlawanan menuntut haknya, inilah esensi dari sebuah gerakan petani.
Sebenarnya melihat dari karakteristik petani, oleh Wolf (1971), petani dianggap tidak
sepenuhnya memiliki gambaran sosok yang revolusioner untuk melakukan suatu gerakan.
Namun, jika revolusi petani terjadi, hal ini merupakan akibat perubahan besar terjadi yang
membuat masuknya industri dan posisi ekonomi petani menjadi tersisih. Keadaan ini selanjutnya
mendorong petani untuk melakukan pemberontakan. Akan tetapi reaksi kolektif tersebut
seringkali hanya berupa suatu aksi politik dari organisasi yang memperjuangkan hak-hak para
petani. Karena itulah meski mengaku petani, namun aktivis organisasi tersebut sering tidak bisa
dikatakan petani. Karena pada dasarnya petani sebagaimana yang djelaskan Wolf merupakan
orang yang melakukan aktivitas tani. Sementara itu, para aktivis gerakan petani belum tentu
melakukan kegiatan pertanian seperti yang dilakukan para petani.
Namun dalam setiap gerakan petani, sebenarnya petani selalu dilibatkan oleh organisasi
yang mengordinir gerakan tersebut. Namun petani yang ikut serta tidaklah homogen, karena

masyarakat petani juga memiliki tingkatan struktural. Karena itulah Wolf (1971) menyatakan
mesti dibedakan adanya dua komponen petani yang ikut serta dalam gerakan sosial, yakni;
1. petani kelas menengah yang memiliki lahan (farmer)
Mereka menggarap lahan pribadi menggunakan tenaga kerja keluarga. Bentuk ini
memungkinkan ruang gerak untuk melakukan perlawanan karena mereka adalah
kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan dan mempunyai modal untuk
mengembangkan taktik perlawanan.
2. masyarakat petani yang lokasinya terletak jauh dari penguasaan tuan tanah (peasant).
Komponen ini jika dibarengi dengan kekuatan ikatan solidaritas, misalnya etnis, juga
dikatakan Wolf dapat menimbulkan perlawanan petani, seperti di Cuba, misalnya.
2

Ada faktor kesamaan kultur dan bahasa yang membuat komunitas Afro-Cuban,
misalnya, memiliki otonomi yang kuat atas wilayah dan kehidupannya.

Dalam mengkaji perihal gerakan petani penting untuk memahami perbedaan antara petani
(peasant) dengan petani (farmer). Hal ini perlu difahami untuk melihat siapakah yang
sebenarnya melakukan aksi gerakan tersebut. Petani peasant merupakan kelompok orang yang
mencukupi kebutuhan hidup di atas lahan yang mereka miliki. Hampir seluruh kebutuhannya
berasal dari bercocok tanam di lahan tersebut secara subisten. Sebagai masyarakat yang masih

mengandalkan semua yang mereka miliki, untuk tenaga kerjapun petani mengandalkan anggota
keluarga. Sementara itu petani farmer lebih menunjukkan petani yang sudah mengembangkan
kegiatan bertaninya sebagai suatu aktivitas wirausaha guna mengembangkan modal kekayaan.
Oleh karena itu, sebenarnya tingkat ketergantungan peasant terhadap lahan lebih tinggi
daripada ketergantungannya farmer. Karena itulah yang paling sering menjadi pelaku gerakan
petani adalah kaum peasant yang berjuang di barisan depan. Sementara itu farmer yang memiliki
kepentingan besar dalam gerakan petani, biasanya ikut dalam perjuangan petani meski dengan
kepentingan dan cara yang berbeda.

Gerakan Petani di Indonesia
Sementara pada kasus gerakan petani Indonesia, terdapat empat fase perkembangan gerakan
petani di Indonesia (Rahmawati, 2002), yakni antara lain :
a. Fase pertama gerakan petani tradisional yang muncul pada masa kolonial (Djoko Suryo,
1995). Pada masa feodal, sehingga struktur sosial diwarnai oleh perbedaan status sosial
ekonomi yang mencolok. Kekuasaan ekonomi dipegang penguasa kolonial. Kebijakan
kolonial seperti sistem leverensi dan kontingensi, land rent, sistem tanam paksa dan
sebagainya akhirnya menempatkan posisi petani pada lapisan terbawah yang tidak
memiliki akses apapun untuk memperbaiki nasibnya. Karena itu, gerakan petani
gelombang pertama bentuknya berupa protes sosial terhadap segala ketimpangan dan
konflik kepentingan. Ditandai dengan pembentukan solidaritas yang bersifat komunal

dan diperkuat dengan ide-ide tradisonal seperti mesianisme dan nativisme. Sehingga
solidaritas

