HALLYU GELOMBANG KOREADI ASIA DAN INDONE (1)

HALLYU ‘GELOMBANG KOREA’ DI ASIA DAN INDONESIA:
TREND MEREBAKNYA BUDAYA POP KOREA
Suray Agung Nugroho
Staf Pengajar Prodi III Bahasa Korea, Fakultas Ilmu Budaya UGM
Korea-Japan World Cup 2002 yang berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat besar dunia dalam hal persepakbolaan semakin mempersohor
Korea di mata dunia. Contohnya adalah beberapa waktu menjelang, selama, dan
setelah hiruk pikuk World Cup, beberapa stasiun televisi swasta di tanah air gencar
bersaing menayangkan film-film maupun sinetron-sinetron Korea. Bahkan, terdapat
beberapa sinetron Korea yang ‘sukses’ di layar kaca, sebut saja Winter Sonata dan
Endless Love. Dua sinetron buatan negeri ginseng ini telah berhasil menarik perhatian sebagian masyarakat Indonesia, bahkan beberapa bintang sinetron tersebut telah
menjadi idola di tanah air.
Situasi di atas adalah sebagian kecil dari apa yang disebut Hallyu—istilah
buatan yang bermakna pengaruh budaya modern Korea di negara-negara lain—yang
mulai merebak di banyak negara Asia, termasuk Indonesia. Mungkin banyak yang
tidak menyadari bahwa Indonesia pun tidak luput dari pengaruh budaya Korea ini.
Satu gambaran mudah untuk mengetahui apa yang disebut dengan Hallyu
ini adalah bisa disamakannya istilah ini dengan begitu besarnya pengaruh Bollywood di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia. Mungkin
terkesan terlalu dini untuk menyebut bahwa Indonesia sudah ‘terhanyut’ dalam Hallyu. Namun,, bila dilihat lebih dalam, Indonesia pun ternyata juga tidak jauh berbeda
dengan negara-negara Asia lain seperti China, Singapura, Taiwan, Malaysia, Thai-

1


land, Vietnam dan bahkan Jepang dalam hal besarnya pengaruh Hallyu terhadap
negera-negara itu.
Tidak banyak yang menyangka bahwa Korea akan berhasil ‘mengekspor’ budaya popnya sebegitu besar dan gencar seperti halnya yang terjadi dengan budaya
pop Jepang yang telah terlebih dahulu menyerbu Asia pada era 90-an.
Dalam kesempatan lokakarya kali ini, dipaparkan apa yang disebut dengan
gelombang Korea ‘Hallyu’ itu dan apa saja yang termasuk di dalamnya. Kemudian,
akan dicoba dipaparkan pengaruh Hallyu di beberapa negara Asia dan akhirnya akan
dipaparkan pengaruh Hallyu di Indonesia.
Untuk itu, paparan dalam makalah ini dimulai dengan menengok kembali
bagaimana situasi budaya pop Korea di negerinya sendiri sebelum seperti sekarang
ini. Kemudian, akan disinggung bagaimana masyakarat dan pemerintah Korea
menyikapi fenomena ini serta bagaimana perkembangannya.
1. Situasi Budaya Pop Korea di Negerinya Sendiri
Selama hampir 50 tahun sejak Korea lepas dari pendudukan Jepang,
pemerintah Korea menerapkan larangan masuknya budaya Jepang. Impor musik dan
film Jepang atau apa pun yang berbau budaya Jepang telah lama mengalami
kesulitan. Hal ini disebabkan masih adanya rasa sentimen atas 35 tahun penjajahan
Jepang di Korea di awal abad ke-20. Namun, pada tahun 1998 pemerintah Korea
Selatan mencabut larangan itu dan mulailah dengan apa yang disebut dengan

maraknya pengaruh Jepang di Korea. Perlu juga diketahui bahwa walaupun selama
masa itu larangan masuknya budaya Jepang ke Korea diberlakukan, tidak sedikit
masyarakat Korea yang tetap bisa menerima dan menikmati berbagai produk budaya
Jepang. Melihat kenyataan ini, Korea bisa dianggap ‘tertinggal’ dalam hal terkena
pengaruh Jepang pada tahun 90-an, karena negara-negara Asia lain termasuk
2

