UMKM DAN PERKEMBANGAN UMKM DI INDONESIA

MAKALAH
PEREKONOMIAN INDONESIA
UMKM DAN PERKEMBANGAN UMKM DI INDONESIA

DI SUSUN OLEH

:

Vania Pramanda Sari

5111141108

Muhammad Akbar
Dika Nakita

Dosen Pembimbing

:
FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

T.A 2014/2015

1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunianya lah kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang
berjudul “UMKM DAN PERKEMBANGAN UMKM DI INDONESIA”.
Terimakasih kepada Ibu. Leni selaku dosen yang telah memberikan kami
pengajaran mengenai Perekonomian Indonesia dan telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk mencari tau dan menjelaskan mengenai UMKM dan
PERKEMBANGAN nya di Indonesia.
Dalam penulisan makalah ini kami mengutip dari bebagai sumber buku
dan juga internet yang dapat menambah wawasan kami untuk mengetahui apa itu
UMKM, dan perkembangan nya di Indonesia. Kesulitan dalam pembuatan
makalah pun sering kami alami. Namun, dengan berdiskusi dan membahas nya
maka kesulitan-kesulitan tersebut dapat kami atasi.
Terimakasih kepada para rekan yang senantiasa mendukung kami dalam
penulisan makalah ini dan orang tua yang tidak henti-hentinya memberikan do’a
kepada kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca dan

dapat

menambah

pengetahuan

kita

PERKEMBANGAN nya di Indonesia.

2

semua

mengenai

UMKM

dan


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1.

Latar Belakang...................................................................................................1

1.2.

Rumusan Masalah..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1. Peran, Karakteristik, Konsep dan Definisi UMKM.......................................3
2.1.1. Peran................................................................................................................3
2.1.2. Karakteristik.....................................................................................................6
2.1.3. Konsep dan Definisi UMKM...........................................................................9
2.2. Hukum yang Mengatur UMKM di Indonesia........................................................10
2.3. Perkembangan UMKM dari Perspektif Teori........................................................11

2.3.1. Pola dari perkembangan UMKM....................................................................11
2.3.2. faktor-faktor utama yang memengaruhi pola perubahan................................29
2.3.3. Faktor pendapatan-permintaan......................................................................30
2.3.4. Faktor Pendapatan-Penawaran........................................................................33
2.3.5. Faktor populasi permintaan............................................................................34
2.3.6. Faktor penawaran populasi.............................................................................34
2.3.7. Faktor “push” versus “Pull”...........................................................................34
BAB III PENUTUP.........................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................38

3

BAB I PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) ini merupakan salah
satu usaha yang berperan besar dalam menganekaragamkan produkproduk ekspor Indonesia dan menjadi andalan dalam perolehan devisa.
Dalam sejarah nya, sepanjang pemerintahan orde baru, UMKM sangat
dikesampingkan keberadaan nya. Berbeda dengan usaha besar yang selalu

diberikan keleluasan dalam berbagai hal. Namun, UMKM justru dapat
bertahan dalam menghadapi kebijakan kebijakan tersebut. UMKM sangat
lah penting keberadaan nya di Indonesia karena selain dapat menambah
pendapatan UMKM juga dapat mengurangi jumlah pengangguran di
Indonesia.
Selain itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar dari jumlah
UMKM di Indonesia terdapat di perdesaan, kelompok usaha tersebut
sangat diharapkan sebagian motor utama penggerak pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi perdesaan, yang berarti juga mengurangi
kesenjangan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan. UMKM
diperdesaan terutama bisa berperan sebagai mendorong diversifikasi
kegiatan ekonomi diluar sector pertanian, dan ini sangat penting karena
kapasitas penyerapan tenaga kerja dari sector pertanian di banyak wilayah
ditanah air semakin mengecil karena banyak hal, termasuk luas lahan yang
semakin sempit.
Namun, hingga sekarang dibanding UMKM dinegara maju
UMKM di Negara Indonesia masih lemah dalam banyak hal termasuk
masih lebih berpusat pada tekhnologi rendah seperti makanan, pakaian
jadi, mebel dan kerajinan. Maka dari itu disini kami akan membahas lebih
mendetail mengenai UMKM dan perkembangan UMKM di Indonesia

serta hukum yang mengatur mengenai UMKM di Indonesia.

1

1.2.

Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Peran, Karakteristik, Konsep, dan Definisi UMKM ?
2. Hukum yang mengatur UMKM di Indonesia ?
3. Bagaimana perkembangan UMKM dari perspektif teori?

2

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Peran, Karakteristik, Konsep dan Definisi UMKM
2.1.1. Peran
Dari perspektif dunia, di akui bahwa usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) memainkan suatu peran sangat vital di dalam
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di Negara-negara

yang sedang berkembang (NSB), tetatpi juga di Negara-negara maju
(NM). Di NM, UMKM sangat penting karena kelompok usaha tersebut
menyerap paling banyak tenaga kerja di bandingkan usaha besar (UB),
seperti halnya di NSB, tetapi juga di banyak Negara kontribusinya
terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestic bruto (PDB)
paling besar dibandingkan kontribusi dari UB.
Di NSB di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, UMKM juga berperan
sangat penting, khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber
pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan
kemiskinan, dan pembangunan ekonomi perdesaan. Namun, dilihat dari
sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor non-migas,
khususnya produk-produk non-faktur dan inovasi serta penembangan
tekhnologi, peran UMKM di NSB masih relative rendah, dan ini
sebenarnya perbedaan yang sangat mencolok dengan UMKM di NM.
Di dalam literature diakui secara luas bahwa di NSB, UMKM
sangat penting karena karakteristik-karakterik utama mereka yang berbeda
dengan UB, yakni sebagai berikut :
1. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah UB), terutama
dari kategori usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK)


3

2. Karen asangat padat karya, berarti mempunyai suatu potensi pertunbuhan
kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat
dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan kebijakan
nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan mencipkana
pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin.
3. Tidak hanya mayoritas dari UMKM, terutama UMI, di NSB berlokasi di
pedesaan, kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha ini juga pada
umumnya berbasis pertanian.
4. UMKM memakai teknologi-teknologi

yang

lebih

“cocok”

