II. TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Konflik Pengelolaan Hutan Kemenyan (Studi Kasus: Desa Panduman dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Hutan Kemenyan

  Sejarah pohon kemenyan di Negara Indonesia tumbuh dan menghasilkan di Pulau Sumatera khususnya di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Kebun kemenyan (tombak haminjon) sudah diusahai oleh masyarakat sejak tahun 1875 sebagai sumber kehidupan dan penghidupan atau mata pencaharian utama di daerah ini. Dari generasi ke generasi kebun kemenyan ini tetap menjadi sumber pencaharian utama sampai sekarang, selanjutnya generasi yang mengelola dan mengusahai kemenyan ini merupakan generasi keenam. Pohon kemenyan tidak akan pernah dijumpai tertata rapi layaknya perkebunan, dan juga pohon kemenyan tidak dibudidayakan. Kemenyan sebagai komoditi yakni getah yang disadap dari batang pohon tersebut.

  Tombak haminjon (hutan kemenyan), yakni areal tanah adat yang berisi tanaman kemenyan yang sudah dibudidayakan beserta tanaman lainnya milik masyarakat adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, yang sudah dimiliki dan diusahai sejak masa leluhur atau nenek moyang mereka, diperkirakan sejak 300 tahun yang lalu, sesuai tindakan generasi yang sudah mendiami desa ini.Tombak haminjon ini berada di 3 areal yang mereka beri nama : Tombak Sipiturura, Dolokginjang, Lombang Nabagas. Marga-marga awal yang membuka perkampungan sekaligus yang membuka Tombak Haminjon dan yang tinggal hingga sekarang di 2 desa ini terdiri dari komunitas marga yakni : 1.

  Turunan dari marga Marbun yakni Lumban Batu yang hingga sekarang sudah 13 generasi; Lumban Gaol (13 generasi);

2. Boru bius (sebagai marga boru) yakni Nainggolan dan Pandiangan

  (13 generasi); 3. Turunan Siraja Oloan yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang

  (masing-masing 13 generasi); 4. Marga yang datang kemudian yakni: Munthe dan Situmorang (3generasi).

  Berdasarkan data desa, saat ini ada 770 KK (3715 jiwa) warga yang mendiami 2 desa ini, dan menggantungkan hidupnya dari hasil kemenyan. Total luas wilayah adat yang belakangan diketahui menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL), 6001,153 ha. Dari pemetaan yang dilakukan, sudah termasuk perkampungan menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL).

  Komunitas marga diataslah yang sejak awal membuka perkampungan dan areal Tombak Haminjon ini dan memiliki serta mengusahainya, yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi yang terdahulu hingga sekarang, secara hukum adat ataupun kebiasaan yang berlangsung secara terus-menerus, diakui, dan hidup di komunitas 2 desa ini.

  Sebagai komunitas masyarakat adat, batas-batas kepemilikan tanah di antara komunitas 2 desa ini juga ditentukan sesuai kebiasaan atau hukum adat.

  Demikian juga dalam penentuan batas-batas kepemilikan dengan desa/komunitas desa lainya. Ada sejenis rotan yang menjadi tanda batas kepeilikan di antara mereka. Dan hal ini mereka patuhi hingga saat ini.

  Di areal tombak haminjon ini dulunya terdapat jalan yang merupakan jalan penghubung antara Desa Pandumaan/Sipituhuta dengan Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan. Tahun 1920-1980-an, masyarakat Desa Simataniari menggunakan jalan ini untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari ke Onan Pollung

  (Pekan). Onan Pollung ini berada di Desa Pollung, namun semenjak tahun 1985-an, warga Simataniari tidak lagi berbelanja ke Onan Pollung karena sudah ada di Kecamatan Parlilitan.

  Masyarakat adat di dua desa ini pada umumnya hidup dan menjadikan Tombak Haminjon sebagai mata pencaharian utama yang mereka sebut

  martombak, yakni kegiatan atau pekerjaan mengambil kemenyan ke tobak

  kemenyan. Setiap keluarga (suami dan anak laki-laki dewasa) pada umumnya bekerja sebagai petani kemenyan. Setiap hari senin akan berangkat ke tombak dan tinggal disana untuk manige (mengambil getah kemenyan) dan akan pulang ke desa pada hari kamis, jumat dan atau sabtu. Sehingga suasana desa ini sangat sunyi dengan kehadiran kaum laki-laki pada hari-hari dimana mereka martombak. Demikian kehidupan warga 2 desa ini berlangsung dari generasi ke generasi, tanpa pernah mendapat gangguan dari pihak mana pun. Dari hasil kemenyan ini lah warga dua desa ini dapat menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, dan memenuhi kebutuhan atau keperluan hidup lainnya.