Indonesia telah lama terbiasa atau terkena budaya pop atau modern Jepang, baik
lewat film, musik, maupun kartun.
Sejak dicabutnya larangan itu, situasi budaya pop Korea dalam hal ini musik,
film, fashion, dan lain sebagainya, mulai terpengaruh lagi oleh Jepang. Kaum muda
Korea menggandrungi apa pun yang berbau Jepang. Penjualan lagu-lagu Jepang,
bahkan mengalahkan penjualan kaset dari penyanyi dalam negerinya. Film-film
Jepang juga mulai mendapat hati di kalangan masyarakat Korea. Game-game dari
Jepang pun juga mulai mendapatkan tempat di hati para remaja Korea. Yang
menarik adalah apa yang mulai disukai oleh para remaja Korea itu adalah sesuatu
yang masih banyak dibenci oleh kaum tua yang masih teringat pahitnya larangan
menggunakan bahasa Korea dan hal-hal yang berbau Korea saat pendudukan Jepang
dulu.
Namun, terlepas dari itu semua, mulai masuknya budaya Jepang dengan

kebebasannya sedikit banyak juga telah mewarnai perubahan budaya pop Korea
dalam hal ini musik dan film—suatu topik yang akan dibahas di akhir makalah ini.
2. Dulu Jepang Sekarang Korea
Hanya dalam waktu sekitar 2 tahun, keadaan telah berubah drastis. Bila pada
awal milenium budaya Jepang masih kental terasa di Korea, sekarang keadaan justru
terbalik. Korea telah berhasil menciptakan suatu budaya sendiri yang sanggup
menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bahkan telah berhasil membuat negaranegara tetangganya terpengaruh oleh budaya pop Korea ini, tak terkecuali Jepang.
Banyak pendapat pro dan kontra tentang apa yang sebenarnya menjadikan
budaya pop Korea menjadi seperti ini. Apabila melihat sejarah, Jepang mulai
mengekspor ‘imperialisme budaya’-nya seiring dengan kuatnya daya saing produk-

3

produk industrinya yang merambah Asia pada saat itu. Sepertinya tidak ada negara
mana pun yang ‘aman’ dari pengaruh budaya pop Jepang saat itu.
Situasi yang hampir mirip kini telah terjadi dengan Korea. Seiring dengan
stagnannya ekonomi Jepang, Korea semenjak keluar dari krisis moneter di akhir 90an lalu telah bisa dikatakan berhasil kembali ke jalur ekonomi yang ‘mulus’.
Didukung dengan mulai gencarnya produk-produk Korea di dunia termasuk Asia,
Korea secara disadari atau tidak juga telah mulai ‘mengekspor’ budaya modernnya
ke kehidupan masyarakat Asia yang terlebih dahulu telah mengenal produk-produk

industri Korea.
Di Indonesia, misalnya, beberapa tahun terakhir ini masyarakat Indonesia
telah mengenal merk-merk Korea seperti Samsung dan LG untuk produk elektronik;
berbagai macam merek mobil Korea sampaii magic-jar bermerek Yongma yang
bahkan tidak semua orang Korea menyadari bahwa itu adalah merek Korea!
Berbagai penyewaan VCD dan DVD pun marak di berbagai pelosok negeri
ini. Insan Indonesia sudah begitu terbiasa dengan film-film Hollywood yang hampir
menguasai rak-rak film di tempat-tempat seperti itu. Namun, sejak tahun 2002 yang
lalu, selain film-film Mandarin dan India, ternyata film-film Korea juga telah mulai
termasuk dalam jajaran film-film yang disewakan—terlepas asli atau bajakan.
Hal di atas menandakan bahwa film-film Korea pun telah masuk ke dalam
lingkaran film-film yang mulai diminati. Berhubungan dengan Hallyu, fenomena ini
dimulai dari negeri China daratan yang sejak tahun 2000 lalu mulai ‘tergila-gila’
dengan apa pun yang berbau Korea. Dipicu dengan diputarnya sinetron dan lagulagu grup musik Korea di China, terjadilah suatu perubahan yang dimotori oleh para
remaja yang mulai meniru apa yang mereka lihat, dari pakaian sampai gaya rambut
para penyanyi dan model Korea.

