Analisa Perbuatan Melawan Hukum Kasus Pe

Analisa Perkara Perdata Hukum Lingkungan
Justitia Avila Veda

Gugatan secara perdata atas perkara lingkungan selalu didasari oleh dalil bahwa
perbuatan yang dilakukan pelaku bersifat melawan hukum atau onrechmatigedaagd. Dalil
yang sama juga diajukan oleh penggugat dalam kasus gugatan perdata terkait Hutan
Mandalawangi yang kemudian dimenangkan baik dalam tingkat pertama, tingkat banding,
dan tingkat kasasi. Dalam perkara tersebut, penggugat mendalilkan bahwa:
1. Perhutani sebagai Tergugat I telah mengabaikan dan tidak mematuhi ketentuan
Pasal 7 butir b PP No. 53 tahun 1999 yang mengatur bahwa dalam mengelola
hutan, Tergugat I harus mengacu pada maksud dan tujuan perusahaan yaitu
melestarikan dan meningkatkan mutu sumber daya hutan dan mutu lingkungan
hidup. Dalam konteks ini, Tergugat I yang diwakili oleh Perhutani Unit III Jawa
Barat sebagai Tergugat III telah menyebabkan luas hutan berkurang drastis.
2. Tergugat III mengubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan
produksi terbatas, sehingga Tergugat I dapat melakukan kegiatan usaha tanpa
melakukan reboisasi setelah penebangan dan/atau mengubah hutan primair
menjadi sekunder.
3. Tergugat III telah lalai melakukan pembinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 16
ayat (1) dan (4) PP No. 53 Tahun 1999 dan/atau telah menyetujui atau setidaktidaknya membiarkan Tergugat I melakukan kesalahan dalam mengelola Hutan
Mandalawangi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 b PP No. 53 Tahun 1999.

4. Tergugat I telah menyewakan area yang bersangkutan kepada warga sekitar untuk
tujuan yang tidak jelas, padahal perbuatan ini tidak dibenarkan oleh peraturan.
Oleh karenanya, tindakan Tergugat I dapat dikategorikan ke dalam perbuatan
melawan hukum.
5. Tergugat I juga telah menciptakan lahan kosong, dan lahan garapan pertanian
yang kemudian dimanfaatkan penduduk di sekitar area hutan Mandalawangi.
Berarti, Tergugat I telah mengubah fisik dan/atau fungsi hutan yang dapat
dikategorikan sebagai kerusakan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat
(2) UU No. 41 Tahun 1999. Hal ini menyebabkan bertambahnya kemiringan
lereng yang berujung pada bencana tanah logsor di Desa Mandalawangi.
Perubahan status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya hutan lindung menjadi
hutan produksi didasari atas SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999.
Sebelumnya, perlu dipahami bahwa gugatan berdasarkan PMH dalam lingkup hukum
lingkungan memiliki kedudukan yang penting. 1 Konsep tentang PMH ini termaktub dalam
Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi,

1

260


Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.

“Tiap Perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada Seorang
lain, mewajibkan orang yang salah karena menerbitkan Kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”
Dari pasal tersebut, dapat diuraikan bahwa PMH terdiri dari unsur:
1. Perbuatan yang melanggar undang-undang. Secara lebih luas, perbuatan
ini bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau telah melanggar
hak subjektif dari orang lain sebagaimana diatur dalam undang-undang.
2. Kesalahan dalam diri pelaku. Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 (dua)
aspek:
a. Aspek objektif, dibuktikan bahwa dalam keadaan yang normal, orang
lain dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat negatif yang
mendorong pihak bersangkutan untuk melakukan pencegaan, baik
dalam wujud melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
b. Aspek subjektif, dibuktikan dengan melihat keahlian dan/atau
kapasitas sebagai pelaku, apakah ia dapat menduga akibat dari
perbuatannya.
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Kerugian ini terbagi dalam 2 (dua)
kategori:

