JALAN TAK ADA UJUNG MOCHTAR LUBIS DAN EK (1)

JALAN TAK ADA UJUNG MOCHTAR LUBIS DAN
EKSISTENSIAUSME SARTRE
Oleh; Dra. Darni, M. Hum.
1. Pendahuluan
Novel Jalan Tak Ada Ujung (selanjutnya disingkat 'JTAU) merapakan salah satu
karya besarMochtar Lubis. JTAU laku keras di pasaran, terbukti sejak terbit pada
cetakan pertama tahun 1952, JTAU sampai 1992 telah mengalami sembilan kali cetak
ulang. Pada tahun 1953 JTAU memenangkan Hadiah SastraNasional BMKN. Menurut
Hadimaja(1970)buku-bukuMochtar Lubis terutamaJTAUbanyakmenarikperhatian
dunia Barat. Mungkin karena buku-buku Mochtar Lubis berbicara dan
memperjuangkan kemanusiaan dan kebebasan manusia.
Sebagai sebuah karya yang berhasil, JTAU mendapat sambutan yang hangat
dari para kritikus. Berbagai pendapat mewarnai koran-koran dan majalah Sastra
Indonesia. Mereka membicarakannya sebagai karya yang berhasil dan bermutu.
Sementara ada pula yang meragukannya sebagai karya terbaik. Pamusuk Eneste
misalnya, meragukan JTAU sebagai karya terbaik yang mendapat hadiah BMKN
(Setiadi, 1983). Mengenai isinya, sebagian kritikus menghubungkannya dengan
psikoanalisis Sigmun Freud, dan sebagian ada yang cenderung menyebutnya sebagai
novel Eksistensialis.
Mochtar Lubis dan karya-karyanya telah diteliti oleh peneliti dari dalam negeri
dan luar negertHenry Chambertmengajukannya sebagai disertasi (1974)denganjudul

Loir, Mochtar Lubis, une Vision de L'Indonesie Contemporaine, David T. Hill
mengajukannya sebagai tesis dengan judvlAspetcs of Indonesian Writing and Journalism, with Special Referencem to Mochtar Lubis (1988) dan pada tahun 1989 diperdalam
sebagai disertasi dengan judul Mocfetar Lubis: Alitor, Editor and Political Actor, Secara
khusus novel JTAU sudah dianalisis oleh M.S. Hutagalung (1963) dan diterbitkan oleh
Gunung Agung dengan judul JTAU Mochtar Lubis : Satu Pembicaraan. Hutagalung
membicarakan JTAU dari berbagai segi, salah satunya dari nlsafat Eksistensialis me.
Dan tentu saja masih ada beberapa pembicaraan dan penelitian yang diajukan sebagai
skripsi Sarjana atau Sarjana Muda yang tidak sempat disebut Kendatipun novel JTAU
sudah dibicarakan oleh para kritikus dan para peneliti, pembicaraan mengenai novel
yang bermutu ini dari waktu ke waktu bukan merupakan sesuatu yang membosankan.
Pengaruh asing dalam kepengarangan seorang pengarang adalah wajar.
Demikian pula dengan Mochtar Lubis. Ia banyak menerima pengaruh dari tokoh
nlsafat Eksistensialisme dan pengarang Sartre, kendatipun pengaruh yang diterima
memang secara tidak langsung. Menurut Hutagalung (1963 : 53), Mochtar Lubis
mengakui banyak membaca karya Sartre, namun ia tidak pernah belajar filsafat
Eksistensialisme. Berkaitan dengan masalah ini penulis juga mengasumsikan bahwa

novel JTAU yang akan dibicarakan ini juga diwarnai oleh filsafat Eksistensialisme.
Pertanyaan-pertanyaan bagaimanakah kebebasan, tanggung jawab, ketakutan, dan
teror yang dihadapi manusia pada zaman revolusi patut digali dan diberi penjelasan.

