Modul 1 ETIKA MORAL NILAI DAN NORMA 1. E

Modul 1
ETIKA, MORAL, NILAI DAN NORMA
1. Etika
a. Pengertian Etika
Istilah dan pengertian etika secara kebahasaan/etimologi, berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”,
yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Biasanya etika berkaitan erat dengan
perkataan moral yang berasal dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang
berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik
(kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan,
yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Pengertian moralitas adalah pedoman yang dimiliki setiap individu atau kelompok mengenai apa yang
benar dan salah berdasarkan standar moral yang berlaku dalam masyarakat.
Disamping itu etika dapat disebut juga sebagai filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara
tentang tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan
bagaimana manusia harus bertindak, berdasarkan norma-norma tertentu.
Moralitas dipertanyakan tampak (tangible) dalam perilaku tidak jujur dan tidak tampak (intangible) dalam
pikiran yang bertentangan dengan hati nurani dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Moralitas
yang dengan sengaja menentang hati nurani adalah soal integritas, yaitu keteguhan hati untuk
berpendirian tetap mempertahankan nilai-nilai baku.

Jadi pengertian etika dan moralitas memiliki arti yang sama sebagai sebuah sistem tata nilai tentang bagaimana
manusia harus tetap mempertahankan hidup yang baik, yang kemudian terwujud dalam pola tingkah
laku/perilaku yang konstan dan berulang dalam kurun waktu, yang berjalan dari waktu kewaktu sehingga
menjadi suatu kebiasaan.
Berbeda lagi antara etika dengan etiket, seperti telah dibahas etika adalah berarti moral sedangkan etiket berarti
sopan santun, walaupun keduanya menyangkut perilaku manusia secara normatif yaitu memberi norma bagi
perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang diperbolehkan dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan.
Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut terdapat arti yang
berbeda, walaupun ada persamaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan
dengan moral (mores), sedangkan kata etiket adalah berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam
pergaulan formal.
Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman
atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak
melakukan sesuatu perbuatan.Istilah etiket berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu

kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi,
pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan.
Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah lake sebagai anggota masyarakat yang baik dan
menyenangkan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :
1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang
bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.
2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan
agar hubungan selalu baik.
Beberapa perbedaan yang mendasar antara etika dan etiket :
Etika

Etiket

Etika menyangkut cara dilakukannya suatu
perbuatan sekaligus memberi norma dari
perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang
mengambil barang milik orang lain tanpa
izin karena mengambil barang milik orang
lain tanpa izin sama artinya dengan
mencuri. “Jangan mencuri” merupakan
suatu norma etika. Di sini tidak
dipersoalkan apakah pencuri tersebut
mencuri dengan tangan kanan atau tangan

kiri.

Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan
harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya
menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus
menyerahkannya dengan menggunakan tangan
kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan
kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.

Etika selalu berlaku, baik kita sedang
sendiri atau bersama orang lain. Misal:
Larangan mencuri selalu berlaku, baik
sedang sendiri atau ada orang lain. Atau
barang yang dipinjam selalu harus
dikembalikan meskipun si empunya barang
sudah lupa.

Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita
tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita).
Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak

ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal :
Saya sedang makan bersama bersama teman sambil
meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka
saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya
sedang makan sendirian (tidak ada orang lain),
maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan
dengan cara demikian.

Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”,
“Jangan membunuh” merupakan prinsipprinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.

Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan
dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan
dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan
tangan atau bersendawa waktu makan.

Etika memandang manusia dari segi dalam.

Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja.


Etika

Etiket

Orang yang etis tidak mungkin bersifat
munafik, sebab orang yang bersikap etis
pasti orang yang sungguh-sungguh baik.

Orang yang berpegang pada etiket bisa juga
bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi
sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan
sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.

Selain ada persamaannya, dan juga ada empat perbedaan antara etika dan etiket, yaitu secara umumnya
sebagai berikut:
1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau
buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan benar sesuai
dengan yang diharapkan.
2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari
kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan

santun dan kebaikan.
3. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan
yang salah harus mendapat sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu
kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah lainnya.
Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir. Etiket hanya berlaku, jika
ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku.
b. Macam-macam Etika
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama
halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh
mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan
penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika,
terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:
Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar
oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara
mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang
terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Da-pat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam
penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau
apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika

Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di
masyarakat.
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis
definisi, yaitu sebagai berikut:
 Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik
dan buruk dari perilaku manusia.
 Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku
manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman
norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif
dan lebih bersifat sosiologik.

Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya
memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan
adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat
informatif, direktif dan reflektif.
c. Fungsi Etika

Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, itu ajaran moral, melainkan etika merupakan
sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan.
Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional
dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme.
Pluralisme moral diperlukan karena:
 pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang
hidup berdampingan;
 modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang
akibatnya menantang pandangan moral tradisional;
 berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya
sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika
khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika
individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi:
(1) Sikap terhadap sesama;
(2) Etika keluarga
(3) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi
(4) Etika politik
(5) Etika lingkungan hidup , serta
(6) Kritik ideologi Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangka

moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb.
Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas.

2. Moral
a. Pengertian Moral
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk
jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita
membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’
karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti
kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan normanorma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’
dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral,
maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku
dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut
berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’,
hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu
perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan
nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia.

Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik
terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang
merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis,
mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki
bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).
b. Moralitas
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok
manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang
bagaimana manusia harus hidup
Supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada
umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada
umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami atau isteri,
sebagai pustakawan.
Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adala sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan
dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah
ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Etika dan moralitas Etika bukan sumber tambahan
moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai
lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional berarti mendasarkan diri


pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis
berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian
dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana
pandangan moral yang seharusnya. Etika dan agama
Etika tidak dapat menggantikan agama. Orang yang percaya menemukan orientasi dasar kehidupan dalam
agamanya. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama
menemukan orientasi dasar ehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan
etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan
sebagai berikut:
1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan
memerintahkan sesuatu, tetapu ia juga ingin mengertimengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat
membantu menggali rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan
bahkan bertentangan.
3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi
masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung,
reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional
semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka
pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari

3. Nilai
a. Pengertian Nilai
Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini akan disajikan sejumlah definisi nilai
dari beberapa ahli.
“Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or
socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence.” (Rokeach,
1973 hal. 5)
“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or
undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184)
“Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in
the life of a person or other social entity.” (Schwartz, 1994 hal. 21)
Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan
dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan
seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun
berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu (1) suatu
keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu. Jadi dapat

disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang
diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.
Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Schwartz
berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup manusia yang
universal, yaitu :
1. kebutuhan individu sebagai organisme biologis;
2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal;
3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok
(Schwartz & Bilsky, 1987; Schwartz, 1992, 1994).
Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari
tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial
(interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz & Bilsky, 1987). Ketiga hal tersebut membawa
implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan.
Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif (tipe nilai
benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi / individual (power, achievement,
hedonism, stimulation, self-direction), atau kedua-duanya (universalism, security). Nilai individu
biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang
memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui
pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973;
Schwartz, 1994).
Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana
‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu
atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn dalam Rokeach, 1973). ‘Lebih
diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian
maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai
diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang
tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil
(Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah
oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu
tersebut menetap (Danandjaja, 1985).
b. Tipe Nilai (Value Type)
Penelitian Schwartz mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah apakah nilainilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai ( value type). Lalu
masing-masing tipe tersebut terdiri pula dari sejumlah nilai yang lebih khusus. Setiap tipe nilai
merupakan wilayah motivasi tersendiri yang berperan memotivasi seseorang dalam bertingkah laku.
Karena itu, Schwartz juga menyebut tipe nilai ini sebagai motivational type of value.

Dari hasil penelitiannya di 44 negara, Schwartz (1992, 1994) mengemukakan adanya 10 tipe nilai (value
types) yang dianut oleh manusia, yaitu :
1. Power. Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang universal, yaitu
transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang diidentifikasi melalui analisa
terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pencapaian status sosial dan prestise,
serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific
values) tipe nilai ini adalah : social power , authority, wealth, preserving my public image dan social
recognition.
2. Achievement. Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan menunjukkan kompetensi
sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu
untuk mengembangkan dirinya, serta jika interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus
yang terdapat pada tipe nilai ini adalah : succesful, capable, ambitious, influential.
3. Hedonism. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan
dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini mengutamakan kesenangan dan kepuasan untuk
diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : pleasure, enjoying life.
4. Stimulation. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk
menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal. Unsur biologis mempengaruhi
variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan
individual tentang pentingnya nilai ini. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah kegairahan,
tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : daring, varied life, exciting
life.
5. Self-direction. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak terikat
(independent), seperti memilih, mencipta, menyelidiki. Self-direction bersumber dari kebutuhan
organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi dari tuntutan otonomi dan
ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : creativity, curious, freedom,
choosing own goals, independent.
6. Universalism. Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial. Tipe nilai ini
mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan perlindungan terhadap
kesejahteraan umat manusia. Contoh nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : broad-minded,
social justice, equality, wisdom, inner harmony.
7. Benevolence. Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep prososial. Bila
prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi, tipe nilai benevolence lebih
kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari. Tipe ini dapat berasal dari dua macam
kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang positif untuk mengembangkan kelompok, dan kebutuhan
organismik akan afiliasi. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah peningkatan kesejahteraan
individu yang terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini
adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love .
8. Tradition. Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku yang
merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian besar diambil dari ritus

agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah
penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai
khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my portion in life, moderate,
respect for tradition.
9. Conformity. Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku, dorongan-dorongan
individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau norma sosial. Ini diambil dari kebutuhan
individu untuk mengurangi perpecahan sosial saat interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan
dengan baik. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring parents
and elders, self discipline.
10. Security. Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas
masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari kebutuhan dasar individu dan
kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai
khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : national security, social order , clean, healthy,
reciprocation of favors, family security, sense of belonging .
c.
Struktur Hubungan Nilai
Selain adanya 10 tipe nilai ini, Schwartz juga berpendapat bahwa terdapat suatu struktur yang
menggambarkan hubungan di antara nilai-nilai tersebut. Untuk mengidentifikasi struktur hubungan antar
nilai, asumsi yang dipegang adalah bahwa pencapaian suatu tipe nilai mempunyai konsekuensi psikologis,
praktis, dan sosial yang dapat berkonflik atau sebaliknya berjalan seiring (compatible) dengan pencapaian
tipe nilai lain. Misalnya, pencapaian nilai achievement akan berkonflik dengan pencapaian nilai
benevolence, karena individu yang mengutamakan kesuksesan pribadi dapat merintangi usahanya
meningkatkan kesejahteraan orang lain. Sebaliknya, pencapaian nilai benevolence dapat berjalan selaras
dengan pencapaian nilai conformity karena keduanya berorientasi pada tingkah laku yang dapat diterima
oleh kelompok sosial.
Pencapaian nilai yang seiring satu dengan yang lain menghasilkan sistem hubungan antar nilai sebagai
berikut :
1) Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial dan harga
diri
2) Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang terpusat
pada diri sendiri
3) Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk memenuhi
kegairahan dalam diri
4) Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam bidang
baru atau menguasai suatu bidang
5) Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan terhadap
keputusan atau penilaian diri dan pengakuan terhadap adanya keragaman dari hakekat
kehidupan

6) Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi kesejahteraan orang
lain dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi
7) Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laku normatif yang
menunjang interaksi intim antar pribadi
8) Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu kelompok
tempat individu berada
9) Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi harapan
sosial di atas kepentingan diri sendiri
10) Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan sosial untuk
memberi kepastian dalam hidup
11) Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan perlindungan terhadap aturan dan
harmoni dalam hubungan sosial
12) Tipe nilai security dan power , keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman
ketidakpastian dengan cara mengontrol hubungan antar manusia dan sumberdaya yang ada.
Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz menyimpulkan bahwa tipe nilai
dapat diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu :
1) Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen yang
berlawanan dengan dimensi conservation yang mengutamakan batasan-batasan terhadap
tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan perlindungan terhadap stabilitas.
Dimensi opennes to change berisi tipe nilai stimulation dan self direction, sedangkan dimensi
conservation berisi tipe nilai conformity, tradition, dan security.
2) Dimensi yang kedua adalah dimensi self-transcendence yang menekankan penerimaan bahwa
manusia pada hakekatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama yang berlawanan dengan
dimensi self-enhancement yang mengutamakan pencapaian sukses individual dan dominasi terhadap
orang lain. Tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self-transcendence adalah universalism dan
benevolence. Sedangkan tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self-enhancement adalah
achievement dan power . Tipe nilai hedonism berkaitan baik dengan dimensi self-enhancement
maupun openness to change
Hubungan Nilai Dan Tingkah Laku
Di dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan tingkah laku. Nilai
membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laku dalam
situasi tersebut (Rokeach, 1973; Kahle dalam Homer & Kahle, 1988). Nilai menjadi kriteria yang
dipegang oleh individu dalam memilih dan memutuskan sesuatu (Williams dalam Homer & Kahle, 1988).
Danandjaja (1985) mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku
seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada setiap individu.
Karenanya nilai berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari pembentukan sikap dan keyakinan,

sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial
(Rokeach, 1973; Danandjaja, 1985).
Mengacu pada BST, nilai merupakan salah satu komponen yang berperan dalam tingkah laku : perubahan
nilai dapat mengarahkan terjadinya perubahan tingkah laku. Hal ini telah dibuktikan dalam sejumlah
penelitian yang berhasil memodifikasi tingkah laku dengan cara mengubah sistem nilai (Grube dkk.,
1994; Sweeting, 1990; Waller, 1994; Greenstein, 1976; Grube, Greenstein, Rankin & Kearney, 1977;
Schwartz & Inbar-Saban, 1988). Perubahan nilai telah terbukti secara signifikan menyebabkan perubahan
pula pada sikap dan tingkah laku memilih pekerjaan, merokok, mencontek, mengikuti aktivitas politik,
pemilihan teman, ikut serta dalam aktivitas penegakan hak asasi manusia, membeli mobil, hadir di gereja,
memilih aktivitas di waktu senggang, berhubungan dengan ras lain, menggunakan media masa,
mengantisipasi penggunaan media, dan orientasi politik (Homer & Kahle, 1988).
d. Fungsi Nilai
Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Nilai sebagai standar (Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994), fungsinya ialah:


Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues tertentu



(Feather, 1994).



ideologi politik yang lain.



Melakukan evaluasi dan membuat keputusan.



Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding
Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain.
Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain,
memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain yang
berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah.

2) Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan (Feather,
1995; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994). Situasi tertentu secara tipikal akan mengaktivasi
beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilai-nilai
yang dominan pada individu yang bersangkutan.
3) Fungsimotivasional. Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku individu dalam
situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan
dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi motivasional. Nilai dapat memotivisir individu untuk
melakukan suatu tindakan tertentu (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994), memberi arah dan intensitas
emosional tertentu terhadap tingkah laku (Schwartz, 1994). Hal ini didasari oleh teori yang
menyatakan bahwa nilai juga merepresentasikan kebutuhan (termasuk secara biologis) dan keinginan,
selain tuntutan sosial (Feather, 1994; Grube dkk., 1994).

Nilai Sebagai Keyakinan (Belief)
Dari definisinya, nilai adalah keyakinan (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994; Feather, 1994) sehingga
pembahasan nilai sebagai keyakinan perlu untuk memahami keseluruhan teori nilai, terutama
keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif
atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan.
Hal ini sesuai dengan definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang
untuk bertindak berdasarkan pilihannya (dalam Rokeach, 1973). Robinson dkk. (1991) mengemukakan
bahwa keyakinan, dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman dalam suatu skema konseptual, tapi
juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan
tersebut.
Dalam Rokeach (1973) dikatakan, sebagai keyakinan, nilai memiliki aspek kognitif, afektif dan tingkah
laku dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Nilai meliputi kognisi tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini dan
pemikiran individu tentang apa yang diinginkan.
2) Nilai meliputi afektif, di mana individu atau kelompok memiliki emosi terhadap apa yang
diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok terhadap apa yang
diinginkan itu.
3) Nilai memiliki komponen tingkah laku, artinya nilai merupakan variabel yang berpengaruh
dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan.
Pemahaman nilai sebagai keyakinan, tidak dapat dipisahkan dari model yang dikembangkan Rokeach
pertama kali pada tahun 1968, yang disebut Belief System Theory (BST). Grube dkk. (1994) menjelaskan
bahwa BST adalah organisasi dari teori yang menjelaskan dan mengerti bagaimana keyakinan dan
tingkah laku saling berhubungan, serta dalam kondisi apa sistem keyakinan dapat dipertahankan atau
diubah. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam BST, tingkah laku merupakan fungsi dari sikap, nilai dan
konsep diri.
Menurut Grube, Mayton, II & Rokeach (1994), BST merupakan suatu kerangka berpikir yang berupaya
menjelaskan adanya organisasi antara sikap (attitude), nilai (value), dan tingkah laku (behavior ). Menurut
teori ini, keyakinan dan tingkah laku saling berkaitan. Keyakinan-keyakinan yang dimiliki individu
terorganisasi dalam suatu dimensi sentralitas atau dimensi derajat kepentingan. Suatu keyakinan yang
lebih sentral akan memiliki implikasi dan konsekuensi yang besar terhadap keyakinan lain. Jadi
perubahan suatu keyakinan yang lebih sentral akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap
tingkah laku dibandingkan pada keyakinan-keyakinan lain yang lebih rendah sentralitasnya. Urutan
keyakinan menurut derajat sentralitasnya adalah self-conceptions, value, dan attitude.
Sikap (attitude) adalah keyakinan yang menempati posisi periferal/tepi atau paling rendah sentralitasnya
dalam BST. Sikap merupakan suatu organisasi dari keyakinan-keyakinan sehari-hari tentang obyek atau
situasi. Jumlah sikap yang dimiliki individu dapat berhubungan dengan banyak obyek atau situasi yang
berbeda-beda. Karenanya seseorang dapat memiliki sikap yang ribuan jumlahnya. Mengingat sikap
adalah keyakinan yang periferal, maka perubahan sikap hanya memiliki pengaruh yang terbatas pada
tingkah laku.

