IMPLIKASI MUZARA AH TERHADAP PERTUMBUHAN

IMPLIKASI MUZARA’AH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
MASYARAKAT PEDESAAN
Heris Suhendar1
Abstrak
Praktek muzara’ah sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, kemudian
diteruskan oleh para sahabat. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu umar r.a. bahwa
Rasulullah SAW memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan
syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya kemudian mengambil sebagian
dari hasilnya. Pada masa kini sangat cocok karena konsep dan praktek muzara’ah ini
merupakan salah satu solusi terhadap pertumbuhan perekonomian masyarakat
pedesaan, yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian.
Tidak sedikit orang yang memiliki lahan pertanian tetapi tidak mempunyai keahlian
dalam mengolahnya, begitu pun sebaliknya banyak orang yang memiliki keahlian
dalam bertani tetapi tidak mempunyai lahan pertanian. Berdasarkan konsep seperti ini
adanya saling tolong-menolong dan kerjasama kedua belah pihak antara pemilik
lahan dan penggarap yang memiliki keahlian dalam bertani, sehingga akan
terciptanya lapangan pekerjaan dan mempunyai pengaruh besar terhadap menurunnya
angka pengangguran di pedasaan. Kemudian meningkatnya pendapatan yang
membawa dampak pada kesejahteraan kedua belah pihak yang sama-sama akan
memberikan keuntungan.
Kata Kunci:

Muzara’ah, Pertanian, Lahan, Perekonomian, Masyarakat Pedesaan

1

Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Angkatan 2010

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Landasan Teoritis
Adanya kehidupan di dunia tentunya dibarengi dengan adanya aktivitas, dan
aktivitas itu sangatlah bervariasi tergantung dengan keahliannya masing-masing.
Dengan bervariasinya aktivitas sesungguhnya mengajarkan kepada umat untuk saling
tolong-menolong, memahami, dan saling menghormati satu dengan yang lainnya,
kembali kepada fitrahnya manusia memiliki karakter saling membutuhkan. Adanya
orang yang kayak arena adanya orang miskin, begitu pula dengan adanya orang yang
sukses dan maju karena adanya orang yang lemah, dengan demikian saling tolongmenolonglah sesama manusia untuk saling melengkapi.
Kemampuan fisik dan mental setiap individu tidak ada yang sama, demikian
pula kemampuan mereka dalam mencari nafkah. Salah satunya adalah bertani yang
merupakan sumber ekonomi primer, disamping adanya sektor perindustrian maupun
perdagangan. Bertani merupakan mata pencaharian pokok khususnya bagi

masyarakat

yang

ada

dipedasaan,

karena

mayoritas

penduduk

pedesaan

menggantungkan kehidupannya kepada sektor pertanian. Kemudian masih banyaknya
lahan/tanah untuk dijadikan tempat pertanian, berbeda dengan masyarakat perkotaan
dengan susahnya mencari lahan pertanian dikarenakan sudah dijadikan perumahan,
pertokoan, bahkan dijadikan sebagai pabrik-pabrik.

Tidak sedikit masyarakat pedesaan yang mempunyai keahlian dibidang
pertanian tetapi tidak mempunyai lahan atau tempat dan tidak sedikit pula orang yang
memiliki lahan pertanian tetapi tidak mempunyai keahlian untuk mengolahnya
bahkan tidak mampu untuk mengolahnya karena terlalu banyak lahan pertanian yang
dimiliki. Islam memberikan solusi dengan adanya konsep muzara’ah seperti yang
telah dipraktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya sebelumnya, pengertian
konsep muzara’ah secara umum yaitu kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah
pihak (pemilik lahan dan penggarap yang mempunyai keahlian/petani) dengan

perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama. Konsep
muzara’ah ini akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan perekonomian
masyarakat pedesaan.
1.2. Landasan Empiris