(jika


dibandingkan dengan teknologi-teknologi canggih yang umum dipakai
oleh perusahaan perusahaan modern / UB) terhadap proporsi-proporsi dari
factor-faktor produksi dan kondisi local yang ada di NSB, yakni sumber
daya alam (SDA) dan tenaga kerj aberpendidikan rendah yang berlimpah (
walaupun jumlahnya bervariasi menurut Negara atau wilayah di dalam
sebuah Negara), tetapi modal serta sumber daya ( SDM) atau tenaga kerja
berpendidikan yan sangat terbatas.
5. Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa
bertahan pada saat ekonomi diindonesia dilanda suatu krisis besar pada
tahun 1997-1998.
6. Walaupun pada umumnya masyarakat perdesaan miskin, banyak bukti
yang menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung
dan mereka mau mengambil resiko dengan melakukan investasi.
7. (Masih berkaitan dengan butir 6) Terbukti bahwa pada umumnya
pengusaha UMKM membiayai sebagian besar dari operasi-operasi bisnis
mereka dengan tabungan pribadi, ditambah dengan bantuan atau pinjaman
dari saudara atau kerabat, atau dari pemberi-pemberi kredit informal,
pedagang atau pengumpul, pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka
dari konsumen-konsumen.
8. Walaupun banyak barang yang diproduksi dari UMKM juga untuk

masyarakat kelas menengah dan atas (untuk yang terakhir ini proporsiny
lebih kecil), terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi UMKM adalah
4

untuk barabg-barang konsumsi sederhana dengan harga relative murah,
seperti pakaian jadi dengan desain sederhana, mebel dari kayu, bambu,
dan rotan, barang-barang lainnya dari kayu, alas kaki, dan alat-alat dapur
dari alumunium dan plastic.
9. Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM (khususnya UK
dan UM yang mampu meningkatkan produktifitasnya lewat investasi dan
perubahan teknologi) walaupun Negara berbeda mungkin punya
pengalaman berbeda dalam hal ini, tergantung pada banyak factor. Factorfaktor tersebut bisa termasuk tingkat pembangunan ekonomi pada
umumnya dan pembangunan sector terkit pada khususnya.
10. Seperti sering dikatakan di dalam literature, satu keunggulan dari UMKM
adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relative terhadap pesaingnya
UB.
Oleh karena itu, dengan menyadari betapa pentingnya UMKM (paling
tidak secara potensial seperti yang diuraikan diatas tersebut, tidak heran
kenapa pemerintah-pemerintah di hampir semua NSB (termasuk Indonesia)
sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan skim-skim

kredit

bersubsidi

sebagai

komponen

perkembangan dan pertumbuhan.

5

terpenting,

untuk

mendukung

2.1.2. Karakteristik
Karakteristik-karakteristik utama dari UMI, UK dan UM di NSB
N

Aspek

UMI

UK

o
1.

Formalitas

Beroperasi di sector informal; Beberapa
usaha

tidak

UM
Semua

terdaftar; beroperasi

tidak/jarang bayar pajak

sector

di

sector

di formal; terdaftar dan

formal; bayar pajak

beberapa

tidak

terdaftar; sedikit
2.

Organisasi

yang bayar pajak
Dijalankan oleh pemilik; tidak Dijalankan oleh Banyak

dan

menerapkan

manajemen

tenaga kerja informal (ILD), ada ILF, MOF manejer
manejemen

dan

organisasi

formal

system
3.

4.

5.

Sifat

pembagian pemilik;

tidak memperkerjakan
dan menerapkan ILD,

(NOF),

MOF, dan ACS

formal

menggunakan Beberapa

Semua

kesempatan

anggota-anggota yang tidak menggunakan

kerja

dibayar

Pola

atau Drajat

sifat

dari rendah

tenaga

tenaga kerja di gaji;
prerekrutan formal
Banyak yang puya

atau

umumnya memakai mesin- drajat

tingkat

teknologi mesin terbaru

proses

manual;

produksi

sangat rendah

Orientasi

Umumnya menjual ke pasar Banyak

pasar

local

6

terhadap

teknologi tinggi
yang Semua menjual

kelompok menjual ke pasar pasar
domestic

mekanisme

yang tinggi atau punya
akses

berpendapan rendah

memakai

kerja semua memilik system

yang digaji
sangat Beberapa

mekanisasi

untuk

professional

struktur dan ACS

pembukuan

(ACS)
dari Kebanyakan

yang

domestic

ke
dan

dan banyak yang di ekspor

ekspor, melayani dan

melayani

kelas

kelas menengah menengah ke atas.
6.

Profilah

dan atas
Pendidikan rendah dan dari Banyak

Sebagian

ekonomi

rumah

berpendidikan

dan

tangga

miskin; berpendidikan

social motivasi utama; survival

baik

baik dan dari RT dan dari RT makmur;

dari pemilik

non-miskin;

usaha

banyak

motifasi utama profit
yang

bermotifasi
bisnis
7.

8.

Sumber-

Kebanyakan

dn

mencari profit
bahan Beberapa

pakai

Banyak yang memakai

sumber dari baku local dan uang sendiri

memakai bahan bahan baku impor dan

bahan baku

baku impor dan punya akses ke kredit

dan modal

punya akses ke formal
kredit formal
punya Banyak
yang Sebagian besar punya

Hubungan-

Kebanyakan

tidak

hubungan

akses ke program-program punya akses ke akses

eksternal

pemerintah dan tidak punya program-

program

hubungan -hubungan bisnis program

dan

dengan UB

pemerintah

ke

programpemerintah

banyak

dan punya

yang

hubungan-

punya

hubungan

bisnis

hubungan-

dengan UB (termasuk

hubungan bisnis PMA)
dengan
9.

UB

Wanita

(termasuk PMA)
Rasio dari wanita terhadap Rasio dari pri Rasio

pengusaha

pria sebagai usaha sangat terhadap wanita terhadap pria sebagai
tinggi

sebagai

pengusaha

pengusaha cukup rendah
7

dari

wanita
sangat

tinggi

Menurut laporan tersebut, sebagian besar pengusaha mikro di Indonesia
mempunyai latar belakang ekonomi, yakni alasan utama melakukan kegiatan tersebut
adalah ingin memperoleh perbaikan penghasilan. Ini menunjukkan bahwa pengusaha
mikro berinisiatif mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya sehari-hari. Disamping itu, latar belakang menjadi pengusaha mikro
karna factor keturunan, yakni meneruskan usaha keluarga.
Karakteristik lainnya adalah dalam struktur umur pengusaha. Berdasarkan
data BPS, struktur umur pengusaha di UMKM menurut kelompok umur
menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga ( 34,5 persen ) pengusaha UMKM berusia
diatas 45 tahun, dan hanya sekitar 5,2 persen pengusaha UMKM yang berumur
dibawah 25 tahun.
Komposisi tenaga kerja tidak dibayar memiliki kecenderungan berbanding
terbalik dengan skala usaha, yang artinya semakin besar skala usaha semakin kecil
komposisi tenaga kerja tanpa upah.

