IDENTITAS BUDAYA DAN MAKNANYA DALAM TARI

IDENTITAS BUDAYA DAN MAKNANYA
DALAM TARIAN CACI ORANG MANGGARAI
Oleh: Eduardus Y. Abut & Kaleb Simanungkalit
(Mahasiswa Pascasarjana PBI FKIP UNS)
ABSTRAK
Tarian Caci merupakan tarian rakyat Manggarai yang merefleksikan kebudayaan dan
keseharian masyarakat Manggarai. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mendeskripsikan identitas budaya dan makna tarian Caci masyarakat Manggarai.
Metode penelitian ini menggunakan penelitian etnografi-kualitatif dalam pendekatan
fenomenologi di mana data diperoleh melalui pengamatan langsung dengan cara
observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
tarian caci hanya ada dalam kebudayaan Manggarai dan menjiwai semua aspek
kehidupan orang Manggarai. Tarian Caci selalu dipentaskan pasca panen, antara bulan
Juli sampai dengan September, dan dilakukan antara tiga sampai tujuh hari. Tarian
Caci mengandung makna simbolis, melambangkan kejantanan, keramaian,
kemegahan, dan sportivitas. Peralatan tarian Caci yang terbuat dari kulit kerbau
melambangkan kekuatan, ketenangan kerendahan hati, dan tidak emosional,
sedangkan bentuknya yang relatif bundar melambangkan adanya satu titik pusat yang
mengatur semuanya, itulah Tuhan yang Maha Esa. Tarian Caci juga memiliki banyak
fungsi bagi kelangsungan hidup masyarakat Manggarai, sebagai komoditas
pariwisata, sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan dan para leluhur, serta media

pendidikan.
Kata Kunci: Tarian Caci, Identitas Budaya.
ABSTRACT
Caci dance is a folk dance Manggarai that reflects the culture and daily life of the
Manggarai’s community. This study aims to: (1) describe the cultural identity and
meaning Caci dance Manggarai community. This research method using qualitative
ethnographic research-phenomenological approach in which data is obtained through
direct observation by observation, interview, and literature. The results showed that
the dance abuse exists only in Manggarai culture and animates all aspects of people's
lives Manggarai. Caci dance is always performed post-harvest, between July and
September, and was conducted between three to seven days. Caci dance contains a
symbolic meaning, symbolizing virility, crowds, pomp, and sportsmanship. Caci
dance equipment made from buffalo skin symbolizes strength, peace of humility, and
not emotional, whereas a relatively circular shape symbolizes the presence of a central
point that governs everything, that's God Almighty. Caci dance also has many
functions for the survival of the Manggarai community, as commodities of tourism, as
a means of communication with God and the ancestors, as well as educational media.
The KeyWord: Caci’s Dance, Cultural Identity.

1


I. PENDAHULUAN
Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan
untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia (Sutrisno, 2005: 25).
Selain mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, kesenian juga masih
mempunyai fungsi-fungsi lain yang berhubungan dengan persoalan humanistik.
Misalnya, mitos yang berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta
meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Secara umum, kesenian dapat berfungsi
untuk mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat, sedangkan secara khusus
kesenian dapat berfungsi sebagai ciri dan karakterisrik suatu golongan masyarakat.
Menurut pengertian umum, seni adalah keindahan yang diciptakan oleh manusia.
Bunga mawar yang indah bukanlah suatu karya seni, tetapi jika bunga tersebut dilukis
maka lukisan tersebut merupakan sebuah karya seni. Ki Hajar Dewantara memberikan
batasan yang lebih luas lagi mengenai pengertian seni, yaitu perbuatan manusia yang
timbul dari hidup perasaannya, dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa
dan perasaan setiap manusia/ para penikmatnya.
Tarian Caci merupakan kesenian asli suku Manggarai di pulau Flores yang
penuh dengan keunikan-keunikan mulai dari jenis tarian, kostum tari, properti yang
digunakan oleh penari, sampai pada bentuk komposisi musik iringannya. Karena
keaslian dan keunikannya tersebut Pemerintah dan beberapa Organisasi-organisasi