Praktek muzara’ah sebenarnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, dan
pada masa sahabat. Pada awal masa kekhalifahan menunjukkan sebagian besar
masyarakat menyerahkan tanah mereka untuk digarap dengan sistem muzara’ah,
terutama bagi mereka yang bertugas mempertahankan Negara atau mempunyai tugas
kemasyarakatan lainnya (pekerja sosial). Mereka menyerahkan tanah mereka kepada
para petani yang mempunyai keahlian untuk diolah dengan sistem muzara’ah karena

perhatian mereka tercurah sepenuhnya dalam melayani masyarakat sehingga mereka
tidak dapat mengolahnya sendiri. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan
hubungan antara para pemilik tanah dan petani itu sangat baik, bersahabat dan tidak
ada unsur-unsur pemerasan di dalamnya.2
Pemilik lahan dan petani adalah pasangan untuk bekerja sama dan menjalankan
usaha, maka keduanya terikat dalam perjanjian pengolahan. Karena ini bentuk
pengolahan lahan yang dilakukan dengan sistem muzara’ah dapat meminimalkan
pelanggaran atas hak orang lain dan di dalamnya terdapat unsur saling menolong dan
persaudaraan antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dengan cara muzara’ah,
keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Usman, keluarga Ali dan juga yang
lain dari keluarga-keluarga kaum Muhajirin bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.3
Rasulullah SAW pernah mempraktekannya dengan memberikan tanah Khaibar
kepada orang-orang yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan
mengolahnya dan mengambil sebagian dari hasilnya. Perjanjian ini dilanjutkan
2

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (alih bahasa Soeroyo dan Nastangin), Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1995, hal. 264
3

Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan
Ekonomi Islam, (alih bahasa Imam Saefudin), Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm. 221

sampai masa khalifah Umar tapi tidak dilanjutkan lagi oleh beliau manakalah orangorang yahudi melanggar syarat-syarat perjanjian tersebut. Dalam Sahih al-Bukhari
disebutkan beberapa riwayat yang memperlihatkan bahwa para sahabat telah
menyerahkan tanah mereka untuk digarap dengan sistem bagi hasil. Seperti
disebutkan bahwa setiap keluarga di Madinah pernah menyerahkan tanah berdasarkan
bagi hasil dengan pemilik tanah. Abu Bakar, Umar, Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah
bin Mas’ud, al-Qasim dan Urwah pernah melaksanakan sistem muzara’ah tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Muzara’ah
Imam Qurthubi mengatakan, “zira’ah/pertanian” termasuk pekerjaan fardhu
kifayah. Oleh karena itu, diwajibkan bagi penguasa (imam) memaksa rakyatnya
untuk bekerja dalam bidang tersebut dan apa saja yang berkaitan dengan bidang
pertanian, yaitu dalam bentuk menanam pohon.
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tak ada bagi seorang muslim yang menanam tanaman atau membuka lahan

persawahan, kemudian ada burung atau binatang ternak memakannya, kecuali
baginya itu sedekah.”
2.1.1. Pengertian Muzara’ah
Secara etimologi, muzara’ah ( ‫) المزارعة‬adalah wajan ( ‫ )مفاعلة‬mufaa’alatun
dari kata ( ‫ ) الزرع‬al-zar’u yang sama artinya dengan ‫ ) ) ال نبات‬al-inbaatu yang
artinya menumbuhkan. Muzara’ah dinamai pula dengan al-mukhabarah dan
muhaqalah. Orang-orang Irak memberikan istilah muzara’ah dengan al-qarah.4
Sayyid Sabiq memberikan definisi, bahwa muzara’ah itu adalah akad
transaksi pengolahan tanah atas apa yang dihasilkannya. Maksudnya, pemberian
hasil pengolahan tanah untuk orang yang mengerjakannya, seperti mendapat
bagian hasil setengah atau sepertiga, atau lebih tinggi dan rendah, disesuaikan
dengan kesepakatan antara kedua belah pihak (petani dan pemilik tanah).5
Menurut Terminologi syara’, para ulama berbeda pendapat antara lain.
Ulama Hanabilah memberikan defini, muzara’ah adalah menyerahkan tanah
kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengolahnya, sedangkan tanaman
(hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya. Sedangkan Ulama Syafi’iyah
membedakan antara mujara’ah dan mukhabarah, untuk mukhabarah adalah
4

Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 205

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Penerjemah Nor Hasanudin), Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008,
hlm. 193
5

mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari
pengelola. Adapun untuk mujara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja
benihnya berasal dari pemilik tanah.6
2.1.2. Landasan Hukum
Muzara’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama antara pekerja (buruh)
dan pemilik tanah. Dalam banyak kasus, pihak buruh memiliki keahlian mengolah
tanah namun tidak memiliki tanah. Dan ada pemilik tanah tidak mempunyai
keahlian dalam mengolah tanah tersebut. Oleh karena itu, Islam mensyari’atkan
muzara’ah sebagai upaya mempertemukan kepentingan dua belah pihak.
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum
mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a. “Sesungguhnya Nabi SAW, tidak mengharamkan
bermuzara’ah bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi
sebagian yang lain, dengan katanya, barasiapa yang memiliki tanah,

maka


hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia
tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”7
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih
Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan
tanaman. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir r.a. yang mengatakan bahwa
bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi
hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda, “Hendaklah
menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan
salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”8
2.1.3. Bantahan Atas Larangan Muzara’ah9
6

Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah,hlm. 206
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, hlm.156
8
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah (Dari Teori ke Praktek), Jakarta: Gema Insani,
2011, hlm. 99
9

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Penerjemah Nor Hasanudin), hlm. 194
7

Disebutkan oleh Rafi’ bin Khudaij bahwa Rasulullah SAW telah
melarangnya. Hal tersebut dibantah oleh Zaid bin Tsabit r.a. “Pelarangan itu
dilakukan untuk menyelesaikan suatu kasus perselisihan.” Ia melanjutkan,
“Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij. Demi Allah, aku ini lebih
mengetahui tentang hadits darinya.”
Pelarangan yang disebutkan itu sebenarnya dalam kasus dua orang Anshar
mendatangi Nabi SAW, yang nyaris saling membunuh. Rasulullah pun
mengatakan kepada mereka, “Jika begini keadaan kalian, maka jangan kalian
ulangi lagi melakukan muzara’ah.” Sedangkan Rafi’ hanya mendengar kalimat,
“Maka jangan kalian ulangi lagi muzara’ah.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Ibnu Abbas pula membantah atas apa yang disebutkan oleh Rafi’. Ia
menjelaskan, “Sesungguhnya larangan tersebut bertujuan agar berbuat yang lebih
baik untuk mereka.” Ia kemudian menceritakan, “Sesungguhnya Rasulullah bukan
mengharamkan praktek muzara’ah, akan tetapi ia memerintahkan agar sesama
manusia saling menolong, dengan perkataanya, Barang siapa yang memiliki
tanah, hendaknya ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada
saudaranya. Jika enggan, maka ia sendiri harus menggarap tanahnya sendiri.”

Riwayat dari Amir bin Dinar r.a., “Aku pernah mendengar Ibnu Umar
berkata, “Kami dulu tidak memandang bagi hasil itu terlarang, sampai kemudian
aku

mendengar

Rafi’

bin

Khudaij

berkata,

“Sesungguhnya

Rasulullah

melarangnya.” Kemudian itu aku ceritakan kepada thawus, yang lalu berkata,
“Orang yang paling pandai di antara mereka mengatakan kepada-ku (yang

dimaksud Ibnu Abbas) bahwa Rasulullah tidak pernah mencegahnya, tetapi
menganjurkan, “Hendaknya seseorang di antara kalian memberikan tanahnya
(untuk digarap), itu lebih baik daripada ia memungut bayar tertentu.” (HR Lima
Perawi)
2.2. Rukun, Syarat dan Eksistensi Muzara’ah

2.2.1. Rukun Muzara’ah

Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:10
1. Pemilik Tanah;
2. Petani/Penggarap;
3. Objek al-muzara’ah (mahalul ‘aqdi); dan
4. Ijab dan Qabul, keduanya secara lisan, bagi ulama Hanabilah, qabul tidak harus
berupa lisan, namun dapat juga berupa tindakan langsung dari si penggarap.
2.2.2. Syarat Muzara’ah
Syarat-syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad (pemilik dan
petani).11
1. Berakal;
2. Baligh.
Sebagian ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu keduanya
(penggarap dan pemilik) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad
dianggap mauquf, tidak punya efek hukum hingga ia masuk Islam. Tetapi jumhur
ulama sepakat bahwa aqad muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslin dan non
Muslim termasuk didalamnya orang murtad.
Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan
ditanam sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang
menyangkut tanah pertanian adalah:
1. Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan,

jika tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, maka muzara’ah
dianggap tidak sah;
2. Batas-batas tanah itu jelas; dan
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apabila pada
waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad
muzara’ah ini dianggap tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
10
11