  Sebagai tanaman langka dan termasuk jenis tanaman yang dilindungi (endemic), pohon kemenyan adalah produk unggulan dari Kabupaten Humbang Hasundutan, dan hanya bisa tumbuh di daerah tertentu dengan kondisi tanah tertentu. Demikian hal nya di desa ini, menurut pengalaman warga, dengan beralih ke pekerjaan lain dengan mengembangkan jenis pertanian lain, kondisi tanah kurang mendukung untuk itu. Sehingga hanya dengan martombak lah yang bisa mereka lakukan di desa ini.

2.2. Kondisi Hutan

  Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kawasan hutan negara dengan luasan 95.512,84 ha (37,9 % dari luas total kabupaten). Masing-masing kecamatan memiliki sebaran luas serta fungsi hutan yang tidak sama. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang ditampilkan sebagai berikut.

  Tabel 1. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan No Nama Kecamatan Luas Kawasan Hutan Persentase (ha) (%)

  1 Pakat 17.100,00 17,90

  2 Onan Ganjang 3.100,00 3,25

  3 Sijamapolang 2.850,00 2,98

  4 Lintong Nihuta 7.700,60 8,06

  5 Paranginan 2.250,00 2,36

  6 Doloksanggul 6.000,04 6,28

  7 Pollung 6.062,20 6,35

  8 Parlilitan 39.950,00 41,83

  9 Tarabintang 8.400,00 8,79

  10 Bakti Raja 2.100,00 2,20 Total 95.512,84 100,00 Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009

  Bila ditinjau dari keberadaan luasan hutan di atas maka kabupaten ini masih masuk dalam kategori kabupaten yang memiliki luasan hutan yang proporsional yaitu di atas 30 % dari luas wilayahnya. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya didominasi oleh hutan produksi yang mencapai 64%, diikuti hutan lindung 33% dan hutan produksi terbatas (HPT) sebanyak 3% dari luas kawasan hutan total. Pengelolaan hutan produksi yang ada di wilayah administrasi Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar telah melibatkan pihak swasta dengan membangun hutan tanaman sebagai bahan baku bubur kertas (pulp).

2.3. Konflik

  Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002). Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif.

  Menurut Fisher et al. (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki,sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi. Menurut Mitchell, et al. (2000) dan Hendricks (2004) konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif dan negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalapahaman.

  Konflik juga bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan status quo. Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan kondisi social budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam. Menurut penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat pada munculnya konflik-konflik antar berbagai unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell, et al., 2000). Selain itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan kepentingan- kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan ada suatu potensi konflik.

  Koentjaraningrat dan Ajamiseba (1994) menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena perubahan sosial budaya yang begitu cepat terhadap pegangan dan pola kehidupan tradisional, menyebabkan masyarakat kehilangan jati dirinya dan merasa tercabut dari akar budayanya, yang selanjutnya menjadikan mereka apatis dan agresif. Dampak sosial budaya yang negatif tersebut dapat menciptakan suatu gerakan destruktif. Anau, et al. (2002) menyebutkan pula bahwa benturan kepentingan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain juga dapat menimbulkan persengketaan, yang kadang-kadang sampai berlarut-larut dan tidak terselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Benturan-benturan kepentingan juga terjadi antara masyarakat atau kelompok masyarakat karena masalah batas desa atau wilayah adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu.

  Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud tertutup

  

(laten), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent)

  dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak- pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Ditambahkan oleh Hae, et al. (2001), bahwa konflik bisa berwujud meningkat (eskalasi). Konflik eskalasi merupakan konflik yang mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada daerah konflik Ambon misalnya, eskalasi ditandai dengan penggunaan senjata rakitan maupun organik. Padahal, awalnya dua pihak yang bertikai hanya menggunakan senjata tumpul dan senjata tajam.

  Seperti yang telah disebutkan oleh beberapa penulis di atas, bahwa sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

2.4. Masyarakat Desa Hutan

  Hutan berperan penting dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan. Hal ini dikarenakan hampir seluruh kehidupan masyarat sangat tergantung pada hutan.

  Bahkan menurut Tokede et al. (2005) hutan sebagai ibu kandung yang memberi makan anak-anaknya sebagai pengikat hubungan social antar suku dan antar marga dan suku memiliki nilai budaya dan norma adat yang dipercayai.

  Masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang menguntungkan segala kehidupannya pada hutan baik masyarakat yang tinggal dikawasan hutan maupun yang dimanfaatkan hutan dalam mencakup kehidupannya. Redfied (1982) dalam bukunya berjudul “Masyarakat Petani dan Kebudayaan” mengatakan bahwa masyarakat desa mungkin telah memelihara kebudayaan rakyatnya dengan sedikit sekali mendapat pengaruh dari kelas atas.