Oleh karena Mochtar Lubis, pengarang novel JTAU ini, banyak menerima
pengaruh dari Jean-Paul Sartre, maka pembicaraan novel JTAU dalam tulisan ini juga
akan diarahkan dan difokuskan pada prinsip-prinsip Eksistensialisme Sartre pula.
2. Eksistensialisme Sartre
Eksistensialisme merupakan salah satumadzab dalam kurun waktuModernisme.
Ciri-ciri yang dimilikinya pun sama dengan ciri-ciri yang dimiliki Modernisme, yaitu
pesimisme dan kegelapan. Karena titik berat pada sudut gelap kehidupan manusia, oleh
kaum Marxis Eksistensialisme dianggap sebagai desparate quitism (Sartre, 1957 : 9).
Anggapan yang demikian didasarkan pada pendirian bahwa apabila ada orang yang
berkuasa lebih baik diam. Apabila tidak diam maka akan timbul kekacauan. Anggapan
bahwa Eksistensialisme desparate quitism tidak dibenarkan oleh Sartre. Menurut Sartre
kita bertanggung jawab atas tindakan kita. Bagaimanapun tindakan kita adalah
pelarian dari rasa putus asa dan kesepian.
Embrio Eksistensialisme ada sejak tahun 1880. Eksistensialisme kemudian
berkembangpesat setelah Perang Dunia II. Tetapi Eksistensialisme dalam sastra baru
muncul sekitar tahun 1938 lewat Sartre dalam karyanya Nausea (1938), novel Sartre
yang terkenal dan bermutu. Menurut Sartre (1957 : 31) manusia tidak lain adalah
rencananya sendiri. Ia tidaklain adalah kumpulan tind akannya. Manusia bertanggung
jawab kepada dirinya sendiri. Eksistensinya tiada lain adalah dirinya sendiri yang
bertanggung jawab. Dalam membentuk dirinya manusia memiliki kebebasan untuk

memilih suatu pilihan yang terbaik di antara alternatif-alternatif yang dihadapinya. Ia
dapat memilih apa yang baik dan apa yangburukbagi dirinya. Ia tidak menyalahkan
orang lain atas pilihannya.
Jelas bagi Sartre, bahwa kebebasan sangat penting bagi manusia. Tanpa
kebebasan manusia hanyalah merupakan esensi belaka. Kebebasan dimiliki oleh setiap
manusia. Apa yang dilakukannya merupakan ungkapan dari kebebasan yang
dimilikinya, karena sebenarnya ia dapat memilih untuk bertindak lain.
Pilihan yang telah kita tetapkan, yang merupakan alternatif terbaik dari
berbagai alternatif yang kita hadapi, sebenarnya menyangkut orang lain dan seluruh
manusia. Eksistensiitu tidak padaindividuperindividu, akan tetapi dalam keseluruhan
konteks sosial. Sartre menandaskan bahwa ia bertanggung jawab baik bagi dirinya
maupun bagi orang lain. Ia menciptakan gambaran tertentu tentang manusia atas
dasar pilihannya sendiri. Dalam memilih bagi dirinya, ia juga memilih bagi manusia
(1957:18). Tanggung jawab yang kita pikul lebih besar dari sekedar tanggung jawab
terhadap diri sendiri. Tanggung jawab itu berarti pula meliputi tanggung jawab kepada
seluruh manusia. Jadi kebebasan bukan suatu pertolongan bagi manusia, justru
kebebasan merupakan sumber kecemasan, ketakutan, dan perasaan diteror.
Dalam Eksistensialisme Sartre, masing-masing individu meras akan duni a yang

J6 - CAKRAWALA No. 017 Tahun V. Dcsomber 1998


asing. Dan satu-satunya cara untuk melarikan diri dari kesepian dan keputusasaan
adalah partisipasi yang aktif dalam masalah-masalah kemanusiaan.
Sartre seorang eksistensialis atheis. Mengenai sebutanini Sartre (1957 : 51)
menjelaskan bahwa Eksistensialisme itu tidaklah sedemikian atbeisnya, sehingga
mengerahkan segala-galanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada. Namun
Eksistensialisme menyatakan bahwa meskipun Tuhan ada, tidak ada yang berubah
karenanya. Rupanya Tuhan tidak bisa dimintai tanggungjawab atas segala perbuatan
manusia. Tuhan tidak berperanan dalam putusan yang diambil manusia. Manusia
betul-betul bebas menentukan pilihannya.
Mengenai mengapa menulis, menurut Sartre menu!is merupakan suatu tindakan
dan menulis dapat mengarahkan dan merebut hati orang lain. Pada saat menulis,
seorang penulis tidak menduga-duga, ia merencanakan sesuatu, karena itu ia
mengetahui apa yang akan terjadi. Apabila kita membaca karya sastra, kita benci
kepadaseseorang atankita menaruh simpati kepada seseorang, sebenarnya kebencian
dan simpati yang kita rasakanitu dihidupkan oleh pengarangnya. Apapunyang terjadi
pada saat kita membaca merupakan proyeksi penulis. Apapun yang kita rasakan
direncanakan oleh pengarang. Apa yang diproyeksikan oleh pengarang membutuhkan
atau berhubungan dengan orang Lain. Apabila orang lain itu tidak tergerak maka tidak
ada eksistensi penulis (Adams, 1972:1059).