Haroen Nasroen, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 278
http://www.scribd.com/doc/23606668/Pembahasan-Muzaroah

1. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;
2. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari
luar; dan
3. Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari
perselisihan nantinya.
2.2.3. Eksistensi Muzara’ah
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), muzara’ah
mempunyai empat keadaan, tiga sahih dan satu batal.12
1. Dibolehkan muzara’ah jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedangkan

pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
2. Dibolehkan muzara’ah jika tanah dari seseorang, sedangkan benih, alat

penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
3. Dibolehkan muzara’ah jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari

pemilik, sedangkan pekerjaan berasal dari penggarap.
4. Muzara’ah tidak boleh jika tanah dan hewan berasal dari pemilik tanah,

sedangkan benih dan pekerjaan dari penggarap.
2.2.4. Nisbah dan Cara Pembagian Hasil Muzara’ah
Pada dasarnya, Muzara’ah adalah konsep kerja sama bagi hasil
dalam pengelolaan pertanian antara petani pemilik lahan dengan petani
penggarap. Tidak hanya Muzara’ah saja yang menjadi dasar konsep kerjasama
bagi hasil dalam pertanian, tetapi ada juga Mukhabarah. Perbedaan antara
Muzara’ah dan Mukhabarah terletak pada asal benih yangditanam. Jika benihnya
berasal dari petani pemilik lahan biasa disebut dengan Mukhabarah, sebaliknya
jika benihnya berasal dari petani penggarap biasa disebut dengan Muzara’ah.
Praktek Muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System.
Hasil akhir menjadi patokan dalam praktek Muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya
mengalami keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak,
yaitu petani pemilik sawah dan petani penggarap. Begitu pula sebaliknya, jika
12

Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah,hlm. 210

hasil pertaniannya mengalami kerugian, makakerugiannya ditanggung bersama.
Dalam prakteknya, Muzara’ah sudah menjadi tradisimasyarakat petani di
pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa disebut dengan Maro,
Mertelu dan Mrapat. Maro dapat dipahami keuntungan yang dibagi separo-separo
(1/2:1/2), artinya separo untuk petani pemilik sawah dan separo untuk petani
penggarap. Jika mengambil perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya
adalah 1/3 dan 2/3. Bisa jadi 1/3 untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani
penggarap, atau sebaliknya sesuai, dengan kesepakatan antara keduanya.
Dasar yang menjadi acuan praktek Muzara’ah adalah hadits Nabi SAW.
Diantaranya, Hadits Riwayat Imam Bukhari dari Jabir yang menyatakan bahwa
kaum Arab senantiasamengolah tanahnya secara Muzara’ah dengan rasio bagi
hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2, maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Hendaklah
menanami atau menyerahkannya untuk digarap,barangsiapa tidak melakukan
salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
Demikian kenyataan perkembangan dalam kehidupan masyarakat, bahwa
pembagianhasil paroan bidang pertanian bervariasi, ada yang mendapat setengah,
sepertiga, ataupunlebih rendah dari itu. Bahkan terkadang cenderung merugikan
pihak penggarap atau petani. Bagi umat Islam di Indonesia sudah ada ketentuan
khusus mengenai pembagian hasil paroan bidang pertanian ini, yaitu Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor
211/1980 dan Nomor 714/Ppts/Um/9/1980.

Yang menjelaskan

tentang

perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yakni masing-masing
seperdua bagian atau seimbang.
Disisi lain, tidak boleh dijanjikan pihak yang lain akan mengambil bagian
yang lainnya apabila terjadi kerusakan. Misalnya pemilik lahan boleh mengambil
bagian penggarapan apabila lahan bagianya mengalami kegagalan panen, atau
tanaman diatas tanah bagianya rusak. Atau sebaliknya, tidak boleh dijanjikan
penggarap mengambil bagian pemilik lahan apabila bagian penggarap gagal panen
atau rusak.