a. Kerugian materiil, yaitu kerugian yang nyata diderita dan/atau
hilangnya keuntungan yang sudah seharusnya diperoleh oleh korban.
b. Kerugian imateriil, yaitu kerugian yang tidak berwujud seperti
ketakutan, sakit, kehilangan ketenangan, ataupun perkiraan kerugian di
masa yang akan datang.
4. Hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Terhadap unsur ini,
dapat digunakan 2 (dua) teori:
a. Conditio Sine Qua Non, yang menyatakan bahwa tindakan pelaku
PMH selama dilakukan dalam koridor kesatuan tindakan yang
menyebabkan kerugian, terhitung sebagai perbuatanyang patut
digugat. Syarat yang dianggap menyebabkan kerugian terjadi adalah
semua syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat.
b. Adequate Veroorzaking, yang menyatakan bahwa pelaku hanya
bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan
sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Perbuatan tersebut haruslah
perbuatan yang langsung menyebabkan kerugian.
Dari uraian tersebut, dapat dibuktikan bahwa unsur-unsur keadaan dari kasus
Mandalawangi memenuhi unsur-unsur dalam pasal yang bersangkutan sebagai berikut:
1. Unsur perbuatan yang melanggar undang-undang dapat diketahui dari
beberapa tindakan seperti melakukan pengubahan fungsi hutan

Mandalawangi yang justru menyebabkan hutan tersebut menjadi rusak
sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999.
Selain itu, pihak-pihak tergugat juga gagal melaksanakan amanat menjaga

lingkungan hidup sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 7 butir b PP No.
53 tahun 1999, juga gagal melakukan pembinaan dan pengawasan kolegial
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan (4) PP No. 53 Tahun
1999. Terdapat indikasi tindakan pembiaran juga dari pihak Pemerintah
terhadap tindakan Perhutani yang mana diatur dalam Pasal 17 b PP No. 53
Tahun 1999. Selain itu, hal yang cukup penting adalah, bahwa dalam Pasal
8 PP No. 53 Tahun 1999 sudah diatur bahwa Perhutani berkewajiban
menyelengarakan kegiatan perencanaan, penananaman, pemeliharaan,
pemungutan hasil, pengelolaan, dan pemasaraan serta perlindungan dan
pengamatan hutan. Kondisinya, Perhutani telah mengamati dan
mengetahui bahwa pada area yang bersangkutan terdapat beberapa titik
rawan longsor, namun terhadapnya ia tidak melakukan perencanaan lebih
jauh, tidak melakukan pemeliharaan lahan, juga tidak melakukan hal-hal
lain yang diperlukan untuk mencegah terjadinya tanah longsor. Praktis
amanat dari Pasal 8 PP No. 53 Tahun 1999 tersebut tidak terlaksana.
2. Kesalahan dalam diri pelaku pada kasus ini menggunakan pisau teori

aspek subjektif, yaitu dengan melihat apakah pihak pelaku seharusnya
dapat menduga atau tidak akibat yang akan terjadi. Dalam kapasitasnya
sebagai pihak yang berkecimpung dalam urusan lingkungan hidup,
khususnya perhutanan, seluruh pihak tergugat yaitu Perhutani, Perhutani
tingkat III Jawa Barat, dan juga Menteri Kehutanan sebenarnya memiliki
kapasitas untuk memahami kondisi di lapangan, khususnya Perhutani
sebagai pemegang wewenang pengelolaan lahan di wilayah
Mandalawangi. Perhutani sendiri juga melakukan perencanaan, yang mana
kegiatan pemetaan potensi dan risiko lahan menjadi satu bagian yang tak
terpisahkan terhadap proses tersebut. Sehingga jelas, apabila akan terjadi
bencana longsor, Perhutani seharusnya bisa menduganya. Hal ini pun
terbukti secara sah dan meyakinkan ketika dalma persidangan, Perhutani
sendiri menyangkal bahwa jumlah titik rawan longsor yang terdapat di
wilayah Mandalawangi tidak sebanyak yang dinyatakan oleh para
penggugat dalam surat gugatannya. Indikasi akan terjadinya ancaman
banjir dan longsor sudah diketahui 6 bulan sebelumnya. Jika diamati,
Petak V yang berarea 102 Ha terdapat titik rawan longsor dan VI yang
berarea 195 Ha terdapat 4 titik dasar. Namun, Perhutani tak kunjung
melakukan upaya preventif guna meminimalisasi terjadinya bencana
banjir dan longsor. Yang perlu digarisbawahi, Tergugat memang tahu