Para Eksistensialis atheis selain Sartre adalah Heidegger, Albert Camus, dan
para Eksistensialis Perancis. Sedangkan para Eksistensialis theis antara lain
Kierkegaard, Jaspers, dan Gabriel Marcel (Sartre, 1957 :13).
3. Eksistensialisme dalam Novel JTAU
Konsep Eksistensialisme, khususnya Eksistensialisme Sartre, tidak hanya secara
tersirat terkandung dalam JTAU, bahkan Lubis menyatakannya secara tersurat. Hal itu
akan ditunjukkan dalam sub-sub bagian berikut ini.
3.1 Rasa Takut
Bagi kaum eksistensialis, manusia pada dasarnya memang anguish (Sartre, 1957
; 18). Begitu manusia terlempar pada eksistensinya, manusia berhubungan dengan
bermacam-macam pembuat hukum. Semua itu menimbulkan perasaan takut.
Dalam novel JTAU ketakutan merupakan gagasan yang paling menonjol.
Ketakutan mendasari dan mendorong segala pilihan dan tindakan Guru Isa (GI) yang
penuh dengan kemunafikan. Takut akan bahaya yang mengancam keselamatannya,
takut dicap mata-mata musuh (him. 39), takut akan segi-segi kekerasan dan
pembunuhan (him, 82), dan takut akan siksaan (him. 157). Ketakutan itu datang
bagaikan teror, meremas-remas isi perutnya, melemaskan seluruh persendiannya
bahkan kejantanannya, mengganggu tidurnya, dan mengejarnya sepanjangjalanyang
tak ada ujung.
Ketakutan GI berakhir dengan penemuan eksistensi dirinya. GI dapat

menguasai rasa takutnya dan menyadari bahwa manusia memang harus dapat hidup
dengan ketakutannya masing-masing. GI juga menyadari dan mengerti bahwa
kebahagiaan

CAKRAWALA No. 0 1 7 T=>hun V. Dcsember W 8

- 37

manusia adalah dalam perkembangan orang seorang yang sempuma dan harmonis
dengan orang lain (him. 162).
Sebaliknya ketakutan yang tidak dapat dikuasai akan menghancurkan manusia.
Ketakutan Hazil pada siksaan dan rasa sakit yang tidak dapat dikuasainya
menghancurkan dirinya (him. 162). Berangsur-angsur Hazil mengalami disintegrasi
kemanusiaan dan kelaki-lakiannya (him. 161).
3.2. Kebebasan dan Tanggung Jawab
Manusia tidak lain adalah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri (Sartre, 1957
: 15). Dalam membentuk dirinya manusia bebas menentukan pilihan dan melakukan
tindakan. Dengan kebebasanitumanusiajugaharus memberikan tanggung jawab atas
keputusan yang telah diambilnya dan segala tindakan yang telah dilakukannya di atas
pundaknya sendiri.

GI telah mengambil berbagai keputusan dan berbagai tindakan dalam hidupnya.
Segala keputusan dan tindakannya sangat berarti bagi hidupnya dan organisasi
perjuangan serta lingkungan sekitarnya. Pada masa revolusi itu GI telah memutuskan
ikutberjuang(hlm. 27),seperti keputusan yangdipilih orang lain pada saatitu. Karena
takut GI telah memilih menerima tugas sebagai pemimpin perjuangan (him. 27). Dengan
perasaan enggan dan takutyangsemakinbeilambahGImemutuskanmengawal senjatake
suatu tempat (him. 72). GI juga menerima tugas pemegang dana perjuangan (him. 100).
Dengan ketakutan yang memuncak GI ikut melempar granat di bioskop REX (him. 131).
Bagi kaum eksistensialis, kebebasan memilih dan bertindak justru menuntut
tanggung jawab yang besar pula. Bagi GI akibat dari pilihan dan tindakannya itu
dirasakannya berupa ketakutan, ketakutan yang menghempas-hempaskannya bagai
teror yang hebat (him. 132). Ketakutan yang bergulung-gulung menyiksanya itu
diterimanya dengan iklas dan disembunyikannya karena disadarinya bahwa semua
yang dialaminya adalah tanggung jawab yang harus dipikulnya sendiri. Siksaan di
ruang tahananpohsi militer juga disadarinya sebagai tanggungj awab atas
perbuatannya melempar granat di bioskop REX tanpamenyalahkansiapapun.
Bahkanpenangkapan atas dirinya sudah ditunggu-tunggunya sejak GI membaca berita
bahwa temannya tertangkap (him. 150). Siksaan itu akan diterimanya terus dengan
iklas sebagai tanggungjawab dari keputusanny a untuk tidakmembuka mulut dan tidak
mengkhianati teman (him. 162).