8

2.1.3. Konsep dan Definisi UMKM
Definisi dan konsep UMKM berbeda menurut Negara. Oleh karena itu,
memang sulit membandingkan pentingnya atau peran UMKM antarnegara. Tidak
ada kesepakatan umum dalam membedakan sebuah MIE dari sebuah UK, atau
sebuah UK dari sebuah UM, dan yang terakhir ini dari sebuah UB. Namun
demikian, secara umum, sebuah UMI mengerjakan lima (5) atau kurang pekerja
tetap; walaupun banyak usaha dari kategori ini tidak mengerjakan pekerja yang
di gaji, yang didalam literature dering disebut self-employment. Sedangkan
sebuah UKM bisa berkisar antara kurang dari 100 pekerja, misalnya di
Indonesia, ke 300 pekerja, misalnya di China. Selain mengunakan jumlah
pekerja, banyak Negara yang juga menggunakan nilai aset tetap ( tidak termasuk
gedung dan tanah ) dan omset dalam mendefinisikan UMKM. Bahkan di banyak
Negara, definisi UMKM berbeda antarsektor, misalnya di Thailand, India, dan
China, atau bahkan berbeda antarlembaga atau departemen pemerintah, misalnya
Indonesia dan Pakistan.

Di Indonesia, definisi UMKM di atur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam Bab I ( Ketentuan
Umum ), pasal I dari UU tersebut, dinyatakan bahwa UMI adalah usaha
produktif milik orang perorangan dan/ atau badan usaha perorangan yang
memenuhi kriteria UMI sebagaimana diatur dalam UU tersebut. UK adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung
maupun tidak langsung, dari UM

atau UB yang memenuhi kriteria UK

sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Sedangkan UM adalah usaha

9

ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan
atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun
tidak langsung, dari UMI, UK atau UB yang memenuhi kriteria UM
sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.

Selain menggunakan nilai moneter sebagai kriteria, sejuklah lembaga
pemerintah seperti departemen peridustrian dan badan pusat statistik/BPS,
selama ini juga menggunakan jumlah pekerja sebagai ukuran untuk membedakan
skala usaha antara UMI, UK, UM, dan UB.

2.2. Hukum yang Mengatur UMKM di Indonesia
Berikut ini adalah list beberapa UU dan Peraturan tentang UKM
1. UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2. PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3. PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4. Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5. Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan
Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha
Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
6. Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan
Menengah

10

7. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara
9. Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah
2.3. Perkembangan UMKM dari Perspektif Teori
2.3.1. Pola dari perkembangan UMKM
Dalam pembahasan system-sistem industry dan peran UMKM di
dalam sistem-sistem tersebut serta pola perkembangan dari kelompok
usaha itu di NSB, perhatian umumnya terfokus pada karya-karya yang
terkenal, termasuk dari hoselized (1959), Staley dan Morse (1965), serta
Anderson 1982. Pemikiran-pemikiran mereka diklasifikasikan sebagai
teori-teori “klasik” mengenai perkembangan UMKM. Sedangkan, yang
masuk dalam literature yang memuncul kan paradigm baru atau disebut
juga teori-teori “modern” mengenai perkembangan UMKM adalah Berry
dan Mazumdar (1991) serta Levy (1991). Teori-teori secara eksplisit
membahas penting nya jaringan-jaringan subcontracting dan keuntungankeuntungan ekonomi dari aglomerasi dan pengelompokan, atau umum
disebut cluster, bagi perkembangan UMKM.

2.3.1.1. Teori-teori klasik

11

Literature mengenai UMKM di NSB pada umum nya membahas
UMKM di industry manufaktur, dan perkembangan literature ini diawali
oleh munculnya artikel dan Staley dan Morse tahun 1965. Studi mereka
didasarkan pada pengalaman dari NM dan NSB, dan mereka
mengidentifikasi 3 kategori kondisi bagi keberadaan UMKM, yakni
lokasi, proses pengolahan, dan pasar atau tipe dari produk yang dihasilkan.
Operasi-operasi pengolahan yang terpisah, kerajinan, atau pekerjaan
tangan yang sangat membutuhkan presisi dan proses perakitan,
pencampuran, dan penyelesaian akhir yang sederhana adalah kondisikondisi paling penting dari proses pengolahan bagi keberadaan UMKM.
Sedangkan kondisi pasar yang cocok bagi perkembangan UMKM adalah
dalam bentuk produk diferensiasi dengan skala ekonomi yang terendah
dan melayani pasar-pasar kecil.
Dari kondisi-kondisi tersebut, staley dan Morse (1965) beragumen
bahwa khusus nya kegiatan-keiatan pengolahan yang terpisah atau spesifik
(misalnya UMKM memproduksi komponen-komponen tertentu untuk
UB) dan produk diferensiasi dengan skla ekonomi yang rendah adalah
factor-faktor yang menjelaskan paling penting yang menjelaskan
keberadan UMKM di NSB.
a. Pangsa Tenaga Kerja
Walaupun hubunan antara besarnya unit usaha dan tingkat
pembangunan ekonomi telah diungkapkan oleh sejumlah peneliti lewat
analisis mereka terhadap tahap-tahap pembangunan, literartur teori yang
ada mengenai bagaimana UMKM akan dipengaruhi oleh kenaikan
pendapatan riil perkapita (sebagai suatu indicator dari tingkat atau proses
pembangunan ekonomi) hingga saat ini masih relative terbatas. Perhatian
terhadap isu ini pertama kali diberikan oleh Hoselitz yang dijabarkan di
dalam tulisannya (1959) mengenai industrialisasi di Jerman. Ia
12

menunjukkan bahwa pada tahap ‘awal’ pembangunan, sektor manufaktur
di Negara itu di dominasi oleh pengrajin-pengrajin dan banyak dari
mereka akhirnya berkembang menjadi usaha-usaha besar; sedangkan yang
lainnya gugur atau kegiatannya mengalami stagnasi.
Namun demikian, Hoselitz (1959) tidak menganalisis secara eksplisit
sifat alami dari keterkaitan antara tingkat industrialisasi dan perubahan
structural di dalam sektor manufaktur. Dia lebih menekankan pada
karakteristik dari biaya produksi yang rendah, yang ia simpulkan sebagai
kunci kebehasilan dari UMKM. Rendahnya biaya produksi disebabkan
teruutama oleh pemakaian angota-anggota keluarga sebagai pekerjapekerja tidak dibayar.