yang

terbentuk

didasarkan

pada

semangat

primordialisme,

tanpa

3

mengedepankan rasionalitas yang didasarkan atas pertimbangan demi kepentingan

bersama.
b. Fase kedua terjadi pada masa transisi antara zaman kemerdekaan-masa orde lama. Mulai
tumbuh berbagai organisasi, perserikatan, atau partai politik yang bisa memberikan
wadah bagi kepentingan petani. Kaum petani saat itu mulai memiliki kecenderungan
untuk melakukan aliansi-aliansi politik sekalipun masih bersifat lokal dan pola-pola yang
masih tersegmen pada kehidupan petani. Di masa ini memang ada hubungan yang saling
menguntungkan antara parpol dengan petani, namun konsekuensinya, setelah
tumbangnya orde lama yang digantikan orde baru, perjuangan petani mengalami
penurunan yang luar biasa setelah diterapkannya kebijakan massa mengambang (floating
mass) dan korporotisme negara.
c. Fase ketiga ditandai dengan perubahan besar pada pola gerakan setelah dimasukkannnya
ide-ide pemberdayaan masyarakat dan demokratisasi yang pada mulanya banyak diusung
oleh kalangan LSM.
d. Fase keempat merupakan Gerakan petani kontemporer sebagai respon terhadap kebijakan
Negara. Gerakan petani muncul sebagai respon dari kebijakan yang sebelumnya dan
memiliki tujuan untuk mengubah keadaan yang akan lebih baik lagi, sehingga munculnya
sebuah gerakan bukan disebabkan oleh karena terjadinya perubahan dalam struktur
masyarakat atau karena perubahan pandangan tanpa sebab. Gerakan petani pasca orde
baru ini telah mengambil bentuk yang sangat terorganisir, baik secara organisatoris
mapun dalam pola dan strategi gerakannya (Rahmawati, 2002).


Kemudian perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya perubahan wacana dari Gerakan
Sosial Menuju Gerakan Politik (Safitri, 2010). Wacana ini dilatarbelakangi oleh pertanyaan
mendasar dari pendukung wacana ini akan efektifitas perjuangan yang mereka lakukan.
Organizer mempertanyakan apakah pola gerakan yang dibangun selama ini efektif sebagai pola
gerakan yang dibangun untuk mencapai cita-cita perjuangan kaum tani.
Menjawab pertanyaan tersebut, berdasarkan pemahaman dan pengalaman organizer, mereka
menyadari sepenuhnya bahwa strategi organisasi dalam mewujudkan cita-cita tersebut tercermin
dalam berbagai bentuk aktivitas organisasi. Dalam hal ini, sesungguhnya roh dari segala

4

keberhasilan perjuangannya adalah strategi aksi-aksi pendudukan tanah dan aksi-aksi penuntutan
kembali hak atas tanah dengan cara menggarapnya kembali.
Dalam wacana mereka, terminologi “Dari Gerakan Sosial Menuju Gerakan Politik” ini
dimaknai sebagai upaya untuk melengkapi strategi-strategi yang sudah dijalankan selama ini,
yaitu dengan memberikan pendidikan terhadap para petani. Kemudian, petani akan diarahkan
terlibat di dalam agenda-agenda politik praktis yang ada untuk mendudukkan kadernya di posisiposisi formal pengambilan keputusan dari tingkat desa hingga pemerintahan yang lebih tinggi
(Kabupaten, Provinsi, dan Pusat) (Safitri, 2010).
Terakhir, kepemimpinan menjadi hal yang patut diperhatikan dalam proses gerakan sosial

yang diorganisir. Dalam realita di lapangan, banyak organisasi buruh ataupun organisasi petani
yang pemimpinnya terkesan “betah” menduduki jabatan sebagai ketua organisasi. STN
kabupaten Sumedang merupakan salah satunya. Tentu saja ini menjadi entry point penting
penelitian.
Dalam konteks penelitian ini, pemimpin organisasi petani bisa kita sebut organizer.
Penelitian ini mencoba memperkaya studi tentang gerakan sosial petani dan pola kepemimpinan
yang ada ditubuh organisasi petani.