4

Fenomena-fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di China saja namun

juga mulai merambah Taiwan, Thailand, Singapura, dan Vietnam. Khusus negara
yang disebut terakhir ini, pengaruh Hallyu sangatlah kuat hingga beberapa kali
diadakan jumpa fans dengan artis sinetron Korea tersebut dalam rangka untuk
menjembatani kerjasama antardua negara tersebut.
Jepang sebagai negara yang beberapa waktu memberi pengaruh pada Korea
kini juga tidak luput dari pengaruh Hallyu. Di Jepang ada sebuah kecenderungan
yang sangat menarik, yaitu mulai banyaknya remaja yang menggandrungi lagu-lagu
dan film-film Korea. Khusus untuk film, Jepang pun juga tak luput dari pasaran
film-film box office Korea.
Di Indonesia, selain bisa dilihat dari maraknya pemutaran film dan sinetron
Korea di televisi, Hallyu bisa juga ditemui di toko-toko kaset dan vcd. Dalam hal
ini, film-film Korea sudah mendapat lisensi penjualan melalui distributor resminya.
Ini menandakan bahwa film Korea pun sudah mulai sejajar dengan film-film
original dari Hollywood yang dipasarkan di Indonesia. Ini merupakan suatu capaian
sukses yang diraih oleh industri perfilman Korea. Bila dilihat dari sisi lain, film
Korea memiliki pangsa pasar juga di Indonesia. Dengan kata lain, disadari atau
tidak, sebagian masyarakat Indonesia sudah terpengaruh dengan Hallyu.
Akhir-akhir ini pun, di tengah-tengah banjirnya film kartun buatan Jepang
yang menguasai televisi, beberapa film kartun buatan Korea telah pula mulai
menelusup. Hal ini juga menandakan bahwa alur distribusi produk budaya Korea

pun sudah mulai dilirik oleh TV Indonesia.
Ada catatan menarik ihwal Hallyu di Indonesia, khususnya, dalam hal perfilman. Produk-produk film negeri ginseng ini masuk ke Indonesia lewat China.
Jadi, tidak mengherankan apabila banyak film Korea yang masuk ke Indonesia
dengan judul yang tertulis dalam huruf China dan bahkan ada beberapa film yang
5

subtitlenya juga dalam bahasa China. Fakta ini menunjukkan bahwa aliran budaya
tidaklah selalu langsung dari negara yang mempengaruhi, namun dalam hal ini
aliran tidak langsunglah yang lebih banayk mendominasi. Ada kemungkinan, orang
awam yang belum atau tidak bisa membedakan huruf China dengan Korea
(Hangeul) akan menganggap bahwa film-film Korea itu juga termasuk film China.
Kembali ke negara-negara Asia, khususnya di negara-negara Asia Timur
seperti China dan Taiwan yang paling besar terkena pengaruh Hallyu, sekarang
muncul istilah "kim-chic" atau “kim-keren”. Hal ini kemungkinan besar karena
marga paling banyak di Korea adalah Kim, sehingga sesuatu yang berasal dari
Korea bisa diwakili oleh ‘kim’. Segala sesuatu yang berbau Korea dari makanan,
musik, model sepatu, rambut, sampai bentuk alis mulai menjadi semacam trend di
negara-negara yang dulunya banyak didominasi oleh trend Jepang (Tokyo). Bahkan,
pada suatu survei yang menanyakan pada pengguna internet di China negara mana
yang ingin mereka kunjungi didapat jawaban yang mengatakan 61,7 persen memilih

Korea Selatan (Kim, Y., 2002).
Melihat situasi seperti di atas, perlu kiranya diketahui bagaimana pemerintah
Korea menyikapi fenomena semakin meluasnya pengaruh Korea di negara-negara
Asia.
3. Tanggapan Pemerintah Korea
Kim Dae Jung pada saat menjabat presiden Korea Selatan tahun 1998 yang
lalu mengatakan bahwa salah satu tujuan pemerintahannya adalah meningkatkan
ekspor budaya Korea. Korea harus bisa menjadi suatu negara yang tidak hanya bisa
mengekspor hasil industri manufakturnya, namun juga harus bisa memberikan
sesuatu yang lain kepada dunia, yaitu melalui produk budaya.