dari Manggari yang menyebar di seluruh Indonesia mencoba untuk melestarikan
tarian Caci sebagai salah satu cirri khas kesenian yang berasal dari Kabupaten
Manggarai. Tarian sangat unik dan sering dilaksanakan dalam perayaan-perayaan
besar orang manggarai. Karena itu, penting bagi peneliti untuk melihat bagaimana
makna terdalam dalam keseniaan ini yang berpengaruh pada sikap hidup orang
Manggarai. Tarian caci telah menjadi identitas etnik sebuah budaya.
Identitas etnik yang ditunjukkan lewat tarian caci memberikan makna
tersendiri dalam diri orang Manggarai. Setidaknya terdapat etika moral yang dapat
kita lihat dalam tarian caci tersebut. Oleh karena itu, dengan pemahaman penulis dan
sumber yang terbatas, penulis mencoba mengkaji kesenian dalam tarian caci ini.
Penulis mencoba menganlisis tarian ini dengan asumsi bahwa kesenian adalah sebuah
unsur kebudayaan yang menunjukkan identitas budaya etnik yang dapat dilihat dari
cara berpakaian, cara bersopan santun, bahasa, dan etika moral (Poerwasito,
2003:224). Hal-hal ini tentunya akan terlihat maknanya dalam tarian caci di
Manggarai.
II. PEMBAHASAN
A. Kesenian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, pengertian kesenian
adalah perihal seni; keindahan (2007: 1038). Secara terminologi, kesenian berasal dari
kata seni yang mendapat awalan “ke-“ dan akhiran “-an”. Seni sendiri bisa berarti

keahlian dan keterampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan hal-hal
yang indah serta bernilai bagi kehidupan baik untuk diri sendiri maupun untuk
kepentingan masyarakat umum. Atau kesenian bisa berarti karya indah yang
merupakan hasil budidaya manusia dalam memenuhi kebutuhan jiwanya.
Dalam bahasa Sansekerta, kata “seni” disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa
berarti berwarna, dan kata jadiannya “su-cilpa” berarti dilengkapi dengan bentukbentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti

2

pewarnaan, yang kemudian berkembang. menjadi segala macam kekriaan yang
artistik. Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam pelajaran sejarah kesenian,
adalah buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa
yang sekarang disebut seniman (Soedarsono, 1992: 4). Memang dahulu belum ada
pembedaan antara seniman dan tukang. Pemahaman seni adalah yang merupakan
ekspresi pribadi belum ada, dan seni adalah ekspresi keindahan masyarakat yang
bersifat kolektif. Yang demikian itu ternyata tidak hanya terdapat di India dan
Indonesia saja, tetapi juga terdapat di Barat pada masa lampau. Kata seni yang
bersumber dari bahasa asing itu menekankan arti pada hasil aktivitas seniman.
Lingkup seni sebagai hasil aktivitas artistik yang meliputi seni suara, seni gerak dan
seni rupa sesuai dengan media aktivitasnya.

Menurut Sunarto (1996:51-52), teori seni pada dasarnya dapat digolongkan
dalam beberapa kelompok pemikiran:
a. Teori Mimesis
Teori-teori ini berpijak pada pemikiran bahwa seni adalah suatu usaha untuk
menciptakan tiruan alam.
b. Teori Instrumental
Teori-teori ini berpijak pada pemikiran bahwa seni mempunyai tujuan tertentu
bahwa fungsi dan aktivitas seni sangat menentukan dalam suatu karya seni. Misalnya
fungsi-fungsi edukatif, fungsi-fungsi propaganda, religius, dan sebagainya. Cabang
lain dari teori ini adalah seni sebagai sarana penyampaian perasaan, emosi dan
sebagainya. Seni adalah sarana kita untuk mengadakan kontak dengan pribadi si
seniman ataupun bagi seniman untuk berkomunikasi dengan kita.
c. Teori Formalistis
Teori-teori ini merupakan reaksi terhadap kedua teori di atas karena
menganggap bahwa keduanya tidak memberikan standar penilaian estetis. Mereka
berpandapat bahwa elemen-elemen bentuk pada suatu karya seni juga memancarkan
nilai-nilai estetis.
d. Teori-teori Abad ke-20
Teori-teori yang lebih praktis dan menitik beratkan pada kritik dan apresiasi.
Seni adalah suatu tindakan kreatif, pertama-tama ia adalah suatu realita yang