PROFIL SERIKAT TANI NASIONAL (STN) KABUPATEN SUMEDANG

1. Sejarah Singkat
Awalnya, STN SUMEDANGmerupakan satu kesatuan dari organisasi Serikat Tani
Nasional (STN) yang didirikan pada Kongres I (12 Nopember 1993) di Bantul, Yogyakarta dan
kemudian ditetapkan kembali pada Kongres II (25 Juni 1999) di Sleman, Yogyakarta. STN
adalah organisasi massa tani yang bersifat nasional, terbuka, legal, progresif dan kerakyatan.
Melalui Kongres III (21 April 2003) dan Kongres IV (2 April 2006) kembali dikukuhkan dasardasar perjuangan STN dan prinsip organisasinya.
Program Perjuangan STN adalah memimpin perjuangan kaum tani bagi terselenggaranya
Reforma Agraria Sejati dengan sokongan gerakan rakyat. Reforma Agraria Sejati menjaminkan

5


tanah, modal, teknologi yang modern, murah, dan massal untuk pertanian usaha bersama atau
kolektif di bawah dewan rakyat atau tani untuk kalangan buruh tani dan petani miskin.
Pada tahun 2009, Serikat Tani Nasional mengikuti sebuah konferensi yang dihadiri oleh
berbagai gerakan sosial lainnya. Dalam konferensi tersebut, berbagai gerakan yang hadir
disatukan untuk mendukung sebuah partai bernama PAPERNAS (Partai Persatuan Pembebasan
Nasional) dalam rangka untuk mengintervensi pemilu pada tahun itu. STN dinyatakan bergabung
pada saat itu.

Selanjutnya, diadakanlah kongres di Yogyakarta yang menyepakati dan

mengukuhkan hal tersebut. Setelah hal program dn mekanisme berjalan, sebagian pihak tiba-tiba
memutuskan keputusan yang sama sekali tidak sejalan dengan keputusan kongres tadi. Hal ini
terjadi pada rapat Presidium Nasional di Lampung. Hasil rapat menyatakan bahwa STN akan
bergabung dengan partai praktis lain, yakni Partai Bintang Reformasi. Hal ini dipandang telah
melanggar keputusan kongres oleh sebagian pihak STN lainnya; baik secara politik, yakni
mengambil keputusan untuk mengintervensi sendiri, maupun secara organisasionalnya, yakni
pemngambilan keputusan presidium yang melebihi otoritas keputusan kongres.
Keadaan ini kemudian membuahkan hasil yang berdampak sampai hari ini. Para aktivis
STN daerah tidak sependapat dengan keputusan presidium nasional, sehingga sempat terjadi

konflik. Dari sinilah STN terpecah menjadi dua. Kemudian pihak yang kontra mengadakan
pertemuan sendiri dengan tetap mengatasnamakan STN. Dalam perjalanannya, kelompok ini
terpecah lagi. Sebagian kelompok yang telah menjadi pengurus lama berorientasi pada haluan
kanan dengan meletakan harapan pada elit-elit politik. Sedangkan sebagian lainnya yang
mewakili beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, Labuan Batu, Sulawesi Selatan, dan
Sumedang memisahkan diri untu tetap pada haluan kiri. Mereka kemudian membentuk STN
yang berprinsip pada garis politik rakyat miskin, hingga akhirnya terbentuklah Serikat Tani
Nasional-Politik Rakyat Miskin (STN-PRM). Keputusan semacam ini sudah dianggap final
split, yakni keputusan akhir yang menyepakati perpecahan dan solid dengan kelompoknya
masing-masing. berikut ini digambarkan dalam tabel terkait polarisasi yang ada ditubuh
organisasi Serikat Tani Nasional.

6

Tabel 1. Hasil perpecahan STN:
STN yang ikut

STN dengan para pengurus

mengintervensi pemilu 2009


lama yang dekat dengan elit

STN PRM

politik



Pada pemilu 2009,



Kelompok ini lebih



Berprinsip untuk

kelompok ini bersatu

memperjuangkan

tetap pada haluan

dengan PABERNAS.

hubungan dengan elit-

kiri;

Otomatis haluan

elit politik, sehingga

memperjuangkan

berubah. Pergerakan

strategi yang

politik rakyat

membelok dari kiri

dilakukan lebih

miskin, dalam hal

menuju ke kanan.

banyak melobi para

ini adalah petani.

penguasa.


Memasuki tahapan



Strategi yang

pilpres 2009, kelompok

dilakukan tidak

ini bergabung dengan

melobi pihak atas,

GOLKAR. Namun,

melainkan

setelah semua

memperkuat basis

rangkaian pemilu

bawah.

selesai, mereka
kembali lagi bergerak
pada prinsip awal.

Ket: Kisruh pemilu 2009 menghasilkan dua kelompok STN (pada kolom pertama dan kedua dari
kiri) berpindah haluan; dari kiri menuju ke arah kanan. Sisanya, memisahkan diri untuk tetap
pada perjuangan-perjuangan kiri. STN Sumedang berada pada golongan kiri yang berplatform
“Politik Rakyat Miskin”.
7

2. Sumberdaya
No.
1.

Sumberdaya yang dimiliki

Modal

Lahan


Sumberdaya yang diperjuangkan



Kepemilikan lahan

Modal diperjuangkan untuk mendukung

didapatkan melewati proses

kemajuan

pertanian

desa.