  Kawasan hutan yang luas, menuntut pengelolaan yang intensif, ditengah tuntutan kehidupan tidak jarang membangkitkan permasalahan hidup yang pada akhirnya dapat memicu konflik sosial. Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia. Alasannya sederhana karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing berbeda kebutuhan dan tujuannya Fuad dan Maskanah (2000).

  Kebutuhan akan sumberdaya hutan mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka kematiaan dan perkembangan infrastruktur yang pesat sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

  Hutan dikaruniakan Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam upaya pelestariannya juga harus melibatkan masyarakat (khususnya di sekitar hutan) alam. Kehidupan masyarakat yang majemuk, nampaknya menyimpan potensi konflik horizontal. Karena itu, pemerintah, masyarakat, kelompok-kelompok sosial, maupun individu harus tetap waspada terhadap terjadinya yang mungkin terjadi, sehingga diperlukan kesadaran yang tinggi dalam memahami rasa kebangsaan yang utuh, konsesus yang dapat bertahan dan senantiasa dihormati sebagai pengendali konflik (Muntakin dan Pasya, 2003).

  Fuad dan Maskanah (2000) juga mengatakan bahwa konflik sumberdaya hutan yang sering terlihat (meskipun masih banyak pula yang tak terlihat) ada konflik yang terjadi antara masyarakat didalam dan tepian hutan, dengan berbagai pihak diluar yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Wulan et al. (2004) mengatakan bahwa berdasarkan hasil analisis artikel di media massa, sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi, yaitu penambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tatabatas kawasan atau akses dan alih fungsi kawasan. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi diberbagai kawasan (36%) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarya.

  Konflik dapat dilihat dari berbagai presfektif, dalam konteks makro maupun mikro (Hadimulyo dalam Fuad & Maskanah 2000). Perpektif mitologis- historis merujuk bahwa konflik atas sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditelusuri dari sejarah umat manusia. Perspektif ekonomi dan politik memandang bahwa konflik merupakan bagian dari pola hubungan antara manusia, kelompok, golongan, masyarakat dan negara yang seharusnya dipahami sebagai kenyataan. Penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaian harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik scott, (1993) Fuad dan Maskanah (2000) faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitan dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional Wulan et al.( 2004).

  Di Indonesia, masalah pengusahaan sumber daya alam, termasuk hutan sebagai asset ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan telah cukup lama menjadi keprihatinan banyak pihak. Persoalan distribusi penguasaan tanah atau lahan di Indonesia telah menimbulkan pemiskinan struktural masyarakat, dan mengurangi kemampuan pengembangan ekonomi yang berbasis pengamatan lahan. Tekanan akan hutan akan semakin meningkat. Ini menyebabkan masyarakat yang miskin dan yang tidak mempunyai lahan mencoba mempertahankan hidupnya dengan menggarap lahan hutan.

  Akhir-akhir ini, ditengah kehidupan masyarakat kita tengah terjadi serangkaian konflik, baik yang berasal dari pertentangan politik, ketidak adilan hukum, kesenjangan ekonomi, bentrokan antar suku, kekerasaan militer, dan sebagainya. Salah satu yang paling sering terdengar dalam konflik antara masyarakat dengan pihak lain, adalah konflik pengelolaan Sumber daya Hutan (SDH). Sudah selayaknya kita mencurahkan perhatian kepada masalah ini, mengingat konflik dalam pengelolaan Sumber daya Hutan (SDH) mencakup spectrum yang sangat luas. Jika kita tidak secara dini serta hati-hati mencarikan jalan keluarnya, akibat yang paling ringan yang akan muncul adalah hilangnya potensi hutan kita, yang nilai pentingnya sudah tidak diragukan lagi, dan sebetulnya merupakan warisan bagi generasi yang akan datang.

  Sudah sangat umum dijumpai bahwa berbagai kejadian konflik pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) melibatkan berbagai pihak yang sama- sama memiliki kepentingan terhadap hutan. Pada ahirnya konflik itu di ekspresikan dalam bentuk perusakan komponen hutan itu sendiri, baik yang berupa pembakaran tegakan hutan, pencabutan anakan pohon yang baru ditanam, penebangan secara membabi buta dan liar, pendudukan dan penyemprotan lahan hutan maupun bentuk-bentuk lainnya. Penyebab konflik itu sendiri sangat beragam, tidak masalah hilangnya lahan masyarakat akibat penebangan hutan bukan juga acapkali terkait erat dengan permasalahan kebijakan pembangunan dan fenomena kapitalisme global.