diciptakan dan kedua ia harus bisa memberikan kesempatan dan kemampuan
penghayatan estetis.
Kesenian adalah pembangunan dari dalam jiwa manusia. Dalam bentuk-bentuk
kesenian, tertuang sikap hidup yang akan memberikan arah pada pembangunan fisik;
salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia
lain secara tuntas; tanah (media) untuk menanam, menyimpan, membudidayakan
makna-makna untuk diwariskan kepada manusia lain; bagian dari buah budi manusia
dalam meninggikan taraf hidupnya; rasa yang sudah diolah pikir dan mewujud dalam
bentuk indah, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan seluruh indra manusia,
baik pendengaran, penglihatan, pengecapan, perabaan, penciuman serta indra keenam
(Wijaya, 2001: 15-17).
Kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga suatu jenis kebudayaan.
Kesenian berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu. Menurut Irving Stone
(dalam Mullins dan Spangler, 1997:77) Kesenian adalah kebutuhan pokok seperti roti
atau anggur atau mantol hangat pada musim dingin. Mereka yang mengira kesenian
adalah barang mewah, pikirannya tidak utuh. Roh manusia menjadi lapar akan

3

kesenian seperti halnya perutnya keroncongan minta makan. Dalam teori tersebut

lebih menekankan bahwa kesenian merupakan suatu hal yang pada dasarnya, setiap
orang sangat membutuhkannya.
Menurut Hidayatulloh (2010:9) kesenian merupakan salah satu dari sekian
banyak aktivitas manusia yang berkaitan dengan proses penciptaan makna yang
tentunya tidak sama dengan aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Kesenian sebagai perwujudan dari keahlian dan ketrampilan
manusia dalam menciptakan keindahan, merupakan aktivitas yang khusus dan tertentu
yang tidak pernah lepas dari proses-proses simbolis yang pada gilirannya
menimbulkan proses penafsiran atau pemaknaan.
Berdasarkan teori-teori tentang pengertian kesenian yang sudah dipaparkan di
atas, peneliti menyimpulkan bahwa pengertian kesenian adalah suatu hal yang
berhubungan dengan seni atau keindahan yang cenderung bersifat unik, asli, riil,
nyata, dan mempunyai hubungan erat terhadap suatu golongan masyarakat, adat,
wilayah dan kepercayaan tertentu.
B. Tari
Menurut Sumandiyo Hadi seorang guru besar Fakultas Seni Pertunjukan ISI
Yogyakarta, ‘Seni tari sebagai ekspresi manusia yang bersifat estetis merupakan
bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam masyarakat yang penuh makna
(meaning)’. (2005:13). Keindahan yang dimaksud dalam tari ini yaitu bagaimana
tarian tersebut menyampaikan pesan yang terkandung dalam tarian tersebut. Hal ini

diperjelas oleh Sumandiyo yang mengatakan bahwa keindahan tari tidak hanya
keselarasan gerakan-gerakan badan dengan iringan musik saja, tetapi seluruh ekspresi
itu harus mengandung maksud-maksud isi tari yang dibawakan. Dari penjelasan diatas
maka dapat dikatakan bahwa tari adalah ungkapan ekspresi manusia yang dituangkan
melalui gerak anggota tubuh dimana gerakan-gerakan tersebut mengandung
arti/makna.
C. Tarian Caci
a. Pengertian
Tari Caci ini sangat khas di NTT. Caci adalah salah satu jenis permainan
rakyat atau tarian perang dari Manggarai (sebuah kabupaten di bagian barat Pulau
Flores, NTT) yang selain heroik juga merupakan permainan yang sarat akan nilai
budaya. Dikatakan heroik karena tarian tradisional ini hampir selalu merupakan
pertarungan berdarah. Di Manggarai caci merupakan pertarungan antara dua orang
pria, satu lawan satu, secara bergantian yakni Ata One (tuan rumah) dan Ata
Pe’ang(pendatang) yang disebut juga Meka Landang (tamu penantang). Sportifitas
sangat dijunjung tinggi dalam tarian ini, begitu kental dengan warna tarian
ketangkasan
yang
cenderung
keras

ini.
Tari Caci ini, memiliki sedikit perbedaan dengan tarian yang telah disebutkan
terlebih dahulu, temperamental mungkin akan menjadi kesan jika kita mengamati
sepintas tarian tradisional Manggarai Barat ini. Adu kekuatan dengan saling
mencambuk, menggunakan cambuk yang terbuat dari kulit ekor kerbau adalah
sepintas gambaran Tari Caci. Meskipun saling cambuk, yang tidak jarang sampai
menyebabkan salah satu diantaranya mengeluarkan darah, namun tidak ada dendam
yang tersimpan diantara mereka.