Petani

perjuangan keras kaum tani

membutuhkan penyediaan bibit, pupuk,

dan STN PRM.

obat tanaman, dan upah untuk tenaga
kerja. Selama ini biaya yang dikeluarkan



Lahan diperjuangkan setelah

untuk

kaum tani berinisiatif untuk

ditanggung sendiri. Kaum tani mengaku

menanam

sayuran.

kesulitan.

Sebelumnya,

PERUM

PERHUTANI

menyediakan

semua

itu

hanya

mengizinkan

petani

untuk

menanam kopi.

2.

Ikatan sosial


Teknologi

Kerekatan
komuniti
penting

sosial

dalam

menjadi

sumber

bagi



Petani membutuhkan teknologi modern
untuk membantu kegiatan pertaniannya.

terwujudnya

persatuan pada kaum tani



Penyediaan

modal

dan

teknologi

Desa Genteng. Ikatan sosial

dianggap

membuat satunya pandangan

negara, sehingga perjuangan dilakukan

kaum tani untuk melawan

untuk menagih hasil dari tanggung

musuh dan memperjuangkan

jawab itu.

sebagai

tanggung

jawab

hak-haknya.

8

3. Dokumentasi

Gambar 1. Lambang dan slogan STN-PRM

Gambar 2 dan 3. Aktivitas edukasi : pelajaran membangun koperasi dan menumbuhkan
keasadaran politik

Gambar 4 dan 5. : Ketua kelompok tani Harapan Mekar Mulya (kiri) dan anggota (kanan)

9

Gambar 6. Leaflet Pernyataan Sikap STN SUMEDANGSumedang Terhadap Kebijakan Tahura
Gunung Manglayang (Februari 2011)

10

Gambar 7, 8 dan 9. Aksi Menuntut Pencabutan Kebijakan Tahura Gunung Manglayang (tanggal
16 Februari 2011)
Dari kiri : massa berkumpul di depan Kantor Bupati Sumedang, massa menuntut masuk ke dala kantor
untuk bertemu Bupati, terjadi perdebatan dengan pihak pemerintah di dalam kantor Bupati.

Gambar 10,11 dan 12. Aksi menuntut tanggung jawab pemerintah terhadap pemasaran produk
pertanian di depan Gedung Sate (24 Mei 2011).
Dari kiri : tuntutan tertulis memalui kertas karton dan dibebani dengan sayur kol yang sudah busuk,
Ketua STN SUMEDANGSumedang berorasi, massa membuat tenda di depan Gedung Sate.

11

PEMBAHASAN

1. Gerakan STN Sumedang sebagai suatu gerakan sosial
Pada gerakan Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin, secara tersirat menunjukan bahwa
perjuangan yang selama ini mereka lakukan adalah upaya protes terhadap kebijakan pemerintah
yang dianggap belum berpihak pada petani. Aksi protes ini tentunya didasarkan oleh penyadaran
dari intelektual-intelektual dalam gerakan tersebut akan adanya fakta kontradiksi antara janji
manis dari kebijakan pemerintah dengan implementasinya bagi kehidupan petani hingga saat ini.
Kebijakan yang tertulis selama ini dibuat dengan menyuarakan dukungan bagi petani, namun
janji manis itu dirasakan belum sampai pada pelaksanaannya. Ada pun bentuk aksi ini
merupakan perwujudan dari fase ke-empat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rahmawati
(2002) mengenai tahapan fase perkembangan gerakan petani di Indonesia. Gerakan STN
Sumedang merupakan gerakan kontemporer yang berdiri untuk meresponi kebijakan yang telah
ada, dengan tujuan untuk mengubah keadaan yang lebih baik lagi bagi kehidupan petani.
Gerakan yang bergerak di haluan kiri ini sebenarnya memiliki tujuan jangka panjang, yakni
melawan hegemoni kapitalisme. Sistem produksi dari kapitalisme dianggap sebagai musuh
utama rakyat miskin yang selama ini menjadi korban dari eksploitasi praktik kapitalisme
tersebut. Untuk merealisasikannya, mereka memulai dari kelompok yang paling bawah sebagai
bentuk gerakan akar rumput untuk mematikan sistem-sistem kapitalisme secara perlahan, seperti
petani.
Berdirinya STN PRM hingga saat ini tidak lepas dari beberapa unsur yang membentuknya
secara utuh. Namun, terlebih dahulu kita harus melihat pada minat dan kemauan STN PRM
sendiri. Semua menjadi sangat jelas setelah mereka melakukan pemisahan diri dengan STN
lainnya pada tahun 2009. STN PRM mengambil sikap untuk berfokus memperkuat basis bawah.
Prinsip inilah yang menentukan sikap-sikap mereka dalam

melakukan praktik perjuangan.