Mengikuti penelitian Hoselitz, Parker (1979) dan Anderson (1982)
juga mengembangkan tipologi fase pertumbuhan yang berbasis pada
pengalaman dari NM untuk menjelaskan perubahan struktur skala usaha di
sektor industry menurut wilayah dan waktu di NSB. Menurut pendekatan
ini, di dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan atau bisa juga
disebut evolusi dari komposisi dari kegiatan manufaktur-manufaktur, jika
diklarisifikasikan menurut skala, berlangsung melalui tiga fase. Dalam
fase pertama, yakni tahap “awal” pembangunan industri (ekonomi masih
dicirikan sebagai ekonomi agraris), UMI, disebut juga industry-industri
rumah tangga atau kegiatan-kegiatan pengrajin (tipe paling tradisional dari
perusahaan-perusahaan di industri manufaktur) paling dominan, baik
dalam jumlah unit usaha maupun dalam jumlah pekerja, dilihat dari
persentasenya dari jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur. Ini adalah
suatu fase dari industrialisasi, di mana terdapat sejumlah besar UMI
(kebanyakan di pedesaan) berdampingan dengan sejumlah kecil UB

13

(kebanyakan adalah perusahaan asing atau badan usaha milik Negara yang
berlokasi di perkotaan atau kota-kota besar). Dalam tahap ini, UMI lebih
terkonsentrasi di industry-industri seperti pakaian jadi, pandai besi, alas
kaki, kerajinan, bahan-bahan bangunan sederhana, serta makanan dan
minuman. Di NSB, kegiatan-kegitan produksi di subsector-subsektor
tersebut relative mudah dilakukan. Khususnya industry-industri pakaian
jadi, makanan dan minuman, serta kerjainan, kebutuhan modal awal
sangat sedikit dan produsen/pengusaha tidak perlu memiliki pendidikan
formal yang tinggi dan tidak perlu ada tempat khusus untuk kegiatan
produksi. Mungkin untuk alasan ini, kegiatan produksi UMI di kelompokkelompok industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh perempuan dan
anak-anak sebagai suatu kegiatan paro waktu, dan dilakukan di dalam
rumah pemilik usaha/pengusaha. Pendapatan dari kegiatan-kegiatan UMI
tersebut sangat penting, baik sebagai sumber pendapatan utama atau satusatunya maupun sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga. Di
banyak negara, termasuk Indonesia, kebanyakan UMI adalah usaha sendiri
tanpa pekerja (di dalam literatur umum disebut self-employment atau unit
usaha satu orang di mana pemilik melakukan semua pekerjaan).
Dalam tahap ini, juga terdapat banyak kegiatan UMI yang erat
kaitannya dengan produksi di sektor pertanian, baik dalam bentuk
keterkaitan produksi ke depan, yakni UMI menyuplai berbagai input ke
pertanian, maupun dalam bentuk keterkaitan produksi ke belakang, yakni
UMI mengolah output dari pertanian, misalnya industri-industri makanan
dan minuman. Selain itu, keterkaitan dalam kegiatan produksi antara UMI
dan pertanian juga secara tidak langung lewat keterkaitan konsumsi, yakni
UMI menyediakan kebutuhan-kebutuhan makanan dan nonmakanan bagi
penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah rumah tangga-rumah
tangga petani.

14

Dalam fase kedua, di wilayah-wilayah yang lebih berkembang dengan
pendapatan per kapita lebih tinggi, UK dan UM (sebut UKM) mulai
muncul dan tumbuh pesat, dan secara perlahan menggeser UMI di
sejumlah subsektor manufaktur. Ada sejumlah faktor yang bisa
menjelaskan ekspansi UKM pada fase kedua ini. Steel (1979), misalnya,
menekankan salah satunya adalah pentingnya pasar (dia sebut cash
market, yang artinya pasar dimana penjualan dan pembelian dilakukan
dengan uang) yang berkembang: Increased urbanization and expanding
cash markets give rise to a shift from traditional household activities to
complete specialization of the entrepreneur in small scale production and
increased use of apprentice and hired labor.
Dalam fase ketiga, pada tahap “terakhir” pembangunan, pabrik-pabrik
besar (UB) menjadi dominan, menggantikan UKM (dan juga UMI yang
masih ada) di sejumlah industri. Menurut Anderson (1982) fase ini
sebagian adalah suatu produk dari fase kedua, sejak pertumbuhan output
dan kesempatan kerja di UB dapat dibagi ke: (a) perkembangan skala
usaha dari yang sebelumnya UKM menjadi UB, dan (b) perluasan skala
produksi dari UB. Namun demikian, ekspansi UB dalam fase ini bisa juga
disebabkan sebagian oleh munculnya UB baru (yang perkembangannya
sejak awal tidak melalui struktur skala), yang tidak diperhitungkan secara
eksplisit dalam analisisnya Anderson.
Dalam fase terakhir ini, pemakaian skala ekonomi dalam produksi,
manajemen, pemasaran dan distribusi (tergantung pada tipe produk dan
fleksibilitas

dalam

produksi);

keunggulan

tekhnologi;

efisiensi

manajemen; koordinasi produktif; akses ke jasa-jasa infrastruktur
pendukung serta keuangan eksternal yang lebih baik; dan pendanaan
konkesi dengan insentif investasi, struktur tarif, dan subsidi pemerintah,
semuanya adalah penyebab-penyebab atau merupakan insentif utama bagi
15

perusahaan-perusahaan untuk berkembang menjadi lebih besar. Dalam
kenyataannya,

faktor-faktor

ini

sering

kali

lebih

tersedia

atau

menguntungkan UB atau usaha modern daripada UMKM, khususnya
UMI, dan hal ini dapat menjelaskan kenapa kinerja UB lebih baik
daripada UMKM dalam fase industrialisasi yang lebih maju.
Dapat dikatakan bahwa bukti empiris mengenai pola perubahan
struktur usaha yang sistematis di sektor industri, walaupun masih terbatas,
lebih banyak daripada literatur teorinya. Penelitian-penelitian dari
Snodgrass dan Biggs (1996) and Tambunan (1994) mungkin dapat
memberikan suatu gambaran umum mengenai pentingnya UMI dan UK
secara relatif menurut negara dengan tingkat pembangunan ekonomi
(diukur dengan tingkat pendapatan) yang berbeda.