  Ada beberapa kemungkinan yang terjadi sebab sebuah kebijakan atau keputusan ditolak dalam proses implementasinya Wibawa, (1994;40) pertama, kelompok sasaran tidak membutuhkan dan juga tidak memperoleh manfaat dari kebijakan atau keputusan tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang etis.

  Kemungkinan kedua dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group adalah karena kelompok sasaran yang tidak menyadari manfaat dari keputusan tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak merasa membutuhkannya. Untuk kasus semacam ini sudah barang tentu pelaksana keputusan atau kebijakan perlu mengubah kondisi kelompok sasaran dengan cara pendidikan dengan gerakan penyadaran pada umumnya. Upaya ini dapat ditempuh melalui penyuluhan langsung oleh para birokarat lapangan, dapat pula dengan memanfaatkan tokoh masyarakat informal maupun pemimin-pemimpin resmi seperti Bupati, Camat, Kepala Kepolisian. Media yang digunakan cukup beragam mulai dari tatap muka hingga poster dan televisi.

  Laju perkembangan penduduk yang signifikan menambah pemanfaatan lahan yang pada ahirnya mengurangi luasan hutan, sementara pihak pengelola mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariaanya maupun dari luasannya wilayahnya yang berimbas pada konflik antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Salah satu yang paling sering terdengar antara masyarakat dengan pihak lain, maupun antar anggota masyarakat itu sendiri, adalah konflik pengelolaan sumberdaya hutan (Fuad dan Maskanah 2000).

  Ketidakseimbangan kepemilikan lahan itu memang menjadi masalah semua Negara. Penguasaan lahan yang tidak seimbang seperti itu menyebabkan adanya tekanan yang meningkat terhadap hutan, terutama jika masyarakat petani kemenyan masih banyak jumlahnya dan sistem penguasaan lahan tidak merata barangkali hanya berpengaruh terhadap petani kemenyan yang menetap bagaimana dengan mereka yang selama ini tinggal di hutan dan melakukan pertanian dengan tumpang gilir, telah banyak penelitian mengatakan bahwa sejak awal dilakukan inisiatif pengelolaan hutan dengan melibatkan pihak swasta, terjadi penggusuran besar-besaran terhadap hak kepemilikan (tenurial rights) terhadap hutan yang disandang oleh masyarakat lokal.

  Konflik pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) ini antara lain diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara para pelaku pembangunan (pemerintah, pengusaha,dan rakyat) serta keterbatasan sumberdaya karena kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat Sumber daya Alam (SDA). Konflik dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik horisontal merupakan konflik antar berbagai unsur masyarakat, yaitu antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konflik vertical yaitu konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah. Dalam hal ini sebagai contoh, yaitu konflik dibidang agraria dan dapat mewakili konflik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia pada umumnya.

2.5. Karateristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya

  Pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam membutuhkan kemampuan untuk menghadapi konflik (Mitchell et al. 2000). Sementara itu, faktor utama penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional adalah perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasan konservasi biasanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman dari masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan lindung sering memaksa masyarakat untuk berpindah ke tempat lain. Perambahan menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung (Wulan et al. 2004).

  Dalam penyelesaian konflik pada umumnya digunakan beberapa titik tolak karena sifat konflik yang selalu identik dalam kehidupan manusia (Fuad dan Maskanah 2000) bahwa: a.

  Konflik selalu ada, manusia hidup selalu berkonflik, sebab konflik terdapat di alam dan hadir dikehidupan manusia, konflik selalu berubah dan sulit untuk diramalkan kapan datangnya seperti cuaca.

  b.

  Konflik menciptakan perubahan, konflik dapat merubah pemahaman pada sesama. Konflik mendorong adanya klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaian.

  c.

  Konflik selalu memiliki dua sisi, konflik membawa resiko dan potensi secara inheren.

  d.

  Konflik menciptakan energi baik bersifat dekstruktif atau kreatif atau keduanya dan mempunyai sifat mengikat.

  e.

  Konflik dapat produktif dan non produktif, konflik yang produktif lebih mengacu pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur dan nilai-nilai pemahaman yang mampu menghasilkan jalan keluar. Konflik yang non produktif cenderung mengacu pada strereoptip, komunikasi yang payah, serat emosi, kurang informasi, dan salah informasi yang menciptakan konflik. f.

  Konflik dipengaruhi pola-pola biologi, kepribadian dan budaya, reaksi-reaksi pisikologis memegang peranan emosional yang sangat kuat dalam mempengaruhi proses konflik, dengan mengikuti gaya kepribadian dan pisiologi seseorang.budaya juga ikut membentuk aturan-aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik.

  g.