Mereka tidak menyuarakan diri dengan melakukan kampanye, baik lewat media maupun secara
langsung dengan arak-arakan bersama, seperti pada gerakan sosial lain pada umumnya. STN
PRM menganggap aksi-aksi semacam itu merupakan bentuk propaganda ke basis atas;
menunjukannya ke permukaan. Sedangkan pada prinsipnya, mereka memilih untuk lebih
menujukan sasaran ke kelompok bawah, dalam hal ini adalah petani. Sehingga, unsur yang
membntuk mereka berangkat dari idealisme politik yang dibangun, kemudian para agen
12

melakukan tindakan khasanah atau repertoire yang diwujudkan dengan mengadakan
perkumpulan untuk melakukan koalisi, penyusunan kepengurusan, serta merencanakan agenda.
Semua itu diadakan dalam bentuk rapat umum anggota pengurus. Selanjutnya, mereka
mengumpulkan para pendukung yang disatukan dari kelompok tani dan melakukan rapat untuk
menyatukan suara dalam menentukan agenda. Di sinilah sikap-sikap yang mempertontonkan
keberhargaan, persatuan, jumlah, dan tekad semua anggota terwujud di dalamnya.
Berdasarkan karakteristik ruang lingkup gerakan yang telah dijelaskan di atas, STN PRM
merupakan bentuk gerakan radikal yang berdiri dengan prinsip yang mengubah sistem nilai
mendasar pada petani. Mereka bukan saja hanya memperjuangkan hak-hak petani, tetapi juga
berupaya untuk membentuk kesadaran politik pada petani agar petani sebagai pihak yang
tersubordinasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan itu memiliki power untuk bertindak.
Namun, STN PRM juga memiliki sifat-sifat gerakan yang reformis, karena inti yang
diperjuangkan adalah mengubah norma hukum yang ada agar mempraktikan keadilan yang
seharusnya bagi kelompok bawah seperti petani. Berdasarkan tipe perubahan yang dikehendaki,
STN PRM merupakan gerakan inovasi yang mencoba memperkenalkan sekaligus mengubah
norma dan nilai-nilai yang telah dipegang oleh kelompok tani sebelumnya. Selama ini, para
petani dilihat belum memiliki kemauan untuk menyuarakan pendapatnya. Hal ini kemudian
sangat diperhatikan oleh STN PRM, sehingga mereka berupaya untuk membiasakan petani agar
berani menyampaikan pendapat pribadi melewati forum-forum dalam rapat. Hal semacam ini
merupakan mekanisme yang dianggap tepat untuk menghilangkan tradisi lama pada petani yang
tidak terbiasa menyuarakan aspirasi agar kelak menjadi lebih vokal.
Selanjutnya, berdasarkan sasaran perubahan, STN Sumedang terfokus pada kelompok tani.
Mereka melakukan tindakan-tindakan yang bermaksud untuk mempengaruhi kelompok tersebut
agar mencapai tujuan yang disepakati bersama. Cara kerja gerakan ini dilakukan secara damai,
tanpa serangan dalam bentuk kekerasan. Dari apa yang diperjuangkan STN Sumedang selama
ini, mereka adalah tipikal gerakan lama; yang memperjuangkan persoalan-persoalan dasar, yakni
kebutuhan penghidupan kelompok tani dalam mencapai kesejahteraannya. Aras gerakan ini
merupakan gerakan sosial lokal yang menujukan sasaran kepada kepentingan-kepentingan
kelompok tani di wilayahnya, yakni wilayah Kabupaten sumedang dan sekitarnya.

13

2. Tinjauan teori budaya terhadap gerakan STN Sumedang
Masyarakat Banyuresmi desa genteng yang menjadi anggota STN sumedang merupakan para
petani yang mengalami permasalahan akses terhadap lahan akibat penguasaan Perum Perhutani.
Karena itulah, melihat gerakan STN dari teori kebudayaan, dapat disimpulkan bahwa gerakan ini
berangkat dari sebuah kesadaran akan ketidakadilan pada kelompok tani. Mereka
memperjuangkan wacana reforma agraria, yakni pemenuhan kebutuhan akan lahan, teknologi,
dan modal. Ketidakadilan disadari manakala aspek-aspek kebutuhan tersebut tidak ada pada
petani, sementara petani berada pada posisi yang lemah karena tidak memiliki kekuatan untuk
berdaya atau otonom. Persoalan ketidakadilan ini dikerangkakan dalam beberapa bentuk, di
antaranya; diagnostik, yakni ketika para agen dalam gerakan menyadarkan petani mengenai
keberadaan mereka dan apa yang harus diperjuangkan; prognostik, saat para agen gerakan
memberikan arahan dan masukan mengenai jalan keluar bagi masalah-masalah yang dihadapi
petani; kemudian motivasional, ditunjukan ketika para agen memberi dukungan dalam bentuk
tenaga dan mental bagi petani.