Ada banyak kemungkinan pola dari perubahan atau perkembangan
dari perusahaan-perusahaan, baik secara individu maupun kelompok skala,
yang bisa terjadi yang semuanya konsisten dengan data tersebut. Pola-pola
tersebut bisa: (i) banyak UK berkembang menjadi UM dan sejumlah UMI
menjadi UK; (ii) banyak perusahaan baru skala kecil atau langsung
menjadi skala menengah atau besar; (iii) banyak UMI dan mungkin juga
UK tutup karena kalah bersaing.
Mungkin penelitian dari Beck dkk. (2003) dapat dikatakan sebagai
studi empiris lintas negara pertama mengenai relasi antara pertumbuhan
UMKM dan pertumbuhan ekonomi dengan memakai data pangsa UMKM
di dalam total kesempatan kerja di industri manufaktur dari suatu jumlah
besar negara di Afrika, Eropa, Asia dan Amerika. Untuk analisis mereka,
dikembangkan dua jenis pengukur skala usaha. Ukuran pertama
(SME250) adalah pangsa UMKM di dalam total tenaga kerja di industri
16

manufaktur dengan 250 pekerja sebagai batas maksimum untuk definisi
UMKM. Variabel ini memberikan suatu ukuran yang konsisten dari
distribusi

perusahaan

menurut

skala

antarnegara.

Ukuran

kedua

(SMEOFF) adalah pangsa UMKM dengan memakai definisi UMKM
resmi dari masing-masing negara yang diteliti, yang definisinya bervariasi
antara 100 hingga 500 tenaga kerja.
b. Pangsa Output
Komposisi output dari UMKM di industri manufaktur juga bergeser
dalam proses pembangunan. Saat pendapatan per kapita meningkat,
kegiatan-kegiatan UMKM bergeser dari industri-industri “ringan” dengan
pengolahan sederhana ke industri-industri “berat” yang memperoduksi
barang-barang antara dan kemudian barang-barang modal dengan proses
yang lebih ruwet. Dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan per kapita,
semakin rendah pangsa UMKM di industri-industri ringan dan semakin
tinggi pangsa dari kelompok usaha ini di industri-industri berat, terutama
di industri-industri mesin dan alat-alat transportasi, yang di ukur dengan
suatu persentase dari total kesempatan kerja di UMKM (Biggs dan
Oppenheim, 1986). Namun, tidak hanya antarsubsektor manufaktur, tetapi
di dalam sebuah kelompok industri suatu pergeseran industri di dalam
UMKM juga terjadi dari membuat barang-barang “tradisional” (yakni
jenis kegiatan yang dilakukan umumnya oleh wanita dan anak-anak) ke
produksi barang-barang yang lebih canggih atau modern. Dalam kata lain,
dengan berjalannya pembangunan (atau meningkatnya pendapatan per
kapita), pangsa UMKM yang membuat barang-barang tradisional sebagai
suatu persentase dari jumlah kesempatan kerja atau perusahaan di industriindustri terkait berkurang (Liedholm dan Parker, 1989).

17

Biggs dan Oppenheim (1986) juga menunjukkan bukti yang
mengindikasikan bahwa pergeseran sektoral atau perpindahan dari
sebelumnya membuat produk-produk sederhana ke produksi barangbarang yang lebih canggih di dalam suatu kelompok industri berlangsung
berbarengan dengan perubahan skala usaha, yakni dari UMI menjadi UK,
dari UK ke UM, dan dari UM tumbuh menjadi UB.

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, UKM, terutama UMI, di
NSB diperlakukan sebagai kegiatan-kegiatan ekonomi informal dengan
tingkat produktivitas dan pendapatan sangat rendah, tidak terorganisasi
secara baik dan sangat buruk pengelolaanya, yang membuat perusahaanperusahaan tersebut tidak mendapatkan kesempatan lebih baik, bahkan
berkurang, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat per kapita.
Namun, seperti dijumpai di banyak negara di Afrika, ternyata banyak juga
UMI yang aktif terlibat dalam sejumlah industri, termasuk yang berbasis
sumber daya alam dan agro, yang mempunyai suatu prospek pasar yang
baik, seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Artinya, tidak
selalu UMI hanya terdapat di industri-industri yang membuat barangbarang “inferior”, seperti dugaan umum. Bukti ini bisa memberi kesan
bahwa dengan pembangunan ekonomi, tidak semua UMI akan hilang.
Sebaliknya, di banyak NSB terbukti UMI tetap beroperasi. Sebagian dari
mereka tetap mikro dan sebagian lain berkembang menjadi pabrik-pabrik
yang lebih besar. Satu faktor penting yang bisa menjelaskan kenapa di
banyak NSB yang pembangunannya sudah lebih maju, banyak UMI yang
bisa selamat dan bahkan tumbuh menjadi usaha-usaha yang lebih besar
walaupun mendapatkan persaingan ketat dari UK, UMB, dan barangbarang impor, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering tidak pro

18

dengan mereka, adalah keahlian atau spesialisasi khusus yang dimiliki
pengusaha-pengusaha di UMI secara tradisional (turun-temurun).
c. Perbedaan Pola Pembangunan UMKM Menurut Wilayah Perdesaan dan
Perkotaan
Di dalam suatu negara, perbedaan-perbedaan dalam pola
transisi di dalam kelompok UKM (yaitu perkembangan dari UMI menjadi
UK dan dari UK menjadi UM) atau dari UM menjadi UB juga terjadi
menurut lokasi, yakni antara perdesaan dan perkotaan. Penyebab
utamanya berkaitan dengan perbedaan-perbedaan dalam pembangunan
ekonomi, sosial, budaya/kebiasaan masyarakat, dan dalam karakteristik
UMKM antara perdesaan dan perkotaan. Dalam perbedaan karakteristik,
sejumlah studi menunjukkan bahwa UMI, terutama pengrajin-pengrajin
tradisional, seperti pandai besi, pembuat anyaman, pengukir, dan pengrajin
lainnya, relatif lebih penting di pedesaan dan mereka lebih banyak dari
kategori unit usaha satu orang (tanpa pekerja). Sedangkan UKM,
khususnya UM, cenderung mendominasi perkotaan. Pekerja untuk periode
jangka pendek, dan sekaligus sebagai tempat pelatihan/magang dan
pekerja yang digaji adalah komponen-komponen yang relatif lebih penting
dari total kesempatan kerja di UKM perkotaan; sedangkan UMI di
perdesaan lebih bergantung pada anggoa-anggota keluarga dari pemilik
usaha/pengusaha sebagai pekerja. Selain itu, di daerah perdesaan, pangsa
terbesar dari kesempatan kerja di industri manufaktur, terutama di
kelompok UMI, dibandingkan dengan UKM berbasis perkotaan, sangat
musiman:

kegiatan-kegiatan

nonpertanian

paro

waktu

mencapai

puncaknya pada saat tidak ada kegiatan di sektor pertanian (di luar musim
tanam dan panen).
Perbedaan karakteristik juga kelihatan dalam kewirausahaan. Untuk
ini, Liedholm (1973) berargumen bahwa di perdesaan pengusaha-