6

Salah satu hal yang bisa dijadikan perbandingan adalah besarnya ekspor
produk budaya Amerika ke segala penjuru dunia hanya dari sektor perfilman saja.
Hal ini bisa dijadikan satu gambaran bahwa ekspor budaya juga bisa memberikan
nilai yang besar bagi pendapatan suatu negara.
Pada awal milenium ini telah terbukti bahwa Korea akhirnya bisa juga mengekspor produk budayanya. Untuk menjawab mengapa fenomena ini bisa terjadi sangatlah tidak mudah. Bisa jadi tidak ada jawaban yang sempurna. Namun ada
beberapa faktor yang bisa dijadikan cermin untuk melihat perkembangan hal ini.
Pertama, produk budaya Korea telah berhasil mengemas nilai-nilai Asia yang

dipasarkan dengan gaya modern. Di sini ada istilah yang dipakai oleh Kim Song
Hwan, seorang pengelola sindikat siaran televisi Korea Selatan, yaitu Asian ValuesHollywood Style. Istilah ini mengacu pada cerita-cerita yang dikemas bernuansakan
kehidupan orang Asia, namun pemasarannya memakai cara pemasaran internasional
yang mengedepankan penjualan nama seorang bintang atau menjual style. Bagi
kebanyakan orang, Indonesia yang hanya sempat menikmati sinetron atau drama
Korea di televisi, kemungkinan istilah ini sulit dipahami karena sinetron Korea tidak
banyak berbeda dengan sinetron-sinetron di Indonesia. Namun, hal ini akan jelas
sekali terlihat pada produk film layar lebar Korea yang mulai merambah pangsa
pasar beberapa negara asing, bahkan sampai Amerika Serikat sendiri. Produkproduk perfilman Korea sering mengangkat tema sentral kehidupan nilai orang Asia,
walaupun ceritanya bisa saja terjadi di setiap sudut dunia mana pun.
Kedua, keberhasilan Korea dalam menjual produk budayanya tidak lepas
dari etos kerja orang Korea itu sendiri. Banyak penyanyi maupun bintang idola
Korea yang rela untuk melakukan jumpa fan di beberapa negara Asia walaupun
honor mereka tidak seberapa dibandingkan dengan apabila mereka melakukan tur di

7

negara sendiri. Hal inilah yang menjadikan mereka semakin dekat dengan
penggemarnya, terutama di negara-negara Asia Timur (Kim, Y., 2002).
Pemerintah Korea pun saat ini terus berusaha untuk mempertahankan citra

yang diperolehnya dari fenomena Hallyu ini. Salah satunya adalah dengan
dicanangkannya tahun wisata Korea yang mengedepankan program-program yang
menjual negara Korea terutama paket-paket wisata yang secara emosional bisa
menarik para wisatawan untuk berkunjung ke negera Korea.
Beberapa di antaranya adalah merebaknya paket-paket wisata Winter Sonata
dan Endless Love. Paket ini sengaja dirancang untuk dipasarkan kepada para
wisatawan di China,Taiwan, Singapura dan Malaysia tempat sinetron-sinetron Korea
pernah ditayangkan. Dengan paket ini pula, para wisatawan bisa melihat lokasi
pembuatan sebuah film atau mengunjungi rumah idolanya. Dengan terjadinya satu
kerjasama yang baik antarpihak di Korea, maka Hallyu pun berdampak positif bagi
perkembangan dunia wisata Korea.
Menurut Asia Times edisi 22 Januari 2004, pihak Kementerian Luar Negeri
Korea Selatan pada awal tahun 2004 ini berencana untuk mempromosikan Korea
melalui sinetron-sinetron Korea kepada negara negara lain di luar kawasan Asia
dengan gratis. Pihak kementerian akan menyuplai sinetron ke stasiun-stasiun televisi
di Rusia, kawasan Timur Tengah dan bahkan Amerika Selatan setelah menyeleksi
sinetron yang sesuai dengan kawasan tersebut. Tujuan tunggalnya adalah untuk
menyebarkan Hallyu ke kawasan selain Asia.
Dari kenyataan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa pemerintah Korea jeli
menangkap peluang yang ada. Untung saja, pemerintah Korea telah bertindak cepat