3. Gerakan politik rakyat miskin yang dijalankan STN Sumedang
STN Sumedang sebagai gerakan petani kontemporer memiliki pola perjuangan yang
merespon kebijakan yang terkait dengan tanggungjawab Negara kepada rakyat, terutama kaum
buruh tani yang miskin. Dalam persoalan reforma agraria STN Sumedang merespon kebijakan
agraria yang sebelumnya tidak memberikan kesempatan bagi buruh tani untuk mendapatkan
tanah. Padahal menurut STN Sumedang dalam peraturan agraria sebenarnya menyatakan bahwa
Negara bukanlah penguasa lahan, namun hanya sebagai lembaga yang mengatur bagaimana
rakyat bisa mendapatkan lahan karena rakyatlah yang berhak memiliki lahan. Namun peraturan
tersebut tidak berjalan dengan baik, karena pada kenyataannya rakyat miskin sangat susah
mendapatkan lahan, karena mereka sering tersingkirkan oleh kepentingan orang-orang kaya dan
korporasi-korporasi besar. Oleh karena itulah ,STN Sumedang dalam perjuangannya selalu
menuntut keterjaminan tanah, modal dan teknologi bagi seluruh rakyat miskin. STN Sumedang
melakukan aksi menuntut hingga melakukan aksi Reclaiming terhadap lahan-lahan yang dinilai
milik rakyat namun dikuasai oleh pihak lain karena pihak lain bisa memainkan kebijakan. Lahan
yang di reclaiming kemudian pada akhirnya dikelola secara kolektif oleh STN Sumedang
bersama masyarakat.
14

Dengan demikian dapat dilihat bahwa STN Sumedang memiliki tujuan untuk mengubah
keadaan buruh tani yang miskin menjadi lebih baik lagi. Sehingga munculnya gerakan STN
Sumedang tersebut bukan disebabkan oleh karena terjadinya perubahan dalam struktur
masyarakat atau karena perubahan pandangan tanpa sebab melainkan mereka memperjuangkan
suatu persoalan mendasar yang sedang dialami oleh para kaum buruh tani.
Dalam perjuangan tersebut, gerakan petani STN Sumedang ini telah mengambil bentuk yang
sangat terorganisir, baik secara organisatoris mapun dalam pola dan strategi gerakannya
(Rahmawati, 2002). Hal ini terlihat jelas ketika mereka mengembangkan mekanisme pertemuan
sebagai media komunikasi utama. Komunikasi tersebut bertujuan untuk mengumpulkan
persoalan dari bawah yakni dari tingkat anggota yang basisnya ada di kelompok tani secara
demokratis yang kemudian dibahas secara runtut dari tingkat local yakni desa, regional sampai
tingkat nasional. Pada setiap tingkatan, akan dimunculkan sikap dan pernyataan STN Sumedang
terkait dengan persoalan tersebut yang kemudian akan di suarakan sebagai tuntutan kepada
pemerintah.
Guna menjaga arah gerak dan tujuan bersama terkait dengan persoalan yang sedang dihadapi,
secara nasional STN Sumedang menggunakan mekanisme kongres yang memegang keputusan
tertinggi dari sikap STN Sumedang. Kongres sebagai mekanisme tertinggi akan membahas
persoalan yang muncul dari bawah secara demokratis. Kemudian berdasarkan hasil kongres akan
muncul sikap, pernyataan, taktik dan strategi seperti apa yang mesti dilakukan seluruh aktivis
STN Sumedang hingga ke tingkat anggota. Hal tersebut kemudian akan menjadi acuan arah
gerak para aktivis hingga kongres berikutnya dilakukan.
Kemudian sebagai suatu gerakan petani, STN sebelum pecah menjadi tiga, merupakan
organisasi yang memiliki basis perjuangan dari bawah, berasal dari rakyat. Artinya mereka
memperjuangkan hak petani dengan menggerakan petani mulai dari bawah. Amun pada
perkembangan berikutnya, STN mulai tergoda dengan kekuatan lain yang menyokong mereka
menghadapi kekuatan pemerintah, yakni tawaran dari parpol. Dalam hal ini, parpol yang
membutuhkan masa pendukung menawarkan pada STN untuk bekerjasama dalam memenangkan
pemilu. Tawaran ini mendapat reaksi yang bebeda dari STN, sebagian ada yang menerima dan
sebagian lain menolak. Pihak yang mendukung melihat kerjasama tersebut sebagai peluang
memperkuat pengaruh STN untuk intervensi kebijakan dengan batuan parpol tersebut. Sementara
itu kelompok yang menolak melihat bahwa hal tersebut bertentangan dengan upaya mereka yang
15