Memilih atau menentukan suatu keputusan yang diikuti tanggungjawab yang
harus diberikan atas pilihannya selalu mewamai cara berpikir GI, Selain
peristiwa-peristiwa di atas, dalam masalah rumah tangga pun GI tetap pada pilihan
eksistensial. Man kita ikuti kutipan berikut.
"Dia tidak akan bertanya. Takut, kalau dia bertartya dia akan tahu, apa yang
disangkanya sesungguhnya terjadi. Dan itu, dan semuanya yang akan terjadi karena
itu, lebih menakutkan hatinya, dari pada keragu-raguansekarang. Karena itu dia
simpan pipa itu dan dia tutup mulut." (him. 125)

- CAKMWALANo.OI/Tanuri V. Qesemaer

'-y

-H

GI menyadari tanggungjawab yang akan diterimanya apabila ia memilih bertanya
tentang pipa Hazil kepada Fatimah. Bila yang disangkanya benar ia akan mendapat
malu dan mungkin Fatimah akan meninggalkannya, serta persahabatannya dengan
Hazil akan putus. Akibat-akibat itu lebih menakutkan dari pada ia memdih tutup mulut
dan menyimpan pipa Hazil. Keragu-raguan yang dialaminya yang akan menambah

teror dalam hidupnya dipilihnya karena dianggap lebih baik.
Bagaimanapun, sebenarnya kemunafikan yang dilakukan GI, pilihan yang
ditentukan dan tindakan yang dilakukan GI, tetap merupakan pilihan dan tindakan
yang keluar dari kebebasannya, karena GI dapat melakukan pilihan dan tindakan yang
berlawanan dengan pilihan dan tindakan yang telah diambilnya. Semua
kemunaflkannya itu dilakukan karena ia justru ingin menghindar dari tanggung j awab
yang lebih besar. Pilihan dan tindakannya itu memang merupakan pilihan dan
tindakan yang eksistensial. Pilihan dan tindakannya keluar dari kebebasannya dan
dipertanggungj awabkannya.
Manusia eksistensialis dalam menentukan pilihan chlandasi oleh kebebasan
pribadinya. Namun, sebenarnya pilihan itu menyangkut orang lain bahkan seluruh
manusia (Sartre, 1957 :18). Prinsip tersebut juga dimiliki oleh GI. Meski dalam hati
tidak suka, ingin menolak, penuh perasaan takut dan enggan, GI tetap memdih
menerima tugas sebagai pemimpin perjuangan, mengantar senjata, memegang dana
organisasi perjungan, ikut melempar granat di bioskop REX, dan tidak membocorkan
rahasia organisasi perjuangannya. Sebenarnya GI di samping memilih untuk dirinya
sendiri, GI juga telah memilih untuk orang lain, yaitu kawan seperjuangan dan bagi
manusia yang sedang berevolusi saat ini. Pilihan dan tindakan GI merupakan pilihan
yang eksistensial, yaitu pilihan yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun
kepada orang lain.

3.3. Manusia dalam Proses
Manusia tiada lain adalah rencananya sendiri, oleh karenanya manusia tiada lain
adalah kumpulan tindakannya (Sartre, 1957 : 32). Manusia dalam menciptakan dirinya
tidak akan pernah selesai dengan ikhtiarnya itu. Manusia selalu dalam proses. Hanya
mautlah yang mengakhiri eksistensi manusia menjadi esensi.
Konsep Sartre di atas tampak jelas dalam novel JTAU. Lubis menuangkannya
secara eksplisit dalam dialog tokoh Hazil dengan GI berikut ini.
.... bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan ada
habis-habisnyakita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus tidak ada ujungnya.
Perjuangan ini meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai ke ujungnya. Di
mana ada ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia ? Dalam
hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus
dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya," (him. 49).
Manusia sebagai eksistensi adalah manusia yang sedang menempuh jalan yang tidak
ada habis-habisnya, tidak ada ujungnya. Manusia terus memilih, bertindak dan