4

Dalam tarian caci ada pihak yang memukul (paki) lawannya dengan
menggunakan Larik (pecut) atau Cambuk. Biasanya larik terbuat dari kulit kerbau
yang sudah kering. Di ujungnya dipasangi kulit kerbau tipis dan sudah kering dan
keras, disebut Lempa atau bisa diganti dengan pori (lidi enau yang masih
hijau).Lawan yang dipukul (ta’ang) bertahan atau menangkis dengan
menggunakan Nggiling (perisai,
juga
terbuat
dari

kulit
kerbau)
dan Tereng/Agang (busur yang terbuat dari bambu). Memukul dilakukan secara
bergantian. Saat dua orang sedang bermain, anggota kelompok lain akan memberikan
dukungan dengan tari-tarian sambil menunggu giliran untuk bertanding. Lokasi
pertandingan biasanya adalah di Natas Gendang atau halaman rumah adat.
Di Manggarai tarian caci yang secara bebas diartikan menguji (ketangkasan)
satu lawan satu, biasanya hanya dipentaskan dalam acara khusus, seperti
upacara penti/hang woja (syukuran hasil panen), penyambutan tamu kehormatan atau
upacara-upacara adat lainnya, seperti paca wina (belis). Juga untuk memeriahkan
pentahbisan imam dan sebagainya. Disinilah nilai-nilai budaya muncul dalam
permainan caci dengan segala keunikannya. Biasanya, pertarungan caci dilakukan
antar desa/kampung. Selain itu juga ada kelompok pemuda yang selalu siap
dengan sopi atau tuak bakok (arak Manggarai), minuman khas yang selalu ada dalam
setiap perhelatan budaya ini. Biasanya diminum oleh petarung untuk sekedar
membangkitkan semangat dan menambah keberanian, atau juga dinikmati oleh
penonton. Caci adalah perhelatan budaya yang indah, semarak dan menyenangkan.
Biasanya, pertarungan caci dilakukan antar desa/kampung. Bagi orang Manggarai,
pementasan caci merupakan pesta besar dimana desa penyelenggara memotong
kerbau beberapa ekor untuk makanan para peserta atau siapa pun yang me- nyaksikan

caci, secara gratis.
b. Asal Mula Tarian Caci
Menurut sumber sejarah yang ada, Tari Caci ini berawal dari tradisi
masyarakat Manggarai dimana para laki-laki saling bertarung satu lawan satu untuk
menguji keberanian dan ketangkasan mereka dalam bertarung. Tarian ini kemudian
berkembang menjadi sebuah kesenian dimana terdapat gerak tari, lagu dan musik
pengiring untuk memeriahkan acara. Nama Tari Caci sendiri berasal dari kata “ca”
berarti “satu” dan “ci” yang berarti “uji”. Sehingga caci dapat diartikan sebagai uji
ketangkasan satu lawan satu.
c. Pertunjukan Tari Caci
Tari Caci ini dilakukan oleh sekelompok penari laki-laki dengan bersenjatakan
cambuk dan perisai. Dalam pertunjukannya, sekelompok penari tersebut dibagi
menjadi dua bagian dan dipertandingkan satu lawan satu. Sebelum penari
dipertandingkan, pertunjukan terlebih dahulu diawali dengan Tari Tandak atau Tari
Danding Manggarai. Tarian tersebut dilakukan oleh penari laki-laki dan perempuan
sebagai pembuka acara dan meramaikan pertunjukan Tari Caci. Setalah tarian
pembuka selesai kemudian dilanjutkan dengan atraksi Tari Caci.
Saat kedua penari akan memasuki arena, penari terlebih dahulu melakukan
pemanasan dengan melakukan gerak tari. Kemudian mereka saling menantang sambil
menyanyikan lagu-lagu adat, lalu pertandingan pun dimulai. Dalam atraksi ini juga
terdapat beberapa aturan, pemain hanya boleh memukul pada tubuh bagian atas
lawanya seperti bagian lengan, punggung, atau dada.