19

pengusaha mikro dan kecil memiliki perbedaan-perbedaan dalam latar
belakang

pendidikan

dan

pengalaman

kerja

yang

substansial

dibandingkaan rekan mereka di perkotaan. Pemilik perusahaan-perusahaan
di perdesaan (yang didominasi oleh UMI dan UK) pada umumnya
berpendidikan formal lebih rendah daripada rekan mereka di perkotaan,
dan mereka di perdesaan kebanyakan adalah petani atau dari keluarga
petani.
Perbedaan dalam orientasi pasar juga kelihatan nyata. Beberapa studi
menemukan bahwa perusahaan-perusahaan di perdesaan tidak terlalu
berorientasi pasar, baik untuk output maupun input, dibandingkan rekan
mereka di perkotaan, dalam arti tidak agresif mencari atau berusaha
memperluas pasar. Selanjutnya, hasil observasi dari Chuta dan Liedholm
(1985) di Sierra Leone (Afrika) mengungkapkan adanya suatu keterkaitan
erat antara laju pertumbuhan UMKM dan jumlah pekerjanya dengan luas
lokasi: laju pertumbuhan UMKM di perkotaan lebih pesat dibandingkan
perdesaan. Alasan

utanmanya

menurut Anderson

(1982)

adalah

pertumbuhan pasar yang lebih pesat di perkotaan daripada di perdesaan.
Yang terakhir ini pada gilirannya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk
dan pendapatan per kapita (yang menentukan jumlah pembeli aktual dan
potensi) di perkotaan lebih pesat, dan, lebih penting lagi, segmen-segmen
penduduk perkotaan yang berpenghasilan menengah dan tinggi lebih besar
di perkotaan daripada di perdesaan. Kondisi seperti ini menciptakan lebih
banyak kesempatan bagi UMKM perkotaan untuk memperluas usaha dan
melakukan diservasifikasi pasar; dan khususnya UMKM perkotaan yang
melayani pasar bagi segmen berpenghasilan tinggi bisa tumbuh pesat.
Lagi pula, permintaan antara dari UB (termasuk PMA) lebih banyak
terkonsentrasi di perkotaan atau di sekitar kota-kota besar. Jadi, ini bisa
memberi lebih banyak peluang untuk tumbuh terus dan lebih pesat lagi
20

bagi UMKM yang berlokasi di perkotaan yan melayani segmen pasar ini
(misalnya, lewat subcontracting). Sedangkan di perdesaan atau desa-desa
yang lokasinya jauh atau secara geografi terisolasi dari ekonomi
perkotaan,

perusahaan-perusahaan

lokal

kebanyakan

memproduksi

barang-barang tradisional dengan elastisitas pendapatan yang rendah atau
bahkan negatif, untuk pasar-pasar lokal yang kecil, dan terutama untuk
segmen penduduk berpenghasilan rendah (Mazumdar, 1976).
Sedangkan menurut Byerlee (1973) adanya perbedaan dalam pola
perubahan atau pembangunan antara UMKM perdesaan dan UMKM
perkotaan, disebabkan oleh pola penawaran dan permintaan dari
perusahaan-perusahaan di perdesaan yang sangat berbeda dengan di
perkotaan, walaupun dalam skala yang sama. Permintaan output dan sisi
penawaran dari UMKM perdesaan sangat erat kaitannya dengan volume
produksi dan tingkat pendapatan di perdesaan yang sangat fluktuatif sesuai
musim aktifitas pertanian.
Dengan perbedaan-perbedaan karakteristik dan lingkungan yang telah
di bahas di atas, UMKM perkotaan bisa menghadapi berbagai masalah,
tetapi juga peluang-peluang yang berbeda dengan yang dihadapi oleh
UMKM perdesaan. Maka bisa diperkirakan bahwa proses pembangunan
ekonomi dalam bentuk peningkatan pendapatan per kapita atau perubahan
permintaan di pasar akan memberi dampak yang berbeda terhadap
UMKM di perkotaan dengan di perdesaan.
d. Pola Keseluruhan
Baik Hoselitz (1959) maupun Anderson (1982) memprediksi
bahwa keunggulan komparatif dari UMKM akan berkurang terus dan UB
akan

semakin

mendominasi

ekonomi

dengan

semakin

majunya

pembangunan. Namun demikian, pengalaman-pengalaman dari banyak

21

negara di eropa yan menunjukkan munculnya kembali UMKM sebagai
unit-unit bisnis yang kompetitif; semakin pentingnya UMKM di Jepang
dan negara-negara industri baru di Asia Timur dimana kelompok usaha
tersebut

sangat

terintegrasi

dengan

UB

lewat

jaringan-jaringan

subcontracting; dan berkembangnya literatur mengenai berakhir era
produksi massal dan tesis mengenai FS, memberi kesan bahwa teori-teori
“klasik” tersebut tidak berlaku lagi, tidak hanya di NM, tetapi juga di
banyak NSB yang sudah lebih maju, seperti Taiwan dan Korea Selatan.
Sebagai suatu rangkuman, teori-teori “klasik” mengenai evolusi
UMKM percaya bahwa dalam perjalanan pembangunan, porsi “ekonomi”
dari UMKM dalam pembentukkan atau pertumbuhan PDB, kesempatan
kerja, output sektoral, dan total perusahaan akan terus menurun.
Sebaliknya, pangsa UB yang lebih modern tumbuh dengan laju yang
semakin pesat dan akhirnya kelompok usaha ini mendominasi ekonomi.
Hipotesis “Klasik” Mengenai Hubungan antara Pembangunan
Ekonomi dan Pentingnya UMKM di Dalam Ekonomi

Pangsa “ekonomi” dari UMKM

Garis Pendapatan-UMKM

Pendapatan per kapita
Rendah

Tinggi
22

2.3.1.2. Teori-teori “Modern
Pada dekade 80-an, muncul texis flexible specialization (FS) dan sejak saat itu
sudah banyak makalah-makalah seminar, penelitian-penelitian, artikel-artikel di
jurnal-jurnal, dan buku-buku yang di tulis mengenai isu baru ini. Munculnya tesis ini
adalah hasil dari suatu perdebatan panjang mengenai bagaimana menginterpretasikan
pola produksi global yang baru akibat tekanan-tekanan globalisasi dan restrukturisasi
industri. Perubahan pola produksi tersebut juga membawa perubahan terhadap cara
mengorganisasikan produksi dan tenaga kerja. Beberapa peneliti berargumen bahwa
produksi global sedang mengalami suatu transformasi dari produk massal (fordist) ke
produksi dalam volume kecil. FS dikenal sebagai salah satu pola baru tersebut yang
menggantikan pola produksi fordist (Piore dan Sabel, 1984).