membangun perjuangan dari rakyat secara mandiri. Kalau bergantung pada parpol maka rakyat
akan tetap menjadi objek. Akhrinya kelompok ini mendeklarasikan STN mereka dengan
menambahkan Politik Rakyat Miskin (PRM) sebagai landasan perjuangannya.
Kasus perpecahan tersebut menunjukkan adanya indikasi perubahan wacana dalam
perkembangan STN. Sebagaimana yang dijelaskan Safitri (2010), bahwa dalam gerakan tani di
Indonesia masa kontemporer, muncul wacana “Dari Gerakan Sosial Menuju Gerakan Politik”.
Wacana ini dimaknai sebagai upaya untuk melengkapi strategi-strategi yang sudah dijalankan
selama ini, yaitu strategi pendudukan tanah (reclaiming) dan diikuti dengan upaya-upaya ikut
terlibat di dalam agenda-agenda politik praktis yang ada untuk mendudukkan kadernya di posisiposisi formal pengambilan keputusan dari tingkat desa hingga pemerintahan yang lebih tinggi
(Kabupaten, Provinsi, dan Pusat). Kondisi STN sebelum perpecahan menujukkan indikasi bahwa
ada bagian dari STN yang mau bergerak ke arena politik praktis guna memperluas dukungan
untuk perjuangan mereka. Namun hal itu dinilai oleh kelompok yang saat ini menamai dirinya
STN Sumedang bukanlah hakikat dari perjuangan petani. Karena bagi mereka politik yang
dijalankan STN hendaknya membuat masyarakat petani menjadi mandiri hingga pada basis
terkeclnya, bukan sebaliknya malah menjadi bergantung pada pihak-pihak yang ada di “atas”.
Oleh karena itu, wacana politik yang ditekankan oleh STN Sumedang dengan slogan Politik
Rakyat Miskin (PRM) bukanlah bertujuan membuat kader STN Sumedang masuk ke dalam
struktur politik praktis. Akan tetapi, Politik Rakyat Miskin bertujuan memperkuat basis
masyarakat dengan pengetahuan dan kesadaran bahwa masalah yang mereka hadapi bisa mereka
selesaikan dengan cara-cara yang politis. Politis disini memiliki arti semua strategi dan taktik
yang bisa dikembang masyarakat secara mandiri untuk mencapai tujuannya namun bukan
dengan cara bergantung kepada para penguasa.

4. Kepemimpinan yang dijalankan STN Sumedang
Kepemimpinan yang dijalankan ketua tidaklah kharismatik seperti yang dijelaskan dalam
konsep kepemimpinan oleh Weber. Weber menyebut kepemimpinan kharismatis sebagai
anugerah dari Tuhan karena kemampuannya melebihi manusia pada umumnya (prophetis).
Kepemimpinan yang dijalankan oleh Ketua STN kabupaten Sumedang adalah lebih kepada
kepemimpinan tradisional dan legal. Disebut kepemimpinan tradisional, dari segi waktu sudah
lama ketuanya tidak berganti sehingga bisa dikatakan cukup lama petani menghargai APA
16