CAKRAWALA No, 017 Tahun V. Deserober 1998 - 49

bertanggung jawab, terus dan terus. Manusia tidak habis-habisnya menghadapi
persoalan, rintangan, dan musuh, Selesai masalah yang satu akan muncul masalah lain

yang menghadapkan manusia pada pilihan dan tindakan, begitu seterusnya. Manusia
terus berikhtiar, sampai maut menjemputnya yangmembekukan eksistensinya dan
merampas kebebasannya.
Manusia dalam proses berarti manusia selalu dalam situasi. Dalam novel JTAU
tampak dua proses, yaitu proses terus dan proses kemandegan. Kedua proses itu dialami
oleh GI dan Hazil.
Hazil yang pada mulanya mengetahui bahwa jalan yang ditempuhnya adalah
jalan tak ada ujung (him, 49) ternyata ia terpelanting dan jatuh karena pilihan
tindakannya yang tidak bertanggung jawab, yaitu berkhianat dan membocorkan rahasia
perjuangannya kepada musuh (him. 159). Siksaan yang ringan telah menyebabkan
Hazil berkhianat. Namun siksaan dan rasa sakit yangia takutkan terus diterimanya
meskipun ia sudah buka mulut (him. 161). Ketakutan akan rasa sakit dan siksaan yang
tidak bisa dikuasainya menghancurkan dirinya, hingga ia mencapai disintegrasi
kemanusiaan dan kelaki-lakiannya. GI melihat Hazil akan mati (him. 164). Mati atau
mautlah yang menyebabkan Hazil mengalami kemandegan. Mandeg yang berarti
dibekukannya eksistensi dan hilangnya kebebasan Hazil.
GI terus berikhtiar dengan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakannya (telah
dibicarakanpadabagian3.2). Pada mulanya GIbelumdapatmenyadarikedudukannya dan
menguasai ketakutan yang dialaminya (him. 28). Setelah bertemu dengan segi-segi
kekerasan GI menyadari dan merasa ketakutan yang mencekam (him. 39). Pada puncak
ketakutannya, dengan ikhtiamyaia berhasil menguasai ketakutannya, bahkan dapat
berdamai dan hidup dengan ketakutannya (him. 162). GI menemukan dirinya,
menyadari dan menemukan jalan tak ada ujung. Jalan tak ada ujung itu baru
ditapakinya dan ia menyadari bahwa ia harus terus menempuhnya dengan memilih,
bertindak, dan memberikan tanggungjawab atas pilihan dan tindakannya untuk tetap
eksis.
Novel ini diakhiri dengan penemuan diri GI yang sedang menempuh jalan tak ada
ujung danketidakpastian keadaan Hazil. Penyelesaian seperti itu merupakan ciri khas
novel Eksistensialisme, seperti hidup manusia itu sendiri, sebagai keterbukaan yang
tidak selesai.
3.4 Peran Tuhan
Sartre(1957:13)mengakui bahwa Eksistensialismenya adalah Eksistensialisme
atheis. Namun, menurut Sartre, Eksistensialisme itu tidaklah sedemikian atheistisnya,
sehingga mengerahkan segala-galanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada.
Namun meskipun Tuhan ada, tidak ada yang berubah karenanya. Tuhan tidak dapat
dimintai tanggungjawab atas segala perbuatan manusia. Tuhan tidak berperan dalam
putusan yang diambil manusia. Manusia bebas menentukan segala keputusannya.
Konsep tiadanya peran Tuhan dalam eksistensialisme Sartre juga terlihat dalam
JTAU. Kutipan-kutipan di bawah ini menunjukkan tidak adanya peran Tuhan.