2.2.5. Berakhirnya Akad Muzara’ah
Akan muzara’ah ini berakhir apabila:13
1. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya
sudah habis sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu
tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama diwaktu akad.
2. Menurut ulama golongan hanafi dan Hanbali, apabila salah seorang yang
berakad wafat, maka akad muzara’ah berakhir, karena mereka berpendapat
bahwa akad ijarah tidak bisa diwariskan. Akan tetapi ulama golongan Maliki
dan ulama golongan syafi’i berpendapat bahwa akad muzara’ah itu dapat
diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berakhir dengan wafatnya salah satu
pihak yang berakad.
3. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik lahan maupun dari pihak
petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad muzara’ah
tersebut. Uzur yang dimaksud antara lain adalah:
- Pemilik lahan terbelit utang, sehingga lahan pertanian harus dijual. Karena

tidak ada harta lain yang dapat melunasi utang tersebut. Pembatalan ini harus
dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi, apabila tanaman itu
telah berbuah, tetapi belum layak panen, maka lahan itu tidak boleh dijual
sebelum panen.
- Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan perjalanan, sehingga

ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.
2.3. Implikasi Terhadap Pertumbuhan Perekonomian Masyarakat Pedesaan
Mayoritas

masyarakat

pedesaan

yang

hanya

mengandalkan

dan

menggantungkan biaya hidupnya dari hasil pertanian, di mana taraf kesejahteraan
mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk
13

1274

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeva, 1997, hlm.

digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri
untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhan mereka bekerjasama dengan
yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil.
Kebanyakan dari mereka itu telah memiliki lahan sendiri tapi karena hasilnya belum
mencukupi, mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil
pertanian. Ada juga orang yang memiliki lahan pertanian tetapi tidak mempunyai
keahlian dalam bertani, atau dikarenakan sudah lanjut usia sehingga penggarapannya
diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada
umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat ini, wajar kiranya sistem
pengolahan lahan pertanian dengan bagi hasil (muzara’ah) ini berkembang di
masyarakat pedesaan pada umumnya. Karena pada dasarnya manusia tidak ada yang
sama, kepribadian dan kemampuan masing-masing berbeda serta memiliki berbagai
keinginan.
Oleh karena itu perlu dibangun suatu masyarakat yang maju dan makmur agar
rasa saling percaya dan kerjasama dapat tumbuh di kalangan masyarakat. Dalam
masyarakat, setiap orang mempunyai ketergantungan dengan orang lain untuk
memenuhi

kebutuhannya.

Seringkali

seseorang

memiliki

kemauan

untuk

mengolahnya. Hal yang sama dapat dikatakan mengenai pengalihan kekayaan yaitu
misalnya seseorang mempunyai cukup waktu untuk berdagang (bisnis lain) atau tidak
mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk memikul beban dan kesukaran
perdagangan (atau bisnis lainnya), atau terikat dengan pekerjaan yang lebih tinggi dan
tidak dapat mengolah tanah sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan saling tolong
menolong agar dengan pemberian kekayaan yang dimiliki (modal atau tanah) kepada
orang lain dapat membagi keuntungan dengan mereka.
Sistem ini menjadi suatu yang penting ketika ada orang-orang yang memiliki
keahlian tapi tidak memiliki lahan dan sementara yang lain memiliki lahan tanpa
modal dan tenaga kerja. Berdasarkan keadaan seperti ini dengan saling bantumembantu dan kerjasama maka sistem bagi hasil merupakan cara efektif untuk
menghasilkan lebih banyak tanah yang diolah sehingga menguntungkan kedua belah

pihak. Bagi mereka yang tidak memiliki lahan tapi memiliki kemampuan, sistem ini
akan membukakan mereka peluang pekerjaan yang selanjutnya dapat meningkatkan
pendapatan yang membawa dampak pada kesejahteraan kedua belah pihak.
Disamping juga akan terjalinnya rasa persaudaraan yang lebih erat karena masingmasing pihak merasa saling membutuhkan. Seorang pemilik lahan mungkin saja tidak
memiliki waktu untuk mengolah lahannya karena disibukkan oleh hal-hal yang lain,
sedang di sisi lain, seorang petani membutuhkan lahan yang bisa digarap dan ia tidak
memiliki lahan tersebut. Sistem muzara‘ah ini sangat membantu mereka yang
memiliki lahan tapi tidak mempunyai waktu untuk menggarapnya dan mereka yang
tidak memiliki lahan tapi memiliki keahlian dalam bertani. Sistem muzâra‘ah ini
sebenarnya sudah dikenal dan dipraktekkan di kalangan masyarakat khususnya di
Indonesia, yang mungkin dengan berbagai macam istilah dan penamaan. Penerapan
sistem ini pada umumnya dapat dilihat pada masyarakat pedesaan yang hidupnya
mengandalkan pertanian. Karena sistem ini akan membentuk kerjasama antara
pemilik lahan dan petani penggarap yang didasari rasa persaudaraan antara kedua
belah pihak. Dan juga sangat membantu mereka yang memiliki lahan tapi tidak
mempunyai waktu untuk menggarapnya dan mereka yang tidak memiliki lahan tapi
memiliki keahlian dalam bertani.
Diterapkannya bagi hasil sistem

muzara’ah berdampak pada sektor

pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-

1.