sekaligus berhati-hati seperti itu. Patut diketahui bahwa Korea adalah negara dengan
satu suku bangsa. Satu hal membanggakan yang terjadi di negeri ini bisa dengan
mudah menyatukan hati seluruh negara ini. Begitu pula dengan fenomena Hallyu
8

ini. Hampir seluruh media massa memberitakan keberhasilan dan meluasnya
fenomena Hallyu ini. Tiada hari tanpa pemberitaan yang menyinggung hal ini.
Didukung oleh lebih dari 100 stasiun televisi kabel dalam negeri dan televisi siaran
internasional seperti Arirang (Kim, Kyu.,1994) yang setiap hari menyiarkan apa saja
yang terjadi di Korea ke hampir seluruh pelosok dunia, Hallyu seperti mendapat
dukungan nasional yang kompak.
Setelah melihat kenyataan ini, satu hal yang patut disadari oleh seluruh
lapisan masyarakat Korea adalah pentingnya sikap berhati-hati dalam menyikapi
suatu fenomena, apalagi suatu fenomena yang terkesan tiba-tiba. Euphoria adanya
keberhasilan Korea ini bisa malah menjadi bumerang bagi kemajuan Korea apabila
tidak ditanggapi dengan bijaksana. Pemberitaan yang berlebihan dikhawatirkan bisa
mengaburkan makna di balik fenomena Hallyu ini. Pemberitaan besar-besaran
tentang kesuksesan Hallyu ini bisa menutupi kenyataan bahwa mutu produk budaya
ini masih banyak yang perlu dilihat dan dipertahankan. Apabila ditinjau lebih jauh
lagi, walaupun apa yang terdapat dalam Hallyu—misalnya, musik Korea atau KPop, —itu bernuansa Korea atau paling tidak dinyanyikan atau dimainkan oleh

orang Korea, beberapa dari mereka yang terkenal dan mendapat sambutan di luar
negeri adalah grup-grup musik yang membawakan lagu bergaya rap atau lagu-lagu
remaja. Terlebih lagi, sebagian personil grup musik itu berasal dari orang Korean
American

atau

yang

sudah

lama

menetap

di

Amerika(http://sangyeon.pixelpoems.com/mywork.html).
Dengan melihat kekhasan di atas, wajar bila apa yang dibawa oleh para grup
musik itu tidaklah murni Korea. Dalam wacana inilah, meluasnya Hallyu yang
ternyata tidak semuanya bisa dikatakan murni Korea perlu mendapat perhatian yang
bijak dari negara Korea sendiri. Untunglah, pemerintah Korea bisa dikatakan telah

9

berhati-hati menyikapi fenomena ini sehingga fenomena ini telah berhasil dikemas
menjadi sesuatu yang mendorong kemajuan ekonomi Korea.
Seiring dengan mulai terkenalnya produk-produk budaya Korea di negaranegara Asia, satu hal yang saat ini banyak menjadi pembicaraan adalah perfilman
Korea yang telah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Bahkan, Korea bisa
dikatakan sebagai satu-satunya negara di Asia (kecuali ndia) yang pangsa pasar film
domestiknya sekitar 40% (Cine21. No: 315, August 2001).
Bila hampir semua negara di dunia ini industri perfilmannya didominasi oleh
film-film Hollywood, tidak demikian halnya dengan Korea. Banyak yang
menganggap bahwa perfilman Korea mengalami renaissance (Rhee, 2001) sejalan
dengan semakin meluasnya pengaruh budaya pop Korea di negara-negara lain.
4. Perfilman Korea di Tengah Fenomena Hallyu
Dalam bagian ini, dipaparkan bagaimana kondisi perfilman Korea membantu
mendukung fenomena Hallyu itu sendiri.
Pertama, patut diketahui bahwa film-film Korea telah sejak tahun 1998 mulai
menunjukkan tanda-tanda yang membaik dalam arti banyak orang Korea yang mulai
menyukai film-film nasionalnya. Dari 10 film yang terlaris sejak tahun itu, 3 sampai
5 di antaranya adalah film buatan Korea sendiri, bahkan beberapa di antaranya
menempati tempat teratas. Dalam hal ini, bahkan Perancis sebagai salah satu
pembuat film terbesar pun kalah dalam hal jumlah penonton dalam negeri sendiri.
Satu ilustrasi yang bisa menggambarkan fakta ini adalah kalahnya film
Titanic (4,7 juta penonton) dengan film dalam negeri berjudul Shiri yang berhasil
meraih 5,78 juta penonton (The Korea Herald, 24 November 1999). Walaupun
banyak kalangan yang meragukan kelangsungan kesuksesan film-film Korea di
tahun tahun berikutnya, fakta menunjukkan bahwa sampai tahun 2004 ini, setiap
10