  Konflik mengandung makna “kaleindoskop”, konflik laksana drama yang dapat dianalisa dengan memahami siapa, dimana, kapan, dan mengapa.

  Konflik tidak menunjukkan adanya kebenaran utuh yang berdiri sendiri, melainkan berbagai kontruksi dan realita.

  h.

  Konflik memiliki “daur hidup” dan “sifa-sifat bawaan”, konflik dapat bertrasformasi,bertambah cepat, perlahan menghilangkan atau berubah. i.

  Konflik mengubah manusia, konflik menjadi inspirasi bagi penulis, pemikir, seniman, politisi, pisikolog dan ahli filsafat.

  Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro- mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horizontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

  Bila diamati lebih jauh, terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks (1996), yakni: (1) Dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) Keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) Orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; (4) Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5) Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik.

  Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik (Hae, et al., 2000), antara lain:

  1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya tak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan kelompok prokemerdekaan (yang kebanyakan Katolik) sudah sampai pembuatan tembok setinggi 5 meter.

  Demikian pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segregasi wilayah kelompok Muslim dan Kristen sudah terjadi. Senada dengan hal itu Soekanto (1990) menyebutnya dengan timbulnya solidaritas in-group. Ikatan yang semakin erat antar anggota kelompok, dan bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompok. Atau sebaliknya, goyah dan retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu kelompok tertentu.

  2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya negatif, untuk merendahkan pihak lawan.

  3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul, misalnya: "Si A itu dari suku X, hati-hati...., orang yang bersuku X itu

  

pembunuh berdarah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum

darah manusia".

  4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan, pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi.

  5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain.

  6. Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan solid.

  7. Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau lawannya.

  8. Pengakuan citra diri, yang berhubungan dengan misalnya menyetujui bahwa saya adalah musuh orang/kelompok lain. Pernyataan yang biasa muncul "ya,

  

saya memang musuhnya. Saya akan siap meladeni,....” dan seterusnya.

  Selanjutnya Soekanto (1990) menambahkan akibat-akibat tersebut dengan:

  9. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Bentuk pertentangan terdahsyat yaitu peperangan yang telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa-raga manusia.

  10. Akomodasi. Dominasi dan takluknya salah satu pihak apabila kekuatan pihak- pihak yang bertentangan seimbang, maka mungkin akan timbul akomodasi.

2.6. Pengelolaan Konflik

  Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: (1) Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar; (2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; (3) Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator yang tidak memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa (Maguire dan Boiney, 1994 dalam Mitchell, et al., 2000).

  Ketika sengketa muncul dan berkaitan dengan perbedaan kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, ada empat pendekatan yang dapat dipakai, yaitu: politis, administratif, hukum, dan alternatif penyelesaian konflik (APK). APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum (Mitchell, et al., 2000).

  Selain itu, terdapat pendekatan lain dalam melihat penyelesaian konflik, yaitu pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang - perorangan atau kelompok - kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan dan merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

  Adapun bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan Mack (1959) dalam Soekanto (1990) dan Ibrahim (2002), adalah sebagai berikut:

  1. Coercion adalah suau bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara langsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung).

  2. Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya.

  3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak- pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihakpihak yang bertentangan.

  4. Mediation adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir menyerupai arbitration.

  Pada mediation diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasehat belaka dan dia tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan tersebut.

  5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginankeinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.

  6. Toleration juga sering dinamakan t o ler a n t -pa r t i c i pat i o n , ini merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.

  Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orangperorangan atau kelompok- kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan.

  7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena mempunyai kekuatan yang seimbang. Hal ini disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju atau mundur.

  8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

  Membandingkan dari delapan bentuk akomodasi tersebut, bentuk mediation dan compromise dipandang lebih efektif daripada bentuk-bentuk akomodasi lainnya, karena sifatnya lebih lunak daripada coercion, dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.

  Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan tenteram; cara-cara persuasive (proses pengendalian sosial tanpa kekerasan) mungkin akan lebih diterima daripada menggunakan cara-cara

  

coercive (proses pengendalian sosial dengan cara kekerasan dan paksaan), karena

  biasanya kekerasan dan paksaan akan melahirkan reaksi negatif dan pihak-pihak tertentu akan selalu mencari-cari kesempatan dan menunggu saatnya dimana pihak lawan berada dalam keadaan lemah. Meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan, Namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi diantara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah daerah. Oleh karena itu,peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di Indonesia (Sakai, 2002).