50 ■ CAKRAWALA No. 017 Tahun V, Desember 1998

'"Astagfirullah" Isa berseru dalam hatinya......... (him. 11)
'"Kita berdosa-dosa-berdosa," tetapi perkataannya hilang........... (him. 118).
"'..... karena dia tidak sembahyang. Seperti Isa juga. (him. 62).
Meski Tuhan ada, namun Tuhan tidakberperanan dalam pengambilan
keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Seperti keputusan yang diambil
Fatimah ketika menghadapi Hazil (him. 118). Kendatipun ia tahubahwa perbuatan
berhubungan dengan seseorang selain suaminya dikutuk Tuhan: berdosa, namun
Fatimah memutuskan menerima Hazil yang bukan suaminya. Perbuatan itu mereka
jalin terus tanpa menyesal dan berdosa.
Pada GI, setelah ia mencuri buku tulis dari dalam almari kelasnya, ia menyiksa
dirinya sendiri sebagai penebusan dosa (him. 70). GI meletakkan tanggungjawab
pencurian yang dilakukannya pada diri sendiri, dengan menyiksa jiwanya sedemikian
rupa,sehinggaiamerasapuas dan merasa tertebuslahdosanya. Bukan Tuhan tempat
menggantungkan tanggungjawab pencuriannya, dengan mohonampun kepada Tuhan
misalnya. Setelah GI mendapatkan uang dari hasil mencuri buku, GI tidak merasa
diperhatikan Tuhan, ia justru malu dan merasa diperhatikan orang-orang di sekitarnya
yang sebenarnya tidak mengetahui perbuatannya (him. 70). Perbuatan mencuri itu
diulanginya terus. Semakin lama perasaan bersalah semakin menipis dan akhirnya
hilang sama sekali (him. 96). Tuhan tidak berperan dalam pilihan dan tindakan yang
dilakukan GI. Tuhan yang bukan tempat menggantungkan tanggungjawab pencurian
yang dilakukannya.
4. Penutup
Dari hasil analisis yang sederhana di atas tampak bahwa novel Lubis JTAU
banyak diwarnai oleh konsep Eksistensialisme Sartre.
Ketakutan merupakan gagasan yang paling menonjol. Ketakutan ada sejak
manusia terlempar dari eksistensinya. Ketakutan dimiliki oleh semua orang. Manusia
harus dapat hidup dan damai dengan ketakutannya masing-masing. GI, setelah
mengalami perjalanan yang panjang akhirnya dapat menguasai dan damai dengan
ketakutannya. Sebaliknya, Hazil yang semula bersemangat dan berani akhirnya
dihancurkan oleh ketakutan yang tidak dapat dikuasainya.
Masalah memilih, bertindak, dan bertanggungjawab merupakan masalah yang
sangat penting bagi manusia eksistensial. Manusia bebas tetapi bertanggungjawab.
Dengan ketakutan yang sulitdipahaminya, GI terus berikhtiar: memilih dan bertindak.
Kemunafikan dilakukan GI karena ia dihadapkan pada tanggungjawab baik kepada
diri sendiri maupun kepada orang Iain. Peran Tuhan tidak ada terhadap segala
keputusan dan tindakan yang diambil Fatimah maupun GI. GI juga tidak pernah
melarikan tanggungjawab perbuatan dosanya kepada Tuhan.
Kesadaran manusia sebagai ksterbukaanyangtidak selesai mendorong manusia
terus berikhtiar. GI dengan dihantui perasaan takut terus memilih dan bertindak,
sampai akhirnya ia dapat menguasai ketakutannya dan menyadari bahwa jalan yang
ditempuhnya adalah jalan tak ada ujung. Perjalanan yang dititi manusia adalah jalan

CAKRAWALA No 017 Tahun V. Desemaer 1998 - S1

yang tak ada ujung, manusia terus meiakukan pitihan, tindakan, dan memberikan
tanggungjawab atas pilihan dan tindakannya. Apabila manusia berhenti bertindak
dan bertanggungjawab maka ia akan mengalami kemandegan. Hal itu dialami oleh
Hazil. Hazil tidak dapat menguasai dan damai dengan ketakutannya, bertindak tetapi
tidak bertanggungjawab. Judul JTAU dan bentuk penyelesaian cerita yang tidak jelas
turut memberikan makna eksistensi manusia sebagai keterbukaan yang tidak pernah
selesai

DAFTAR PUSTAKA

Adams Hazard, 1972. Critical Theory Since Plato. New York: Harcomt Brace
Jovanorich.
Hadimaja, Aoh K, 1970. Jalan Tak Ada Ujung dalam Bahasa Inggris' dalam Indonesia
Merdeka. Tanggal 19 Januari 1970.
Hassan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hutagalung, M.S. 1963. Djalan Tak Ada Udjung. Jakarta: Gunung Agung.
Lubis, Mochtar, 1992. Jalan Tak Ada Ujung (sebuah novel). Jakarta: Yayasan Obor.
Sartre, Jean-Paul, X%7.ExistensiaUsmQndHumanErM
Library, Inc.
Setiadi, Nurdin, 1983. 'Ketakutan yang menimbulkan keberanian dan kebahagiaan1
dalam Terbit, tanggal 25 Juni 1983.

936