tahun selalu ada film-film dalam negeri yang menjadi box office dan menempati
urutan teratas dalam perolehan jumlah penonton dibandingkan dengan film-film
Hollywood. Mengekor kesuksesan film tersebut, satu film Korea yang mencapai
rekor pada tahun 2001 adalah film Jinku ‘Friend’ yang berhasil menarik 8 juta
penonton (Cine21: No. 315, August 2001). Kemudian, pada tahun 2003 terdapat satu
film lagi, yaitu Simildo yang berhasil menarik lebih dari 10 juta penonton.
Walaupun bisa dikatakan bahwa mutu film-film Korea sudah sangat
berkembang dan bisa bersaing dengan produk Hollywood, terlepas dari masalah
mutu film-film yang terus diproduksi, film Korea telah menjadi salah satu pilihan
hiburan masyarakat Korea.
Preferensi masyarakat Korea untuk menonton filmnya sendiri bisa dilihat
sebagai tanda bahwa menonton film buatan dalam negeri yang box-office telah
menjadi semacam social integrator dalam kehidupan seseorang (Nugroho, Suray
Agung, 2002). Film dalam negeri yang sedang populer merupakan bahan
percakapan yang umum. Hal yang sama pernah terjadi di Indonesia tatkala film
“Ada Apa dengan Cinta (AADC)” sukses luar biasa dengan banyaknya jumlah
penonton. Mulai saat itulah banyak orang yang mulai menjadikan AADC ini sebagai
bahan pembicaraan.
Apa yang terjadi di Korea menggambarkan bahwa film Korea sebagai salah
satu budaya pop telah membentuk suatu mass culture di masyarakat Korea. Di lihat
dari kacamata lain, perfilman Korea yang sedang booming di negeri sendiri itu telah
menjadi semacam prestise dalam menaikkan gengsi negara Korea mengingat tidak
banyak negara yang berhasil menaklukkan penetrasi kekuatan Hollywood.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, film Korea juga berhasil
mendapat tempat di beberapa negara asing seperti China, Jepang, Vietnam,
Malaysia, bahkan beberapa negara Eropa dan Amerika (Pacquet, 2002). Beberapa
11

film Korea mulai dibeli hak ciptanya untuk di-remake dalam versi Hollywood.
Tahun 2001 sebuah film berjudul My Wife is a Gangster dibeli hak ciptanya oleh
Miramax seharga US$1,1 juta, suatu nilai yang sangat besar yang pernah diterima
oleh film Korea (Pacquet, 2001b). Film-film lain yang juga telah dibeli hak ciptanya
oleh Hollywood adalah My Sassy Girl and Hi, Dharma (Pacquet, 2002a). Ketiga
film tersebut telah dijual luas di Indonesia dalam bentuk VCD maupun DVD asli.
Hal ini menunjukkan pula bahwa film Korea telah mampu bersaing dengan produk
raksasa perfilman dunia—Hollywood.
5. Hallyu sebagai Titik Tolak Kajian tentang Korea
Merebaknya Hallyu di negara-negara Asia Timur dan beberapa negara Asia
Tenggara telah menunjukkan adanya aliran budaya dari Korea ke negara-negara
tetangganya. Terlepas dari dampak panjang yang akan terus berlanjut, Hallyu
memang suatu fenomena tersendiri dalam dunia industri hiburan modern Korea.
Dalam situasi dunia pada saat pertukaran informasi terjadi hampir tanpa halangan
apa pun, Korea telah menjejakkan pengaruhnya di kawasan Asia.
Meluasnya Hallyu ini, sekali lagi, tidak bisa dilepaskan dari peran media
massa yang secara sadar maupun tidak telah membantu terjadinya aliran budaya ini.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa dengan media massa-lah Hallyu memasuki semua
sudut negara-negara Asia.
Perubahan yang dialami oleh industri budaya pop Korea, baik produk budaya
televisi, film, maupun industri rekaman merupakan suatu fenomena yang menarik
untuk dikaji. Sebagai sebuah negara yang banyak diperhitungkan kiprahnya di
kawasan Asia, Korea tidak bisa begitu saja dilihat sebelah mata. Banyak hal yang
bisa dipelajari dari fenomena itu, terutama bagaimana semua pihak di dalam negeri