Konsep

FS

berasosiasi erat dengan buku yang terkenal dari Piore dan Sabel (1984) mengenai “the
second industrial divide”. Di dalam buku ini mereka mendiskusikan munculnya
kembali lokasi-lokasi pengrajin di sejumlah negara di Eropa Barat, yakni Italia,
austria, dan Jerman. Dalam mempelajari perkembangan dari lokasi-lokasi pengrajin
tersebut, Piore dan Sabel (1984) menegaskan bahwa UMKM di lokasi-lokasi itu telah
menjadi bentuk yang dominan dari organisasi industri. UMKM tersebut dikenal
sebagai perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan pekerja-pekerja dengan
keterampilan tinggi dan multi, menggunakan mesin-mesin yang “fleksibel” yang
mengandung tekhnologi-tekhnologi paling akhir dan membuat dalam volume kecil
sejumlah produk-produk khusus yang berbeda untuk pasar global. Sedangkan, Holt
(1996) memberi penilaiannya mengenai kualitas dari UMKM yang membuat
kelompok usaha ini menjadi sangat penting di dalam ekonomi: small firms are
supposedly leaner, less bureaucratic, more entrepreneurial and more innovative than
large firms and, as a result, it is supposed that they grow further and faster than
established firms. Small firms are thought to be especially important as wealth
creators and job creators, and they are also considered to be more commited to their
23

local communities than large firms, both in the sense of sourcing and recruiting
locally and in the sense of being less geographically footloose than large companies.

Literatur mengenai tesis FS mengatakan secara explisit bahwa tekhnologitechnologi baru (seperti komputer dan alat-alat monitor dan mesin kontrol pabrik)
membuat skala ekonomi menjadi lebih efisien, dan ini semua mempromosikan
kelayakan relatif dari UMKM di dalam era globalisasi. Kebutuhan untuk
meningkatkan kemampuan suatu industri untuk memenuhi perubahan-perubahan
pasar yang cepat (khususnya pasar global) dengan tepat waktu, murah, dan efisien
telah menciptakan suatu peran baru bagi UMKM di NM. Jadi, peran baru UMKM ini
di dalam ekonomi bisa digunakan sebagai suatu argumen untuk menentang proposisi
dari Anderson, diantara beberapa lainnya, yang telah dibahas sebelumnya, yang
menyatakan bahwa dalam jangka panjang ekonomi akan dikuasai oleh UB (dalam
output maupun kesempatan kerja).
Ada empat bentuk organisasi yang umum dari FS yang diidentifikasi di dalam
bukunya Piore dan Sabel (1984) tersebut.
1. Fleksibel dan spesialisasi: perusahaan-perusahaan di dalam komunitas dapat
menyesuaikan dengan cepat tekhnik-tekhnik produksi mereka terhadap perubahanperubahan pasar, tetapi tetap berspesialisasi dalam memproduksi satu tipe barang,
misalnya pakaian jadi.
2. Masuk terbatas: perusahaan-perusahaan di dalam komunitas membentuk bagian dari
suatu komunitas yang tertutup dan perusahaan-perusahaan di luar komunitas tidak
bisa atau sulit masuk.
3. Tingkat inovasi kompetitif yang tinggi: ada tekanan terus-menerus terhadap
perusahaan-perusahaan di dalam komunitas untuk mempromosikan inovasi untuk bisa
tetap lebih unggul daripada pesaing-pesaing mereka.

24

4. Tingkat kerja sama yang tinggi: ada persaingan terbatas antarsesama perusahaan di
dalam komunitas dalam hal gaji dan kondisi kerja, yang merangsang kerja sama yang
lebih besar antarmereka.
Sejak dipublikasi bukunya Piore dan Sabel (1984) tersebut, tidak hanya
karakteristik-karakteristik dan bentuk baru dari organisasi industri tersebut didiskusikan
secara luas, tetapi beberapa peneliti juga telah berusaha mengkaji relevansi dari
paradigma FS tersebut terhadap distrik-distrik industri yang didominasi oleh UMKM di
NB. Selain itu, banyak juga peneliti yang telah berusaha mengkaji implikasi dari FS
terhadap industri, khususnya kluster-kluster UMKM, di banyak NSB.
Juga dalam beberapa tahun belakangan ini, muncul literatur yang hampir serupa
dengan tesis FS tetapi secara eksplisit melihat UMKM atau wirausaha sebagai sumber
inovasi. Literatur ini menegaskan bahwa UMKM yang melakukan suatu strategi inovasi
adalah UMKM yang akan bisa membuat produk-produk yang kompetitif, yang berarti
juga UMKM yang bisa bertahan terus dan bahkan berkembang pesat. Peran baru
UMKM ini juga bisa dibaca dari salah satu paragraf dari tulisannya Audretsch (2003)
sebagai berikut: The empirical evidence has found that the post-entry growth of firms
that survive tends to be spurred by the extent to which there is a gap between the MES
(Minimum Efficient Scale) level of output and the size of the firm. However, the
likelihood of any particular new firm surviving tends to decrease as this gap increases.
Such new SMEs (UMKM) deploying a strategy of innovation to attain competitiveness
are apparently enganged in the selection process. Only those SMEs offering a viable
product that can be produced afficiently will grow and ultimately approach or attain te
MES level of output. The remainder will stagnate,………may ultimately be forced to
exit the industry. Thus, in highly innovative industries, there is a continuing process of
the entry of new SMEs into industries.
Literatur ini didukung oleh banyak studi kasus mengenai peran UMKM sebagai
motor penggerak inovasi dan efek posiitifnya terhadap industri-industri dimana UMKM