Nilai (value) adalah keyakinan berikutnya yang lebih sentral. Nilai melampaui suatu obyek dan situasi
tertentu. Nilai memegang peranan penting karena merupakan representasi kognitif dari kebutuhan
individu di satu sisi dan tuntutan sosial di sisi lain.
Konsep diri (self-conceptions) adalah keyakinan sentral dari BST. Menurut Rokeach (dalam Grube,
Mayton, II & Rokeach, 1994) konsep diri adalah keseluruhan konsepsi individu tentang dirinya yang
meliputi organisasi semua kognisi dan konotasi afektif yang berupaya menjawab pertanyaan "Siapa diri
saya ini?". Semua keyakinan lain dan tingkah laku terorganisasi di sekeliling konsep diri dan berupaya
menjaga konsep diri yang positif.
Jadi, perubahan pada satu komponen BST, akan menyebabkan perubahan pada komponen lain termasuk
tingkah laku. Berbeda dengan sikap, nilai adalah keyakinan tunggal yang mengatasi obyek maupun
situasi. Karenanya, perubahan nilai lebih dimungkinkan akan menyebabkan perubahan komponen lainnya
dibandingkan yang lain.
Pengukuran Nilai
Selama ini pengukuran nilai didasarkan kepada hasil evaluasi diri yang dilaporkan oleh individu ke dalam
suatu skala pengukuran (mis. Rokeach value survey, Schwartz value survey). Evaluasi diri membutuhkan
pemahaman kognitif maupun afektif terhadap diri sendiri, termasuk untuk membedakan antara nilai ideal
normatif dan nilai faktual yang ada saat ini. Sejalan dengan hal ini, Schwartz, Verkasalo, Antonovsky dan
Sagiv (1997) melihat hubungan antara respon terhadap social desirability dan skala nilai berdasarkan
pelaporan diri. Mereka membuktikan bahwa terjadi bias pada pengukuran nilai yang mengandung aspek
social desirability tinggi, yaitu pada tipe nilai hedonism, stimulation, self-direction, achievement dan
power . Jadi pengukuran nilai yang menggunakan skala pelaporan diri pada penelitian yang banyak
dipengaruhi aspek social desirability seperti dalam penelitian ini (mis. tingkah laku seksual) kurang baik.
Cara lain yang digunakan untuk mengetahui nilai individu adalah dengan teknik wawancara. Teknik ini
telah digunakan oleh Rokeach (1973) untuk menggali nilai-nilai apa saja yang dimiliki seseorang. Ia
melakukan wawancara dengan para responden yang dimintanya untuk menjawab pertanyaan tentang nilai
apa yang menjadi tujuan akhir mereka.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, nilai-nilai seseorang akan tampak dalam beberapa
indikator :
1) Berkaitan dengan definisi nilai sebagai cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu, maka
indikator pertama adalah pernyataan tentang keinginan-keinginan, prinsip hidup dan tujuan
hidup seseorang.
2) Indikator berikutnya adalah tingkah laku subyek dalam kehidupannya sehari-hari. Nilai
berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bertingkah laku, memberi arah pada tingkah laku
dan memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan. Jadi tingkah laku
seseorang mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya. Dari tingkah laku dapat dilihat apa yang
menjadi prioritasnya, apa yang lebih diinginkan oleh seseorang.