12

bersatu padu membuat fenomena tiba-tiba itu menjadi suatu komoditas yang
berharga bagi bangsa.
Pada titik inilah perlunya Korean Studies sebagai salah satu kajian yang
mulai berkembang patut dipertimbangkan. Apabila selama ini kajian tentang budaya
luar negeri sering dititikberatkan atau lebih condong kepada beberapa negara,
misalnya Amerika atau Jepang sebagai referensi, maka dengan lahirnya Korea
sebagai kekuatan ekonomi Asia berikut produk-produk budayanya perlu juga
mendapat perhatian.
Di kalangan akademisi perguruan tinggi di luar negeri, kajian tentang Korea
telah banyak dan semakin berkembang, sedangkan di Indonesia bisa dikatakan mulai
berkembang. Dengan semakin banyaknya produk budaya Korea yang secara sadar
atau tidak telah menemani kehidupan masyarakat Indonesia, pentinglah kiranya
pemahaman terhadap budaya Korea mulai diperkenalkan di tingkat pendidikan yang
lebih luas lagi; tidak hanya di kalangan perguruan tinggi seperti saat ini, namun bisa
juga dimulai dari kalangan sekolah menengah sehingga pemahaman tentang Korea
semakin luas yang akhirnya diharapkan hubungan budaya antarkedua negara bisa
semakin diterima dan berlanjut lebih baik.

13

DAFTAR PUSTAKA
Asia Times: www.atimes.com/atimes/Korea/FA22Dg02.html.
Cine 21 (www.cine21.co.kr)
http://sangyeon.pixelpoems.com/mywork.html
http://times.hankooki.com/lpage/culture/200402/kt2004021219302611690.htm
Jowett, Garth, & Linton, James M., Movies as Mass Communication. London-Beverly Hills: Sage Publications, Ltd., 1980.
Kim, Kyu, Kim, Won-Yong, & Kang, Jong-Geung, Broadcasting in Korea:, Nanam
Publishing House, 1994.
Kim, Y., Korean Pop Culture: Craze Hallyu Sweeps through Asia.’ Koreana 161,
2002, p. 46-51.
“Korean Movies Market Share Reaches 40% in Cine 21, 2001. No. 315, p. 46 –54.
Koreana: Korean Art and Culture www.kf.or.kr/koreana/14_2/main/content1.html
Lee, Hyang-jin. (2001) Contemporary Korean Cinema. Manchester University
Press.
Nugroho, Suray Agung, “Korean Movies as Reflected in Korean Movies Magazines
(2000-2001)”. M.A.Thesis. Graduate School of International Area Studies.
Hankuk University of Foreign Studies, 2002.
Pacquet, D. 2001. ‘Korean Film Newsletter #12: Desember 15, 2001, http://Koreanfilm.org/news13.html (16 October 2002).
Pacquet, D. 2002a. ‘Korean Film Newsletter #13: Maret 21, 2002, http://Koreanfilm.org/news13.html (16 Oktober 2002).
Pacquet, D. 2002b. ‘Korean Film Newsletter #14: Juli 26, 2002 http://Koreanfilm.org/news14.html (16 Oktober 2002).

14

Rhee, T. January 21 2001. ‘Are Korean Movies Seeing a Renaissance?’ The Korea
Times (12 April 2001)

15