bahwa di wilayah Mandalawangi tersebut terdapat titik rawan longsor
namun terhadap hal tersebut ia tidak berusaha melakukan tindakan
pencegahan. Perhutani juga tidak menginformasikan hal tersebut kepada
masyarakat ataupun kepada Pemerintah Daerah Garut. Dalam konteks ini,
Perhutani dapat dinyatakan lalai melakukan tindakan yang diperlukan.
3. Kerugian yang ditimbulkan dalam perkara ini adalah notorious feit, yaitu
sesuatu yang bahkan tak perlu dibuktikan lagi dalam persidangan karena
secara nyata telah diketahui terjadi bencana longsor yang menelan korban

jiwa, harta benda, kerusakan lingkungan yang menyebabkan penduduk
desa harus merelokasi tempat tinggalnya, termasuk kerugian imateriil
lainnya yang mencapai angka miliaran rupiah. Daftar kerugian tersbeut
dapat dilihat dalam gugatan Penggugat. Kerugian tersebut disebabkan
langsung oleh bencana longsor.
4. Unsur kasualitas dapat dipenuhi dengan menggunakan teori Adequate
Veroorzaking, yang mana dapat diketahui bahwa dengan adanya
pengubahan fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi yang tidak
diikuti dengan kegiatan pemeliharaan dan peremajaan hutan. Pengubahan
fungsi ini menyebabkan kemiringan lahan bertambah sehingga
kemampuan tanah dan tanaman meresap air menjadi berkurang.

Dampaknya, saat terjadi banjir bandang, tanah menjadi longsor dan
menimpa pemukiman warga.
Jika dilihat pada putusan kasasi dalam kasus Mandalawangi, uraian pemenuhan
unsur PMH seperti di atas tidak dapat ditemukan karena sebenarnya dalam putusan
tersebut terjadi paradigm shift atau perubahan paradigma dalam penerapan hukum, dari
konsep PMH yang berdasarkan kesalahan menjadi strict liability yang tidak berdasarkan
pada kesalahan. Memang dalam penerapan konsep PMH, harus dibuktikan unsur
kesalahan pada diri pelaku. Dalam perkara Mandalawangi, adanya variabel perbuatan
para tergugat, bencana longsor, dan kerugian yang dialami penduduk saling beririsan
secara erat satu sama lain. Merupakan hal yang cukup rumit apakah benar bencana
longsor itu terjadi akibat kontribusi besar dari perbuatan para tegrugat, atau murni
bencana alam yang harus digolongkan ke dalam force majeure. Mengingat pemeliharaan
dan pelestarian lingkungan hidup adalah hal yang sangat penting, hakim memilih untuk
menerapkan strict liability yang memang inheren dengan prinsip precautionary
principles atau prinsip kehati-hatian itu sendiri. Dalam kasus Mandalawangi ini,
pembuktian bahwa para Tergugat tidak menerapkan prinsip kehati-hatian nampak cukup
jelas, yang mana juga dapat dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa unsur kesalahan
para Tergugat dalam konteks melakukan PMH juga terpenuhi, karena para Tergugat
dianggap lalai. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa unsur PMH berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata dalam perkara ini terpenuhi meskipun perlu diperlukan usaha lebih

untuk membuktikan kesalahan Terdakwa, sedangkan dalam konsep strict liability hal ini
tidak perlu dipersoalkan.