pihak yang bekerjasama. Sesuai dengan firman Allah SWT didalam surat alMaidah ayat 2 yang berbunyi:”Dan tolong-menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan.”14
2.

Meningkatnya penghasilan ekonomi pertanian baik penggarap maupun
pemilik lahan.

3.

Dapat mengurangi pengangguran.
14

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Dipenogoro, 2005, hlm. 85

4.

Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.

5.

Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopang pertumbuhan
ekonomi secara makro.
Praktek muzara’ah ini sangatlah cocok dan memberikan solusi terhadap

masyarakat pedesaan yang mayoritas mata pencahariannya mengandalkan dari hasil
pertanian. Pertanian memiliki peran penting dalam transformasi ekonomi pedesaan.
Sektor pertanian juga akan mempengaruhi aktivitas nonpertanian di pedesaan melalui
tiga cara, yaitu produksi, konsumsi, dan keterkaitan pasar tenaga kerja. Pada sisi
produksi, pertumbuhan sektor pertanian memerlukan input berupa pupuk, pestisida,
benih. Pada sisi konsumsi, meningkatnya pendapatan menyebabkan konsumsi rumah
tangga tani meningkat, yang juga berarti permintaan barang ataupun jasa yang
dihasilkan sektor nonpertanian meningkat. Jenis dan jumlah produk yang dihasilkan
sektor pertanian di suatu daerah juga mempengaruhi aktivitas-aktivitas nonpertanian
yang akan berkembang (pemasaran, pengolahan, ataupun transportasi).

BAB III
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap yang mempunyai keahlian
merupakan sifat yang harus ada dalam sistem muzara’ah, dimana kedua belah pihak
ini harus memenuhi hak dan kewajibannya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Muzara’ah dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, dan

mengenai hak dan kewajiban masing-masing dapat diatur secara musyawarah
mufakat.
Sistem muzara’ah ini merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan tarap
perekonomian masyarakat pedesaan menuju kesejahteraan, karena pada umumnya
masyarakat pedesaan yang hidupnya mengandalkan dari hasil pertanian. Dampak lain
yang bisa dirasakan adalah terjalinnya rasa persaudaraan, sikap saling tolongmenolong dan terciptanya lapangan pekerjaan sehingga akan mengurangi
pengangguran di pedesaan.
Sistem muzara’ah ini tidak hanya meningkatkan sektor pertanian saja, tetapi
sektor nonpertanian juga ikut meningkat. Karena kedua istilah itu dalam prakteknya
sangatlah erat kaitannya dan memiliki banyak pengaruh besar untuk saling
menguntungkan. Pertanian memerlukan input berupa pupuk, pestisida yang
dihasilkan dari sektor nonpertanian, kemudian diperlukannya pemasaran, pengolahan
itu semua tidak lepas dari jasa-jasa nonpertanian.

DAFTAR PUSTAKA
Azis Dahlan, Abdul. 1997. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeva
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Dipenogoro
Muhammad al-‘Assal Ahmad dkk. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam,
(alih bahasa Imam Saefudin). Bandung: Pustaka Setia
Nasroen, Haroen. 2000. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Gaya Media Pratama

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam (alih bahasa Soeroyo dan
Nastangin). Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf
Sayyid, Sabiq. 2008. Fiqh Sunnah (Penerjemah Nor Hasanudin). Jakarta: Pena Pundi
Aksara
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syafe’i Antonio, Muhammad. 2011. Bank Syari’ah (Dari Teori ke Praktek). Jakarta:
Gema Insani
Syafe’i, Rachmat. 2006. Fiqih Mu’amalah. Bandung: Pustaka Setia
www.scribd.com/doc/23606668/Pembahasan-Muzaroah