5

Selain itu penari harus bisa menangkis atau menghindar dari serangan lawan.
Apabila tidak, maka dia akan terkena serangan lawan dan menyisakan luka
ditubuhnya, bahkan hingga berdarah. Pemain bertahan akan dinyatakan kalah apabila
terkena cambuk di matanya. Setelah semua penari sudah dimainkan, kemudian kedua
kelompok dikumpulkan dan melakukan jabat tangan atau berangkulan sebagai tanda
damai dan tidak ada dendam di antara mereka.
d. Pengiring Tari Caci
Dalam pertunjukan Tari Caci ini biasanya diiringi oleh alat musik tradisional
seperti gendang dan gong, serta nyanyian nenggo atau dare dari para pendukung.
Dalam pertunjukan tersebut setiap kelompok biasanya memiliki pendukung sendirisendiri. Seperti layaknya sebuah pertandingan olah raga, para pendukung juga
bersorak-sorak memberikan dukungan dan semangat kepada para penari agar bisa
menang.
e. Kostum Tari Caci
Dalam pertunjuakan Tari Caci ini, penari juga menggunakan kostum layaknya
prajurit yang akan maju ke medan perang. kostum para penari biasanya hanya
menggunakan penutup kepala (pangkal) dan pakaian pada bagian bawah saja,
sehingga tubuh bagian atas tanpa busana. Pada penutup kepala penari menggunakan
topeng yang terbuat dari kulit kerbau yang keras untuk melindungi wajah dari
serangan lawan.
Sedangkan pada tubuh bagian bawah menggunakan celana panjang berwarna
putih dan sarung songket khas Manggarai berwarna hitam. Sebagai aksesoris diberi
giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan penari. Selain itu penari membawa
cambuk dan perisai sebagai senjata, yang terbuat dari kulit kerbau/ sapi yang sudah
dikeringkan.
f. Perkembangan Tari Caci
Tari Caci ini merupakan salah satu kesenian tradisional yang cukup terkenal
dan masih dilestarikan oleh masyarakat Manggarai di Pulau Flores, Nusa Tenggara
Timur. Kesenian ini juga masih sering ditampilkan di berbagai acara seperti syukuran
musim panen(hang woja), ritual tahun baru (penti), penyambutan tamu besar, dan
berbagai acara adat lainnya.
D. Nilai-Nilai dalam Tarian Caci
Identitas budaya tercermin dalam bahasa, nyanyian, cara berpakaian, dan etika
moral. Identitas ini termanifestasi dalam tarian caci di Manggarai. Berdasarkan hal
ini, kita akan melihat bagaimana makna tersembunyi tarian caci ini.
a. Bahasa dan nyanyian (keindahan, keselarasan dan kerendahan hati)
Tarian caci pada dasarnya menarik ketika seorang pemain caci setelah
menerima pukulan atau memberi pukulan, berbicara dan bernyanyi.
Pembicaraan dan nyanyian yang dilakukan menggunakan Bahasa yang indah
dengan istilah-istilah yang menarik perhatian penonton. Bahasa yang
digunakan tentunya menggunakan Bahasa daerah Manggarai. Keunggulan
seorang pemain caci dilihat dari keindahannya dalam berkata-kata dan
menyanyi dan selaras dengan caranya bertarung yang diiringi bunyi gong dan
gendang serta nyanyian lainnya (sanda). Selain itu, Bahasa dan nyanyiannya
akan indah ketika tidak membuat orang yang menonton dan khusunya
lawannya tersinggung. Ataupun sebaliknya, ketika petarung tersebut terkena