sebagai ketua yang memiliki kekuasaan yang mengatur petani (anggota) dan organisasi STN
kabupaten Sumedang. Kemudian disebut kepemimpinan legal atau rasional karena organisasi
yang dipimpinnya merupakan organisasi legal. Sehingga dengan legalitasnya, wewenang yang
dimiliki oleh ketua tetap bersandar pada sistem hukum yang berlaku pada organisasi dan
masyarakatnya. Sistem hukum dalam konteks ini merupakan kaidah-kaidah yang telah diakui
serta ditaati masyarakat, dan bahkan telah diakui oleh negara sebagai organisasi pemerintahan
yang tertinggi.
Keberlanjutan sebagai pemimpin dalam organisasi STN kabupaten Sumedang berasal dari
jejak rekamnya sebagai pendiri sekaligus perintis organisasi politik berbasis anggota petani di
Sumedang. Dalam konteks ini, ketua sudah seolah menjadi pemilik organisasi tersebut. Tidak
ada yang bisa menjatuhkan dirinya dari kursi ketua. Bahkan Komite Pimpinan Pusat pun tidak
bertindak terhadap cabangnya itu. Ketika orang mengaitkan STN kabupaten Sumedang dalam
suatu kasus, maka nama APA akan selalu diikutsertakan sebagai ketua STN kabupaten
Sumedang.
Hal lainnya yang menyebabkan keberlanjutan Bung Ponta dalam memimpin organisasi STN
kabupaten Sumedang adalah tidak diadakannya Konferensi Kabupaten/Kota yang seharusnya
diadakan 5 (lima) tahun sekali. Ini terlihat, bahwa kepemimpinannya merupakan bagian dari
pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Sudah lebih dari 3 (tiga) periode kepemimpinan
organisasi dijalankannya. Cara ini mirip seperti yang dilakukan oleh para pemimpin yang
diktator di tingkat elit pemerintahan pada banyak negara, salah satunya Indonesia pada masa
orde baru yang kepemimpinannya berlangsung selama sekitar tiga dasawarsa. Soeharto
melanggengkan kekuasaannya dengan cara menguasai MPR sebagai lembaga yang mengangkat
dan memberhentikan presiden.
Disisi lain, kepemimpinan yang dijalankannya berpengaruh sedikitnya terhadap petani
sebagai anggota. Petani akan menuruti perintah yang menjadi garis komando kepemimpinan
organisasi. Namun, tidak selamanya akan ditaati. Banyak petani yang keluar sebagai anggota
karena kedisiplinan organisasi yang diterapkan APA. Namun banyak juga petani yang seolah
memanfaatkan kedisiplinan tersebut untuk keluar dari organisasinya. Misalnya dengan tidak
hadir rapat dan membayar iuran bulanan. Mereka memanfaatkan aturan organisasi agar bisa
17

keluar dari cengkraman STN kabupaten Sumedang. Dan biasanya mereka yang keluar dengan
sengaja, sudah memiliki alternatif pilihan pekerjaan. Terutama terkait dengan adanya lahan yang
bisa digunakan diluar kepemilikan kolektif organisasi STN kabupaten Sumedang.
Keadaan petani yang sudah menjadi anggota STN kabupaten Sumedang korelasinya dengan
kepemimpinan yang dijalankan oleh APA sebagai STN kabupaten Sumedang mencerminkan
karakter petani yang cenderung bekerja pada kepentingannya sendiri dan bisa dibilang penakut.
Bahkan, dalam hal ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Wolf (1971), bahwa karakteristik
petani tidak sepenuhnya memiliki gambaran sosok yang revolusioner untuk melakukan suatu
gerakan. Namun, revolusi (perubahan dalam waktu relatif singkat) oleh petani bisa saja terjadi.
Revolusi bisa terjadi disebabkan akibat perubahan besar terjadi yang membuat masuknya
industri dan posisi ekonomi petani menjadi tersisih. Keadaan ini selanjutnya mendorong petani
untuk melakukan pemberontakan. Dalam konteks sekarang, revolusi petani di Indonesia akan
dikerangkai oleh suatu gerakan yang sifatnya massif ketika diorganisasikan oleh organisasi yang
memperjuangkan hak-hak petani.

Daftar Pustaka

Fanon, Frantz. 1971. “The Revolutionary Proletariat of Our Time”, in Teodor Shanin (ed.).
Peasent and Peasent Societies. Hormondsworth: Penguin Books. hlm. 372-374.

Landsberger, Henry A. & YU.G. Alexandrov. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial.
Jakarta : CV.Rajawali.

Sasongko, Trihadyanto (penyunting). (2006). Seri Bibliografi Bercatatan. Bandung : Yayasan
Akatiga. hlm. 27-32.

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni.(1998).Petani dan Konflik Agraria. Bandung :
18

Yayasan Akatiga.

Wolf, Eric. 1971. “On Peasent Rebellion”, in Teodor Sanin (ed.). Peasent Societies.
Hormondsworth: Penguin Books. hlm. 264-274.

Jurnal Penelitian

Rahmawati, Desi. 2002. Gerakan Petani Dalam Konteks Masyarakat Sipil Indonesia : Studi
Kasus Organisasi Petani Serikat Tani Merdeka (SeTAM). Jurnal ilmu sosial dan ilmu
politik.

Safitri, Hilma. 2010. Gerakan Politik Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang (FPPB).
Bandung : Yayasan Akatiga.

Media elektronik

Achdian,

Andi.(2010).

Penguasaan

Dan

Pendistribusian

Lahan

Oleh

Rakyat.

www.reocities.com.

Hari S., Nanang.(2010). Gerakan Petani Dan Tumbuhnya Organisasi Tani Di Indonesia (Studi
Kasus Gerakan Petani Era 1980-an). www.psdal.lp3es.or.id.

Sarwono,Agus.(2010). Sejarah Gerakan Tani Indonesia. Diunduh dari www.sindutile.co.cc.

19