25

tersebut beropersikan pada khususnya dan ekonomi pada umumnya. Misalnya, dengan
data 1990-an mengenai perusahaan-perusahaan yang baru berkembang di Jerman, hasil
penelitian dari Audretsch dan Fritsch (2002) mengungkapkan bahwa di daerah-daerah
yang tingkat kelahiran perusahaan-perusahaan baru lebih tinggi juga menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah-daerah yang
sebaliknya, yang tingkat membuka/memulai usahanya rendah. Mereka menyimpulkan
bahwa motor penggerak pertumbuhan telah bergeser ke kewirausahaan sebagai suatu
sumber pertumbuhan. Hal yang serupa juga di jumpai oleh Reynold (1999) dengan data
Amerika Serikat (AS) yan menunjukkan adanya suatu keterkaitan positif antara derajat
dari perkembangan kewirausahaan (yang dicerminkan dengan laju dari lahirnya
perusahaan-perusahaan baru) dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian dari Foelster
(2000) untuk kasus Sweden dengan memakai data dari jumlah perusahaan dari kategori
usaha satu orang (self-employment) dan total kesempatan kerja untuk periode 19761995 juga menghasilkan gambaran yang sama. Callejon dan Segarra (2000) memakai
satu set data dari industri-industri manufaktur di Spanyol dari tahun 1980 s.d. 1992
untuk mengaitkan tingkat kelahiran perusahaan-perusahaan baru dan tingkat kematian
perusahaan-perusahaan dengan pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP) di
industri-industri dan daerah-daerah. Mereka mengadopsi suatu model didasarkan pada
suatu kerangka-kerja modal vintage yang mana sebuah perusahaan atau perusahaan
baru berdiri memiliki tekhnologi-tekhnologi paling akhir dan perusahaan atau pemain
yang sudah ada mewakili tekhnologi-technologi yang sudah usang. Mereka
menemukan bahwa laju start-up dari usaha-usaha baru dan laju exit berkolerasi positif
dengan pertumbuhan TFP, baik di tingkat daerah maupun industri. Lainnya, misalnya,
Audretsch dan Thurik (1999) memberikan bukti empiris dari sebuah studi lintas negara
untuk periode 1984-1994 dari 23 negara anggota OECD (Organisation for
EconomicnCo-operation and Development), bahwa peningkatan kewirausahaan, yang
diukur dengan laju pertumbuhan perusahaan-perusahaan baru, berasosiasi dengan laju
pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih tinggi pada tingkat negara. Sama juga,
Audretsch dkk. (2002) menemukan bahwa negara-negara OECD yang menunjukkan
26

tingkat pertumbuhan kewirausahaan yang lebih tinggi juga mengalami laju
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan tingkat pengangguran yang lebih rendah.
Robson dan Gallagher (1993) juga secara eksplisit menekankan aspek inovasi
dari peran baru dari UMKM: small firms can play a leading role as a test bad for new
ideas, new innovations and new technologies. Therefore those firms in which new
innovations, ideas and technologies are likely to be developed should be at the top of
the list for receiving aid. Also, to further encourage those small firms which can grow
independently of large firms, or whose growth can be complementary to large firm
growth. Juga, Rothwell dan Zegveld (1982) menegaskan sebagai berikut: any
assessment of the importance of small firms within the industrial and social structure of
societies, and the need to strengthen their productivity, will lead to the establishment of
measures aimed at improving the position of these firms as utilizers of upgraded
technologies. National scientific and technological policy, on the other hand, will tend
to be mainly interested in the small innovative or new technological-based firm within
the fluid, high growth, scientific-based industrial branches, from which radical new
technologies might emerge…….,a great deal has been written concerning the
innovativeness of SMEs in comparison to that of larger companies. It has on the one
hand been argued that large size and monopoly power are prerequisites for economic
progress via technical change, while on the other hand it has been argued that small
firms are more efficient at performing innovative activities and are, in fact, the major
source of innovations.
Di banyak NM, seperti Jepang, Sweden, AS, dan beberapa negara di Eropa
Barat, UMKM di sejumlah subsektor manufaktur, khususnya eletronika dan otomotif,
ditemukan sangat signifikan sebagai sumber-sumber penemuan baru, inovasi dan
efisiensi, dan juga mampu menghadapi persaingan dari UB; dan bahkan bisa
memperkuat posisi mereka relatif terhadap kekuatan UB. Di Inggris, pada akhir 1980an perhatian mulai bergeser dari UB ke UMKM, dan kelompok usaha ini di anggap
akan jadi sangat penting tidak hanya dalam perkembangan ekonomi nasional, tetapi
27

juga regional. Tidak heran kalau sejak akhir 1980-an muncul banyak sekali buku atau
artikel yang membahas peran UMKM di dalam perekonomian Inggris. Berikut ini
beberapa penjelasan/pernyataan dari sejumlah peneliti: Danson (1996), over the last
two decades there has been an increasing realization of the importance of small and
medium enterprises (SMEs) to the development and health of the national and regional
economy…….there has been a perceived need to intervene in the market to ensure that
the high proportion of SMEs which fail each year are replaced, and to promote the
creation of new businesses to convensate for the decline in large plants; Oakey (1991),
the rediscovery of the importance of small firms a decade ago, and the
acknowledgement of this size of enterprise as an important part of any national
industrial effort, was a welcome balancing of an earlier excessive preoccupation with
large firms…….the perception that entrepreneurially led new small firms in high
technology sectors could sustain manufacturing industry in the face of a general
decline of industries that had grown in the 1960s……there can be little doubt that high
technology small firms are important to future British national industrial employment
growth; Smallbone dan North (1996), ….the growth and survival of manufacturing
SMEs in different location ……..suggets that estabilished SMEs have an important
contribution to make to relagion economic development. They have been shown to be
an important source of new jobs, especially in rural and outer metropolitan locations;
Holiday (1995), ….since the publication of the Bolton Report on small firms (1971),
Di rusia, Struthers dkk. (1996) melihat kehancuran rezim komunis beserta
sistem ekonominya yang sangat sentralistik menjadi suatu kesempatan besar bagi
perkembangan UMKM, dan salah satu caranya adalah dengan menstransfer semua
BUMN yang bangkrut menjadi usaha-usaha yang lebih kecil dan efisien.
Rothwell dan Zegveld (1982) menguraikan beberapa alasan dari kebijaksanaan
umum yang mendukung UMKM, diantaranya yang terpenting adalah:

28

1. Distribusi dari kekuatan pasar lewat sebuah sistem dari UMKM membuat suatu
distribusi dari kekuatan pasar yang lebih baik di masyarakat secara umum
2. Suatu tingkat konsentrasi pasar yang tinggi mengakibatkan ekonomi tidak
efisien
3. UMKM bisa berfungsi sebagai suatu peredam terhadap goncangan kesempatan
kerja, misalnya pada saat krisis ekonomi (1997-1998)
4. UMKM menghasilkan produk-produk yang lebih bervariasi yang bisa
memenuhi selera individu masyarakat.
Sedangkan dari perspektif inovasi atau perubahan tekhnologi beberapa alasan
kenapa UMKM sangat penting adalah:
a. Perubahan tekhnologi paling baik dipromosikan di dalam suatu sistem
yang menggunakan potensi dari relasi atau kerjasama yang saling
menguntungkan antara UMKM dan UB
b. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa UMKM sangat aktif dala