6

pukulan, keindahan Bahasa dalam menyampaikan apa yang menimpanya
secara menarik dengan istilah-istilah tersembunyi dan bermakna.
b. Cara Berpakaian
Peralatan tarian Caci yang terbuat dari kulit kerbau melambangkan kekuatan,
ketenangan kerendahan hati, dan tidak emosional, sedangkan bentuknya yang
relatif bundar melambangkan adanya satu titik pusat yang mengatur
semuanya, itulah Tuhan yang Maha Esa.
c. Etika Moral
Permainan caci atau tarian caci merupakan sebuah merupakan sebuah identitas
budaya orang Manggarai. Meskipun, ini adalah sebuah pertarungan, tetapi
etika moral tetap menjadi hal yang terutama yang harus diperhatikan. Etika
moral kemanusiaan adalah yang terutama dalam tarian ini. Dalam hal ini,
pertarungan atau perkelahian tentunya akan berlawanan dengan etika moral,
tetapi dalam permainan caci, etika moral tetap menjadi yang utama lewat sikap
tanggung jawab dan saling menghargai dalam sebuah pertarungan.
d. Darah, Keringat, dan Air Mata (kejantanan, keramaian, kemegahan, dan
sportivitas)
Darah, keringat, dan air mata terus menerus hadir selama tarian caci
berlangsung. Darah, keringan, dan air mata ini tidak akan membuat orangorang yang hadir dan bertarung mengalah. Mereka takkan pernah menyerah
sampai dikatakan “rowa” (mati). Tetapi, mati di sini berarti petarung terkena
cambukan di daerah kepala (wajah) dan tangan. Meskipun tubuh mereka
berdarah, berkeringat dan air mata mengalir dari para penonton dan petarung
itu sendiri, pertarungan akan semakin seru.
Darah, keringat, dan air mata dalam tarian caci mengandung makna
kepahlawanan dan keperkasaan. Namun dalam caci, keperkasaan tidak harus
dilakoni lewat kekerasan namun juga lewat kelembutan yang ditunjukkan
dalam gerakan-gerakan yang bernuansa seni. Tarian Caci diiringi bunyi
gendang dan gong serta nyanyian para pendukungnya yang menunjukkan
kemegahan acara tersebut.
Pihak yang memukul tidak harus mendapat giliran menangkis. Posisinya
bisa diganti orang lain. Pihak lawan biasanya tak memprotes. Di sini terlihat
aspek lain yakni kerelaan untuk berkorban. Semuanya dihayati dalam suasana
penuh kekeluargaan dan kebersamaan serta sportivitas.
Bagian badan yang boleh dipukuli meliputi bagian pusar ke atas hingga
wajah. Seorang penari caci dinyatakan kalah bila pukulan larik mengenai
bagian wajah hingga luka atau berdarah. Jika ini terjadi maka penari
bersangkutan harus diberhentikan. Namun, luka karena Caci bagi orang
Manggarai merupakan kebanggaan seumur hidup dan sebuah fenomena tanpa
rasa dendam.

7

III. PENUTUP
Tarian caci merupakan sebuah kesenian yang mampu menunjukkan nilai-nilai
budi pekerti bagi masyarakat Manggarai dan mereka yang menyaksikannya. Selain
itu, tarian caci ini juga menunjukkan identitas unik budaya Manggarai. Hal ini
menjadi keunggulan tersendiri bagi masyarakat Manggarai. Tarian caci mengajarkan
banyak hal, yaitu soal keberanian, sportivitas, harga diri, keindahan, persaudaraan,
dan juga nilai-nilai religius. Secara tidak langsung pelaksanaan tarian caci
mengikutsertakan alam, manusia, dan juga Tuhan. Mungkin tidak begitu banyak
orang di Indonesia yang tahu dan mengenal tarian ini. Tarian caci bukanlah hanya
sebuah tarian, tetapi juga merupakan sebuah pertarungan ketangkasan dan keindahan.
Oleh karena itu, tarian ini perlu terus dilestarikan dan diperkenalkan tidak hanya di
Indonesia tetapi juga ke seluruh dunia.

DAFTAR RUJUKAN
Hadi, Y. Sumandiyo. 2005. Sosiologi Tari: Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mullins, Traci dan Spangler, Ann. 1997. Vitamins for Your Soul. Yogyakarta: Kanisius
Yogyakarta.
Purwasita, Andrika. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhamadya
University Press.
Soedarsono, R. M. 1992. Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka.
Sunarto, F. X. Suhardjo Parto. 1996. Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarata:
Kanisius Yogyakarta.
Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Wijaya, Putu. 2001. Putu Wijaya Sang Teroris Mental dan Pertanggungjawaban
Proses Kreatifnya Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

8