3) Fungsi nilai adalah memotivasi tingkah laku. Seberapa besar seseorang berusaha mencapai apa
yang diinginkannya dan intensitas emosional yang diatribusikan terhadap usahanya tersebut,
dapat menjadi ukuran tentang kekuatan nilai yang dianutnya.
4) Salah satu fungsi dari nilai adalah dalam memecahkan konflik dan mengambil keputusan.
Dalam keadaan-keadaan dimana seseorang harus mengambil keputusan dari situasi yang
menimbulkan konflik, nilainya yang dominan akan teraktivasi. Jadi, apa keputusan seseorang
dalam situasi konflik tersebut dapat dijadikan indikator tentang nilai yang dianutnya.
5) Fungsi lain dari nilai adalah membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam
suatu topik sosial tertentu dan mengevaluasinya. Jadi apa pendapat seseorang tentang suatu
topik tertentu dan bagaimana ia mengevaluasi topik tersebut, dapat menggambarkan nilainilainya.

4. Norma
a. Pengertian Norma
Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah norma-norma atau kaidah, yaitu biasanya suatu
nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat
untuk bersikap tindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama.
Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupakan standar yang harus
ditaati atau dipatuhi (Soekanto: 1989:7).
Kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang beraneka ragam, masing-masing
mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan
keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur
tingkah laku dalam masyarakat, yang disebut peraturan hidup.Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
kehidupan dengan aman, tertib dan damai tanpa gangguan tersebut, maka diperlukan suatu tata
(orde=ordnung), dan tata itu diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi pedoman bagi segala pergaulan
kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin.
Setiap anggota masyarakat mengetahui “hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan tata
peraturan”, dan tata itu lazim disebut “kaedah” (bahasa Arab), dan “norma” (bahasa Latin) atau ukuranukuran yang menjadi pedoman, norma-norma tersebut mempunyai dua macam menurut isinya, yaitu:
1. Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya
dipandang baik.
2. Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya
dipandang tidak baik.Artinya norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana
seseorang hams bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya,
dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari (Kansil, 1989:81).
Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukuman terhadap
siapa yang telah melanggarnya.

Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau
dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi
sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi, misalnya sebagai berikut:
 Semestinya tahu aturan tidak akan berbicara sambil menghisap rokok di hadapan tamu atau orang
yang dihormatinya, dan sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap tidak sopan walaupun
merokok itu tidak dilarang.Seseorang tamu yang hendak pulang, menurut tata krama harus diantar
sampai di muka pintu rumah atau kantor, bila tidak maka sanksinya hanya berupa celaan karena
dianggap sombong dan tidak menghormati tamunya.
 Mengangkat gagang telepon setelah di ujung bunyi ke tiga kalinya serta mengucapkan salam, dan jika
mengangkat telepon sedang berdering dengan kasar, maka sanksinya dianggap “intrupsi” adalah
menunjukkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang
ada disekitarnya.
 Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, maka sanksinya cukup
berat dan bersangkutan dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara maupun perdata
(ganti rugi).
Kemudian norma tersebut dalam pergaulan hidup terdapat empat (4) kaedah atau norma, yaitu norma
agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum . Dalam pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma-norma
umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan dapat
digolongkan ke dalam dua macam kaidah, sebagai berikut:
1. Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi:




Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman.

Kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi
tercapainya kesucian hati nu-rani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah).
2. Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi:
 Kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama dan etiketdalam pergaulan sehari-hari dalam
bermasyarakat (pleasantliving together).
 Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian dan keadilan dalam
kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful
living together).Sedangkan masalah norma non hukum adalah masalah yang cukup penting dan
selanjutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas/PR,
yaitu seperti nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau bermasyarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati.
Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang dokter ketika mengobati pasiennya, atau
dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap para mahasiswanya, melainkan untuk menilai
bagaimana sebagai profesional tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia
yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.Terlepas dari mereka sebagai
profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya, atau metodologi dan
keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan adalah “sikap

atau perilaku” mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk
saling menghargai sesama atau kehidupan manusia.
Pada akhirnya nilai moral, etika, kode perilaku dan kode etik standard profesi adalah memberikan jalan,
pedoman, tolok ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan
dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masingmasing. Pengambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai
seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akibat
yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus memiliki tanggung jawab atau
integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah ditujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan
yang lebih luas (obyektif).